BAB - 3: Yin & Yang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satya mati-matian mengontrol rona merah dan hati berkecamuknya. Rasanya masih tidak terima bahwa perempuan itu melakukan hal keji yang menghancurkan harga dirinya di masa remaja dulu. Sekarang lebih dari sepuluh tahun berlalu dan perempuan itu sudah sukses, bahkan level suksesnya setingkat Ivan Gunawan atau Oscar Lawalata.

Satya mendengus. "Gue yakin, ini cewek pasti pakai cara nggak beres. Sungguh nggak masuk akal perempuan pencapaian kesuksesannya segitu. Padahal, harusnya masih level merintis."

"Lo iri apa begimana, Sob?" komentar Rahman diiringi tawa kecil. "Tingkat sukses orang mah beda-beda, Sat. Bisa aja dia dari kuliah sambil kerja paruh waktu dan dapat banyak perspektif dari desainer senior."

Aziz dan Koko Tian setuju dengan ucapan Rahman si badan besar.

Satya meluruskan kaki akibat terlalu lama duduk sila dengan dua tangan bertumpu ke belakang dan kepala terangkat. Tangannya daritadi sudah gatal karena gigitan nyamuk, ia merutuk diri sendiri karena lupa pakai lotion pencegah gigitan nyamuk. "Heh, teman sosialita gue yang dari nol aja belum tentu sesukses perempuan ular itu. Gue yakin, pasti ada bekingan-nya."

Koko Tian terkekeh ringan dengan menepuk telapak kaki teman lamanya tersebut. "Laki kok berburuk sangka melulu sih, Sat. Lo lagi stress sama kerjaan apa gimana?"

Koko Tian yang tampannya setara dengan Tio versi rambut klimis ini benar-benar tidak berubah dari dulu. Dia selalu jadi penengah setiap Satya dalam posisi seperti ini, dan mampu baca kode-kode tersembunyi dari sifat seseorang alias peka.

"Stress karena tersaingi," celetuk Aziz sebelum terbahak sampai mangap dan memegang perutnya yang nyeri.

"Siapa sih yang tidak suka tersaingi? Apa lagi sama mantan," timpal Rahman yang ikut tertawa tapi tidak sampai pegang perut.

"Siapa yang stress?" Satya menetralkan nada suaranya. "Gue cuma curiga doang sama dia. Memang dasarnya ular mah ya ular aja."

Teman-temannya malah membicarakan perempuan itu semakin jadi, lengkap dengan prestasi dan rumor-rumor yang beredar. Kebanyakan Aziz yang mendominasi pembicaraan karena semua sumber berasal dari pacarnya yang jurnalis majalah gaya hidup tersebut. Bila dilihat-lihat secara objektif, semua karya gaunnya memang benar-benar memanjakan mata Satya. Siapa pun klien yang pakai, jatuhnya si pemakai jadi bersinar. Portofolio-nya juga tidak buruk-buruk banget, showcase-nya diadakan setahun tiga kali. Kritik dan pujian datang bersamaan dari editor majalah Harpers Bazaar Indonesia, Femina, sampai Indonesia Tatler dan Dewi. Perempuan itu menerimanya dengan lapang dada, bahkan kelihatan sekali perkembangannya.

"Katanya benci, tapi lihatin aja terus baju-bajunya." Aziz terus memprovokasi kemarahan Satya. Bagi Aziz, itu hiburan tersendiri melihat tingkah sahabatnya yang begitu.

"Bajunya emang bagus terus gue harus bilang jijik gitu?" balas Satya defensif. Sesuatu yang jarang terjadi padanya selama ini. "Walau perempuan ini musuh gue, tapi kalau memang bajunya bagus why not?"

"Gue setuju." Koko Tian yang sejak tadi jadi pengamat mengungkapkan pendapat terbaiknya. "Asalkan sih lo kalau disuruh kerja sama sama dia nggak pakai acara ngambek."

Rahman dan Aziz kembali tertawa sampai menarik perhatian pengunjung lain. Hal ini bikin Satya merasa ditelanjangi akibat tatapan mereka. Beberapa bahkan memberi arti sejak-kapan-anak konglomerat-makan-di-angkringan? Satya jengah sekali, apa ia tidak boleh begitu makan di sini? Ternyata tidak hanya anak orang kaya saja yang sudah menentukan tempat, orang miskin juga.

"Lo nggak belain gue amat sih, Ko." Satya sedikit memajukan bibir. Tian selalu jadi pembela nomor Satya selama masa SMA dulu ketika ia dijahili teman-temannya. Sebagai balas budi, Satya menolong Koko Tian dari jeratan perundungan Kakak kelas – terutama si Rian – sekarang ia amati sedikit, Koko Tian terlihat bahagia. Bahkan wajahnya yang dulu penuh jerawat dan bopeng sekarang sudah mulus.

"Gue masih belain lo, kok, Sat. Bedanya kali ini gue realistis aja. Di lihat dari kacamata pengamatan gue, putus lo sama dia kagak baik-baik. Jika ketemu sih alamat kalian bakal keluarin amarah menumpuk." Koko Tian ini sama seperti Nira, sama-sama pengamat sejati. Tidak heran waktu kelas sebelas ia memilih jurusan IPA. Itu pun juga bawa prestasi, kebanyakan karya ilmiah atau klub robotic sekolah.

Waktu terus bergulir, obrolan terus bergulir ke hal-hal serius. Satya mendapati bahwa mereka bertiga sudah sukses dengan pekerjaan masing-masing. Aziz menceritakan tentang suka dukanya jadi karyawan IT dengan jadi youtuber gamers paruh waktu selama tiga tahun, Koko Tian yang katanya mau buka cabang ketiga dari bengkel mobilnya, dan Rahman yang sukses jadi motovlogger dan punya bisnis jualan suku cadang sepeda motor sport.

"Ya lo tahu aja orang-orang tuh suka banget sama suku cadang yang beli di gue, sampai-sampai pelanggan gue tuh katanya nggak mau ke yang lain." Rahman menyesap sisa minumannya yang terakhir sembari membanggakan prestasinya.

"Gaji Youtube gue cuma beda sedikit sama kantor. Tapi satu sisi bikin konten tuh capek gaes, belum bikin skrip, belum teriak-teriaknya, belum punggung sama leher pegal kebanyakan duduk tegak," keluh Aziz.

"Bengkel gue sih ramai, cuma pelanggan makin aneh-aneh aja keluhan mobilnya. Kadang mekanik gue sampai lapor melulu." Koko Tian yang biasanya kalem akhirnya mengeluarkan uneg-uneg terpendamnya, sungguh tidak biasa.

Waktu memang mengubah mereka bertiga.

"Lo sendiri gimana, Sat? kerjaan nggak masalah, kan?" tanya Koko Tian.

Baru Satya buka mulut, Aziz serobot pembicaraan lebih dulu. "Heh, Satya kan anak orang kaya. Hartanya mah kagak habis-habis, lagi pula Grup Anggara selalu berdiri kokoh walau badai datang ke mereka sampai sekarang."

Satya mati-matian menyembunyikan keterkejutannya. Seumur hidup, bersahabat dengan mereka tidak pernah ada yang sampai meremehkan begini. Mungkin saja ini efek langit semakin gelap, dan lampu kota mulai redup satu persatu.

"Gue bener, kan, Sat?" Aziz kembali menyadarkan fokus Satya. "Mie Gara aja penjualannya naik terus."

"Usaha makanan nggak pernah mati, Ziz. Semua orang butuh makan, pintar itu Bapaknya Satya. Memangnya Kau?" Rahman yang terkesan bela tetapi nada suaranya mendukung temannya tersebut.

Aziz hanya melipat bibir dan berjalan menuju penjualnya untuk minta segelas kopi hitam lagi.

Apa benar ini yang dinamakan teman? Bukannya teman itu seharusnya saling mendukung dan membantu jika ada masalah? Selama ini, Satya tidak pernah bermasalah dengan teman-temannya mulai dari kalangan Sosialita, geng Pandora, sampai geng Cowok Manis sekarang ini. Dia tahu teman-teman sosialitanya bermulut manis di depan tapi jadi bahan pembicaraan, dan Satya tidak mempermasalahkan hal itu. Bahkan, Ia dengan pedenya terus berusaha menunjukkan suatu hal yang lebih baik dari sebelumnya.

Namun, kenapa hati dia justru hatinya perih saat sahabat lamanya sendiri berbicara seperti itu?

Satya terus berusaha menenangkan dirinya yang bergejolak. Ia ingin sekali mengeluarkan uneg-uneg ketidaksetujuannya, tetapi rasanya nyangkut di tenggorokan. Dia tahu bahwa privilese Grup Anggara memudahkan jalannya meniti karier, tapi bisakah orang-orang memandangnya sebagai seorang Satya, bukan putranya Herianto Anggara?

"Apa lagi waktu merambah suplemen, beuh penjualan habis banget. Sejak dipegang Kakak lo, Sat. Grup Anggara makin melesat sampai saingan bisnisnya bingung strateginya?" Kalimat yang Rahman ucapkan ini bikin rasa kesal Satya perlahan muncul. Tetapi, lagi-lagi sulit mengutarakannya.

Angkringan semakin ramai setelah arloji Rolex Satya menunjukkan pukul setengah satu malam. Namun, dalam pertama kali di hidupnya, Satya justru semua merasa semu dan membosankan. Ia ingin tantangan baru, seperti yang dialami Nira, Obi, dan Tio.

***

Satya kembali bergulir dengan hari-hari biasa yang membosankan. Belum lagi kantornya lagi hectic terkait tim legal dan Nira yang sedang mengurus kasus sabotase pengrusakan alat pengemas Mie Gara. Satya yang baru saja ditunjuk sebagai supervisor pemasaran harus bergerak cepat dalam menangani strategi terbaru akibat krisis. Belum lagi pelakunya susah dicari dan konferensi pers yang diadakan tim public relation beserta Dara – perwakilan tim legal – menyatakan bahwa produk Mie Gara diproduksi terbatas karena sedang mempersiapkan varian baru.

Satya tahu bahwa bilang terang-terangan soal pengrusakan ini berdampak pada saham Grup Anggara. Belum lagi kepercayaan masyarakat yang tetap tinggi, Satya sering lihat media sosialnya Mie Gara bahwa mereka akan selalu menunggu rasa terbaru tersebut. Bahkan sudah bikin teori sendiri seperti apa racikannya.

Rapat yang diadakan oleh atasannya berlangsung alot karena belum memuaskan mereka. Atasan inginnya rasa Mie Gara harus familiar di lidah orang Indonesia, sedangkan ide-ide yang dilontarkan oleh Satya dan perwakilannya adalah rasa terbaru yang unik seperti bolognaise serta diskon empat puluh persen jika beli di GaraMart serta beli dua dengan harga sepuluh ribu rupiah selama sebulan penuh.

Di kubikelnya, Satya sampai melonggarkan dasi dan bersandar sejenak. Kali ini ia malas cari makan di luar, tubuhnya terlalu lelah. Maka, Satya pesan makan pada OB yang bertugas sekalian lebihin uang untuk jatah makan mereka.

"Baru ganti direktur utama, sudah ada aja cobaannya." Vika – teman kerja Satya – yang tadi ikut presentasi di ruang rapat, tahu-tahu bersuara saja.

Satya menegakkan tubuh lalu memiringkan tubuh ke arah kanan – kubikelnya Vika. "Namanya juga baru pergantian pemimpin, ada celah pas buat menghancurkan perusahaan di situ."

"Lo lupa, Abang lo tuh saking bersihnya tuh imej malah makin banyak yang benci." Vika menyortir dokumen yang harus ia kerjakan, padahal waktu istirahat kantor baru makan.

Kernyitan dahi Satya tampak, pria flamboyan itu malah melontarkan pertanyaan lain. "Lo tumben nggak ikut anak-anak makan di kantin parkiran atau angkringan sebelah gedung, Vik?" Revika Ramadhani adalah rekan satu divisi sejak mereka pertama kali kerja di Grup Anggara enam tahun lalu. Mereka merintis karier bersama-sama hingga Satya mengajukan cuti untuk lanjut kuliah MBA di New York University tahun 2019. Setelah masa kuliahnya berakhir, ia kembali bekerja dengan pangkat supervisor dengan Vika sebagai tangan kanannya.

Vika terlihat menarik, rambut coklat panjang melebihi bahu dengan kemeja biru polos dan rok span hitam yang menunjukkan lekuk tubuhnya. Belum lagi wajahnya yang menawan walau tanpa riasan tebal. Vika makin terlihat seksi saat menaikkan rambut agar matanya tak terhalangi. Sungguh pemandangan menyegarkan di mata Satya, setidaknya kehadiran perempuan seperti Vika menyegarkan pikiran Satya yang buntu.

"Pertanyaan gue nggak lo jawab lagi," dengus Vika sambil menaikkan kacamata anti radiasinya. "Gue males, nggak keburu soalnya proposal buat ide pemasaran berikutnya tinggal sedikit. Biar lo langsung review dulu lah sebelum presentasi berikutnya."

Satya salut dengan dedikasi orang kepercayaannya ini. Coba saja gue pepetin lebih kenceng lagi, pasti bahagia banget. Sayang dia hafal modus operandi gue dan anti pacaran dengan sesama pegawai. Hadeuhhh.

Lamunannya terhenti saat OB menghampirinya dengan bungkusan makanan serta piring kaca dan sendok. Setelah Satya mengucapkan terima kasih, si OB tersebut berpamitan. Menu makan kali ini adalah nasi padang dengan lauk gulai ayam, telur dadar, perkedel dengan daun singkong. Sebelum makan, tidak lupa Satya izin pada Vika untuk makan lebih dulu.

"Gue sudah makan kali, Sat. Nyante aja," ujar Vika tanpa meliriknya sama sekali.

***

Satya bukan orang seperti Obi yang ambisius dengan pekerjaan, bukan seperti Tio yang santai tapi pergerakan kehidupannya stabil, bukan seperti Nira yang kaku, keras kepala, dan nekat. Satya tahu, dirinya adalah bagian hitam dari logo Yin dan Yang, beda dengan tiga sahabatnya yang kebanyakan bagian putih. Kecuali Nira yang bisa mengimbangkan keduanya.

Satya mengaku dirinya adalah penganut slow living sejati. Di ibu kota yang selalu dituntut serba cepat, Satya mampu bersantai sekaligus menyelesaikan pekerjaan dengan tepat waktu. Semua pekerjaannya sudah beres di hari Jumat, sehingga tidak ada lembur dadakan dan bisa menikmati waktu santainya.

Di jendela KRL yang membawanya ke area pinggiran Jakarta, ia mulai meninggalkan segala atribut sosialitanya.

Butuh waktu setengah jam dari stasiun Bogor ke tempat yang ia tuju. Sebuah bangunan model rumah dua tingkat bercat coklat. Begitu Satya turun dari mobil, beberapa anak kecil menghambur padanya untuk minta permen. Ia langsung mengacak kantong plastik untuk beri mereka permen lollipop bermacam rasa satu persatu.

Hati Satya menghangat ketika anak-anak itu mengucapkan terima kasih lalu kembali bermain di arena taman.

Seorang perempuan seusia Maminya menghampiri Satya lalu mengajaknya masuk ke bangunan yang penuh dengan ukiran-ukiran khas Jawa di bagian sofa dan meja kopi dari kayu jati yang sengaja modelnya agak acak tersebut. Kemudian melewati dapur dan Lorong dengan lima pintu di sisi kiri dan kanan yang merupakan kelas-kelas untuk anak-anak tadi. Mereka berhenti setelah sampai di kantor perempuan itu. Tidak seluas kantor Kakaknya, tapi tampak nyaman karena Sebagian sudut dikasih wallpaper gambar binatang dengan gradasi warna merah, krem, dan coklat yang cantik.

Setelah dipersilakan duduk dan menikmati dua emping dari toples, Satya dan perempuan itu berbincang ringan mengenai kehidupan masing-masing hingga ke topik utama. "Terima kasih atas bantuan Nak Satya atas sekolah gratis ini serta kontribusinya. Sampai selamanya saya akan membalas utang budimu, Nak."

"Bu Ita tidak perlu repot-repot begitu. Kontribusi Ibu pada kemajuan Pendidikan di Indonesia menginspirasi saya untuk bangun sekolah ini. Lagipula, Ibu sendiri ingin tetap produktif walau bukan kepala pelayan lagi."

Bu Ita – demikian panggilannya – tersenyum simpul. Walau terlihat manja dan cerewet, sesungguhnya anak Bos satu ini selalu peduli dengan lingkungan sekitarnya. Waktu awal-awal kerja sebagai tim pelayan Grup Anggara, beliau terkejut dengan Satya yang tadinya bersenang-senang dengan anak teman Nyonya Besar malah mengitari taman super luas dengan air mancur berhiaskan patung harpa yang dipesan langsung dari Spanyol.

Sekarang, si anak bungsu Nyonya Kirani alias Nyonya Besar mampu bangun sekolah dan berkontribusi sesekali jadi pengajar. Setiap ke sini, pria berkulit bersih dengan senyum miring itu selalu bermain dengan anak-anak dan bertanya tentang hal-hal yang mereka alami. Dia tidak menyangka di balik cerewet dan sikap narsisnya, sisi dermawan itu tidak hilang. Sifat utama yang dimiliki keturunan Anggara.

"Tapi, Nak, apa Ibu boleh bertanya?" Bu Ita bertanya sambil menaruh cangkir teh hitamnya.

"Silakan."

"Mengapa sampai sekarang sekolah ini minta dirahasiakan dari publikasi dan orang tuamu, Satya?" Sejak keluar dari istana megah Herianto Anggara setahun lalu, Satya selalu meminta Bu Ita untuk panggil nama saja, tidak terkecuali Papi dan Maminya.

"Saya mah nggak mau dibilang pencitraan, Bu. Media lebih suka apa yang mereka lihat daripada sesuatu di baliknya. Saya juga tidak mau privasi anak-anak jadi terganggu akibat ulah media tidak becus," jawab Satya tegas.

Pantas saja Satya selalu minta setiap pegawai yang kerja di situ harus menandatangani perjanjian dengan pasal tidak membocorkan keberadaan sekolah itu pada media dalam bentuk apa pun. Jika dilanggar, konsekuensinya adalah pecat dengan tidak terhormat. Mereka mengiyakan, entah tidak mau berurusan panjang dengan Grup Anggara atau mereka memang bersungguh-sungguh mengajar.

"Kamu benar, hidup bukanlah hitam dan putih, melainkan abu-abu. Tapi, kita harus lebih cermat dalam menganalisis seberapa abu-abunya kehidupan. Tidak selamanya kawan adalah lawan dan sebaliknya."

Satya akui kalimat Bu Ita memang benar, bahkan dia sendiri lagi merasakannya. Rekan kerja yang ia anggap baik, begitu tahu bahwa ia putranya Herianto Anggara langsung menjauh seperti takut-takut.

"Satya mau ibu beri saran?" Begitu anak mantan Bosnya masih termenung, beliau angkat bicara.

Satya menyunggingkan senyum, lalu menyesap tehnya.

"Jaga terus nama baik untuk dirimu sendiri, Nak. Selalu dengarkan intuisimu."

Intuisi?

Ujung bibir Satya melengkung ke atas. Satya selalu mengikuti kata hatinya, dan itu terbukti. Dasar Bu Ita! Ini mah gampang banget dilakuin kali, Bu.

2300++ word

(Publish awal: 25 April 2019. Di edit: 22 Juli 2021)
Happy Reading!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro