23. Cukup Kamu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika ternyata, semesta hanya mengizinkan kita bersama untuk sementara, aku akan tetap bahagia, setidaknya aku dan kamu pernah menjadi kita.

Acara seminar nasional yang menjadi salah satu proyek besar BEM Universitas berjalan dengan lancar, membuat kedua sudut bibir Aika terangkat, ia tampak puas dengan hasil kerja teman-temannya hari ini. Darja sendiri masih sibuk melakukan evaluasi terhadap tim panitia, berdiskusi mengenai kekurangan acara yang tidak begitu banyak. Setidaknya acara mereka hari ini berjalan dengan baik, sesuai dengan apa yang diharapkan.

"Tolong si Dekdok diperhatikan untuk pengeras suara di lain acara, pastikan benar-benar siap untuk digunakan, gue nggak mau kejadian pengeras suara yang sempat terkendala kayak tadi, sangat nggak professional," kata Darja, matanya menatap lurus pada beberapa panitia sie dekorasi dan dokumentasi.

"Gue masuk ya. Kemarin pas kita geladi bersih, semuanya sudah siap, nggak ada masalah sama pengeras suara, kita juga udah hubungin Pak Narto yang bertanggung jawab dengan alat-alat itu, cuma emang tadi pagi kita nggak sempet ngecek, lagian ini juga tugasnya perkab bukan kita aja."

Akbar koordinator sie Dekdok bersuara, Darja mengangguk-anggukkan kepalanya. Cowok itu mengembuskan napasnya sejenak sebelum mengeluarkan suaranya lagi.

"Lain kali sebelum acara dimulai, walaupun sudah geladi bersih, kalian tetap wajib untuk mengecek semua alat-alat yang penting untuk jalannya acara. Jangan main lempar kesalahan, harus dikoordinasikan!"

Akbar mengangguk setuju. Darja menoleh pada Aika sekilas, memberinya kode untuk berbicara, karena sejak tadi cewek itu hanya diam, entah apa yang tengah melanda pikirannya.

"Oh iya, evaluasi buat tim humas, tadi kalian telat menyambut pemateri di depan, jadinya gue yang harus handle, lain kali tolong jangan diulangi, kalau misalnya ada kendala tolong segera dikomunikasikan, kan juga sudah disediakan HT untung masing-masing coordinator."

Aika tampak serius dengan ucapannya, cewek itu memegang sebuah catatan kecil yang berisi bahan untuk mengevaluasi teman-temannya. Ia mudah lupa, sehingga harus mencatatnya agar tidak ada yang terlewatkan.

"Iya, tadi memang salah komunikasi. Seharusnya gue yang menjemput, tapi karena gue ngebantu mindahin kotak makanan ke atas makanya telat," kata Wahyu memberi pembelaan.

"Kalian kan udah ada job desk-nya masing-masing, boleh ngebantu asal nganggur, kalau ada tugas, kan masih bisa dibantu sama yang lain," sahut Darja, Wahyu tampak mengangguk.

***

Aika membuang napasnya kesal, hari pertama UAS membuat kepalanya seperti mengeluarkan asap. Susah-susah dia belajar materi presentasi kelas dan beberapa buku perkuliahan tapi soal yang keluar sungguh sial sekali. Tidak ada satu pun yang masuk sesuai apa yang ia pelajari.

Aika mengacak-acak rambutnya, meminum jus dengan brutal sambil mendumel sejak tadi. Mikha pun tak jauh beda, cewek itu juga tampak mengenaskan. Dosennya benar-benar menguji mereka hari ini.

"Persetan sama IP, bodo amat gue Mik, dapat C juga biarin, bodo amat, huhu stress gue sumpah," dumel Aika dengan bibir mengerucut, lalu ia meminum jusnya lagi.

"Bener-bener Si Bapak Dosen yang maha ganteng tapi ujiannya sungguh terlalu, Astaga Tuhanku, apa dosa hambamu?" Mikha mengimbuhi.

Seseorang datang, meletakkan tas ranselnya di atas meja, bergabung dengan Mikha dan Aika, ia membawa satu kaleng soda yang sudah dibuka. Cowok itu menumpukkan kedua tangannya di bawah dagu, memerhatikan Aika dengan ekspresi geli. Ia duduk bersama beberapa temannya, tadi sewaktu Aika datang dengan wajah lesu bersama Mikha.

"Gimana UAS-nya?"

Aika mendengus, menatap Darja sekilas, lalu sibuk meminum jusnya lagi. Ia butuh sesuatu untuk meluapkan rasa suntuknya.

"Malah bikin stress," katanya singkat.

"Harusnya sih dosen yang ngerti ilmu psikologis gitu nggak bikin mahasiswanya stress," sahut Mikha.

Darja tertawa sesaat, cowok itu meminum soda yang tadi dibawanya. Setelah tandas, ia meletakkan soda itu di atas meja lagi, nanti akan ia bawa setelah beranjak.

"Nggak semua orang yang mengerti ilmu tersebut juga menerapkannya di kehidupannya, Ka. Karena kadang, ilmu hanya untuk dipelajari dan manusianya sendiri enggan untuk menerapkan."

Darja berkata dengan tegas, faktanya memang begitu kan? Termasuk dirinya sendiri. Darja mengerti banyak ilmu tentang psikologis manusia dari hasil belajarnya selama ini, tapi untuk menerapkan, rasanya susah sekali. Bukan karena tidak ingin, tapi terkadang karena manusia terlalu nyaman dengan sikapnya sebelum ia memahami jika itu salah, dan ketika tahu ia salah, sifat-sifat lamanya itu kerapkali masih terbawa, karena sudah menjadi kebiasaan.

"Aduh Kak Darja, coba lo jomlo, mau deh gue daftar jadi cewek lo," kata Mikha sambil terkikik, Aika memandangnya tajam.

"Oooo...mau jadi temen makan temen?"

"Yahhh....kalau kalian putus, boleh deh gue daftar."

Mata Aika membeliak, ia mencubit tangan Mikha sedikit kencang, hingga membuat Mikha memekik kesakitan, kulit putihnya sontak memerah akibat cubitan ganas dari Aika.

"Mulut lo ya, Mik? Doanya kok gitu sih..."

"Canda doang..."

Darja yang sejak tadi diam memerhatikan dua cewek itu lantas melengkungkan kedua sudut bibirnya, cowok itu menatap wajah Aika dengan ekspresi jenaka. Ia sedikit memiringkan kepalanya, memerhatikan wajah Aika yang tampak lucu.

"Jadi, cemburu?"

Aika menolehkan kepalanya ke arah Darja, kedua bola matanya memerhatikan bagaimana ekspresi geli tergambar di wajah cowok itu, membuang dengusan Aika sekali lagi keluar, lama-lama ia merasa seperti sapi—terlalu banyak mendengus. Aika mulai berpikir konyol.

"Siapa yang cemburu?" elaknya, enggan menatap ke arah Darja.

"Pacar guelah, siapa lagi?"

"Emang pacar lo siapa?"

Aika memutar kedua bola matanya, bulu matanya yang tidak lentik itu mengerjap beberapa kali setelahnya. Bibirnya mengerucut, Darja membuatnya bertambah kesal saja.

"Ooo...jadi nggak diakui?"

Memicingkan matanya, Aika memilih untuk tidak menjawab, ia malah memakan batagor yang sejak tadi ia anggurkan, perutnya sudah demo minta diisi.

"Mon maap yak, mon maap aja nih sodara, kenapa gue jadi kayak kambing congek rasa obat nyamuk cap sapi ya di sini?" seloroh Mikha, menatap malas dua orang yang sedang kasmaran—melakukan perdebatan yang sama sekali tidak penting—di depannya.

"Haishhh, pulang yuk Mik. Gue pulang dulu," ucap Aika, menggandeng Mikha untuk berlalu, ia tak menghabiskan sisa batagor di piringnya, membuat Darja geleng-geleng kepala.

***

Kedua anak manusia itu sibuk memakan makanan mereka masing-masing, ditemani lagu lawas milik Justin Bieber—Down to Earth, dan suasana malam di Kota Jakarta membuat, suasana tercipta lebih nyaman. Balkon apartemen Darja belakangan ini menjadi tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu, membicarakan banyak hal, mulai dari mata kuliah yang akan Aika tempuh di semester depan, masalah organisasi hingga makanan-makanan yang sedang hits di Jakarta. Berbicara dengan Darja, seakan tak mengenal kata usai, cowok itu lebih ekspresif belakangan ini, apalagi semenjak ia rutin mengikuti sesi terapi, kondisinya pun sudah jauh lebih baik.

"Gue nggak tahu bisa pulih apa enggak kalau lo nggak ada dan nggak ngedukung gue, Ka."

Aika menoleh, menatap Darja dengan saksama, entah mengapa tiba-tiba rasa sesak menyergap. Membayangkan kehidupan Darja selama ini, bagaimana seorang anak tidak mengenal kedua orang tuanya sendiri? Ia hidup dalam sepi, dan ketakutan. Aika masih bersyukur, Darja bisa bertahan sejauh ini, setidaknya, Darja tak menyerah pada rasa sakit dan berakhir dengan bunuh diri misalnya.

"Gue bakal ada di samping lo sampai kapan pun."

Darja mengela napasnya, "setiap kali gue pengin menyerah dan mengakhiri hidup gue sendiri, bayangan Mama, tangis Mama selalu menari-nari dalam kepala gue, karenanya gue bertahan Aika, dan elo...setiap kali gue ingin menyerah, sosok di masa kecil yang selalu jadi alasan gue tersenyum seakan-akan menyemangati gue untuk tetap bertahan."

"Gue tahu, Ja. Lo orang yang kuat, makanya lo bisa bertahan sampai hari ini. Bukan karena mama lo atau gue, tapi karena diri lo sendiri."

Darja tersenyum lebar, ia meraih tangan Aika yang tidak memegang sendok, ia genggam tangan itu dengan erat, matanya menatap dalam pada bola mata Aika, sorot matanya seakan ingin bercerita tentang kesedihan, kegelisahan dan segenap luka yang hadir dalam hidupnya selama ini.

"Manusia kayak gue emang Cuma butuh dukungan dan kehadiran orang-orang yang peduli kayak lo, Ka. Gue nggak butuh apa pun, kepedulian dan dukungan lo cukup buat gue."

Darja tersenyum getir, selama ini yang ia butuhkan memang bentuk dukungan dan kehadiran seseorang yang peduli padanya, bukan rasa hampa dan cacian seperti yang ia terima dari keluarganya selama ini.

"Gue cinta sama lo, lo harus ingat itu."

"Gue geli...lo ngomong cinta gitu, udah deh gue tahu kok, nggak perlu diomongin terus."

Aika tergelak, lalu meminum air putihnya.

"Lo nggak bisa diromantisin ya?"

Aika menggeleng, melempar Darja dengan tissue, "najis."

Dari Darja, Aika banyak belajar untuk lebih memaknai hidup, untuk lebih bersyukur pada sang kuasa, sebab ia selalu dilimpahi cinta yang luar biasa. Ia berjanji untuk tak lagi mengeluh saat ini, Darja membuatnya sadar, keluarga adalah segalanya. Meski tak mengucapkannya, tapi Aika tahu, dalam hatinya yang paling dalam, Darja merindukan sosok keluarganya.

***

Darja melangkah dengan penuh debar memasuki rumah besar di kawasan Menteng, rumah milik Aika. Ini adalah minggu sore, ia berencana berangkat menuju Bandung untuk sehari menginap, agar seninnya tidak telat masuk kantor yang akan menjadi tempatnya magang, masih ada beberapa administrasi yang harus ia urus di hari pertama magang.

Hari ini, untuk pertama kali ia akan bertemu dengan kedua orang tua Aika, mungkin bukan kali pertama—namun pertama kali setelah pertemuannya lagi dengan Aika.

"Maa....Darja udah dateng," teriak Aika, sewaktu melihat Darja berdiri kaku di depan pintu utama rumahnya. Cewek itu memamerkan cengiran lebar, poni baru yang menghiasi dahinya membuat Aika tampak seperti bocah SMP yang baru saja bertemu dengan pangeran sekolah.

"Husttt, kamu ini ngapain sih teriak-teriak, anak gadis loh, ngidam apa mama punya anak kayak kamu?" omel mamanya, membuat Darja tersenyum tipis dan Aika mengerucutkan bibirnya.

"Kata Nenek, Mama malah lebih parah," ungkapnya membuat Aika mendapat cubitan kecil di pipinya dari sang mama.

"Sudah-sudah, ayo Nak Darja, mari masuk."

Keya mempersilakan Darja untuk masuk ke dalam rumah besarnya. Tampak sekali suasana kehangatan tergambar di dalam rumah ini.

"Om ada di ruang tengah, ayo masuk. Aika buatkan minum untuk Nak Darja," perintah Keyana, yang kemudian diangguki oleh Aika.

Mama Aika itu membawa Darja ke ruang tengah, beberapa lukisan bermotif pohon pinus menggantung di dinding yang bercat cokelat muda, karpet halus tergelar di tengah-tengah ruangan, di atasnya ada satu set sofa beserta meja yang tampak nyaman untuk di duduki. Berbagai piala dan penghargaan terpajang di lemari, lalu ada sebuah foto keluarga berukuran cukup besar yang membuat kesan hangat sangat terasa. Seorang pria dewasa dengan kacamata bacanya tampak sibuk dengan sebuah buku tebal yang sudah separuh dibacanya. Wajah pria itu tegas, namun tampak hangat disaat yang bersamaan.

"Paa...iniloh Darja, yang Mama ceritakan kemarin," kata Keyana, membuat pria itu menoleh pada sosok yang sedang berdiri di sisi kiri Keyana.

Pria itu—papa Aika meletakkan buku tebalnya, ia berdiri mempersilakan Darja untuk duduk, seutas senyum mengembang di wajahnya. Rambutnya yang masih tampak hitam di usianya yang tak lagi muda menandakan bahwa pria itu hidup dengan sehat dan baik.

"Darja?"

Darja mengangguk, sosok yang diketahui Darja pernah menjabat sebagai Presiden Mahasiswa—sama sepertinya itu memang tampak berwibawa, tidak salah, sifat cerdasnya dalam berorganisasi menurun pada Aika dan kedua kakak Aika.

"Iya, Om, bagaiamana kabarnya?"

Darja membuka percakapan. Jiver tertawa, pria itu mengamati Darja, ia bukannya tidak tahu Darja sedang gugup, hanya saja, sepertinya Darja bisa mengatasinya dengan baik.

"Saya sehat, bagaimana kabar papamu? Saya lama tidak bertemu dengan papamu."

Menelan ludahnya, Darja tersenyum kaku, "baik, Om."

Ia asal menjawab, membuat Papa Aika itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka lalu larut dalam beberapa obrolan ringan, sampai Aika datang, dan meletakkan tiga cangkir minum beserta beberapa toples camilan untuk dihidangkan.

"Papa kasih Darja nasihat dong, biar semangat hidupnya. Lihat tuh, mukanya kayak baju yang nggak pernah kena setrikaan, kesel akutuh, Pa."

Mama mendelik pada Aika, anaknya ini benar-benar...

"Nasihat apa? Darja sudah lebih baik, yang penting kamu selalu ada untuknya, itu cukup, Darja hanya buruh itu," ujar papanya sambil tersenyum. Darja mengangguk sungkan.

Obrolan kembali terjalin, membahas seputar organisasi di kampus dan hal-hal yang sedang menjadi trending, Darja tampak menikmati obrolan itu. keluarga Aika benar-benar membuatnya merasa diterima. Doanya mungkin baru saja dikabulkan oleh Tuhan melalui keluarga Aika.

tbc

tinggal beberapa part lagi hiks :v kayaknya nggak nyampai part 30 deh ehehe :v dan tolong jangan tanya kapan gue UP Ketua Senat. Sabar napa, gue kelarin yang ini dulu weh -_-''

OH IYA, yang mau lihat pembahasan gue tentang mental illness dan teman-temannya, bisa lihat sorotan gue berjudul 'Counselor Daily' di ig pribadi gue ya, aristavee. Kalau tentang PTSD bisa dilihat di aristavstories, ngelihat doang, nggak harus follow, itu sih suka-suka lo aja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro