3. Darja dan Sikap Kurangajarnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Minal aidzin walfaidzin mohon maaf lahir dan batin. Beri 200 komens buat lanjut :p anggap aja THR wkwk. Pada mabok ketupat sama opor belom?
***

Jangan sok mengungkit masa lalu, kalau akhirnya lo nggak mau tanggung jawab saat gue gagal move on.

Aika tidak tahu harus membuka percakapan apa dengan Darja. Cowok itu juga terus bungkam semenjak tadi, menyisakan udara dingin--embusan angin, asap kendaraan dan riuh keramaian jalanan.

Sekeras apa pun Aika membantah ia akan tetap kalah dan pulang dengan Darja. Cowok yang disukainya itu mungkin telah berubah banyak. Sempat terlintas di pikirannya, mungkin ia kualat dengan Darja di masa lalu. Darja yang dulu terang-terangan mendekatinya dan ia yang terang-terangan menolaknya membuat sesal sempat menghuni hati Aika, karena kini semua berbanding terbalik dengan perhatian yang dulu Darja berikan.

"Rumah lo masih sama?"

Darja bertanya dari balik helm putih yang ia kenakan.

"Iyalah, yakali mendadak pindah," balasnya setengah menyindir Darja.

"Oh."

Aika menerawang jauh, suara bising jalanan membuat ingatannya berhenti pada titik di mana Darja sedang menunggunya di taman kompleks, dengan sekotak susu UHT yang selalu cowok itu bawa kemana-mana dan senyum yang mampu membuat Aika malu-malu sekaligus gemas akan sikapnya.

"Aiiii...baru pulang?"

Darja berteriak, di sampingnya Rano--teman Darja hanya cekikikan sambil mengedip genit pada Aika. Aika yang saat itu mengayuh sepeda berwarna pink miliknya malah melengos, tak mau menyapa balik Darja.

"Aikaaa... nanti aku ke rumahmu ya!"

Aika mengendikkan bahunya, meninggalkan Darja begitu saja. Sampai akhirnya sebuah pesan sms masuk bersamaan dengan tibanya Aika di rumah. Saat itu Aika kelas satu SMP sedangkan Darja kelas dua--beberapa hari sebelum Darja menghilang begitu saja. Saat SMP, Darja dan Aika memang beda sekolah, dan Darja juga lebih sering pulang duluan daripada Aika.

Darja: cantik, kok melengos gitu?

Aika menghela napasnya. Ia mengetik pesan balasan untuk Darja.

Aika: suka-sukalah.

Darja: kenapa?

Aika: tahu ah.

Darja tak lagi membalas membuat Aika sedikit kepikiran. Apa cowok itu marah padanya?

"Ai, ngapain di situ? Cepet masuk, ganti baju dan makan!" perintah mamanya membuat Aika segera masuk ke dalam rumah.

Ingatan itu mau tak mau membuat dada Aika sesak. Efek Darja masih sebesar itu padanya. Andai waktu dapat diputar, mungkin Aika akan sedikit melunak pada Darja.

Memejamkan matanya, Aika meresapi lebih dalam aroma Darja yang sedikit tajam namun menenangkan. Membuatnya betah berlama-lama berada di belakang cowok itu.

"Kenapa lo berhenti?"

Aika bertanya, setelah ia sadar Darja menghentikan motornya--namun bukan di depan rumahnya. Melainkan di depan sebuah taman di kompleks rumahnya.

"Loooo--"

"Turun!"

"Gue mau pulang bukan mau ke sini. Ngapian ke taman? Mau mejeng lo? Kagak ada cewek cantik di sini, adanya kunti. Mau lo?"

Darja mengendikkan bahunya, ia menggandeng tangan Aika. Mendudukkan cewek itu di bangku taman--tepat di dekat air mancur yang ada di taman itu.

"Lo ngapain sih ke sini?"

"Nostalgia."

"Apa?"

"No repeat."

Darja berdecak sebal, membuat kemarahan Aika timbul. Cewek itu berdiri dari tempat ia duduk, menatap tajam ke arah Darja.

"Loo! Jangan pernah sekali-kali mengungkit hal nyebelin yang nggak pernah mau gue inget. Lo tahu Darja? Lo adalah hal paling buruk dalam hidup gue. Gue benci sama lo. Paham lo?"

Darja tersenyum menyebalkan--lebih mirip senyum setan di mata Aika.

"Bukannya gue hal terindah dalam hidup lo?"

Aika memelototkan matanya. Cewek itu bergerak mendekati Darja, rasa geramnya sudah menjadi-jadi, dengan kesal, Aika menendang tulang kering Darja sebelum berlari meninggalkan cowok itu. Kebetulan rumahnya tak berjarak jauh dari taman, hanya sekitar 200 meter. Ia tak peduli pada Darja yang mungkin kesakitan atau Darja yang besok akan marah padanya. Ia benar-benar membenci Darja lebih dari apa pun saat ini.

***

Karyo menatap Aika dengan malas. Setiap galau karena sesuatu, cewek itu pasti memalaknya habis-habisan sampai menghabiskan jatah makannya tiga hari. Dengan malas, Karyo merebut kentang large McD yang ketiga, yang baru akan dimakan oleh Aika.

Mereka sedang nongkrong di McD dekat kampus usai menghabiskan dua jam untuk mata kuliah psikologi umum.

"Karyo My Bebiiiii, masa lo nraktir Aika doang? Gue kan juga mauuuu!"

Mika yang entah dari arah mana tiba-tiba muncul dengan cengiran lebarnya. Karyo menahan napas saat cewek itu datang. Mengucapkan selamat tinggal pada dompet awal bulannya yang baru saja menebal, karena setelah dua dedemit rasa tuyul itu muncul, sudah dipastikan dompetnya akan kering kerontang setelah ini.

"Ajor Lur, ajor!"

Desah Karyo dengan bahasa ibunya. Mika terkikik sementara Aika memutar bola matanya, Karyo terlalu lebay untuk bersikap. Toh jika ia bilang isi dompetnya habis, ayahnya akan dengan senang hati mentransfer tanpa menunggu anak laki-lakinya merengek kelaparan. Dan, Karyo juga lebih sering numpang makan di rumahnya saat sedang krisis.

"Muka lo kenapa sih Aika. Nggak pantes tahu nggak? Lo cemberut macem istri yang nggak dikasih jatah."

Mika nyerocos setelah mencomot kentang milik Aika.

"Yo, beliin gue makan dong. Paket panas 2 aja deh, sama kentang large 1,terus tambah es krim oreo, apa itu namanya, lupa gue. Mcflurry? Eh itulah pokoknya. Buruan!"

Mika meminta dengan tidak santai, membuat Karyo,  mau tak mau menuruti mau cewek itu, daripada Mika membogemnya dengan tinjuannya yang maha dahsyat. Ia memilih untuk mengalah.

"Dasar Nyi Blorong!" dengus Karyo sebelum cowok itu beranjak.

"Cerita sama gue lo kenapa."

"Darja, nyebelin. Gue sebel sama Darja," ucap Aika tanpa Mika harus menunggu lama.

"Dia apain lo?"

Aika mengendikkan bahunya, mencomot lagi kentangnya tanpa mau berpikir lama.

Ting ting

Beberapa pesan whatsapp masuk secara bersamaan.

Darja Brengsek: lo di mana? Dika, Dino sama anak-anak lain ngajakin rapat buat bahas majunya kita ke Pemira.

Aika: McD.

Darja Brengsek: lo ke kampus sekarang apa gue jemput?

Aika: brengsek lo.

Aika menutup ponselnya. Menatap pada Mika sejenak sebelum berdiri.

"Gue mau ke kampus, ada urusan bentar."

"Lah. Lo ninggalin gue sama Karyo."

"Iye. Duluan."

Aika melambaikan tangannya kemudian berlalu. Menyetop taksi yang lewat--karena ia buru-buru dan juga tidak membawa sepeda motornya, lagi pula jika naik taksi paling akan habis sekitar lima belas ribuan, karena jarak kampusnya dengan McD memang dekat.

Begitu turun dari taksi, Aika segera menuju gedung Ormawa, tempat Darja dan beberapa seniornya sudah berkumpul. Dengan muka malas menatap Darja, Aika duduk di samping Dika yang sedang menghabiskan rokoknya. Mereka berkumpul di dalam sekretariatan BEM F Psikologi, markas sementara untuk mengusung Darja dan Aika. Sebenarnya markas diam,

"Wah, Bu Pres BEM kita dateng cui," seloroh Dino menatap jahil pada Aika.

"Sialan lo. Mas."

"Haha...oke oke karena semua sudah ngumpul. Ayo kita segera bahas langkah selanjutnya dan membentuk timses."

Dika mulai dengan serius. Cowok itu mematikan rokoknya sebelum membuka rapat intern dengan tim yang akan mengusung Aika dan Darja.

"Jadi, gue udah ngomongin ini sama Dino, kebetulan kan dia dari Fakultas Ekonomi. Bisalah nyari basis di sana, masalah persyaratan minimal 500 KTM anak-anak buat maju, itu sih gampang bisa diatur. Timses kita kebetulan udah ada di semua fakultas."

Dika memberi penjelasan. Beberapa anak yang sedang berkumpul diam mendengar apa yang Dika sampaikan.

"So, Aika lo udah ikut LKKTM sama LKKTD kan?"

Aika berpikir sejenak. Ia memang sudah ikut LKKTD dan LKKTM sebagai salah satu syarat untuk maju dalam Pemira. Namun, ia lupa di mana menaruh sertifikatnya.

"Udah sih, cuma gue lupa naruh sertifikatnya. Coba ntar gue cari di rumah."

Darja melirik ke arah Aika sejenak, lalu kembali fokus menatap Dika. Sementara Aika masih mengingat-ingat di mana ia menaruh sertifikat itu.

"SK Ormawa fakultas lo sama Darja udah ada di tangan gue. Tinggal masukin aja ke berkas pendaftaran, KPU baru aja dibentuk kemarin dan pendaftaran dibuka dua minggu lagi. Masih ada banyak waktu buat persiapan, jangan sampai kita nggak ada basis di semua fakultas, karena itu syarat mutlak. Oh, gue lupa. Jangan lupa kalian berdua bikin visi dan misi sama nama beken. Ada ide?"

Semua diam begitu Dika selesai berbicara. Memikirkan beberapa opsi untuk nama singkatan bakal calon Presiden dan wakil Presiden BEM yang akan mereka usung.

"Dara, Darja Aika?"

Dino mengutarakan pendapatnya.

"Daka?"

Erka bersuara, semua belum menunjukkan tanda kepuasan. Mereka masih mencari opsi lainnya.

"Aja, Aika Darja," ucap Dika setelah tak lagi ada yang bersuara. "Aja Deh, Aika Darja Demokratis Humanis."

"Gue jadi keinget teori humanistik," sahut Olla cekikikan.

"Oke, gue setuju."

Darja mengeluarkan suaranya setelah diam semenjak tadi. Aika melihat ke arah cowok itu sambil berkomat-kamit dalam hati, menyumpah serapahi Darja karena kekesalannya malam kemarin belum juga hilang.

"Lo, Aika?"

"Terserah gue sih. Ikut aja."

Dika tersenyum santai. Matanya berkilat jahil memerhatikan Darja dan Aika yang duduk berjauhan dan seperti sedang perang dingin.

"Mending lo berdua kencan deh, daripada diem-dieman macem patung. Harus ada kekompakannyalah," seloroh Erka seperti mengutarakan isi pikiran Dika.

"Yakali gue kencan sama dia. Ogah."

Aika mengibaskan tangannya, berusaha menutupi kegugupannya sendiri. Kencan, dengan Darja? Mulut berkata ogah tapi apa daya hati sangat mendamba.

***

Malam sebelumnya, ketika ia ditinggal kabur oleh Aika. Darja masih duduk di taman itu untuk beberapa saat, memandangi bekas rumahnya yang berada di sisi timur taman, hanya berbeda blok dengan rumah Aika. Di sana, ia pernah merasakan kehangatan walau sebentar. Diam-dian, cowok itu tersenyum miris, sekelebat bayangan menghantui pikirannya, mendadak datang silih berganti, membuat tubuhnya yang tadi tenang, mendadak dingin gemetaran--bukan karena udara dingin, tapi karena ingatan itu masuk dengan lancang dan mendobrak ketenangannya, membuat kecemasan dalam dirinya kembali timbul.

"Kamu mau minum susu?"

"Iya, Darja mau. Mana susunya?"

"Ini, habiskan ya."

"Iya, Ma."

"Mama sayang sama Darja. Darja sayang Mama kan?"

Darja mengangguk, laki-laki yang baru memasuki masa remaja itu tersenyum hangat pada mamanya.

"Iya, Darja sayang sama Mama."

"Mau ikut sama Mama?"

"Kemana?"

"Ke tempat yang nggak ada nenek sama tantemu."

"Tapi Darja harus pisah sama Aika?"

"Nanti Darja bisa ketemu Aika lagi, kalau Tuhan menakdirkan."

Darja berpikir sejenak. Tawaran dari mamanya tampak menggiurkan. Sudah bukan rahasia lagi kalau hubungannya dengan nenek dan kedua tantenya tidak baik. Apalagi mamanya, seringkali Darja melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika neneknya sering marah pada mamanya.

"Darja mau, Ma. Ayo," katanya setelah ia melihat wajah sendu mamanya.

Ingatan itu mengakar kuat di alam bawah sadar Darja. Bagaimana ia berinteraksi dengan mamanya dan kenangan-kenangan buruk akan kehidupannya di masa lalu--walau sampai saat ini kehidupannya pun belum bisa dikatakan baik. Kecemasan akan kejadian di masa lalu itu membuat ia tak bisa mengontrol tubuhnya dengan baik, Darja selalu kalah dengan segala jenis hal buruk yang menimpa dirinya di masa lalu.

Darja masih duduk diam, menahan segala beban di tubuhnya. Laki-laki itu mengambil sesuatu dari dalam tas ransel yang tadi ia bawa. Sebotol obat penenang antidepresan yang sudah dua tahun ini ia konsumsi. Mungkin ia akrab dengan obat antidepresan seperti trisiklik atau sejenisnya. Walau sebenarnya ia tak ingin ketergantungan, tapi itu adalah satu-satunya cara untuk membuatnya tenang saat ini.

Tubuhnya berangsur-angsur kembali normal, mata cowok itu masih menatap diam rumah yang saat ini sudah menjadi milik orang lain. Sampai merasa sudah kembali kuat, cowok itu berdiri dari atas bangku. Berjalan menuju motornya yang terpakir dan meninggalkan tempat itu untuk pulang.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro