BAB - 10 : Pion

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Media tidak berhenti membicarakan tentang Satya, tidak hanya surat kabar dan media daring bagian hiburan -- terutama Menit News -- paling banyak. Tidak hanya kasus pembunuhan, tetapi masa-masa dia kuliah di New York hingga kehidupan berpesta, paling parah tentu saja berita ciuman dalam keadaan mabuknya dengan Terry kembali naik. Dalam beberapa artikel yang memuat wawancara dengan sahabat-sahabat Satya, semua kompak menjawab tidak tahu dan urusan pribadi tidak semua bisa dibagikan.

"Serius, Vik. Eneg gue baca beritanya Pak Satya melulu," keluh Intan diiringi gebrakan kecil dari meja kubikel. "Padahal gue mau buka artikel resep makanan. Beda, ya, media daring kredibel sama enggak. Food & Travellista malah jarang nerbitin artikel tentang makanan kesukaannya Pak Satya lalu melebih-lebihkan pakai narasi 'Anak Sultan makan di pinggir jalan, sungguh keajaiban'. Coba aja media daring F&T nerbitin artikel resep lagi kayak lima tahun lalu, bawa bekal gue tiap hari."

Siapa yang tidak tahu media bergengsi Food & Travellista? Media daring yang berfokus pada kekuatan rasa dan penulisan cantik, tidak sekadar bilang enak atau mau meninggal saja. Vika juga suka menonton video resep makanan atau episode Food Journey -- acara makan-makan dikemas ala serial dokumenter dan membahas sosok di baliknya -- yang sekarang sudah masuk musim ke lima. Sayang, mereka meniadakan video resep sejak tahun lalu karena si talent sudah resign dan sampai sekarang belum menemukan pengganti.

Diam-diam, ia setuju dengan pernyataan Intan. Dia memundurkan lalu memiringkan kepala pada kubikel sampingnya.

"Kasihan amat ponselmu, Tan. Tinggal berapa bulan tuh cicilannya?" Vika mendengus kecil lalu kembali ke posisi semula sambil menyelesaikan bikin tulisan untuk bahan promosi Mie Gara varian baru -- rasa pedas korea -- yang akan diluncurkan bulan depan.

Dari sudut mata Vika, terlihat Intan buru-buru ambil ponselnya dengan panik sambil elus-elus. Bibir Intan maju beberapa sentimeter. "Bisa nggak sih nggak usah diingetin? Bulan depan lunas kok."

"Makanya, jangan banyak utang buat nggak penting." Vika tertawa geli, sungguh ia tak habis pikir. Apa demi gengsi dan kehormatan semua orang berlomba mendapatkan barang bermerk sampai mengorbankan kondisi finansial?

Sungguh tidak habis pikir. Gue aja kadang beli bermerk nggak mau sering-sering dipakai kalau nggak penting-penting amat.

Satu jam kemudian dari jam masuk kerja, Vika meregangkan tangan ke atas pertanda pekerjaannya selesai. Dia meminimalisir erangan agar tidak mengganggu rekan kerja lainnya, hingga seseorang mengetuk dinding kubikel bagian kanan. Matanya melirik pada Intan yang pipinya bersatu dengan dinding bahan triplek tahan lama itu dengan mulut bentuk ikan kembung. Tidak lupa dengan mata berbinar genit, oh tidak itu adalah tanda bahwa Intan bawa berhasil mengendus keanehan atau makhluk halus.

"Asli, merinding gue liat lo gini. Video penampakan dunia lain kalah sama wajah kepo bin sok imut lo kayak admin Lambe Tempe atau Menit Forum." Vika menyerngit aneh, lalu mendesah seraya menggumam. "Oh Tuhan, kenapa aku selalu dikelilingi orang aneh?"

"Pak Satya kok belum datang, ya? Ini sudah satu jam lebih." Mata Intan bergerak ke segala arah, bahkan ada salah satu rekan menatapnya tajam sejenak sebelum tenggelam pada komputer.

"Mana gue tahu, Tan." Vika mengedikkan bahu dengan cuek, walau dalam hati juga penasaran.

"Tumben lho, setelat-telatnya beliau tidak pernah sampai satu jam." Intan memilin bibir sambil berpikir.

Suasana sunyi kantor mendadak dihantam ombak, bikin Vika dan Intan langsung kembali ke pekerjaan. Namun, tidak dengan rekan kerjanya yang sesekali melirik dengan gusar dan kesal, beberapa saling bergumam tentang julukannya sebagai sang pembunuh sekaligus jijik. Vika benar-benar tidak habis pikir, satu kesalahan orang bisa menghapus seluruh kebaikan dalam satu jentikan jari.

Apa mereka tidak berterima kasih pada dedikasi Satya di kantor?

Walau suka genit pada rekan kerja wanita dan bertingkah aneh seperti badut, Satya mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Dia juga rela disalahkan oleh manajer ketika salah satu anak buahnya melakukan kesalahan penulisan deskripsi produk atau cara promosi yang terkesan blunder hingga bikin tersinggung.

Satya mendorong pintu kaca divisinya sambil bawa satu kardus, kemudian membereskan barang-barang pribadinya di situ. Semua orang kali ini pakai bahasa tubuh yang menyatakan cepat-pergi dari sini-kami-tak-sudi-melihatmu, Vika tahu mereka tidak berani bicara langsung karena pekerjaan yang akan jadi taruhan. Tadi saja dia tahu rekan-rekannya bikin grup obrolan tanpa ada Satya di situ, Vika mengamati makian dan rasa kecewa satu persatu yang bikin dia keluar dari obrolan itu.

"Saya tahu, wajah-wajah kalian sebenarnya dari saya masuk sampai beresin barang tuh muak, ya?"

Nada menusuk itu bikin para rekan kerjanya terintimidasi. Satya sedikit lempar senyum miring, sikap turunan keluarga Anggara tidak pernah hilang. Jurus pakai suara serius dan berwibawa juga bikin Papi bisa capai puncak kesuksesan, walau tidak luput dari ancaman pembunuhan dan kawan-kawannya. Mas Anton sungguh cupu sekali, pakai jurus ini nggak mempan. Dia kebanyakan di goa kali, ya. Tenangkan dirimu, Satya, lebih cepat lebih baik. Lagi pula, relasi dan ilmu kamu sudah mumpuni untuk rencana selanjutnya setelah kasus ini berakhir.

"Hari ini saya akan beri pengumuman penting, mulai hari ini saya sudah tidak bekerja di sini efektif saat ini. Kedua, saya mengucapkan terima kasih atas kinerja kalian dan mohon maaf ada kesalahan yang tidak sadar telah menyakiti kalian," lanjut Satya dengan mata berkaca-kaca. "Untuk sisa pekerjaan, sebagian sudah saya selesaikan dan sebagian lagi sudah saya delegasikan pada Robi dan Vika."

Vika berusaha menahan terkejutnya, ia memutar bola mata dengan bibir ia pilin dalam-dalam. Pantas saja surelnya terasa penuh.

"Emang bener Pak Satya naksir sama lo," bisik Intan dari bahu. Vika menyingkirkan kepala perempuan itu dari bahunya, sungguh menggelikan.

Wajah-wajah keras dari rekan kerja perlahan melunak, mereka hanya bisa menundukkan kepala.

"Tapi kalian tenang saja." Satya tersenyum rapuh dan mengerjapkan mata. "Kalian masih bisa berkontak kok via laman obrolan atau ketemu langsung. Akhir kata, senang bekerja sama dan memiliki tim sesolid ini. Sekali lagi, saya terima kasih." Satya membungkukkan badan hingga sembilan puluh derajat.

Beberapa rekan kerja menyalami Satya dan buru-buru minta maaf karena sudah menjelekkan namanya, dan Satya tentu saja memaafkan mereka semua. Begitu sampai pada Vika, ia menempelkan kepala di telinganya. "Jaga kantor, Vik. Siap-siap lo yang mengisi jabatan gue setelah ini."

Tidak cukup dengan kejutan yang bikin beban kerja bertambah, promosi yang ia impikan dari dulu hadir di depan mata. Promosi ketiga yang ia dapat selama lima tahun kerja di perusahaan makanan terbesar se-Indonesia. Ternyata bermain itu menyenangkan.

"Baik, Pak," respon Vika ketika Satya sudah di hadapannya.

"Bagus, gue percaya sama lo." Tangan Satya menepuk pelan bahu rekan kerja yang sudah bersamanya selama lima tahun belakangan.

Semua orang mengantar Satya ke lift, tidak peduli divisi lain mengamatinya dengan pandangan aneh dari kaca serta sekretaris sampai menghentikan aktivitas teleponnya demi melihat karnaval versi kantor. Begitu lift tertutup sempurna, semua kembali ke tempat semula.

***

Walau pengangguran, rasanya benar-benar menyiksa. Satya tidak diperbolehkan berpesta sampai kasusnya selesai dengan hasil apa pun. Dia terima aja, toh perempuan-perempuan yang ia kencani minta putus dengan nada sok manja.

"Hih belagu amat lo, berasa paling cantik sedunia." Satya berbicara pada panggilan terputus setelah mandi pagi. "Kebanyakan gaya gini nih. Gue bersalah aja kagak tahu, malah sok-sokan takut."

Selain itu, beberapa hari kemudian Papi memblokir kartu kredit platinum dari salah satu bank rekanannya. Satya tidak masalah karena ia masih ada dua kartu kredit lain -- satu biru dan satu gold -- dan bisa pakai sesuka hati. Namun, ketika ia sedang memeriksa tabungan, rasanya hambar untuk menghabiskan uang hasil kerja kerasnya.

Dari kuliah, Satya benar-benar mempelajari seluk beluk finansial dengan antusias. Bahkan waktu kuliah di New York, dia yang mengurus keuangan untuk keperluan pokok apartemen. Satya juga sukarela memberi konsultasi dadakan terkait laju keuangan pada sahabat-sahabatnya, dan mereka menerapkannya dengan baik. Ada rasa bangga tercuil saat mereka bertiga mengendalikan finansial diri.

"Papi lupa, blokir satu kartu kredit kesayangannya. Aku sih masih punya lainnya." Seringai Satya berkembang pesat saat menatap layar tablet menampilkan aplikasi pencatatan keuangan yang berisi pengeluaran yang biasanya banyak sekarang berkurang drastis dalam kurun satu minggu setelah pengunduran diri. "Walau nggak bisa berpesta pakai kartu hitam sih, tapi nggak apa masih ada cara untuk berpesta gratis." Ia memainkan pencil stylus pada layar, menata kembali keuangan ke tempat semula. Pesangonnya pun sesuai, jadi tidak ada masalah.

Selama seminggu juga, Pak Roy selalu beri kabar jika dipanggil ke kantor polisi. Walau lagi-lagi pertanyaan yang keluar selalu itu-itu saja. Satya tetap mengelak dan membantah, dia pernah hampir dipaksa ngaku, tetapi tak jadi. Baginya, kejujuran adalah hal utama. Jadi, status tersangkanya ditangguhkan.

Namun, ia menjadi tahanan kota.

"Kamu itu klien paling bebal, sudah disuruh buka sosmed masih aja buka." Pak Roy berdecak pada pertemuan via panggilan video. Hari ini seharusnya beliau ke apartemen, tetapi karena bertabrakan dengan kasus lain jadi berhalangan hadir.

Satya terbahak saat ada netizen yang tidak terima bila ia masih berkeliaran pada salah satu akun twitter. "Lihat deh, balasan dari media daring Menit News Pak. Sok tahu banget dia, padahal penahanan nggak hanya Rutan."

"Biarkan saja, Nak. Nanti juga beritanya reda sendiri, toh kamu sudah mengadakan konferensi pers minggu lalu."

Konferensi pers merupakan puncak, di situ Satya mengungkapkan desas-desus tidak penting. Namun, dia masih belum sepenuhnya mengungkapkan berita hoax tersebut karena polisi masih menyidik di beberapa bagian. Bila tidak terbukti, dia bisa lepas dari jeratan hukum. Namun, oknum Menit News masih tidak menyerah memberitakan kejelekannya.

"Untuk Menit News, kasih somasi aja dulu Pak," perintah Satya.

"Baik kalau gitu. Ya sudah saya lanjutkan pekerjaanku lagi. Kamu baik-baik, ya, dan jangan bertingkah aneh."

Satya mendesah lelah. "Masih aja deh, Pak. Sudah nurut nih."

Pak Roy tertawa sebelum pamit.

Kini, Satya kembali berkutat dengan keuangannya sendiri. Rencananya selain mengurangi pesta, rasa-rasanya jadi penyelenggara adalah ide bagus. Bersenang-senang jalan, menghadapi kerasnya hidup tanpa fasilitas Mami dan Papi juga jalan.

Sebuah panggilan video lagi ia terima. Ternyata dari Aziz dan Rahman, sekadar kabar dan obrolan tidak penting bikin mood Satya membaik.

***

Satu Bulan Kemudian.

Satya kembali dipanggil polisi, entah sudah keberapa kali. wartawan yang menunggu tidak sebanyak dulu. Dia bersama Pak Roy langsung ke ruang interogasi, batin Satya berharap agar semua berakhir.

Tidak heran Nira selalu capek dan tidak bisa setiap diajak kumpul-kumpul, kayak gini aja sudah menguras tenaga.

Polisi yang bertugas alias Si Senior langsung pada inti pembicaraan. "Selama berminggu-minggu saya bersama tim penyidik untuk analisa kasus ini, saya akan menyampaikan sesuatu --"

"Cepetan, Pak, Nggak usah basa-basi capek nih," potong Satya malas. Kakinya ditendang oleh Pak Roy yang melotot tanpa suara.

Pak polisi senior berdehem. "Setelah saya selidiki bersama tim dan forensik, serta analisis tambahan pada jenazah saudari Sintia, kami mengonfirmasi bahwa tidak ada sidik jari Saudara Satya pada tubuh jenazah serta ada sidik jari lain pada gagang pisau." Beliau menunjukkan dokumen hasil sidik jari via elektronik dan manual yang dijadikan satu bendel dokumen.

Satya dan Pak Roy benar-benar merasa lega, akhirnya perjuangan mereka tidak sia-sia. Polisi meminta maaf padanya sambil menjelaskan bahwa kasusnya akan segera ditutup.

Namun, Satya merasa ini terlalu cepat. Biarkanlah, kepalanya sudah lelah dengan pertarungan tidak jelas ini. Paling penting adalah ia bebas dari jeratan hukum.

Apa ini berarti ada yang mau jelekin nama baikku? Duh kenapa malah jadi kayak Nira dalam detektif mode sih, masih mending bisa bebas. Males aku jadi kayak dia, capek mikir nanti gantengku berkurang.

"Kalau boleh tahu, siapa pelaku sebenarnya, Pak?" tanya Satya iseng. Senyum miring menandakan betapa bangga dirinya bisa menyelesaikan kasus ini.

"Itu yang masih kami selidiki, Pak Satya. Namun, kami akan berusaha semaksimal mungkin, termasuk memulihkan nama baik Bapak."

Jawaban khas aparat pemerintah banget.

***

Polisi memang mengerjakannya dengan baik, sampai hujatan warganet pada Satya kencang. Isinya adalah polisi terlalu pilih kasih dalam memecahkan kasus mentang-mentang dia anak orang kaya. Kemudian, semua lingkar pertemanan menanyakan kabar diri. Kabar terbaik adalah, saham Grup Anggara kembali naik tapi pelan-pelan.

"Halah palingan kepo," gumam Satya seraya melempar ponsel ke sofa empuk.

Pengecualian adalah anak-anak Moon Rise, Satya suka sekali reaksi mereka yang lucu-lucu. Tentu saja perang stiker antara Obi dan Tio, Nira kadang-kadang masih ikut tapi jeda waktunya dua-tiga jam.

Sampai kedatangan orang berjubah hitam mengenakan topeng merah putih dengan kepala plontos bersih di pintu apartemen. Tubuh Satya membeku di tempat.

"Selamat Malam, Satya. Boleh saya masuk?" tanya sang anonim.

Dia hanya beri gestur tangan panjang sambil menggeser badan.

Pikiran Satya terasa kosong, seakan dia adalah orang paling suci di seluruh dunia. Buru-buru kenyataan menyadarkannya, sejak kapan anonim aneh bin sinting ini menampakkan diri?

"Boleh saya duduk?"

"Si ... silakan."

Ini orang nggak pakai baju di balik jubah kah? Kok bisa enteng gitu ngibasnya pas duduk.

"Selamat atas bebasnya dirimu, Satya." Pandora membuka pembicaraan dengan suara samaran elektriknya. "Saya hanya ingin bilang bahwa ada orang yang ingin merusak Grup Anggara melalui kamu dan Masmu."

"Itu sih saya sudah tahu, Pandora," jawab Satya malas di posisi sofa tunggal. "Yang jadi pertanyaan saya adalah apa tujuan anda kemari? Setahu saya nih, anonim seperti Anda ini tidak pernah datang pada kami."

"Saya kemari hanya memperingatkan kamu, Satya. Atau ... bisa saya bilang adalah reinkarnasi dari Putra Manakar sang penguasa rakus."

Sejujurnya, beberapa bulan lalu sebelum Obi kembali ke New York, dia pernah cerita tentang konsep reinkarnasi dan cermin. Alhasil karena Satya orangnya terlalu tidak peduli, jadi omongan sahabatnya dianggap dongeng belaka. Obi memang lebih cocok jadi pendongeng daripada staf ahli politisi ternama.

Hingga hari ini.

"Kenapa omongan si tukang nyolot benar banget?" gumam Satya pelan.

"Iya, saya paham kamu masih mengenal belati itu. Belati yang digunakan oleh Putra Manakar untuk membunuh musuh dengan sekali tebas. Bahkan dulu dia bisa mencelupkan ke cairan racun jika ingin cepat."

Satya merinding, semenakutkan itukah dirinya di masa lalu?

"Bahkan, kamu dulu adalah penyebab kehancuran keluargamu sendiri," tambah Pandora.

Wajah konyol Satya berubah pias. "Tidak, tidak mungkin. Saya bukan gitu orangnya."

Pandora mengedikkan bahu. "Terimalah kenyataannya saja, Nak."

Ia berdiri sebentar untuk mondar-mandir antara ruang televisi dan dapur lebar minimalis bentuk huruf L dengan kitchen island yang di tengahnya ada bak cuci piring tempel dan keran tinggi yang bisa ganti ke mode pancur atau tidak. Rambutnya sudah acak-acakan akibat tekanan pikiran yang bikin jantungnya berdetak kencang, padahal sama perempuan -- termasuk jatuh cinta dengan Sarah dulu -- tidak begini. Dia setengah berlari ke posisi semula, wajahnya memerah karena tidak terima. Kedua tangannya sudah mengepal, ingin rasanya ia menonjok orang bertopeng di hadapannya. Namun, urung dilakukan karena makhluk aneh ini pasti punya seribu cara untuk menyingkirkan Satya dengan jentikan jari.

"Tuh, kan, sudah saya duga. Kekuatan belatinya aktif." Mata Pandora yang tidak tertutup topeng -- hanya bolong sedikit. "Energi negatif dirimu menyatu dengan kekuatan ajaib, saat itulah penyerapannya pada cairan racun lebih cepat dalam satu kali saja. Kemudian, ia akan menuntunmu pada musuh terbesar. Setelah tusuk tepat di jantungnya, kematiannya tidak akan diendus siapa pun serta semua energinya akan jadi milikmu. Pendahulumu menggunakan ini agar manipulasi warga sehalus mungkin untuk takluk padamu seutuhnya."

"Wah." Satya melongo tidak percaya, ekspresi kesalnya masih belum sepenuhnya sirna. Tangannya ia tumpu pada pinggir sofa tunggal. "Dongeng yang bagus, Anonim aneh."

Sindiran itu tidak ditanggapi Pandora. "Terserah kamu saja, Satya. Obi dan Nira juga dulu seperti itu dan dia termakan omongannya sendiri."

"Ah sudahlah." Satya mengibaskan tangan. "Sekarang tuh kamu mau ngomong apa? Jangan buang-buang waktuku."

"Pengangguran ngesok banget," gumam Pandora.

"Apa?"

"Soal kasusmu ini. Dalangnya terlalu pintar, menurut analisis saya sih Freddi Martadinaja. Namun, sosok yang bekerjasama dengan dia itu yang jadi eksekutor bersama dengan Sintia. Itu petunjuk yang bisa saya berikan kepadamu jika penasaran."

Satya terlalu kaget untuk menerima hipotesa. "Pak Edi? Beliau tuh sahabat kentalnya Papi sama Pak Risjaf, bisa-bisanya dia jahat begitu."

"Lho, Sat. Jangan buru-buru menyimpulkan, ini masih asumsi saya. Bisa jadi itu bukan Freddi, atau orang lain yang pakai nama Pak Freddi buat kambing hitam," balas Pandora cepat-cepat.

Pandora benar, tetapi Satya masih tercengang dengan hipotesa ini. Persahabatan trio konglomerat ini sudah lama sekali, sudah tahu baik dan buruk serta saling percaya. Satya juga marah waktu kasusnya Pak Edi sama Nira, tetapi tidak semarah ini juga.

Pandora berdiri lalu Satya ikut dan menuntun Sang Anonim ke pintu keluar.

"Semua kembali ke kamu, Sat. Kalau penasaran silakan cari dan minta pertanggungjawaban, sebaliknya nggak masalah. Saya pamit dulu, dan ingat pesan saya untuk selalu kendalikan dirimu serta jangan jadi pion catur, jadi raja sekalian."

Sepeninggalan Pandora, rasa penasaran membumbung dalam diri Satya. Entah kenapa, ia tidak boleh diam saja. Ia harus berbuat sesuatu, untuk memulihkan nama baiknya. Dia harus bertanggung jawab, bila perlu sampai orang itu masuk liang kubur Satya rela.

Namun, Satya tidak bisa melakukannya sendiri karena pergerakannya secepat angin. Maka dari itu, Dia menghubungi seseorang yang memang ahli di bidang cari-cari orang, pada sambungan ketiga dijawab.

"Ziz, gue butuh bantuan lo." 

A/N:

Akhirnya setelah perjuangan panjang, act satu cerita ini selesai juga. Oh ya terima kasih buat Nanowrimo yang sudah membantuku termotivasi hehe.

Menurut kalian, sejauh ini ceritanya gimana sih? Tulis di inline comment ini ya. Aku penasaran soalnya.

Terima kasih sudah membaca Reputasi dan selamat hari pahlawan!

.

.

2600++ kata
(10 November 2021)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro