17. His Darkness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ia adalah pekat yang sulit untuk dijernihkan, gelap yang tak menemui terang, dan dingin yang tak kunjung bisa menjadi hangat.

Aika tersenyum lebar saat melihat Ega. Tadi, selepas menemui Mikha dan Karyo, Aika langsung ke tempat di mana ia membuat janji dengan Ega. Cowok itu melambaikan tangan padanya, di depannya sudah ada satu cangkir kopi hitam yang tampak pekat dan masih mengepulkan asap, menguarkan aroma yang kuat saat menemui indera pembau.

"Hei, bahagia banget kelihatannya?"

Ega tertawa singkat, Aika nyengir. Ia lalu memanggil pramusaji untuk memesan menu. Pilihannya jatuh pada salat buah.

"Enggak tahu. Malah lagi kesel."

"Loh, kenapa?"

"Ituloh si Didin. Bikin konsep acara aja nggak becus, kan gue sebel jadinya, Mas."

"Haha...maklumin aja, mungkin baru pertama kali bikin."

Aika mendengkus, baginya mau pertama atau kedua, tidak ada kata maklum jika acara besar yang dipegang. Karena itu sudah menjadi tanggung jawab, seharusnya Didin bisa lebih serius.

"Ngomong-ngomong Mas, gue boleh nanya?"

"Serius banget. Mau nanya apa?"

Aika mengacungkan kedua jarinya membentuk tanda damai. Dipandanginya Ega dengan was-was, di kepalanya, berseliweran banyak hal yang hendak ia ketahui dari Ega. Terlalu banyak pertanyaan sampai ia bingung memulainya dari mana.

"Ngg...kenal sama Darja udah lama ya?"

Ega menghela napasnya, ia menyeruput kopinya yang tak sepanas tadi. Cukup lama ia diam, matanya bergerak-gerak tidak tenang, seperti ada beban berat yang ia pikirkan.

"Dia sepupu gue. Darja, gue sama Erka itu sepupu."

Mata Aika membeliak, tampak keterkejutan di wajahnya, ia baru mengetahui satu fakta ini, entah seberapa banyak rahasia Darja yang tidak diketahuinya. Aika tidak mau menduganya.

"Lo serius, Mas?"

Ega terkekeh geli, memainkan sendok kecil yang tadi ia gunakan untuk mengaduk kopi. Matanya menatap Aika dalam, cewek unik yang sudah mencuri perhatiannya semenjak pertama kali bertemu.

"Gue kelihatan bohong emang?"

Aika menggeleng. Ega kelihatan serius.

"Hubungan gue sama Darja nggak baik. Ini masalah keluarga sebenernya, tapi karena gue lihat lo deket sama Darja, kayaknya gue perlu cerita."

Aika tampak meringis. Dekat dengan Darja? Dalam hal? Hati? Tidak rasanya, hubungan pertemannya dengan Darja pun terasa sangat dingin. Aika tidak paham definisi dekat yang dikatakan oleh Ega.

"Darja sakit. Post traumatic stress disorder. Lo tahu kan?"

Bukan hanya matanya yang membeliak, Aika sampai menutup mulutnya, tampak sekali ia terkejut. PTSD bukan hal yang bisa dianggap ringan, PTSD adalah salah satu penyakit jiwa yang tidak bisa disembuhkan, trauma itu bisa terjadi seumur hidup dengan intensitas tertentu.

"Dia takut sama susu, karena punya kenangan buruk sama susu. Gue nggak bisa cerita banyak, tapi gue rasa lo harus tahu itu. hubungannya dengan keluarga besar gue nggak baik, apalagi sama nenek gue. Buruk, Darja seperti bukan cucu nenek gue. Dia tertekan selama ini, bahkan saat gue mencoba mendekat, dia selalu ngejauh, dia nggak pernah welcome buat gue."

"Te—terus?"

Suara Aika seperti tercekat, ia memandang Ega dengan raut wajah sedih.

"Semenjak mamanya meninggal, Darja tidak lagi mengenal sosok ibu, dia tumbuh tanpa peran orang tua yang baik. Makanya jangan heran kalau misalnya dia nggak bisa treat pacarnya dengan baik, ya karena emang nggak ada yang ngajarin dia gimana cara bersikap dengan baik. Apalagi tekanan dari nenek gue."

Ega menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengingat bagaimana perilaku neneknya pada Darja. Darja yang seharusnya mendapat dukungan malah mendapat tekanan secara terus menerus, hal tersebut bukannya membuat keadaannya lebih baik malah semakin memperburuk keadaan Darja.

Aika tidak bisa berkata apa-apa, ia masih terkejut dengan hal yang diceritakan oleh Ega. Tidak menyangkan hidup Darja segelap itu, mungkin masih banyak rahasia yang belum ia ketahui tentang Darja, tapi kenyataan itu seakan menamparnya dari anggapannya tentang Darja selama ini.

"Apa trauma Darja ada hubungannya sama kematian mamanya?"

Ega menghela napasnya, ia tersenyum tipis pada Aika.

"Gue nggak bisa ngasih tahu lo. Biarin Darja cerita sendiri sama lo kalau dia mau."

Aika mengangguk mengerti. Tidak ada percakapan setelahnya, Ega seakan-akan memberinya jeda untuk mengatasi rasa kagetnya karena mengetahui satu rahasia besar mengenai Darja.

"Ka..."

Aika mendengak setelah menelan buah stroberi yang ia makan.

"Lo mau ngasih kesempatan buat gue lebih deket sama lo nggak?"

"Maksudnya?"

Ega menutup matanya sejenak, cowok bermata tajam itu menatap Aika lekat-lekat.

"Lo tahulah, gue punya perasaan lebih buat lo."

Menelan buah kiwinya dengan susah payah, Aika tak berani membalas tatapan Ega. Ia bingung harus memberi jawaban apa untuk Ega, menolak secara langsung juga tidak enak. Menerimanya juga ia belum memiliki perasaan untuk Ega, hanya terbatas pada rasa kagum akan sifat Ega yang menyenangkan.

"Gue nggak tahu, Mas. Gue nggak mau janjiin apa-apa. kalau gue bilang iya, tahunya perasaan gue bilang enggak, sama aja munafik. Kalau gue bilang enggak tahunya ntar gue suka sama lo, sama munafiknya juga."

"Lo nyaman sama gue?"

Mengigit sendok yang ia gunakan untuk makan buah, Aika mengangguk. Ia tidak berbohong, ia memang merasa nyaman dengan Ega. Cewek gila mana yang nggak nyaman jika ada yang memberinya perhatian seperti yang Ega berikan kepadanya? Bukan jenis perhatian alay seperti 'kamu sudah makan' atau 'lagi apa?'. tapi, Ega selalu memberinya solusi saat ia membutuhkan, Ega adalah sosok yang baik dan dewasa, sejauh ia mengenal Ega.

"Oke, gue nggak akan maksa lo. Biarin semuanya kayak biasa aja, kita udah dewasa kan? Nggak baik maksa-maksa."

Ega terkekeh, membuat Aika mendengus, dan memukul pelan tangan cowok itu.

***

"Ja! Ini konsep yang udah gue revisi, dari si Didin."

Darja menerima selembar kertas yang diangsurkan oleh Aika. Ia tampak mencermati isi konsep itu, beberapa hal disetujui olehnya, namun tampak masih menjadi pertanyaan.

"Rektor nggak usah dijadiin pemateri, nggak menarik. Mahasiswa udah pada bosen ngelihat Pak Rektor. Gue saranin buat nyari tokoh yang bener-bener lagi digandrungi sama masyarakat. Najwa Sihab misalnya."

Aika memutar bola matanya, "Eh Ikan Tongkol, lo nggak mikirin sumber dananya hah? Kita Cuma dijatah dua ratus juta untuk semua program kerja, dan itu harus dibagi-bagi buat banyak acara, kalau semua lo masukin ke seminar nasional, proker lo yang lain mau lo kemanain?"

"Kan ada sponsor. Jangan kayak orang susah. Sponsor banyak."

Aika menoyor Darja karena gemas, sponsor banyak katanya?

"Waktu lo mepet, Ja."

"Nggak ada yang nggak bisa buat gue," kata Darja enteng. Jangan meremehkan seorang Darja Djalasena Sastrakusuma. Ia adalah seorang penguasaha muda yang memiliki banyak kenalan pengusaha muda lain. Mereka pasti bisa dilobi untuk menjadi sponsor acaranya kali ini.

"Ini daftar kontak bos-bos perusahaan, lo minta si Didin buat nyerahin ke ketua pelaksana, biar mereka yang menghubungi. Bilanga aja urusannya sama Darja."

Aika membulatkan mulutnya, Darja mengeluarkan banyak kartu nama dari dalam tasnya, berjumlah puluhan.

"Jangan lupa suruh sekretaris lo yang kerjaannya pake alis kayak ulet bulu itu buat bikin proposal!"

"Lo—dapet ini darimana?"

Darja mengangkat kedua bahunya, geli melihat keterkejutan di mata Aika. "Lo cantik kalau kayak gitu."

Aika melihat aneh ke arah cowok itu, tangannya sontak menyentil dahi Darja.

"Lo ngalihin pembicaraan."

"Siapa? Gue?"

Aika mengangguk. "Nggak kali ini aja bahkan. Lo selalu mengalihkan pembicaraan sama gue. Gue bahkan merasa hidup lo terlalu abu-abu setelah lo pergi dari rumah lama lo."

Darja terdiam, ia tersenyum kaku. Badannya bersandar pada kursi yang ia duduki, mereka sedang berada di ruang kerja Ormawa, tidak ada yang lain, hanya tersisa mereka berdua di sana.

"Hidup gue bahkan terlalu gelap buat lo tahu."

Aika tersenyum miring, "Iya. Lo sakit, Ja. Lo punya sakit kan? Lo punya trauma! PTSD," kata Aika, ia kelepasan mengatakan hal tersebut pada Darja. Mungkin karena kesal.

Darja membuka matanya, menatap tajam pada Aika. "Tahu darimana lo?"

"Mas Ega," jawab Aika membuat Darja mendengus. Cowok itu meremas kertas yang tadi diberikan Aika, membuangnya ke sembarang arah. Tampak ia menahan emosi yang tiba-tiba meluap.

"Punya hubungan apa lo sama dia? Lo deket sama dia?"

"Kalau iya kenapa?"

Aika semakin menantang membuat Darja benar-benar dibakar emosi, cowok itu mendekat pada Aika, memegang dua bahu Aika dengan keras.

"Lo bisa deket sama siapa pun asal bukan Ega. Lo ngerti? Dan satu lagi, jangan coba-coba buat menggali kehidupan gue!"

Aika tertawa sumbang, cewek itu menyentak tangan Darja dari bahunya. "Lo egois, lo nggak berhak ngelarang gue buat ngatur kehidupan pribadi gue, Ja!"

"Gue bilang, lo boleh deket sama siapa pun kecuali Ega. Lo paham nggak sih?"

"Kenapa?"

Aika bertanya dengan pandangan nanar, bahu Darja naik turun, cowok itu mengusap wajahnya kasar.

"Saat semuanya seharusnya bisa lo dapetin tapi kenyataannya nggak bisa lo dapetin karena semuanya udah dikasih sama orang lain itu sakit, Ai. Lo nggak akan pernah tahu rasanya. Gue nggak pengin satu hal berharga dala, hidup gue harus diambil lagi sama Ega, gue nggak bisa, Aika."

Darja terduduk di kursi, cowok itu tampak rapuh di mata Aika.

"Kenapa? Gue nggak berharga dalam hidup lo, nggak pernah berharga sampai lo bisa ngebuang gue seenaknya, lo ninggalin gue seenaknya setelah lo bilang lo sayang sama gue. Lo udah nyakitin gue, Ja. Kalau Ega bisa bikin gue bahagia kenapa nggak?"

"Lo nggak akan tahu rasanya, Ka!"

Darja mengusap matanya, tiba-tiba ada perih yang menusuk matanya.

"Iya gue nggak tahu karena lo nggak pernah mau ngasih tahu. Gue di sini, Ja, sebagai sahabat lo dari kecil. Lo nggak sendiri di dunia ini, ada gue. Lo tahu itu!"

Darja menarik Aika dalam pelukannya, ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Aika. Nyatanya, tidak pernah ada yang benar-benar tinggal di sisinya, termasuk mamanya yang meninggalkan dirinya dengan setumpuk penolakan dari keluarganya. Rasanya menyakitkan. Kehadirannya tidak diterima.

"Gue sendiri sejak mama ninggalin gue, Ka. Gue nggak punya siapa-siapa, gue nggak diterima."

Aika terdiam kaku di pelukan Darja, ia memejamkan matanya, meresapi luka Darja selama ini. Aika tidak tahu banyak hal tentang Darja. Darja adalah pekat yang sulit untuk dijernihkan.

"Gue ada buat lo, lo nggak sendirian. Gue ada sebagai....sahabat kecil lo, Ja," kata Aika tercekat. Darja tidak mengatakan apa-apa, cowok itu tidak menangis, tapi dadanya terasa sesak.

Waktu mengabadikan luka, tapi waktu tidak pernah mengabadikan bahagia. Begitu hal yang selama ini dikenal oleh Darja, kehilangan dan penolakan cukup membuat dirinya kehilangan arah.

----------

thanks for stay :) kalau kamu pengin berbagi atau mengenal tentang kesehatan mental, kamu bisa follow sisilainkita_ di IG. free buat curhat.

ig: aristav.stories 

nggak usah komen nggak papa. biar gue makin lama upnya wkwk, eh gak ding. gue emg beneran sibuk, ini lagi suntuk aja makanya up.

belum gue edit btw

bye

bye


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro