7. Sakit Tapi Nggak Berdarah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meet the cast: (boleh lo bayangin yg lainnya)

1. Vernon SVT as Darja Djalasena Sastrakusuma
20 y.o
Calon pres bem


2. Yuki kato as Aika Kanaya Ajidarma
19 y.o
Calon waPres bem

3. Randyjohnpratama as Eogan Joseph Byrne
21 y.o

4. Miqdad A as Erka
20 yo

5. Tissabiani as Mikaila *pas rambutnya masih panjang
19 yo

6. Naufalazharr as Karyo
19 yo

7. Dimasmaulanaa3 as Dika dan Dino, anggep aja kembar wkwk
20 yo

Logika gue bilang buat berhenti mikirin lo, tapi hati gue nggak bisa bohong, nyatanya gue masih menjadi penghamba cinta yang menyedihkan.

Darja menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi dari balik jendela apartemennya. Cowok itu tersenyum miris mengingat kepergiannya dari rumah, yang disebutnya 'neraka dunia' itu.

Tingkah laku wanita tua itu membuat Darja mencapai batas maksimal kesabarannya. Hidup dalam tekanan selama bertahun-tahun membuatnya tak bisa bebas melakukan apa yang ia mau. Memiliki papa yang bahkan tak pernah peduli padanya juga bukan hal yang patut dibanggakan. Ia memiliki keluarga tapi seperti hidup sendiri di dunia ini. Lebih lagi, si tua itu selalu membanggakan cucunya yang berasal dari anak perempuan kesayangannya, semakin menambah daftar luka dalam hidup Darja.

"Gue nggak tahu, sejak kapan lo pindah ke sini."

Suara Erka membuat Darja menoleh, cowok itu membawa kantung plastik yang berlogo makanan cepat saji dan meletakannya di atas meja.

"Udah lama gue pengin pergi, lo aja yang nahan gue terus di rumah neraka itu."

Erka tertawa, cowok itu memang mengetahui password apartemen Darja.

"Oma emang salah. Gue minta maaf."

Menaikkan sebelah alisnya, Darja lalu tertawa. Terdengar mengerikan di telinga Erka. Erka tahu, Darja tidak benar-benar tertawa, tawa itu mungkin hanya kamuflase.

"Kapan lo bikin salah sama gue?"

"Gue tahu, Ja. Oma selalu bangga-banggain gue dan sodara gue di depan lo. Oleh karena itu, gue minta maaf. Gue tahu, dibanding-bandingin itu nggak enak."

Darja mendengus. Cowok itu lalu duduk di atas sofa, menatap Erka dengan sengit.

"Lo nggak tahu apa-apa tentang dibandingin sama orang lain, Ka."

Erka menghela napasnya. Ia tahu semua hal tentang Darja, Erka tahu bagaimana perjuangan cowok itu untuk kembali hidup dan menata perasaannya setelah kejadian yang mengubah kehidupannya secara drastis. Erka adalah saksi hidup Darja sejak saat itu, sepupunya yang hampir memiliki segala hal namun bernasib malang.

"Kalau lo butuh apa-apa jangan sungkan buat hubungin gue. Gimana pun, kita sodara kan?"

Darja tersenyum singkat. Hanya sekilas, detik berikutnya cowok itu mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar.

"Lo sahabat gue, bukan saudara. Gue nggak punya saudara, gue bahkan nggak bisa menemukan arti saudara yang lo maksud."

Erka tahu, Erka paham apa yang dirasakan oleh Darja. Tidak pernah dianggap di keluarga besar mereka sendiri, selalu disingkirkan keberadaannya membuat Darja tampak membenci keluarganya sendiri. Oma, ibu dan seluruh keluarganya yang masih berpikiran kuno, yang menganggap harta adalah segalanya membuat mereka buta, bahwa tolok ukur keluarga bukan sekadar sebarapa besar harta yang dimiliki dan bagaimana kedudukan sosialnya di mata masyarakat, lebih dari itu, keluarga adalah sebuah ketulusan penerimaan. Hal, yang tidak pernah diberikan keluarga besarnya pada Darja, hanya karena, ibu Darja bukan berasal dari keluarga berada. Cinta masa lalu yang tidak direstui, membuat Darja dan ibunya tidak pernah diterima di keluarganya.

"Hari ini lo ada jadwal foto buat banner. Sejam lagi, di studio foto Bang Ega, jangan lama-lama larut dalam emosi lo. Aika udah nunggu."

Aika, mendengar nama itu, Darja memejamkan matanya sejenak. Ada rintik rindu yang muncul menjadi deras. Perasaan yang mungkin harus dibunuhnya pelan-pelan.

"Aaaarggggghhhhhh!"

Brakk

Darja menggebrak meja di depannya. Emosinya tiba-tiba meluap. Ia dalam keadaan tertekan, keringat dingin bermunculan di tubuhnya. Ingatan-ingatan menyakitkan itu datang silih berganti membuat kepalanya berat.

"Jaa, heiiii! Astaga. Obat lo mana, Brengsek?"

Darja memegangi kepalanya, ia menggelang-gelengkan kepalanya kuat. Perginya ia dari rumah neraka itu, jelas melukai hatinya tanpa ia sadari, membuat tubuhnya tidak menerima hal tersebut meski kesadarannya berbanding terbalik dengan alam bawah sadarnya.

"Minum!" kata Erka, setelah ia menemukan obat milik Darja yang tergeletak di kamar cowok itu. Erka mengambil gelas berisi air minum dan menyodorkannya pada Darja.

"Minum, Ja!"

Erka mengulang perintahnya, dengan geram, cowok itu membuka mulut Darja, menjejalkan obat beserta air minum pada Darja.

"Lo harus lawan, Ja. Jangan gini, lo harus bisa buktiin ke Oma kalau lo berguna!! Jangan lemah, Bego!"

Menyambar ponsel dari saku jaketnya, Erka menghubungi Dino yang sudah ada di studio foto milik Ega.

"Din, tunda dua jam. Darja lagi ada masalah sedikit. Dua jam lagi gue kesana."

Tidak perlu menunggu jawaban Dinno, Erka langsung mematikan ponsel miliknya dan membuangnya di atas sofa yang ia duduki.

"Ma, Maaa... Jangan tinggalkan Darja."

Cowok itu bergumam lagi, membuat Erka menghela napasnya lelah. Selalu seperti ini, ini bukan kali pertama Erka melihat Darja 'kumat', entah Darja sadar atau tidak, Erka memang cukup sering melihat Darja seperti ini, atau mungkin Darja selalu lupa saat Erka di sampingnya, ketika ia kambuh. Satu hal yang pasti, Darja tidak pernah membahas tentang sakitnya, dan Erka pun mengetahuinya secara diam-diam.

***

Aika menjambak rambutnya dengan gemas, hampir tiga jam ia menunggu si Brengsek Darja, namun cowok itu belum juga menunjukkan batang hidungnya hingga saat ini. Sesi foto bahkan sudah lewat dari ratusan menit yang lalu, Aika yang tadi memakai lipstick pink, sekarang sudah mulai pudar setelah ia menghabiskan setengah porsi pizza yang dibelikan Ega.

Berbicara tentang Ega, Aika tidak menyangka jika studio foto di dekat kampus yang saat ini ia datangi bersama Dika dan Dino adalah milik Ega.

"Buset, lo makan apa doyan sih?"

Dika cekikikan sambil menoyor kepala Aika dengan gemas. Sedangkan cewek itu menepis tangan Dika lalu melanjutkan acara makannya. Daripada ia memendam kesal pada Darja, alangkah lebih baiknya ia melampiaskan semuanya dengan banyak makan. Lebih berfaedah dan membuat perutnya makmur.

"Udah berhenti makan lo. Itu Tuan Besar datang."

Dino menunjuk Darja yang datang bersama Erka, cowok itu tampak pucat, tidak ada senyum di bibir Darja, pandangan matanya tajam tapi seperti hampa bagi Aika, rambut cokelat tuanya terlihat tidak rapi.

"Kebiasaan buruk jangan dipelihara dong, lo kira lo doang yang punya acara? Gue juga woi, dasar lo tukang ngaret!"

Aika menyemburkan kekesalannya pada Darja.

"Diem lo. Gue nggak butuh ocehan lo!" balas Darja sengit. Aika terkejut saat mendengar nada tinggi bernada bentakan dari Darja, selama ini, Darja tidak pernah memperlakukannya begitu, meski menyebalkan tapi Darja selalu berbicara biasa saja padanya.

Ada apa dengan cowok itu hari ini? Pertanyaan itu muncul di kepala Aika.

"Sialan! Siapa lo ngebentak gue, hah?"

Aika melempar sisa pizza yang ia makan di atas box pizza. Matanya memicing, menatap marah pada Darja, ia hendak bangkit menghampiri sebelum suara Ega mengurungkan niatnya.

"Udah, jangan berantem. Ayo, buruan! Gue ada acara lain habis ini."

Darja menatap Ega tidak suka. Cowok itu mendengus, ia berjalan menuju cermin yang ada di dalam studio itu, menata rambutnya yang tidak rapi. Setelahnya ia menghampiri Aika yang sudah bersiap untuk difoto.

"Jangan cemberut, Ka. Senyum, lo juga Ja."

Ega memberi instruksi, kameranya sudah siap sejak tadi, jadi tidak perlu melakukan banyak persiapan untuk mengambil gambar.

Aika tersenyum kaku, mereka berdiri sedikit berjauhan seperti dua orang musuh yang sedang berseteru, bukan dua orang partner.

"Lo berdua kayak mau bunuh-bunuhan, Njir. Mepet kek, tangannya dikepalkan ke atas, senyum yang lebar," teriak Dika mulai kesal melihat Darja dan Aika yang tampak saling melempar bara api.

"Ogah gue deketan."

Aika mendumel sambil melirik Darja.

"Profesional, Ka. Lo jangan kekanakan," kata Darja, ia mendekat pada Aika, membuat Aika muak.

Aika melakukan semua instruksi yang diberikan oleh Dika, ia terpaksa berdekatan dengan Darja, berharap proses pemotretan untuk banner ini segera selesai.

"Yak, bagus. Sekali lagi," kata Ega, sambil membidikan kameranya ke arah dua manusia itu.

"Sori."

Suara Darja begitu dekat dengan telinganya, bahkan mungkin bibirnya nyaris menyentuh daun telinga Aika, cowok itu berbisik, membuat Aika merinding. Hanya beberapa detik, tapi sanggup membuat jantung Aika berdetak tak keruan.

"Woi, lo berdua mau foto prewed?" teriak Erka sambil tertawa, Aika mendengus. Ia mendorong tubuh Darja, beranjak dari samping cowok itu dengan kesal.

"Gue pulang! Bodo amat sama hasilnya. Kesel gue!"

Aika mengambil tasnya dan berlari meninggalkan studio itu.

***

Mika tertawa lebar mendengar cerita Aika tengang kejadian di studio foto kemarin. Mereka sedang makan di foodcourt mal di daerah Jakarta Barat.

"Udah deh, Mik. Lo jangan bikin gue kesel kenapa sih? Ini gue pengin makan orang woi, jangan sampe lo yang gue makan."

Mika hampir tersedak, cewek itu meminum bubble ice-nya dengan brutal.

"Buahaha lucu lo. Gile."

"Udah sih, buruan lo ah. Gue belum nyariin kado buat Mas Laksa, habis ini kita mampir ke distro. Gue tadi lihat ada distro keren di bawah."

Mikaila menghabiskan sisa minumannya sebelum tangannya ditarik Aika untuk pergi.

"Kesedak gue doh. Pelan kek."

Mika mengomel di sepanjang perjalanan membuat mereka diperhatikan oleh beberapa pengunjung mal.

Sampai pada distro yang dituju Aika, Mika baru berhenti mengomel. Ia lelah terus mengomel pada Aika namun tidak ditanggapi oleh cewek itu.

"Eh kok bagus tempatnya?"
"Makanya itu gue ajak lo mampir. Bantu gue pilihin kaos buat Mas Laksa ya, besok dia balik ke Surabaya, gue mau kasih kado gitu."

"Yah Mas Ganteng balik? Nggak asih."

Aika memutar kedua bola matanya malas, sejak mengenal Laksamana, Mika berubah menjadi ganjen.

"Ganjen lo. Jangan kayak Miranda deh. "

" Lah, kenapa jadi Miranda? Dia mah cabe giling, sori ya gue cabe import, beda level."

"Sama aja cabe. Bagusan mana? Biru tua apa merah maroon?"

Aika menunjuk dua buah kaus yang ada di tangannya, meminta pendapat Mika terkait dua pilihannya itu.

"Yaelah pura-pura ngalihin pembicaraan. Cemburu ya lo sama Miranda?"

"Nggak. Cewek kayak gitu? Gue cemburuin, hello?"

"Maksud lo dengan cewek kayak gitu apa, hm?"

Wajah Aika mendadak kaku, raut wajah malasnya menghadapi Mika berubah menjadi tegang. Suara milik si cowok Brengsek.

"Eh Mas Darja, ngapain Mas ke sini? Belanja?"

Mika cengengesan sambil mencubit lengan Aika. Ia sama kagetnya dengan Aika karena bertemu Darja di sini.

"Bukan urusan lo!" kata Darja ketus.

Ia mendekati Aika.

"Miranda nggak kayak apa yang lo pikirin, Aika," ucapnya, lalu pergi meninggalkan Aika yang mendadak pias.

Darja, membela Miranda? Lagi? Ada sakit yang menghantam dadanya tanpa sadar, Aika tertawa sumbang, membuat Mika khawatir.

"Are you okey?"
"Baik. Gue nggak papa. Gue bukan cewek lemah," ucapnya, ia meraih kaus berwarna merah maroon dan segera membawanya ke kasir.

Mungkin ini yang dinamakan sakit, tapi tidak berdarah.

Tanpa Aika sadari Darja memerhatikannya dari salah satu sudut, cowok itu menghela napasnya. Ia lalu masuk ke dalam ruang pegawai, untuk mengecek beberapa hal di sana.

Tbc
Gue berencana hiatus di bulan september ntar guys, gue harap cerita ini bisa kelar, tapi kalau nggak ya gue on hold sementara. Kuliah gue mulai gila-gilaan. KKN, PPP, PKL, skripsi bikin gue engap. Gila aja udah ada P3 masih ada PKL, huhu sedih :').

Ig: aristavstroies

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro