BAB - 37: Bantuan Darurat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ah, kamu rupanya."

Suara robotik itu bikin Aziz lega sedikit. Matanya melirik ke segala arah, setelah memastikan penjaga itu tidak mendengar baru ia berbisik. "Tuan Pandora, mohon maaf mengganggu waktunya. Saya mau bertanya, apa pesan saya sudah tersampaikan ke Anda melalui Pak Panji?"

"Sudah, Ziz. Kamu nggak usah khawatir. Pacarmu sudah menyerahkan ponselnya ke Panji, dan kita tinggal tunggu aksinya bagaimana. Nanti ia akan bicara melalui Pak Roy, kamu sabar sedikit ya."

"Tapi, Tuan Pandora." Aziz tidak bisa menghilangkan gundahnya walau rencana dadakannya berhasil. "Saya butuh kepastian secepatnya dan tidak mau kalah dari perempuan licik itu lagi. Setidaknya saya harus tahu lokasi persembunyian dia sebenarnya kepada Satya beserta kejanggalan."

"Aziz, kamu harus tenang, ya." Terdengar decakan dari sang Anonim, memandang masalah besar ini seperti bisa dibasmi hanya pakai racun tikus yang ditaruh di lubang tembok rumah yang biasa dilalui binatang bercicit tersebut. "Kamu turuti prosedurnya, paling lama dua puluh menit bantuan yang kamu harapkan sudah datang."

Aziz menghela napas. "Baiklah saya tunggu, terima kasih Tuan Pandora."

"Sama-sama, semoga beruntung, Ziz."

Ternyata bantuan yang dimaksud datang tidak sampai dua puluh menit. Di ruang interogasi ternyata Pak Roy menjawab pertanyaan si Polisi disertai bukti-bukti bahwa Aziz tidak mencuri melalui beberapa tangkap layar dan obrolan klien yang minta bantuan Aziz. Uang-uang yang Aziz ambil juga tidak benar-benar dicuri, ia hanya memainkan nominalnya saja sebagai ancaman pihak lawan untuk tidak ganggu kliennya lagi. Tidak hanya itu, Pak Roy membantunya beri alibi bahwa waktu kejadian pencurian itu Aziz lagi istirahat di rumah disertai foto kumpul keluarga. Polisi itu berpikir sebentar sebelum memproses bebasnya, tidak lupa menjadikan Pak Roy jadi jaminan.

Hampir satu jam Aziz mengambil napas sebanyak-banyaknya di pelataran kantor polisi.

"Saya juga dikasih kabar sama Panji bahwa mereka sudah menemukan lokasi laptop kamu yang dicuri sama komplotan perampok itu, dan mereka bukan perampok biasa melainkan orang suruhan Freddi Martadinaja yang disewa oleh Terry." Pak Roy berkata dari belakang Aziz dengan memukul pelan pundak sang Klien.

Senyum Aziz terbit. "Terima kasih, Pak. Maaf jika saya merepotkan Bapak dan keluarga Anggara selama ini."

"Tidak tidak, justru mereka berterima kasih padamu. Sudah, ya, nanti Panji sendiri akan mengabari kamu untuk mengembalikan laptop," kata Pak Roy sebelum benar-benar pergi.

Setidaknya satu kuman sudah teratasi.

***

Di Tempat Penculikan Sarah ...

Bau ikan busuk menyadarkan Sarah dari lelapnya, buru-buru ia menutup mulutnya. Sialnya bau tersebut ternyata bisa menemukan celah pernapasan dan bikin batuk-batuk sampai napasnya sesak. Saat kakinya bergerak, ada suara kemericing. Kepala Sarah menoleh dan ternyata itu rantai yang tersambung ke salah satu ujung tempat tidur, kaki Sarah tidak terikat lagi di situ. Sarah berpikir bahwa saat pingsan tadi dia sempat diikat pakai itu lalu seseorang melepasnya. 

"Gile, gue berasa kayak anjing aja," gumam Sarah, kembali tutup hidungnya sedikit lebih kencang. "Bau apaan sih ini? Padahal ini bukan gudang."

Mata Sarah memindai sekeliling, ini sungguh kamar tapi beberapa sisi dindingnya sudah dipenuhi lumut. Lemari yang pintu sebelah kirinya terbuka – mana tidak ada baju sama sekali – dan pencahayaan minim akibat jendela yang ditutupi oleh kayu yang dipaku dari luar.

Krek.

Sarah meringis kesakitan, pinggangnya nyeri ketika mencoba berdiri. Sarah mengingatkan diri untuk tetap rileks, maka begitu nyerinya berkurang ia langsung duduk dan meluruskan kaki. Celana dan pakaiannya sudah kotor, dan terakhir kali bersama Satya ia pakai sepatu sandal.

Tunggu dulu.

Satya.

Bagaimana keadaannya sekarang? Ugh, apa ia baik-baik saja? Gue di mana ini? Sialan ini, nggak ada lubang-lubang dan jalan satu-satunya adalah lewat pintu depan.

Prediksi Sarah benar, ia terkunci dari luar. Kemudian berjalan ke jendela, dan di luar terdapat beberapa rumah dan pohon tinggi. Langit masih gelap, dan samar-samar Sarah mendengar suara ayam berkokok dan orang mengaji. Cahaya kecil itu Sarah manfaatkan untuk lihat bayangannya di cermin, rambut acak-acakan, riasan menipis, dan blusnya dipenuhi beberapa noda. Ada beberapa memar baru di wajah dan bahu, lalu kepalanya sedikit pening.

"Sialan gue pokoknya harus keluar dari sini. Gila nuansa pedesaan tapi kok serem gini," gumam Sarah. Matanya celingak-celinguk cari benda berat, apa saja supaya bisa memecahkan kaca jendela.

Suara gebrakan pintu bikin Sarah menoleh dan terkejut sekali.

"Halo, Sarah," sapa Pak Sarwo dengan senyum miring dan suara super berat. Suara yang menakutkan bagi pendengaran Sarah, suara yang sudah lama tak didengarnya.

Senyum itu?

Senyum menakutkan yang selalu menjadi trauma Sarah, senyum yang bikin Sarah makin selektif dalam memilih klien Mami Zee. Perempuan itu bergerak mundur ketika Sarwo berjalan maju, punggung Sarah sedikit menempel ke dinding untuk meraba-raba sesuatu, benda tajam, apa pun yang penting bisa melawan manusia predator gila ini. Waktu nempel ke lemari, ternyata tangan Sarah meraba kerikil, bungkusan serbuk, dan dari kelicinan serta ujung lancip kemungkinan adalah cermin.

"Kenapa sih, kamu, Sar?" tanya Sarwo, memelankan suara. "Jangan begitu kamu sama, Om. Om kurang apa sih sama kamu?"

Sarah menggenggam erat pecahan kaca dari balik punggung. "Salah Om, banyak banget. Apa perlu Sarah sebutkan?"

Senyum miring menakutkan itu makin nampak jelas seiring ketukan sepatunya Om Sarwo. "Sebutkan saja, Sarah. Om dengan senang hati akan mendengarkan."

Panik berusaha menguasai Sarah, bikin tekanan tangan ke pecahan kaca itu bikin perih. Pelan-pelan ia menggerakkan kaki miring sedikit ke kanan, tepatnya pinggir tempat tidur. "Lo bikin semua klien Mami nggak nyaman karena perlakuan kasar lo yang bejat itu. Lo perkosa gue saat pulang sekolah, bahkan gue sampai area kebanggaan lo merah-merah akibat gue tendang dan pukul pakai kayu. Itu yang bikin gue memutuskan untuk kuliah di luar kota." Perih itu bikin Sarah menggigit bibir. "Ternyata junior lo tahan banting dan mental, ya, Om. Di saat gue berusaha mengurangi trauma hidup lo enak damai aman. Ternyata Tuhan masih sayang gue."

Mata Sarah melirik pada pintu terbuka sampai tidak sadar bahwa Om Sarwo sudah menarik pinggang lalu mendorongnya ke tempat tidur. Sarah  menggerakkan badannya, meronta-ronta minta tolong ketika kepala Sarwo tenggelam di pundak Sarah. Kaki Sarah sudah bergerak ke sana kemari, dan dia merasa kemeja Sarah sobek. Ciuman mengerikan itu sudah mau masuk ke area dagu, Sarah menggeleng kepala biar si Tua Bangka ini tidak menyentuh bibirnya. Namun, Sarwo tidak kalah gesit, dia merobek kemeja Sarah hingga terlihat sedikit  payudara yang terbungkus bra model renda warna krem.

Gerakan Sarwo terhenti, dan Sarah mengambil napas sebanyak-banyaknya akibat terjepit tadi. Sial, sekarang Om Sarwo sedang melepas kancing pakaiannya.

"Kali ini ... lo nggak bisa lari dari gue, Sar," lirih Om Sarwo, kancingnya sudah sampai dua dari bawah yang belum lepas. "Akibat lo sering nolak gue, terpaksa gue nggak ada jalan lain. Kurangnya gue apa sih dibanding sama anak bungsu keluarga Anggara itu? Oh, apa dia bisa memuaskan gue?"

"Iya," jawab Sarah tanpa berpikir panjang, perlahan mengeluarkan senjata yang digenggam dari punggungnya, tidak peduli akan perih yang makin jadi dan badannya yang lemah. "Satya bisa memuaskan gue, walau dia sering gonta-ganti cewek, tapi kami sama-sama menikmati percintaan ini tanpa paksaan. Bahkan gue yang merasa dipuaskan dia. Itu kelebihan terpenting yang nggak lo punya dari gue, Om Bangsat."

Kalimat Sarah bukannya bikin suasana damai sejenak malah bikin amarah Sarwo makin jadi. Tangan beliau mencengkram leher Sarah, menekannya perlahan-lahan jadi kuat. Napas Sarah memendek bertahap, tidak dia tidak boleh mati lebih dulu.

"Mati aja kamu, Sar. Dasar perempuan hina," seru Om Sarwo kasar. Mata Sarah mengabur, tapi intuisi dan akal sehatnya tetap mempertahankan pecahan kaca di punggungnya. Pergerakan kakinya sudah lemah, aliran darah di tubuhnya berhenti bergerak.

Enggak, gue belum mau mati saat ini.

Keinginan itu pula lah bikin tangan kanan Sarah yang masih pegang pecahan kaca langsung keluar dan mengenai pinggang Sarwo. Cekikannya mengendur, dan itu malah bikin tekanan dari tusukannya semakin kuat. Kini gantian teriakan Sarwo mengisi keheningan kamar lusuh itu. Hal itu juga dipergunakan kepala Sarah untuk menghantam balik kepala beliau diiringi tendangan maut ke area berharganya. Setelah mencabut tusukan si pecahan kaca, masih dengan sisa tenaga kaki yang pelan-pelan pulih ia menendang perut Sarwo sampai tersungkur ke lantai.

Sarah mengambil napas sebanyak-banyaknya, dan diiringi oleh suara ingin muntah dan batuk-batuk. Tanpa mengulur waktu lagi kakinya langsung bergerak ke pintu keluar.

Selama berlari juga ia menghalau para penjaga lainnya dengan mendorong kursi, meja, sampai menjatuhkan rak buku. Rumah lusuh ini juga tidak luas, bahkan cenderung sempit kayak di rumah-rumah pedesaan pada umumnya sehingga Sarah bisa keluar begitu saja. Ia terus berlari dan berlari, kakinya terasa panas karena bergesekan dengan aspal sampai pincang-pincang.

Kupingnya menangkap orang mengaji di Masjid. "Ah, gue ke situ aja. Minimal orang masjid bener-bener menolong gue."

Memanfaatkan pendengaran yang masih berfungsi sempurna, kaki Sarah mengikuti jejak suara ngaji-ngaji itu. Semakin nyaring berarti sudah dekat. Ah, ternyata masjidnya lumayan besar, dan begitu melewati pagar ternyata belum banyak jamaah yang datang.

Kakinya sudah menginjak ubin masjid yang bertuliskan Suci saat matanya kembali berkunang-kunang, tidak ia tidak boleh pingsan lagi.

"Tolong .... tolong saya," jeritan Sarah beralih jadi lirihan kesakitan.

Kali ini ia harus kalah dengan intuisi bertahan hidup akibat kelelahan dengan jatuh di tangga masjid.

***

Entah sudah berapa lama mata Sarah terpejam, rasanya berat begitu ia membukanya. Langit-langit putih yang tadinya buram perlahan jelas, dan hidung Sarah tidak mengendus bau obat-obatan kuat khas rumah sakit. Sesuatu mengganjal di punggung tangan kiri, ternyata terhubung ke obat infus. Tangan satunya yang habis kena pecahan kaca sudah dililit perban.

Badan Sarah berat sekali saat mencoba bangun. Akhirnya ia manfaatkan matanya untuk memindai sekitar. Langit-langit dengan lampu chandelier gantung, tempat tidur lebar, jarak dari tempat tidur ke meja belajar lumayan jauh yang mana kamar ini ukurannya luas. Ada tiga pintu, dan Sarah menebak bahwa yang pakai model dua daun pintu adalah pintu keluar, sedangkan salah datu dari dua pintu di masing-masing ujung ruangan adalah kamar mandi atau kamar sambung.

"Sepertinya ini akan lebih rumit dari lolos jebakan maut," lirih Sarah. Tangannya sungguh ingin melepas infus, tapi  tidak jadi karena pasti sakit sekali nanti.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Astaga, aku di mana dan sudah berapa hari aku di sini? Oke, gue harus keluar dari neraka part 2 ini. Oke, gue harus ketemu Sat–"

Nada tinggi Sarah ternyata bikin pintu paling lebar itu terbuka, yang mana sosoknya bikin Sarah kaget bukan main. Refleks ia menundukkan kepala, bukan satu melainkan dua orang. Perempuan berambut ikal itu mengenal salah satunya, sedangkan sosok yang berada di belakang bagaikan asisten itu asing di mata Sarah.

"Kalau kamu penasaran sama Satya, dia aman dan lagi ada di ruangan sebelah. Luka-luka di tubuh dan badannya yang rontok semua itu sedang proses pemulihan," ujar Mas Anton sebagai pembukaan. Tidak lupa melipat tangan di dada dengan gelengan miris.

"Mas ... itu ..." Sarah gelagapan, semua terasa penuh di otaknya.

"Jelasin, Dok," perintah Mas Anton pada orang yang di belakangnya. Ternyata orang asing itu adalah dokter keluarga Anggara.

Dokter itu menjelaskan bahwa luka tembak dan pisau Sarah sebelumnya yang dapat jahitan di perut, paha, lengan dan pinggang kembali terbuka sehingga harus dijahit ulang. Memar-memar yang didapat akibat perkosa dari Sarwo juga sudah diobati termasuk tanda merah di leher. Sedangkan kaki yang terkilir dan memar akibat tendangan dan beberapa luka gesek juga sama. Punggungnya agak sakit akibat jatuh ke ubin masjid – untung saja kepala tidak kena undakan tangga. Infus yang sekarang menancap di punggung tangan adalah bukti bahwa Sarah juga kena dehidrasi berat sehingga pingsan. Sarah mendengarkannya dengan seksama, berusaha mengurangi helaan napas karena tidak mau dianggap menyusahkan.

"Terus bagaimana caranya saya sampai di sini? Saya ada di mana? Terus ponsel saya di mana? Bagaimana keadaan Mami Zee dan Satya?" Tiga pertanyaan keluar dari mulut Sarah sampai punggungnya nyeri ketika bangun. Buru-buru dokter memasangkan bantal di dipan lalu membantu Sarah untuk duduk tegak.

"Waktu lo pingsan di masjid." Mas Anton mulai bercerita. "Salah satu orang masjid nemuin ponsel lo di kantong celana jins, katanya di kontak darurat lo ada nama Satya dan Mami lo. Si orang Masjid itu hubungi Satya lebih dulu dan gue yang jawab soalnya Satya-nya lagi tidur. Jadinya gue deh yang nyusul ke tempat lo pakai lokasi yang dibilang orang masjid."

"Terus ..." Sarah masih penasaran akan beberapa hal. "Orang jahat yang ngejar saya gimana?"

"Orang jahat ...." Mas Anton tidak langsung respon. "Oh, yang badannya sangar itu. Katanya sih sudah diamankan sama orang-orang masjid begitu gue datang."

"Terus sekarang saya di mana sekarang?"

Mas Anton tersenyum geli. "Lo tuh banyak tanya banget, ya. Sungguh kritis, pantes aja Adek gue ngeluhin lo terus." Dia mempersilakan si dokter untuk pamit. "Lo tuh sekarang ada di salah satu safe house keluarga Anggara di Lembang. Tenang aja, Sar, nggak ada orang yang tahu tempat ini kecuali warga yang kerja di sini, keluarga gue, dan lo tentunya."

Lidah Sarah mendadak nyeri, bagian ini tidak pernah diceritakan Satya sama sekali.

"Soal Mami lo." Anton buka suara karena Sarah tidak bicara lagi. "Dia selamat tapi dalam keadaan koma. Kata dokter sih luka dalamnya banyak di punggung atas dan kepala. Ponsel lo aman kok, cuma nanti diperbaiki begitu lo sudah pulih nanti. Sedangkan untuk toko lo—"

Pintu luar kembali dibuka dan masuklah Mami dengan wajah cemas dan memeluk Sarah tiba-tiba. Hal ini bikin perasaan Sarah campur aduk, Mami Zee memang baik sekali, tapi kebaikan Maminya Satya sudah level tertinggi hubungan orang tua dan anak. Samar-samar Sarah mendengar lirihan penuh syukur.

"Waktu Mami dengar berita tentang kamu yang terluka, Mami yang maksa-maksa Mas Anton untuk cepat-cepat dibawa ke sini." Mami Kirani berkata selepas pelukan. "Syukurlah kamu benar-benar tertolong. Mami cemas banget, Nak, Mami takut."

Mas Anton menutup senyum geli, tapi matanya menyiratkan ketakjuban karena tidak biasanya beliau begini.

"Tenang saja, Mi," balas Sarah pelan. Tangannya mengelus lengan dan pundak Mami Kirani. "Sarah sudah baik-baik saja kok, walau harus nunggu pemulihan."

Mami menggeleng cepat. "Belum, Sarah belum baik-baik saja. Sarah pokoknya harus istirahat dan cepat pulih biar bisa bangkit lagi dengan bisnis bajunya. Kamu tahu, Mami sering promosiin tokomu ke teman-teman sosialita Mami dan mereka suka sekali dengan rancangan kamu, tidak heran kamu sering bikin pagelaran busana dan hasilnya selalu oke-oke."

"Mi ...." Sungguh, Sarah tidak tahu harus bilang apa lagi. Benaknya dipenuhi oleh rasa bersalah, dan sepertinya sudah menggunung. Kadang Sarah tidak pantas mendapatkan kebaikan ini berkali-kali, dunia terlalu kejam padanya sehingga ia terpaksa masuk kubangan keruh untuk bertahan hidup. Seharusnya waktu pacaran sama Satya dulu tidak boleh terdistraksi dengan perlakuannya, cukup berhedon ria pakai uangnya lalu meninggalnya, tapi saat itu pula hati Sarah terketuk waktu bertemu dengan Mami Kirani pertama kali.

"Sudah sudah, yang penting sekarang kamu istirahat dan jangan kemana-mana dulu sampai situasi kondusif."

Senyum kecil adalah jawaban Sarah, dan Mami Kirani beranjak dari tempat tidur kemudian berlalu sama tiga dayangnya.

Ah, seandainya Mami Kirani tahu background gue, pasti tidak akan begini perlakuannya.

Dari luar kamar, mata Sarah tertuju pada sosok berkaos merah ceri dan celana training yang tujuh puluh persen badannya didominasi perban.

Sosok bermata tajam dan rahang mengeras seakan ingin menerkam mangsanya.

Satya.

***

Satu Minggu Kemudian ...

Kondisi kesehatan Sarah perlahan membaik walau banyak lukanya yang masih belum kering. Dia sendiri juga sudah bisa jalan ke sana kemari. Sesekali ia kagum betapa kerennya villa keluarga Anggara ini, terlalu luas sampai dibagi dua sayap yaitu barat dan timur. Otak Sarah sedikit berpikir bahwa jika rumah ini dibisniskan maka akan jadi bisnis hotel. Mana dapurnya juga dua, lantai atas dan bahwa. Lampu gantungnya saja sebesar bola salju bagian bawah. Dari atas birai, Sarah mengamati keluarga Anggara yang sedang bercengkrama, Satya sendiri yang sudah lepas infus dan perbannya yang berkurang saja sudah bisa main santai dengan dua anak laki-laki remaja yang Sarah tahu adalah keponakannya. Tidak mau mengganggu, maka Sarah kembali ke kamar sambil menggeret infus.

Sarah tidak sadar bahwa Satya mengamati pergerakannya, sehingga ia pamit ke kamar sama Mami dan Mbak Tyas dengan alasan istirahat.

Perempuan itu bercermin, tidak ada riasan dan hanya pakai piyama pink dengan motif ceri. "Bahannya pasti kain katun mahal, dan polanya jelujur jahitnya juga rapi." Satu tangannya masuk kantong depan, bikin perempuan itu terpana. "Luas juga kantongnya, bisa taruh hp juga nih. Ah iya dompet sama hpku hilang entah kemana."

"Dompet sama hp lo baik-baik saja kok," sambar suara dari arah pintu bikin Sarah membalikkan badan dengan cepat.

Sarah mengambil ponsel dan dompet dari tangan Satya. "Terima kasih."

"Lo mau tahu proses setelah kejadian kita?" Satya mengekori Sarah sampai mereka duduk di pinggir kasur. Kemudian Sarah berpindah ke sandaran ke dipan.

"Biar gue tebak, pelakunya tertangkap termasuk Terry?" Sarah melempar tebakan lebih dulu.

Gelengan dan anggukan adalah respon awal Satya. "Terry kabur lagi entah kemana, hanya Om Sarwo dan pasukan-pasukan yang menculik lo di tempat itu tertangkap. Sama sebagian yang sudah menyerang rumah Mami Zee."

Ada ruang lega terbesar dalam hidup Sarah saat ini. Semua rasa cemas dan sebagian traumanya pergi begitu saja, ini ... ini adalah momen yang Sarah tunggu-tunggu selama belasan tahun. Sampai-sampai ia tidak sadar bahwa Satya sudah mendekat dan ikut lega. Setelah belasan tahun lamanya, akhirnya Satya kembali lihat kebahagiaan tulus dari Sarah itu, sampai-sampai perempuan itu refleks menggenggam tangan Satya, dan responnya adalah menautkan lima jari mereka.

"Gue nggak pernah lihat lo selega ini, Sar." Satya menggeser infus Sarah sedikit biar tidak menghalangi jarak mereka berdua. "Terakhir gue lihat lo gini waktu kita lomba business plan di Surabaya."

Saking senangnya, tanpa sadar Sarah bercerita soal penculikan dia waktu itu. Tangan kanan Satya terkepal erat bersamaan dengan cerita pemerkosaan dan Sarah yang hampir mati dicekik oleh tua bangka tidak berguna itu. Rahangnya mengeras dan itu terbaca oleh Sarah. "Gue tahu lo marah, Sat. Kadang trauma gue suka muncul, sampai setiap bercinta sama lo waktu itu aja gue langsung nyaman dan tanpa terpaksa."

"Tapi, Sar, cowok mana yang nggak marah ketika ...." Emosi Satya mendadak menguap, lalu hanya erangan menggebu yang bisa dikeluarkan.

"Yang penting, kan, gue aman sekarang sama lo."  Kalimat Sarah ini otomatis bikin amarah pria itu melunak, tapi tidak seluruhnya. Satya harus buat perhitungan ke Tua Bangka Mesum itu.

Pintu kamar Sarah bunyi, dan muncul sosok Mas Anton bersama dengan laptop. Mereka berdua refleks melepaskan tautan tangan, dan itu bikin Mas Anton terkekeh. "Ya elah pegangan lagi aja nggak apa, Sat. Gue cuma bawa perkembangan kasus lo aja sih."

Mas Anton dengan entengnya duduk di kasur dengan posisi berseberangan kemudian Satya yang pindah ke samping sang Kakak.

"Jadi, begitu gue habis pingsan akibat serangan Terry. Dokter menghubungi Mas Anton, dan begitu kondisi gue sudah oke akhirnya dibawa ke sini deh." Satya menjelaskan dengan singkat kronologi versinya ke Sarah yang termangu. 

"Gue beneran hampir nangis lihat kondisi lo kayak gitu, apalagi Mami yang sampai pingsan bolak-balik," sambung Mas Anton dengan tangan yang mengutak-atik kibor laptop. "Jadinya pas lo cerita dan minta bantuan ke gue ya akhirnya gue bantu. Untung aja pas banget masalah Grup Anggara terkait isu lingkungan sama PT nggak jelas itu selesai. Okelah skip pembahasan gue,  yuk fokus."

Mas Anton menjelaskan bahwa laptop Aziz sudah dilacak dan ketemu dua orang yang mencurinya waktu dia kecelakaan. Beliau juga bercerita bahwa Aziz juga ditangkap polisi, tapi hanya ditahan sehari semalam karena polisi tidak menemukan bukti. Pak Roy sampai minta keterangan langsung ke Mas Anton dan langsung dijawab jujur, dan itu bukti yang menguatkan alibi Aziz. Sekarang laptop Aziz sudah kembali ke tangan pemiliknya dengan aman sentosa tanpa kekurangan apa pun. Tambahan terakhir adalah pria asing bernama Panji Darmawan turut membantu Aziz.

"Panji Darmawan?" gumam Satya bertanya-tanya. Mereka berdua akrab sekali, sejak kapan jadi akrab begitu?

"Masalahnya adalah Terry ini kalau gue perhatikan memang kuat sekali backingannya." Sarah angkat bicara ketika Mas Anton selesai bicara. "Dia pintar sekali menyembunyikan sisi jahat ini, saya aja kadang terbuai dengan image cerianya dia kok selama jadi pelanggan tetapnya."

"Nah, soal itu ..." Mas Anton memutar laptopnya agar Satya dan Sarah bisa menatap layar. Mereka terpana dengan apa yang ada di situ. "Setelah kejadian itu, Aziz makin semangat mengerjakan footage rekaman cctv ini dan hasilnya sempurna. Kalian lihat rekaman itu." Mas Anton kembali jeda pembicaraan agar Satya dan Sarah bisa menyaksikan sendiri bagaimana adegan Terry dan Sintia saling rebutan pisau lalu Terry refleks menusukkan pisau laknat itu tepat di dada Sintia dan dilanjutkan berkali-kali sampai Sintia tak bernapas. Layar laptop itu ditutup oleh Mas Anton. "Sisanya gue serahin ke kalian berdua, hanya ini yang bisa gue bantu."

Satya langsung memeluk erat sang Kakak. "Mas kece banget dan bisa diandalkan, emang nggak pernah gagal jadi panutan emang."

"Gini doang muji," protes Mas Anton dengan putaran mata, bikin Sarah tahan senyum geli.

Malamnya Sarah tidak bisa tidur, scrolling di ponselnya juga percuma karena tidak ada berita menarik, hanya mengabari karyawan dan beberapa penjahitnya untuk tutup butik sementara sampai situasi kondusif. Sebaiknya ia pergi ke dapur untuk buang sisa sampah.

Di luar kamar hanya ada cahaya remang-remang, tapi kali ini Sarah tidak takut. Pelan-pelan ia menuruni tangga sambil tangan kanan mengangkat tongkat infusnya sedikit agar tidak menimbulkan suara. Sungguh takjub ternyata masih ada yang belum tidur dan sedang berkutat di dapur.

Pemandangan yang bikin Sarah menelan ludah.

Satya yang sedang meracik sesuatu, dan itu nampak atraktif karena ia hanya pakai kaus polos warna merah dan celana pendek jins yang tetap membungkus tubuhnya tanpa perlu pamer otot berlebihan. Langkah kaki Sarah tetap teruju ke tong sampah besar, dan lagi-lagi pria itu  tidak sadar sama sekali. Dapurnya memang luas, dan sedari tadi yang Sarah perhatikan adalah Satya sedang memotong sesuatu lalu menghancurkannya jadi serbuk agar bisa larut ke segelas air bening. Tidak hanya satu, melainkan tiga balok hingga warna air berubah jadi sedikit putih.

Tumbenan amat ini anak nggak keganggu dengan kehadiran gue sama sekali.

Tarikan kursi dari Sarah bikin kepala Satya terangkat. "Ternyata ada lo di situ, gue pikir sudah tidur."

"Gue nggak bisa tidur." Bokong Sarah mendarat sempurna di kursi tadi. "Lha lo sendiri ngapain? Itu apa?"

Gerakan meracik Satya berhenti, tapi itu tidak lama karena ia mengeluarkan batu merah yang ditaruh di kalung pisau belati. Sarah menganga begitu ukuran belatinya membesar.

Mata Satya melirik ke Sarah dengan kekehan kecil. "Nggak usah sok kaget gitu, Sar. Lo sudah pernah gue ceritakan soal Pandora, kan?"

"Gue tahu bagian itu." Tentu saja Sarah tahu soal anonim terkenal itu, dan cerita-cerita aneh yang diceritakan Satya beberapa waktu lalu. "Terus apa hubungannya sama belati emas itu?"

"Katanya ...." Satya menggantung kalimat untuk mencelupkan belati itu ke segelas air beracun. Dalam hitungan lima menit, tampak bias cahaya kecil yang berubah kemerahan. Setelah redup, Satya mengangkatnya dari air lalu melapnya ke pinggiran gelas agar air beracun tadi tidak menetes ke meja marmer. "Lo inget waktu di hotel gue ketiduran dan mimpi sampek ngigau, kan?"

"Itu bagian paling iyuh dari lo." Badan Sarah mendadak merinding setiap ingat momen itu.

"Ini jawabannya, Sar." Satya menunggu ukuran si Belati kembali semula dan hanya menyisakan batu merah yang masih bersinar itu. Kini Satya sudah berpindah ke samping Sarah dengan satu tangan bertumpu ke pinggir meja, menutup jarak mereka. "Benda ini aktif dengan sempurna bila dikasih racun tikus dan bisa membunuh orang-orang dalam sekali tusukan dalam tanpa harus meninggalkan jejak."

Badan Sarah jadi beku, ini benar-benar mengerikan. Apalagi sorot mata Satya kali ini tidak ada tengilnya sama sekali, sungguh tajam dan menakutkan. Apalagi suasananya hening, tidak ada teriakan dan obrolan keluarga dan pelayan.  Namun, anehnya Sarah tidak takut sama sekali.

"Luka kita berdua tidak parah karena energi batu ini menyelamatkan kita," lanjut Satya setelah tidak ada respon beberapa saat.

"Terus ..." Sarah agak terbata bicaranya. "Apa tujuan lo bikin gini?"

Helaan napas dari Satya terbit, dan embusannya melewati leher Sarah. "Gue akan bunuh orang-orang yang menyakiti kita berdua, terutama si Sarwo sialan itu. Karena ...."

"Karena?"

Tangan Satya menyibak rambut Sarah lalu berpindah ke leher untuk mengecup bibirnya. Satu kecupan singkat yang bikin hati Sarah mendadak karuan, belum lagi suara lirih mengandung amarah yang berkata.

"Karena si Tua Bangka nan mesum itu pantas mati karena memerkosa dan merenggut apa yang seharusnya jadi milik gue dari dulu."

3881 kata
(19 November 2023)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro