Terkagum-kagum

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Bukannya padam, perasaan itu malah kian berkobar. Harusnya sadar, bukan malah gencar berikhtiar."

°°°

Senandika Cafe yang setiap hari selalu dipadati pengunjung kini mendadak sepi, sebab ditutup sementara karena adanya perombakan. Para karyawati diliburkan, sedangkan para karyawan tetap dipekerjakan untuk membantu proses perombakan.

Arhan dan Anin sepakat untuk menggunakan tenaga karyawan kafe, karena mereka tahu bahwa sebagian besar karyawannya merupakan tulang punggung keluarga, dan jika diliburkan, walaupun sementara pasti akan berimbas pada perekonomian mereka.

Lain hal dengan para karyawati yang didominasi oleh anak muda serta masih melajang, mendapat libur dan menerima upah setengah dari biasanya membuat mereka kegirangan. Pasalnya waktu itu akan mereka habiskan untuk liburan.

Anin memang merumahkan mereka, tapi Anin masih tetap membayar gaji karyawatinya, walaupun tidak secara utuh dan hanya setengahnya saja. Sedangkan untuk para karyawan, Anin memberikan upah lebih, sebab tenaga mereka pun pasti terkuras habis dari biasanya.

Sebisa mungkin Anin menjadi atasan yang baik, yang bisa memanusiakan manusia lainnya. Anin tidak ingin menjadi atasan yang seenaknya, atau hanya bisa menyuruh ini dan itu saja. Tidak diktaktor serta tidak menganggap mudah pekerjaan orang lain.

Bekerja bukan hanya tentang mencari rupiah, tapi juga tentang mencari kenyamanan dari tempat yang dianggap sebagai rumah. Menganggap para pekerja sebagai keluarga, tidak ada pembeda, ataupun sekat di antara mereka. Anin benar-benar menghargai dan menghormati orang-orang yang bernaung di dalam bisnisnya.

"Break salat dulu!" seru Anin saat kumandang azan zuhur menguar.

Semua orang yang tengah sibuk bekerja pun segera bergegas ke mushola. Dan dia pun ikut mengintil di barisan paling belakang.

"Bisa jadi imam?" tanya Anin saat Arhan hendak membuka alas kaki.

"Hah? Maksudnya?"

"Jadi imam, bisa?"

Otak Arhan seketika tak berfungsi, dia hanya terfokus pada kata 'imam' yang Anin ucapkan.

"Imam salat zuhur, A, bukan imamnya Teh Anin."

Pernyataan salah satu karyawan Anin dengan diiringi senggolan di sisi kanan tubuhnya menyadarkan Arhan yang terlalu berpikiran jauh.

"Oh, itu, iya bisa," katanya dengan suara gugup dan pandangan yang berkeliaran untuk menghilangkan atmosfir aneh yang kini menggerogoti rongga dada.

"Kalau mau jadi imamnya Teh Anin juga bisa, lagi buka lowongan calon suami, kan, Teh?"

Pipi Anin bersemu merah dibuatnya. Dia dibuat tak bisa berkata-kata dan hanya menunduk resah saja.

"Salat dulu, ngobrolnya dilanjut nanti," tutur Arhan pada karyawan Anin yang sudah berani menggodanya habis-habisan.

"Maaf atas kelancangan karyawan saya," kata Anin lantas bergegas pergi ke arah tempat wudu.

Tanpa sadar Arhan menarik lepas kedua sudut bibirnya, tapi tak lama dari itu dia pun dengan segera beristighfar, lalu mengambil air wudu.

Jika berdekatan dengan Anin hati dan pikirannya benar-benar diuji habis-habisan. Tekad yang semula bulat untuk melupakan pun bisa terkikis habis jika setiap hari harus bertemu dengan perempuan itu.

Suara iqamah mulai dilantunkan, dan tak lama dari itu kumandang takbir menguar menerobos indra pendengar. Anin merapatkan matanya penuh khidmat, menikmati merdunya suara Arhan. Hatinya melunak seketika, dan rasa kagum yang mati-matian dienyahkan kini kembali naik ke permukaan.

"Ya Allah jika boleh hamba meminta, jadikanlah imam salat di depan sana menjadi imam hidupku. Imam yang mampu membimbingku untuk menuju ke surga-Mu. Izinkan hamba untuk merasakan nikmatnya ibadah bersama dengan dia yang hamba cinta."

Anin tahu Arhan adalah ketidakmungkinan yang sulit untuk direalisasikan. Tapi, izinkanlah dia untuk kembali merayu Sang Pencipta, dan mencurahkan gejolak dalam dada.

Tanpa Anin ketahui, tepat di sujud terakhirnya. Arhan pun melambungkan doa yang serupa, doa yang berisi tentang pinta agar Allah sudi untuk membersamakan mereka.

"Lancangkah jika hamba meminta makmum di belakang sana menjadi makmum seumur hidup hamba. Hanya hamba yang akan menjadi imamnya, dan hanya hamba yang bisa mengimami salatnya."

Lihatlah, dua manusia yang jika bertemu selalu malu-malu dan bersikap acuh tak acuh. Tapi, begitu berani meluapkan keinginan hati pada sang Illahi. Dan Para Malaikat di atas sana tersenyum menyaksikan keduanya.

Memang benar apa yang seringkali dikatakan orang-orang, bahwasannya perasaan cinta akan tumbuh dan berkembang jika kerapkali bersama. Fakta itulah yang kini menghantui keduanya, mereka takut tidak mampu mengontrol hati.

"Sujud terakhirnya panjang banget, A. Baca doa apa aja?"

Arhan yang baru saja menyelesaikan dzikir spontan menoleh ke arah samping. "Masa iya? Perasaan standar kok."

"Itu mah bukan standar, saya sampai pusing karena kelamaan sujud tadi," ocehnya.

Arhan meringis lalu berkata, "Maaf, mungkin doa saya terlalu khusyuk jadi tidak sadar."

"Gak papa sebenernya, gak usah minta maaf. Ini mungkin karena sayanya yang kalau salat pakai kecepatan expres."

Arhan menggeleng pelan mendapat pengakuan jujur dari lawan bicaranya. "Gak usah rusuh-rusuh kalau salat, gak akan ketinggalan juga kok."

"Bukan masalah ketinggalannya, A, tapi pikiran suka terhasut tipu daya dunia. Gak bisa khusyuk dan bawaannya pengen cepet kelar aja," sahutnya.

Arhan mengangguk maklum. Itu adalah masalah umum yang kerapkali hinggap pada dirinya. Hal manusiawi yang selalu Arhan coba benahi.

"Gak papa, yang penting kita sudah menjalankan kewajiban kita. Nikmat ibadah akan terasa jika kita sudah mencintai Sang Pencipta jauh di atas segalanya. Semua manusia pasti melewati masa-masa seperti itu, kuncinya asal kita mau berproses dan gak stuck di tempat aja," tutur Arhan sebisa mungkin menggunakan bahasa yang mudah dicerna dan tidak terlalu menggurui.

Dia manggut-manggut paham. "A Arhan sudah menikah belum?"

Kening Arhan mengernyit heran. "Dari salat kok nyambung ke nikah?"

Dia terkekeh lalu berujar, "Gak papa pengen tahu aja, kan katanya menikah itu menyempurnakan ibadah."

"Alhamdulillah ibadah saya belum disempurnakan dengan pernikahan, tapi in syaa allah diberi keberkahan dan keridaan," sahut Arhan seraya tersenyum tipis.

Pemuda yang ditaksir berusia dua tahun lebih muda di bawah Arhan itu terkekeh pelan. "Ya sudah sempurnakan saja kalau gitu. Teh Anin termasuk golongan singlelillah tuh."

Arhan tak menjawab sepatah kata pun, dia hanya tersenyum samar lantas berpamitan untuk mengisi perut yang sudah keroncongan.

"Silakan dinikmati hidangan makan siangnya, maaf hanya seadanya saja," ucap Anin saat Arhan beserta beberapa karyawannya sudah duduk lesehan di lantai dengan posisi melingkar.

"Masakan Teh Anin mah sederhana, tapi rasanya juara," ucap salah satu di antara mereka.

Anin memang kerapkali membagikan makan siang untuk para karyawan. Dia senang memasak, maka tak heran jika perut para pekerja saja Anin puaskan.

"Saya permisi makan di belakang," pamitnya lalu bergegas pergi.

Anin tidak nyaman berada di tengah-tengah para kaum adam, dan hanya dirinya saja yang bergender perempuan. Jadi, alangkah lebih baiknya dia melipir ke belakang untuk mengamankan diri.

"Dimakan A Arhan, jangan bengong aja."

Arhan mengangguk dan tersenyum mengiyakan. Rasa kagum pada Anin kian bermekaran, dan dia takut tak mampu untuk memadamkan perasaan tersebut.

"Teh Anin itu paket komplit, cantik, baik, shalihah, pinter masak lagi. Bahagia dunia akhirat laki-laki yang bisa memperistrinya."

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Kamis, 15 Desember 2022

Duhhh! Move on jalur langitnya bisa gagal total kalau kayak gini ceritanya 😂🙈

Yuk! Sadar yuk, Ar! Jangan terlalu terbuai pesona Anin🤭

Yuk! Sadar yuk, Nin! Jangan terlalu kagum sama Arhan🤭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro