11. Day Before

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haruskah kita menciptakan kebersamaan semu untuk saling melupakan? Mengapa melupakan tidak pernah sesederhana apa yang dikatakan quotes Instagram?

Darja menatap lurus lorong apartemen yang mengarah pada unit miliknya. Cowok itu menopang tas ransel hitam di punggungya, ia baru saja selesai kuliah dan ingin beristirahat sebentar, karena pukul tiga nanti ada jadwal kuliah lagi. Belum lagi tugasnya yang belum sempat ia selesaikan karena sibuk mengurusi Pemira. Rasa-rasanya tubuh cowok itu benar-benar lelah luar biasa.

Darja mendengus saat mendapati seseorang bertubuh tinggi, bermata cokelat dan berambut cokelat tua berdiri di depan apartemennya. Pria itu tampak lega melihat kedatangan Darja, sepertinya ia sudah cukup lama berdiri di depan sana. Namun, apa pedulinya? Toh pria yang ia panggil papa itu selalu mengabaikannya sejak dulu.

Cowok itu membuka pintu, mempersilakan papanya masuk. Ia memang tidak dekat dengan papanya namun bukan berarti ia sekurangajar itu dengan Bryan. Darja menghela napasnya berat, setelah beberapa waktu, papanya baru datang. Selama ini, di mana saja papanya? Duduk diam di bawah ketiak omanya? Seperti yang selama ini selalu pria tua itu lakukan?

"Ada apa Papa datang kemari?"

Darja bertanya setelah menghidangkan satu botol air mineral untuk papanya. Mungkin saja pria tua itu haus.

"Pulanglah!"

Nada perintah dan kalimat singkat seperti biasanya. Nada yang kadang terdengar mengerikan di telinga Darja, karena nada itu yang dulu sempat menumbuhkan luka dalam hidup mamanya.

"Ini rumah saya, Pa. Pulang kemana?"

Bryan tercengang mendengar jawaban Darja. Pria itu menopang tangannya di atas paha, menatap Darja penuh permohonan.

"Rumah Papa."

Darja tergelak. Ia membuka botol air mineralnya, meminum air itu dengan cepat, lalu menutup botolnya lagi setelah selesai.

"Setahu saya rumah itu isinya kehangatan, bukan kebencian. Psikis saya tidak akan bagus jika terus-menerus ada di rumah itu, Pa. Seharusnya Papa tahu, kalau saya mulai tidak baik-baik saja semenjak Mama pergi. Tapi, Papa tidak pernah mau tahu bukan?"

Pertanyaan Darja benar-benar menohok Bryan. Pria itu menarik napasnya, menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa. Ia teringat dengan istrinya, dan kejadian beberapa tahun lalu yang mungkin mengubah banyak hal dalam hidupnya.

"Papa hanya ingin menjadi Ayah yang bertanggung jawab, Darja."

Darja tertawa, ia tersenyum masam menatap ayahnya. Ayah yang bertanggung jawab? Terdengar menggelikan di telinganya.

"Kemana Papa saat Oma menyiksa dan menghina Mama? Kemana Papa saat saya membutuhkan sosok Ayah untuk bangkit dari kejadian buruk yang menimpa saya? Kemana Papa saat saya selalu tidur dalam rasa ketakutan dan mimpi-mimpi buruk yang mengerikan?"

Kalimat yang diucapkan Darja memang tidak bernada tinggi tapi cukup membuat Bryan terpukul. Pria itu mengusap wajahnya, melihat ke dalam manik mata Darja yang sarat akan luka.

"Pa, saya sudah terlalu dewasa untuk bertanggung jawab atas hidup saya. Saya anak laki-laki dan satu-satunya yang Papa miliki, saya sudah mampu menentukan arah hidup saya sendiri meski saya akui, Papa berperan begitu minim dalam hidup saya. Papa tetap orang tua saya, kenyataan itu tidak akan bisa saya pungkiri, di akta kelahiran saya, nama Papa tetap tertulis di sana."

Bryan tak mengatakan apa pun, ia merasa menjadi orang yang paling buruk ketika sadar, selama ini ia tak ada dalam perkembangan dan pertumbuhan Darja. Bryan tidak pernah memberi anaknya kasih sayang yang semestinya.

"Saya nyaman di sini, Pa. Ini rumah saya, menyendiri begitu menyenangkan untuk saya. Kegelapan adalah teman yang menyenangkan. Kalau Papa kesepian, Papa bisa menikah lagi, saya tidak sepicik itu untuk menghalangi."

Bryan tidak mengatakan apa-apa. Mendadak pria itu kehilangan kalimatnya. Ia memang tidak pernah menyakiti Darja secara fisik, namun psikis anaknya telah dipenuhi luka selama ini. Rasa sakit yang ia datangkan bukan karena ia menikah lagi setelah istrinya pergi atau sibuk bermain wanita, tapi rasa sakit itu datang dari sikap tak pedulinya pada Darja. Rasa sakit yang mungkin sama besarnya dengan yang ia rasakan, setelah ia sadar, ia telah benar-benar kehilangan Marinka—istrinya. Hingga, keputusannya untuk menyimbukkan diri dalam pekerjaan dan selalu percaya atas apa yang dikatakan ibunya berdampak buruk bagi Darja. Saat ini, sudah sangat terlambat untuk menggapai Darja, anaknya sudah terlalu jauh dan dewasa untuk memahami situasi yang terjadi.

"Kalau itu keputusanmu, Papa tidak berhak melarang, Ja. Kamu memiliki hak penuh atas hidupmu."

Semuanya selesai. Bryan berdiri dari duduknya, melangkahkan kakinya keluar dari apartemen Darja setelah menepuk bahu anak laki-lakinya, tanpa menyentuh air dingin yang sudah mulai berembun.

Darja duduk dengan lemas di tempatnya, ia berteriak sepeninggal papanya. Matanya fokus pada sebuah bingkai foto di sudut kecil meja ruang tamu, berdampingan dengan hiasan meja dan vas bunga. Foto yang diambil di Puncak ketika ia masih kecil. Ada dirinya, mama dan papa. Foto terakhir sebelum ia kehilangan mamanya.

"Ma, Darja rindu."

***

"Anjir! Sekretariatan ricuh. Pengusung Mirga dan Wirya yang kagak lolos pemberkasan ngamuk. Anak-anak Panwaslu dikunci di sekretariatan. Biadab bener si Merah!"

Dika meremas botol air mineral dengan gemas. Bukan rahasia lagi kalau Ormek memang mem-backing Pemira di kampus mereka. Ormek di kampus mereka terdiri dari tiga golongan, golongan merah, biru dan kuning dan semuanya ternyata juga di-backing dan didukung dana oleh partai nasional yang memiliki kepentingan terselubung. Kubu Darja sendiri didukung oleh Ormek golongan biru yang selama ini cukup kalem dalam mengikuti Pemira, sementara golongan merah yang mengusung Mirga dan Wirya yang berkasnya tidak lolos verifikasi dinilai terlalu bar bar dan arogan, juga sering membuat ricuh di Pemira-Pemira kampus.

"Gila, si Adit nge-WA gue katanya ada mereka juga datengin preman wah. Gila! Mana yang disekap itu kebanyakan anak cewek lagi. Gila mereka!"

Dino menatap ngeri teman-temannya. Menjelang Pemira dua hari lagi, mereka memang lebih sering berkumpul untuk berdiskusi.

"Terus gimana, udah dibebasin?"

Erka bertanya dengan penasaran, Darja hanya menyimak dan Aika memilih merebahkan kepalanya. Ia tidur dengan pulas di atas meja kayu yang terletak di teras kontrakan Satria—salah satu tim suksesnya.

"Ya belumlah. Ini gue baru dapat kabar dari anak panwaslu. Gimana enaknya? Kalau kita ikut campur, bisa-bisa kita yang diserang."

Dika menatap Darja meminta pendapat.

"Gue bukannya nggak peduli, tapi biarin aja. Besok pagi juga dibebasin, golongan merah udah biasa gitu kan? Gertak doang, undang-undang Pemira aja nggak paham. Pentolannya goblok semua."

Darja berkata dengan enteng, ia melirik Aika yang sudah pulas, seolah tak terusik dengan obrolan mereka. Cowok itu lalu melepas jaketnya menyampirkan ke badan Aika.

"Kasihan sih. Tapi, ngomong-ngomong gue jadi curiga sama lo dan Aika."

Kerutan di dahi Dika bertumpuk, menatap penasaran pada Darja. Cowok itu menggelengkan kepalanya, tanda tak ingin apa pun yang ada di kepala Dika dibahas lebih lanjut.

"ANJRITTTT! Kita harus segera keliling fakultas, sialan gila! Pamflet kampanye Darja sama Aika tiba-tiba muncul di FE padahal kan udah kedaluwarsa masa kampanye dan tim kita udah ngambilin semua."

Semua pasang mata terkejut menatap Erka yang baru saja melatakkan ponselnya dengan kasar. Darja mengusap wajahnya, kecurangan seperti ini memang mungkin saja terjadi, dan mereka tidak bisa menuduh lawan, karena bisa saja yang melakukannya Ormek dari golongan lain.

"Gue udah bilang ke Hilmi buat ngurus itu. sepertinya kita harus hati-hati pas penghitungan suara nanti. Gue punya feeling buruk."

Dino membenarkan ucapan Dika, ia pun sudah memprediksi jika nanti aka nada kejadian buruk saat penghitungan suara, apalagi golongan merah tidak lolos. Dan, hanya dua golongan yang mengikuti Pemira tahun ini.

"Lagian si merah telat banget ngerusuhnya. Harusnya kan pas ditetapin calonnya, bukan pas udah mau hari-H. Goblok dipelihara sih gitu, upil dikasih nyawa," maki Dika sambil terbahak. Ia heran sendiri dengan golongan merah di kampusnya yang suka membuat rusuh, golongan merah itu terdiri dari dua asosiasi dan bergabung dengan komunitas Ormek dari kampus lain dan selalu rusuh.

"Aika pulangin aja deh. Ntar kalau dia kenapa-napa. Bisa mampus gue digorok Bapaknya, nggak nyeremin sih Bapaknya tapi nakutin, denger-denger kan mantan Presiden BEM dulu."

Dino bergidik ngeri ketika mendengar cerita dari Mika dan Karyo kalau papa Aika mantan Presiden BEM di kampusnya dulu. Apalagi anak BEM zaman dulu dikenal sebagai motor perubahan yang benar-benar berani melawan, pasti papa Aika itu sosok yang hebat.

"Bukan cuma bokapnya yang mantan PresBEM. Lah lo lupa Abangnya dulu Pres BEM di sini? Abangnya kan pernah diundang pas kita ada acara upgrading dulu."

Dika menambahkan, mengingat sosok laki-laki bermata tegas dengan kemampuan berbicara yang baik. Erka, Satria dan beberapa anak lainnya yang juga berkumpul di situ berdecak kagum, pantas saja Aika memiliki kemampuan memimpin dan orasi yang bagus, ternyata keluarganya juga memiliki sejarah yang bagus.

"Aika, bangun. Lo harus pulang."

Darja menepuk bahu Aika, membangunkan cewek itu. mata Aika mengerjap-erjap, ia lalu menguceknya sebelum kedua matanya terbuka dengan sempurna. Aika menguap, menatap jam di pergelangan tangan kirinya.

"Wuanjirrrr, jam 11 dan kalian nggak bangunin gue? Mati gue belum izin sama Nyokap Bokap kalau pulang malem."

Aika menepuk dahinya, ia segera bangkit dari duduknya dan mengambil tas selempang yang diletakkan di atas meja.

"Anterin deh, Ja. Itu anak bisa oleng kalau pulang sendiri, sepeda motor lo biar di sini aja deh. Besok kan masih harus ngumpul di sini."

Dika memberi saran, Darja mengangguk singkat. Ia mengambil kunci motornya.

"Gue bisa minta jemput Karyo atau Papa," kata Aika. Ia hanya tidak ingin duduk berdua di atas motor Darja, pasti awkward.

"Woahhh gila lo nyuruh Bokap lo ke sini. Mati kita semua, si Karyo lagi. Kagaklah, lo pulang sama Darja."

"Ojeg online?"

"Sinting," sungut Dika melihat tajam ke arah Aika, tanda tidak ingin dibantah.

"Oke!"

Aika menghela napasnya. Ia kalah berdebat rupanya.

***

Darja memaksanya untuk tetap memakai jaket cowok itu. jaket berlogo klub sepakbola kesayangan Darja—Chelsea, melekat manis di tubuhnya. Aika membiarkan kaca helm-nya terbuka, menikmati udara malam kota yang sedikit lebih segar daripada saat siang.

Kedua tangannya hanya berpegangan pada ujung kaus polo yang dikenakan oleh Darja. Mana berani ia memeluk pacar orang? Dia bisa repot kalau saja ada yang marah.

Aika menikmati pemandangan lampu-lampu kota dan gedung-gedung menjulang beserta lampunya yang membuat polusi cahaya sehingga benda langit bernama bintang tak tampak. Ia teringat ucapan mamanya beberapa hari lalu, dan melupakannya sejenak saat tugas dari Pak Erfan membuat kepalanya pening dan butuh aspirin mendadak. Men-translate jurnal internasional dengan jumlah halaman hampir mencapain 200 dalam waktu satu minggu bukan hal yang mudah bukan. Mahasiswi memang semenderita itu.

"Ja..."

"Hmmm?"

Aika menarik napasnya. "Mama bilang sama gue, kalau gue belum move on bukan karena gue sesayang itu sama seseorang tapi karena gue masih penasaran."

Tubuh Darja sedikit menegang, Aika melanjutkan ucapannya, entahlah ia hanya ingin mengatakan hal itu pada Darja. Mungkin semesta menganggapnya konyol, tapi akan lebih konyol lagi jika ia terus diam atas perasaan yang seharusnya sudah ia bunuh sejak lama.

"Mama bilang gue belum ikhlas dan masih penasaran. Gimana semisal gue jadian sama cowok yang jadi cinta pertama gue, gue cuma penasaran karena enggak sempet jadian sama dia setelah dia bilang cinta dan pergi gitu aja. Menurut lo gimana, Ja? Mama gue bener nggak?"

Darja bernapas dengan sulit, kedua tangannya menggenggam kencang setang sepeda motornya, laju sepedanya sedikit memelan.

"Mungkin Mama lo bener," ucap Darja berat. Ia sedikit heran dengan Aika malam ini karena mau berbicara tanpa urat padanya. apa tadi cewek itu mimpi ketemu bidadara surga?

"Jadi gue harus nyoba hubungan sama dia setelah itu kita pisah biar gue nggak penasaran lagi dan biar gue bisa ngelupain dia?"

"Mungkin."

Aika tersenyum masam. Aneh, mereka seperti pura-pura tidak tahu siapa cinta pertama mereka sendiri. Percakapan yang membuat keduanya tidak nyaman.

"Gue harap dia mau bantu gue," kata Aika setelahnya.

Darja tidak menjawab. Atau mungkin ia belum memiliki jawabannya, apa yang harus dilakukannya untuk Aika? Mengobati rasa penasaran Aika? Lalu, ketika semuanya selesai, perasaan Aika padam dan menyisakan kenangan menyedihkan di antara mereka? Haruskah?

Darja melajukan sepeda motornya sedikit kencang, ia menarik kedua tangan Aika untuk melingkar di perutnya. Untuk malam ini, ia ingin melukapan segalanya. Melupakan segala kegilaannya karena telah menyakiti cinta pertamanya dan perasaan insecure-nya kalau ia menjadikan Aika pasangannya.

Tbc

QOTD: Apakah Aika akan jadian sama Darja?

Sori lama :D. lagi pusing mikirin murid-murid SMP yang warbyazah sekali, susah diatur, kurang menghargai gurunya dan kasusnya banyak yg eung cukup mengerikan. Semoga kalau ada anak SMP yang baca ini atau adek kalian masih SMP, semoga engga semengerikan itu ya.

Toloong tinggalkan jejak berupa komen :D

Ig: Aristavstories 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro