BAB - 32: Loneliness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kosong.

Itulah yang dirasakan Satya saat ini.

Apa yang ia kerjakan selalu terasa tak benar. Belum lagi Terry makin menghindar di kantor, hanya menemuinya di saat jam kerja dengan laporan penjualan barang-barang perlengkapan mendaki hasil dipromosikan Terry yang makin naik. Jadi, ia menitipkan berkas fisik pada sekretaris dan soft copy via email. Di rapat terakhir juga begitu, Terry tersenyum pada karyawan, tapi tidak setiap Satya mengajukan pertanyaan atau bercanda dengan teman-teman lain.

Sejak drama dengan Vika waktu itu, Terry bukan hanya dingin tapi makin jauh. Puncaknya adalah pada hari keberangkatan, permintaan maaf Satya ditolak mentah-mentah waktu ia mengajak Terry ngobrol berdua di lorong dekat toilet bandara.

Belum lagi dengan Koko Tian dan Rahman.

Waktu Satya berkunjung ke bengkel Koko Tian – untuk servis mobil berupa ganti oli – yang kondisinya lebih baik, Koko Tian hanya melayani seperlunya. Tidak ada lagi perbincangan basa-basi atau ajakan ke tongkrongan, bahkan sekadar curhat tentang bisnis. Jadinya Satya hanya diberi kertas gantung serta penjelasan dalam berapa kilometer lagi ia harus datang. Ketika Satya bertanya kenapa Koko Tian bersikap aneh, dia hanya menjawab sedang sibuk dan tak ingin diganggu.

Untuk Rahman, kunjungan Satya ke rutan pun ditolak mentah-mentah. Sipir tersebut menyatakan bahwa Rahman menolak Satya dalam keadaan apa pun. Niat Satya padahal hanya kunjung sapa serta mendengarkan penjelasan Rahman. Pengacara Rahman bahkan sampai mohon-mohon ke Satya. Akhirnya, laki-laki itu tidak bisa berbuat apa-apa.

Puncaknya adalah Sarah.

Setiap Satya telepon selalu ditolak, sampai ke butik juga. Memang, akhir-akhir ini menurut pantauan media sosial butik Devina, Sarah sedang persiapan untuk pameran acara fesyen shownya di atrium serta mengawasi renovasi. Senyum Satya sedikit mengembang, Sarah tetap menawan walau hanya pakai kemeja pink dan celana jeans pensil.

Namun, tetap saja semua terasa kosong.

Hidup Satya yang biasanya penuh warna dengan obrolan panjang teman-temannya langsung musnah begitu saja seperti dihempas angin topan. Tidak ada angin dan hujan, semuanya menjauh. Ada apa dengan dirinya kali ini? Apa salahnya?

Rasanya dia seperti manusia tidak berguna.

Saat ini Satya menjalankan hari-hari seperti biasa, kerja pulang kerja pulang. Di akhir pekan ia mengunjungi bar kecil untuk sekadar melepas penat. Kejadian ini terus berulang-ulang dan rasanya membosankan sekali.

Malam senin yang kelabu, di sofa dengan kedua tangannya yang melebar di atas sandaran dan mata terpejam. Saat itulah suara Manakar menggema lagi.

Ternyata orang kayak lo bisa kesepian juga.

"Lo mau apa lagi sih?" Gumam Satya. Leher belakangnya kembali nyeri sehingga Satya mendadak duduk tegak untuk memijat.

Sudah coba racik ramuan yang gue kasih di ruang putih waktu itu? Ah iya, lo, kan pengecut. Ngapain juga bikin, ya? Buang-buang waktu.

"Sudah tahu nanya, nggak kalah bego rupanya," balas Satya di sela-sela nyerinya. "Bisa nggak sih, kalau lo muncul itu nggak bikin badan gue pegel gini."

Itu hukuman karena lo nggak becus ngelaksanain perintah gue. Terpaksa gue nggak punya cara lain.

Manakar mulai menguasai badan Satya sepenuhnya, tepat saat pisau belati itu membesar. Tangan Manakar menarik belati tersebut lalu menggerakkan badan Satya ke dapur. Bahan-bahan untuk membuat racun sudah lengkap di meja marmer, dan ternyata mudah ditemukan.

"LO APAIN BADAN GUE, BANGSAT," jerit Satya dari sanubarinya.

Manakar tidak peduli, ia mulai menyusun bahan-bahan membuat racun dalam hitungan singkat. Ia tidak peduli dengan Satya yang terus menjerit untuk keluar. Setengah jam kemudian, racun khas Manakar sudah berada di gelas bening keruh, senyumnya mengembang.

"Seandainya, Sat, kalau lo nggak pengecut dan langsung menjalankan saran gue, lo nggak akan begini."

GUE MASIH PUNYA HATI, BANGSAT. GUE NGGAK AKAN BUNUH SEMBARANG ORANG, GUE BIARIN SEMUA TEPAT PADA WAKTUNYA.

"Itu kesalahan lo," balas Manakar santai. "Makanya ini gue ajarin, sekaligus membunuh lo dari dalam biar gue bisa leluasa dengan tenang. Sekarang tahap kedua."

Mereka berdua saling tarik menarik untuk tidak mencelupkan belati itu ke dalam gelas beracun itu. Satya menarik ke atas, sedangkan Manakar berusaha nariknya lebih kencang. Ini seakan-akan terlihat seperti Satya akan membunuh seseorang, tapi targetnya adalah cairan beracun itu. Terdengar bunyi air gemericik, tanda belati itu tercelup sempurna hingga menyisakan pegangan. Senyum Manakar tercampur tawa begitu belatinya bercahaya, tanda racun terserap dengan baik.

Badan Satya yang dikuasai Manakar berjalan menuju cermin besar di samping ruang televisi. Perbedaan mencolok antara Satya dan Manakar adalah bola mata Manakar berwarna merah gelap, sedangkan Satya berwarna coklat. Sosok yang berada di cermin itu menggunakan kaus uniqlo warna merah gelap dengan celana pendek warna krem selutut, sungguh mengenaskan.

Senyum miring Manakar tercetak sempurna. "Sepertinya gue ada ide nih, gimana kalau ngetesnya ke diri sendiri? Kan lumayan, enak mati daripada hidup penuh bertanya-tanya, ya nggak, Sat?"

BANGSAT, JANCOK, KUTU KUPRET. HEH, LO JANGAN SENTUH-SENTUH BADAN GUE YANG BERHARGA. GUE NGGAK BISA GAET CEWEK-CEWEK KALAU GINI.

"Masa? Harusnya saat ini lo main ke bar kek, ke mana kek buat gaet cewek-cewek seperti yang biasanya lo lakuin. Mana sekarang? Lagipula juga lo nggak punya siapa-siapa lagi, gue denger juga nama lo bakal dicoret di kartu keluarga Anggara."

Provokasi Manakar bikin Satya mengerang sampai badannya mengerang dengan teriakan melengking. Ekspresinya di cermin berubah jadi santai, kembali dikuasai Manakar. "Kampret kelamaan pemanasaan, ya sudah ini saatnya. Selamat tinggal, Satya."

Jiwa Satya yang terasa terikat berusaha keras untuk menarik tangan kanan yang memegang pisau agar jangan sampai menyabet lehernya. Manakar yang tidak kalah kuat berusaha mempercepat gerakan pisau itu ke leher. Jiwa Satya mendorong badannya sendiri ke tembok, ujung meja marmer, pintu kulkas, bahkan sampai lari-lari sambil menjatuhkan belati itu ke segala arah. Manakar dengan sigap mengambil pisau itu, dan kini ujung pisau sudah berada di pergelangan tangan.

"BANGSAT, SAKIT WOY."

Teriakan Satya terasa kecil, setetes cairan merah keluar dari pergelangan tangan. Manakar tersenyum semangat melanjutkan irisan tersebut.

Bunyi ponsel Satya menghentikan sayatan.

Begitu Manakar lemah, Satya buru-buru meraih ponsel tersebut dan mengangkatnya tanpa lihat layar sama sekali.

"Sat, gue ke apartemen lo, ya. Sudah lama nih nggak main, biasa pengen cobain PS 5 lo."

Suara yang sangat Satya kenal, suara yang mengademkan hati dan bikin Manakar tersingkir begitu saja. Belati itu terjatuh dan ukurannya mengecil, tapi tetesan darah terus mengucur bikin jeritan Satya menggema. Dia tidak peduli dengan ancaman Manakar yang akan terus mengganggunya itu.

"Iya, lo main aja ke apartemen. Gue tunggu, Yo."

***

Tio datang saat jam makan siang, dan dia kaget begitu menemukan Satya sudah lemah dengan darah menetes di lantai setelah pria itu membukakan pintu apartemen. Sesuai perintah Satya, Tio buru-buru mengambil kotak pertolongan pertama dengan segelas air. Dengan cekatan, Tio mendudukkan Satya di kursi sofa, kemudian mencelupkan kain ke air untuk mencuci lukanya Satya yang ternyata sayatannya sudah agak lebar menuju nadi utama. Setelah dirasa darah berhenti mengalir, Tio membubuhkan obat merah, terdengar desisan perih dari bibir Satya dan diabaikan Tio. Terakhir Tio menempelkan kapas yang sudah dikasih obat merah tadi lalu diikat oleh lilitan kain kasa. Tadi sebelum diperban Satya sempat intip lukanya yang tidak terlalu dalam, sepertinya racun itu nggak masuk ke tubuhnya.

"Sudah."

Satya mau bilang makasih, tapi Tio langsung ke tahap berikutnya yaitu membersihkan noda darah. Tangan Tio dengan cekatan menuang pemutih dicampur air lalu dipel sesuai jejak yang ditinggalkan. Satya yang sudah berpindah ke sofa hanya mengamati Tio dengan badan yang serasa dihantam batu besar, matanya tertuju pada pergelangan tangan kiri yang diperban.

Banyak pertanyaan mengalir di benak Satya.

Mengapa Manakar terobsesi dengan pelaku perusak reputasinya?

Apa yang dia inginkan?

Bagaimana jiwa abstrak itu bisa muncul padahal jarak mereka sungguh jauh?

"Nglamun mulu noh, awas lalatnya masuk mulut."

Suara Tio berhasil mengalihkan pikiran Satya, ia memainkan mulut dulu. Ternyata sahabatnya sudah selesai ngepel dan ember pel otomatisnya sudah berada di tempat semula, dan sekarang ia sudah duduk di samping Satya persis.

"Lo lama-lama kayak Nira aja, Sat. Masa apa-apa disembunyikan, cerita lah sama kita-kita. Masa pakai acara bunuh diri. Ini kayak bukan lo, tahu nggak?" Tio membuka pembicaraan, tidak bisa menahan kesalnya.

"Ya maaf, Yo. Habisnya gue beneran frustrasi. Semua ngilang, dan ... sikap gegabah gue berdampak ke mereka." Bagian ini tidak bohong, tapi Satya sengaja menyembunyikan bagian ia bertengkar dengan Manakar soalnya sungguh aneh bertengkar dengan diri sendiri.

Tio menepuk bahu sahabatnya, tersenyum miris. "Kan masih ada gue, Obi, atau Nira. Lo tahu sendiri segalak-galaknya kita, pasti nggak akan menjauh gitu."

Perkataan Tio tadi ada benarnya, dan Satya mendadak nyesal karena tidak kepikiran untuk menghubungi mereka. Namun, di satu sisi, Satya tidak mau mereka jadi terasa aneh akan penjelasan kenapa dia sampai hampir bunuh diri gitu.

Suara televisi lagi-lagi membuyarkan lamunan Satya. Tio ternyata sudah menyalakan PS 5 dan menyodorkan stik tanpa kabel. Satya menerimanya dan hanya bungkam ketika Tio bingung ingin main apa.

"Gile lo, Sat, gimnya lengkap juga. Ada Mortal Kombat, NBA, sampai Spiderman. Gue pilih ini, ya." Tio memberhentikan pilihannya pada Mortal Kombat 1, dan lagi-lagi Satya hanya pasrah menurutinya.

Mereka berdua larut dalam pertengkaran antara Johnny Cage dan Sub Zero. Perasaan Satya perlahan-lahan membaik, dan Tio hanya lempar senyum kecil. Begitu ronde terakhir dimenangkan Tio, energi Satya perlahan kembali walau harus merasakan nyeri di pergelangan tangan.

"Sebenernya, Yo, tumben banget lo mau main ke apartemen gue. Biasanya sibuk ngajar sama pergi ke Singapura buat urusan anak-anak paduan suara lo itu."

Lemparan bom ala Satya bikin Tio meletakkan joystick di meja kopi dekat hiasan vas bunga.

"Sebenernya kemarin waktu gue habis telponan sama Nyokap, mendadak dada gue nyeri. Terus gue mimpiin lo terkapar berdarah, dari situ gue panik. Mana parahnya gue nggak bisa langsung ke tempat lo, makanya begitu akhir pekan ini nggak ngajar paduan suara makanya gue samperin lo."

Satya tertarik pada satu hal dari pernyataan Tio. "Dada lo nyeri? Kok bisa? Perasaan dulu lo deh yang paling pinter olahraga dan nggak punya riwayat jantung."

Tio mengangguk cepat. "Asli, sampek gue konsul ke dokter di klinik terdekat beberapa hari sebelum ke sini. Kata dokternya malah gue sehat walafiat, terus second opinion juga bilangnya sama."

Ponsel mereka berdua sama-sama bunyi, ternyata Obi memulai panggilan dari grup pertemanan mereka. Tio mengangkatnya dan muncullah wajah Obi dengan latar meja belajar di kamarnya yang berlokasi di East Village.

"Lo kenapa lagi sih, Sat?" Ocehan Obi mengisi apartemen Satya. "Nggak capek apa lo nyusahin kita bertiga dengan tingkah ngadi-ngadi dan di luar nalar lo itu. Nggak kasihan apa sama Nira lagi banyak masalah sampai-sampai dia mohon-mohon ke gue buat wakilin ngutarain kesalnya ke lo? Ha? Dia udah stres ngadepin masalah video pornonya, sekarang malah dapat mimpi buruk lo sekarat."

"Hei hei hei," lerai Tio. "Bi, sudah nggak usah ngomel. Lo kenapa sih baru pembukaan lho ini."

Obi menghela napas, wajahnya perlahan melunak di layar ponsel. "Gue dapat mimpi di ruang putih, kata seseorang lo dicelakain sama jiwa yang nempel di tubuhmu, Sat."

Pada akhirnya Satya tidak bisa menyembunyikan ini dari mereka berdua. Ternyata Pandora selama ini bikin mereka berempat saling terhubung melalui telepati dan insting jika salah satu dari mereka tertimpa musibah. Maka mengalirlah cerita Satya yang terkait bertengkar dengan jiwa Manakar yang terus provokasi hingga hampir menusuk diri sendiri, teman-temannya yang menjauh akibat sikapnya yang gegabah, dan paling parah adalah masuk ke ruang putih dan diajari bikin racun dari belati lalu mengeluarkan kalung tersebut dari balik kausnya.

"Gue pernah ke ruang putih." Obi angkat bicara setelah cerita selesai. "Menurut gue, ruang putih itu selain ruang transisi, itu bakal bikin ragu. Kalau di gue sih waktu itu bener, ada yang mau apa-apain Bokap gue. Namun, itu nggak semua, kebanyakan bikin ragu dan pening. Makanya lo sempet lari-lari nggak nemu ujung dan bikin stres sendiri, kan?"

Anggukan cepat Satya tanda itu benar.

"Yo, lo temenin Satya beberapa hari deh biar dia nggak kesepian. Asli bahaya dia kalau sendirian, takut setannya bisa lebih jahat," perintah Obi tanpa tedeng aling-aling.

"Eh gue bisa sendiri, ya?" Sergah Satya tidak terima.

"Buktinya apa?" Obi bertanya balik, bikin Satya bungkam. "Buktinya lo hampir mati sampek Tio dan bikin kita bertiga paniknya kebangetan. Mau mana lagi buktinya? Sudahlah, Sat, dengerin gue kali ini aja."

Suatu fenomena ajaib dalam persahabatan ini adalah betapa Satya dibuat berpikir. Tio hampir saja bertepuk tangan jika tidak dikode Obi.

"Oke, gue turutin saran lo kali ini." Satya akhirnya angkat bicara. Walau dalam hati ia menggerutu terus menerus, dasar orang nyolot bin tukang perintah. "Tapi, begitu Setan Manakar itu nggak gangguin gue, Tio berarti bisa pulang, ya?"

Obi tersenyum bahagia. "Baiklah kalau begitu." Ia beralih pandang ke Tio. "Lo pastiin Satya nggak akan bisa berbuat aneh-aneh kali ini, ya. Apa-apa lapor ke gue atau Pandora langsung nggak apa."

Tio hanya kasih jempol sebelum panggilan tertutup.

"Oke, gue bisa pinjam baju lo ya untuk malam ini. Besok janji gue akan balik dari kerja dengan pakaian lengkap," pinta Tio.

Satya setuju dengan tos yang hanya ditujukan mereka berdua. Sejujurnya Satya sendiri senang dengan keberadaan Tio lebih lama, kadang hanya Tio yang satu-satunya sahabat yang bisa menerima dia dari semua sisi tanpa perlu ngomel-ngomel. Hal ini bikin dia betah dan selalu dia selalu jadi andalan Satya di situasi apa pun.

"Lo nggak apa kan tidur di sofa?"

"Santai aja, Bro," jawab Tio, senyum simpul yang bikin cewek-cewek blingsatan tanpa usaha lebih itu terbit. "Kasih gue selimut sama makan aja cukup. Gue berharap semoga kehadiranku di sini bisa bikin lo berpikir jernih."

"Itu pasti."

***

Saat apartemennya sepi,  Satya mulai buka rekaman di ponselnya. Kembali memutar semua kejadian tersebut sembari mencocokkan dengan cerita dari Vika. Kesemuanya memang cocok dan tidak ada hal yang aneh.

"Keberadaan Tio memang bikin gue rileks. Anak itu punya pelet apa sih?" Satya berbicara pada diri sendiri, bahkan Manakar tidak mengganggunya.

Ia kembali memainkan rekaman. Kali ini mata Satya terbelalak, ternyata badan yang mirip Vika yang dikira mau bunuh Satya yang posisinya memunggungi ternyata nggak jadi. Kemudian pintu terbuka keras, badan Om Sarwo yang terpampang jelas sedang menarik Vika dan dari gerak bibirnya mengatakan ia harus pulang. Ternyata Orang itu yang dimaksud Vika adalah lengan lain berbaju warna cerah menusuk Sintia dari belakang.

"Ya Tuhan, Vika bener. Tuhan, gue sudah berbuat apa ke dia?" Satya memijat dahi, penyesalan terus menguasainya. "Oke, kali ini gue harus minta maaf ke dia, tapi gimana caranya? Mau taruh dimana muka gue?"

2291 kata
(8 Oktober 2023)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro