BAB - 34: Aksi Pembungkaman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu jam kemudian, suara desing itu sudah tak terdengar. Satya yang pertama kali mengangkat kepala lalu diikuti Sarah yang ternyata tiduran di dada Satya dengan tangan yang melingkar di pinggang pria itu dari samping. Mereka berdua mengisi mengetes telinga dengan cara beri napas ke tangan dengan posisi kepal lalu lepaskan ke lubang secara bergantian.

"Sudah selesai beneran nggak sih?" tanya Sarah takut-takut.

Satya menjawab tanpa melihat Sarah langsung akibat gelapnya lemari. "Harusnya sih sudah, ya. Soalnya gue nggak dengar desingan aneh."

"Lagipula siapa sih yang neror kita kali ini? Gila dua kali lho toko gue dirusak," cecar Sarah pelan. "Siapa pun dia, pokoknya tanggung jawab ganti kerusakan semua ini, bila perlu bayarin semua pagelaran busana gue dalam satu tahun."

"Lo kalau marah kok gemesin gini, Sar," komentar Satya, ingin rasanya dia mencubit gemas pipi sang mantan kekasih. Namun, ia urung daripada kena omelannya.

"Halah bohong banget," cibir Sarah. "Gue lagi kesel nih. Gara-gara lo tau, hidup bisnis gue jadi nggak tenang gini."

"Ya maaf." Satya merasa tidak enak, pelan ia elus lengan Sarah. "Setelah masalah ini selesai, gue janji akan biayai pagelaran busana lo."

Elusan Satya memang menenangkan, tapi sebenarnya yang bikin Sarah tersenyum cerah adalah kalimat terakhir yang dilontarkan. "Ini beneran?"

Satya merasa pandangan mereka beradu, ah sudah lama ia tidak merasakan salah tingkah ini. "Eh beneran kali, asal jangan aneh-aneh aja. Duit gue lagi tekor."

"Halah, Sat, duit keluarga lo juga nggak habis tujuh turunan juga. Pakai sok-sokan tekor segala," sindir Sarah, pandangannya tertuju pada pintu lemari yang beberapa bagiannya sedikit bolong.

"Ngomong-ngomong duit tekor, keknya kita harus segera keluar untuk cek kerusakan. Lebih cepat ditotal, lebih baik. Soalnya gue butuh kalkulator hp," bisik Satya tepat di daun telinga Sarah, bikin bulu kuduk perempuan itu bereaksi.

Kali ini Sarah malas menanggapi, Satya dan sifat alamiah anak bungsu yang manja gini menyebalkan sekali. Pintu lemari terdorong pelan, kepala Sarah melongo keluar dan langsung mengerang lemah. Kantornya sungguh berantakan, dan dorongan Satya adalah kode untuk segera keluar.

Pinggang mereka berdua sedikit bunyi setelah menggerakkan badan. Sarah hanya menggelengkan kepala cuek, kemudian tangannya membereskan barang-barang yang berantakan. Satya sendiri menyumbang bantuan dengan cara menyapu percikan kaca yang pecah dan memeriksa komputer di meja kerja Sarah yang syukurnya hanya pecah layar saja.

"Ya tetap aja si Orang Gila itu kudu ganti," sergah Sarah yang sedang menyusun kembali setengah rancangan dari manekin yang masih bisa diselamatkan.

Ponsel Satya yang berada di bawah meja kopi berbunyi. Pria itu langsung menghamburnya dalam satu tangan yang bergerak halus kemudian menyapanya.

"Sudah gue bilang, mending lo nyerah aja cari pelaku sebenarnya. Kasihan banget sampek luntang luntung nggak jelas, padahal anak orang kaya."

"Heh, siapa pun lo di situ." Suara keras Satya menghentikan kegiatan Sarah, perempuan itu mendekat lalu bibirnya mengatakan speaker tanpa suara. Satya menurutinya lalu kembali berkata. "Gue nggak akan berhenti cari lo sampai dapat."

"Oh, ya," balas si Penelepon enteng. Jari Sarah langsung memencet tombol rekam lalu buru-buru kasih kode diam saat Satya protes dalam diam. "Kalau sudah ketemu gue, lo akan apain gue? Bunuh? Jeblosin gue ke penjara?" Peneror itu terbahak melengking.

"Kalau bisa mati ya mati." Ucapan Satya kali ini anehnya tidak bikin lehernya sakit.

Tumbenan banget, ya sudah setidaknya gue aman dari Manakar.

Peneror itu terbahak. "Lo pikir lo Tuhan." Ia lanjutkan tawa melengkingnya sampai batuk-batuk. "Oke, karena kayaknya peringatan pakai kata nggak cukup, gue akan kasih tahu siapa target berikutnya selain sahabat dan mantan pacar lo yang perek itu." Panggilan tertutup begitu saja.

Ternyata ada pesan grup beruntun dari keluarga Anggara. Satya dan Sarah buru-buru buka dan alur pesan suaranya cepat. Ini suara-suara yang bisa ditangkap telinga Satya, karena sisanya dipenuhi oleh suara teriakan dan bunyi pistol dari halaman rumah.

"Kita sekarang sedang perjalanan ke ruangan khusus lantai loteng, tim keamanan sedang melakukan pekerjaannya." - Suara Papi Heri.

"Satya, Anton, kalian harus berhati-hati. Kata Papi banyak tim keamanan kita yang tewas. Anton, kamu amankan anak-anak dulu, kamu sudah pasang bunker khusus di rumah kamu, kan?" Suara Mami Kirani.

Sudah Mi, di tempat Anton sudah perketat keamanan. Sat, lo dimana? Lo nggak apa kan? Jawab gue." Suara Anton menguasai lebih dari lima pesan keluarga, dan lagi-lagi ada bagian di mana Satya disalahkan dan kalau minta bantuan jangan sungkan-sungkan.

Buru-buru Satya menahan tombol mic di ujung pesan dan berkata. "Mas, gue baik-baik saja. Jangan khawatir, orang itu sengaja neror gue biar nggak cari siapa pelaku yang sudah fitnah gue alias pelaku pembunuhan Sintia yang sebenarnya. Gue lagi sama Sarah, dan tokonya lagi-lagi dirusak sama si Peneror itu. Semoga kalian baik-baik saja ya."

Berentetan pesan suara di grup keluarga didominasi oleh Mami. Satya hanya buka salah satunya dan berbunyi. "Sarah gimana kabarnya? Mami kangen sama dia, nanti kalau situasi sudah aman main-mainlah ke rumah di Menteng. Sudah lama kita nggak ngobrol bareng kayak waktu SMA dulu."

Sarah tertegun sekaligus sedikit menyesal. Ternyata selama ini Maminya Satya tetap peduli walau hubungan mereka sudah berakhir. Rasa bersalah kembali menguar dari diri Sarah sampai-sampai ia tahan pakai jari saat matanya berkaca-kaca.

"Gue nggak ngadi-ngadi,kan?" ujar Satya puas. "Mami tuh kadang suka nanyain lo, kadang sampai bertanya-tanya kapan dan di mana bisa ketemu lagi."

Sarah mengerang sewot. "Sudahlah nanti aja pembahasan itu, yuk kita keluar dari sini."

Baru mau berjalan ke pintu, salah satu staffnya membuka lebar pintu dengan napas memburu. Penampilannya sudah acak-acakan dan baju kerjanya basah oleh keringat, mungkin karena sembunyi di tempat pengap.

"Ada apa?" tanya Sarah, lebih ke penasaran kenapa orang keuangan sampai segitunya.

"Saya menemukan sesuatu terkait permintaan Bu Sarah, lebih baik ikut saya."

***

Lantai dua tidak memiliki kerusakan parah akibat tembakan beruntun entah darimana. Sarah mengikuti staffnya sedangkan Satya membantu beresin beberapa kerusakan yang masih bisa diselamatkan. Tentu saja Satya mendengar keluhan mereka tentang siapa pelakunya yang tidak jauh dari saingan bisnis Bos mereka.

Sarah dan si orang keuangan membuka laptop kantor yang tidak rusak karena dimasukkan di tas dan taruh di bawah meja. Keduanya duduk di bawah meja dengan kaki lurus dan layar laptop menunjukkan laporan pembelian beserta gambar baju yang dipesan para pelanggan Devina Boutique satu tahun terakhir. Tangan si Orang Keuangan dengan cekatan geser ke bawah sampai menemukan baju kuning lengan pendek yang dimaksud Sarah beserta siapa dan harganya yang hampir satu juta rupiah itu.

"Pembelian di tanggal dua puluh lima Juli tahun 2021, dua item baju lengan pendek warna kuning atas nama Terry Amira. Harganya sembilan ratus lima puluh ribu," sebut si Orang Keuangan dengan lengkap.

Benak Sarah kembali ketambahan dengan kalimat Satya tentang Sang Putri Menawan di balik tipu muslihat.

Wajah Sarah ternganga sampai mulutnya terbuka, dia bangun dari bawah meja lalu menghampiri Satya yang baru selesai menyusun alat-alat jahit bersama salah satu karyawan perempuan. Dia kesal karena Satya masih sempat-sempatnya genit hingga ia colek keras bahu pria itu pas lagi asyik-asyiknya modus.

"Apaan sih?" seru Satya sewot.

Tanpa mengindahkan protes Satya, Sarah menariknya kembali ke meja orang keuangan tadi. Si Orang Keuangan itu langsung membalikkan laptop saat Satya sudah duduk bersila, kali ini sengaja bagian zoomnya dilebarkan.

"Wah kok bisa kebetulan gini ya ...." Itu adalah reaksi Satya setelah baca semuanya dengan seksama.

"Ya sambil gue cerna-cerna lanjutan kalimat lo ini sih, selain publik figur," lanjut Sarah, "Dia tuh punya image baik-baik di setiap blog dan vlog jalan-jalannya. Ini pas kan buat menjelaskan petunjuk dari kalimat yang lo sampaikan ke gue?" Sarah sengaja menyensor asal muasal kalimat itu karena tidak semua orang tahu tentang Pandora.

Satya menggelengkan kepala. "Asli gue masih nggak percaya, gue masih nggak percaya kalau misalnya Terry yang beneran bunuh Sintia terus ngefitnah gue."

"Tapi–"

"Mana mungkin, Sar," potong Satya dengan suara sangat pelan. "Cewek semungil Terry gini bisa ngebunuh orang."

"Zaman sekarang semua orang bisa membunuh, tinggal strategi mereka gimana," sergah Sarah tidak kalah berbisik. Tangan lentik dengan kutek merah itu kembali menunjuk laptop sebanyak dua kali, tidak lupa dengan pelototan dan bibir terpilin. "Kan sudah gue bilang dari awal, itu baju yang gue desain khusus alias sesuai pesanan, dan ukurannya juga sesuai dengan badan Terry. Jadi, tidak ada yang meniru sama sekali. Anaknya juga sering ngetag toko gue setiap dia travelling pakai baju itu, dan sampai sekarang gue belum bikin untuk massal karena nggak sempat. Desain itu memadukan antara blus dan kaos." Bibir Sarah terus merepet betapa premium bahan-bahan yang digunakan dan desain yang Satya sama sekali tidak paham. Kali ini entah kenapa Satya mengalah saja.

"Kalau lo nggak percaya ..." Sarah mengakhiri ocehannya. "Coba cek di instagram Bosmu itu. Dia pesan dua item, jadi jika dia buang pakaian sebagai barang bukti kita masih punya cadangan untuk menjatuhkan Terry. Jika dia memang benar pelakunya dan sesuai yang dideskripsikan Pandora, sih."

Satya kembali merogoh ponsel lalu membuka media sosialnya Terry kemudian memeriksa satu persatu semua kegiatan jalan-jalan Bosnya. Jemari Satya sesekali berhenti untuk lihat pakaian Terry yang sesuai dengan gambar lalu menjepret layar tersebut. Jemarinya juga membagi hasil jepret layar itu ke laman chat Sarah. Perempuan itu tanpa kata langsung gesit dalam menyalin seluruhnya.

Senyum ceria Sarah terkembang sempurna bagaikan dapat untung besar. "Cepet lo kirim ini ke pengacara lo, biar dia ada salinannya juga. Jadi, jika salah satu dari kita kenapa-apa, setidaknya kita tetap kalah terhormat."

"Sama ini juga, gue suruh Pak Roy dan beberapa kenalan di detektif swasta sama sekalian kirim ke Aziz juga buat tambahan jaga-jaga," jawab Satya sambil tangannya mengutak-atik ponsel terkait berbagi gambar ke laman chat Pak Roy dan Aziz dengan perintah yang sama.

Begitu selesai terkirim, suara keributan muncul di lantai pertama, bikin Satya dan Sarah langsung turun. Sementara para karyawannya kembali sembunyi lengkap dengan mengamankan beberapa data dari laptop mereka masing-masing.

***

Saat Satya dan Sarah sudah menapaki anak tangga terakhir yang mana tangga itu tepat di belakang meja kasir, ternyata situasi sudah lebih parah. Etalase baju jadi porak poranda, baju-baju robek, gantungan pada jatuh berserakan kemana-mana, tanaman sudah pecah dan memperlihatkan akar, dan parahnya pengunjung dan karyawan yang sudah jongkok dengan tutup kuping dengan teriakan dan tembakan ke plafon dan lampu gantung.

Hal positif saat ini adalah posisi Satya dan Sarah yang masih belum diketahui si Peneror. Diam-diam mereka merangkak lalu bersembunyi di bawah meja kasir.

"MANA YANG PUNYA TOKO? MANA?"

Dua tembakan lolos mengenai lampu, bikin semua orang makin panik. Sementara dari luar, orang-orang hanya mematung, tidak bisa pegang ponsel karena pasukan Peneror berhasil menyita ponsel mereka secara paksa dan pada disuruh jongkok. Dari hasil intipan Sarah tadi ada beberapa orang yang sudah jadi mayat. Satya sendiri malah sempat cari Tio, kemana anak itu pergi?

"SAYA MAU BICARA KARENA DIA ADALAH ORANG YANG PENGECUT KARENA TIDAK BISA BAYAR KEMANAN TOKO. DIA SUDAH NUNGGAK LEBIH DARI SATU BULAN. DIA JUGA BERUTANG PADA BOS SAYA BIAR RENOVASI TOKONYA BERJALAN LANCAR."

"CEPAT MANA ORANGNYA?" bentak Bos Peneror itu. "HEH SAYA TAHU KAMU DI DALAM, CEPAT TURUN ATAU SAYA AKAN PUTUSKAN KEPALA ORANG-ORANG DI SINI."

Sarah berpikir dalam diam, sementara Satya kesal dan cemas ponsel Tio tidak bisa dijawab.

"Gue punya ide," bisik Sarah dengan mata licik.

Satya merespon dengan hem karena lagi bolak-balik telepon Tio.

Tembakan dan teriakan orang-orang makin menggema. Sarah juga merasakan langkah kaki yang mendekat ke arah kasir.

"Heh kok lo nggak dengerin gue sih," rengek Sarah sambil mengguncang bahu Satya.

"Lo mau ngomong apaan?" Satya berhasil teralih sejenak dari ponsel.

"Kita ... harus panggil sisi jahat lo biar mereka kapok." Bisikan ide Sarah bikin Satya memundurkan badan. "Nanti ketika gue diserang, itu bakal bikin kemarahan alami lo bangkit dan bisa gampang menumpas mereka dan bisa bikin ketemu Tio."

Ide yang terdengar bagus. "Terus kabur dan menyelamatkan mereka gimana?" tanya Satya bingung.

"Kemarikan ponsel lo." Tangan sarah menengadah, dan Satya dengan tulus ikhlas menyerahkan si benda pipih itu. Jari Sarah mengutak-atik log panggilan dan tersambung ke polisi sebelum diletakkan pada kantong samping celana jins Satya. "Sudah gue atur di situ dan gue rekamin panggilannya jadi lo ada cadangannya juga. Fungsi Polisi di situ adalah menolong korban dan menangkap Peneror lo itu. Oh tentu saja setelah kita serang, usahakan lo jangan bunuh orang deh, ya, begitu setan dalam diri lo berkuasa nanti."

Satya kali ini menurut saja, menunggu instruksi Sarah berikutnya.

"Gue akan alihkan mereka dulu, ayo lakukan!" Kebiasaan bekerja di bawah tekanan bikin Sarah bisa bersiasat lebih cepat. Sungguh banyak pertanyaan di benak Satya, tapi ia putuskan untuk ungkapkan nanti saja.

"Lo cari gue?" Badan Sarah muncul dari meja kasir, bikin Satya berdecak kagum.

Peneror bertopeng itu semuanya menoleh pada Sarah. Senyum licik tercetak di balik topeng kupluk bolong tiga tersebut. Sungguh pemandangan indah melihat perempuan anggun berwajah jutek ini. Sang Bos langsung mendekati Sarah, hidungnya kembang kempis menghidu parfum aroma teh hijau. Suara si Peneror memelan ketika kepalanya mendarat di telinga Sarah. "Mana mantan pacarmu yang nggak berguna itu?"

"Memangnya ..." balas Sarah tenang. "Kalau sudah ketemu Satya kalian mau apain dia?"

"Bos menunggunya, dan akan segera kami habisi."

Ini, ini rencana yang Sarah maksud. Memang ia tidak bilang ke Satya seluruhnya karena pasti akan gagal jika pria itu tidak mengeluarkan amarah. Sarah mengembuskan napas tepat di tengkuk, dan sedikit sentuh bahu sebagai penahan. "Jawaban saya adalah ...."

Sarah langsung menendang bagian berharga si Peneror. Kemudian pasukannya menyerbu Sarah dalam kondisi melingkar. Sarah berusaha menangkis semua serangan pisau dan dua tembakan berhasil mengenai lengan Sarah, bikin perempuan itu teriak kencang dan langsung tersungkur di lantai dengan cairan merah menetes ke lantai. Pandangan Sarah memburam, dan itu bikin Satya langsung keluar dari persembunyian.

Dari situ Satya dan Tio yang juga keluar dari persembunyian di kamar pas. Tangan Satya langsung menarik kerah belakang salah satu pasukan peneror lalu menusuk bahu pakai belati. Satu orang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang semua dilibas Satya. Panik dan murka ternyata langsung mengaktifkan belati tanpa kehadiran Manakar. Tusuk belatinya juga tidak dalam agar racun buatan Manakar tidak masuk ke pembuluh darah.

"ANJING LO, YA. JANGAN ADA YANG SENTUH SARAH," teriak Satya begitu Bos Peneror terluka di bahu sampai terkapar, ia adalah orang terakhir.

Sementara itu, Tio menyelamatkan orang-orang untuk keluar dari ruangan sampai ke lantai dua dengan cara diam-diam berjalan sama tembok.

Sarah tersenyum lemah saat tubuhnya terkapar dan rintihan luka-lukanya, strategi sengaja terlukanya berhasil. Dia merasa tubuhnya digendong oleh badan besar, dan dari parfumnya ia hafal.

"Lo bertahan, ya, Sar," bisik Satya cemas. Kemudian dilanjutkan dengan orang-orang untuk panggil ambulans.

Tepat sirine khas polisi menggema dan beberapa ambulans juga hadir. Sarah langsung ditaruh di tandu bersama Satya yang duduk di samping paramedis.

Satu hal yang Satya tangkap adalah senyum manis Sarah sebelum ditutup lagi dengan punggung paramedis.

2381 kata
(15 Oktober 2023)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro