BAB - 45: Strike Two

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo beneran yakin Ziz?"

Aziz yang baru saja menyelesaikan rekaman buat video gim terbarunya melepas headset full telinga dengan mic, mematikan komputer lalu memutar kursinya ke hadapan Rahman. "Yakin banget gue, Man. Kita sudah pasang beberapa pelacak. Jadi, walau mereka dalam keadaan darurat, yang penting kita tahu posisi mereka di mana. Kita nggak bakal kecolongan kayak dulu."

Berkat kecurigaan Sarah saat ia melaporkan pada Aziz. Maka Aziz dan Rahman meminta Sarah untuk pasang pelacak lokasi di ponsel dan iPadnya. Rahman yang tadinya berada di belakang kamera berpindah di belakang kursi gaming Aziz yang sedang membuka peta ibukota dengan dua titik. Aziz juga menjelaskan bahwa titik warna pink adalah milik Sarah, sedangkan di sebelahnya ada titik merah berarti milik Satya. Senyum optimis Aziz keluar, berarti Sarah sudah menuruti perkataannya di pesan chat. Sayangnya Aziz kelupaan untuk pasang alat pelacak di ponsel Koko Tian, sehingga ia hanya bisa memantau pergerakan Satya dan Sarah saja.

"Tunggu sebentar." Rahman merasa ada yang ganjal. "Ini tuh ide gue yang iseng-iseng aja gara-gara stress keseret sama dramanya Terry dan kecurigaan kita ke Koko Tian. Kenapa malah jadi diseriusin gini sih elah?" Tangan Rahman menepuk pipi sendiri sebagai tanda ikut gregetan.

"Ide lo nggak buruk kali," puji Aziz, matanya masih terpaku pada layar. "Soalnya kita sendiri sudah nggak tahu lagi gimana caranya menangkap Perempuan licik itu? Sahabatnya aja dicelakain, mana model kecelakaannya mirip kayak gue waktu itu."

"Buset dah," teriak Rahman bikin telinga Aziz geli. "Tuh cewek muka manis hati bengis. Mana pinter lagi manipulasi emosi pembaca dan penontonnya di medsos."

"Emang," timpal Aziz tegas. "Lo, sih, waktu itu nggak percayaan sama gue waktu itu. Kesel banget waktu itu."

"Ya mana gue tahu dia kayak gitu." Ponsel Rahman berbunyi, ternyata itu berasal dari notifikasi toko daringnya terkait testimoni terbaru dari pelanggan bahwa barangnya sudah datang dengan aman. "Gue aja sebenernya kaget lho waktu Koko Tian ngenalin Terry ke kita berdua, Ziz. Beneran kayak nggak ada angin dan hujan, dan kasta mereka beneran beda. Kok bisanya sih gue terbuai dengan kemesraan mereka?"

Aziz memutar bola mata dengan dengusan kecil. "Lo orangnya terlalu positif, Man. Ketahuan banget gelagat dia sering nggak beres. Biar gue tebak, lo pasti baru sadar, kan, kenapa Koko Tian tiap kita ajak kumpul mesti nggak bisa lama-lama?"

"Ah bener bener." Rahman makin tercerahkan dengan semua pola ini. "Terus ujung-ujungnya jarang jalan bareng. Waktu putus aja Koko balik lagi sama kita."

Aziz menjentikkan jari. "Itu tepat saat Satya gabung kumpul lagi ke kita di warung di pinggir jalan beberapa bulan lalu."

Keduanya berteriak kaget bercampur takjub. Rahman memegang rambutnya sambil mondar-mandir sambil teriak tidak percaya sama sekali.

"Asli sih, Ziz." Rahman gebrak meja komputer Aziz sampai speaker komputer dua layar Aziz sedikit naik. "Kok bisa banget kebetulan gini?"

Aziz mengedikkan bahu. "Mungkin si Perempuan Licik ambil momentum kali, ya. Gue curiga mereka tuh sebenarnya masih sering kontakan di belakang kita-kita."

"Adalah benar, Ziz." Alis Rahman bergantian naik turun, efek samping dapat jackpot bagaikan pertama kali selesai menyusun puzzle gambar dengan hasil sempurna.

Keduanya kembali fokus ke layar, tapi bukannya tenang malah mencium bau keanehan. Hal ini bikin Aziz berbisik pada diri sendiri. "Kok malah belum gerak-gerak sama sekali."

Dua titik itu masih belum bergerak sama sekali. Iya, sejak bertemu dengan Koko Tian di cafe beberapa jam lalu memang sudah terpasang aktif. Tetikus Aziz bergerak untuk memperbesar peta dan menggantinya ke mode kamera pejalan kaki sehingga tampilannya berubah jadi foto, posisi menunjukkan bahwa mereka ada di perumahan terbengkalai di daerah Klender, Jakarta Timur.

Alis Aziz menyatu, apa yang Koko Tian lakukan di situ?

"Makin yakin gue dia kerjasama dengan Terry," bisik Aziz, menggigit ujung kuku.

"Eh Ziz, lo sudah ngomong sama Mas Anton belum?"

Aziz menepuk dahi. "Astaga anjir gue baru inget, tunggu bentar." Tangan Aziz meraih ponsel lalu menghubungi sekretaris Anton Anggara. Tujuan Aziz telepon adalah meminta bantuan darurat terkait sang adik, syukurlah beliau ternyata bisa diajak ngobrol. Apa pun yang menyangkut saudara sudah pasti suara Mas Anton agak meninggi. Kemungkinan beliau juga ada stressnya mengingat Grup Anggara kembali kena sandungan dan bawa-bawa Om Heri.

"Saya sudah menduga, pasti Terry dibantu sama mantan pacarnya itu dan Om Edi." Begitu respon Mas Anton ketika Aziz selesai menceritakan kejadian yg menimpa Satya. "Anak itu benar-benar cari mati sama obsesinya sendiri."

"Maka dari itu, biar bisa menangkap Terry. Satya dan Sarah kembali masuk ke jebakannya."

Sudah Aziz duga Mas Anton akan ngoceh panjang lebar soal ini. Sampai Rahman yang dari tadi main ponsel bolak-balik mencolek pundak  Aziz suruh tenangin. Aziz sendiri malah membiarkan dengan kalimat bahwa itu adalah luapan kekesalan Kakak pada Adiknya yang belum tersampaikan.

"Tenang Mas, kali ini kita ada persiapan kok. Ide ini juga dapat persetujuan dari mereka berdua. Walau ponsel mereka dalam keadaan mati, saya tetap bisa memantau pergerakan masing-masing."

Kalimat Aziz bikin kekesalan Mas Anton reda. "Kalian pasang pelacak di ponselnya Sarah sama Satya?"

Aziz dan Rahman mengangguk serempak.

Setelah panggilan terakhir, titik koordinat Satya bergerak. Aziz dan Rahman langsung heboh, berarti mereka berdua sudah menjalankan rencananya. Tangan Aziz bergerak di ponsel, mengabarkan Mas Anton bahwa bantuan boleh dikirimkan sekarang juga.

"Oke, ini berarti gue ke tempat Vika?" Rahman kembali mengingatkan tujuan dia kemari sebelum eksekusi rencana. Mereka semua bagi tugas, Aziz di bagian komputer dan tetek bengeknya, Rahman mengawasi Vika, sedangkan Satya dan Sarah masuk ke jebakan batman entah bagaimana caranya.

Aziz mengangguk tanpa melihat langsung ke sahabatnya. "Ya cepetan, pastikan lo sudah di sana lebih dulu oke. Kabarin gue kondisi Vika dalam keadaan apa pun, dan jangan biarkan dia disentuh sama antek-anteknya Terry. Sama ini, pastikan ada polisi yang beneran polisi, bukan polisi nyamar."

"Lo kebanyakan nonton film, Ziz. Vika nggak bakal segitunya dilukain." Rahman langsung bergegas pergi dari tempat Aziz pakai motor.

"Hei, ini kan antisipasi. Film tuh berdasarkan kejadian nyata cuma dikasih bumbu biar dramatis," teriakan Aziz malah dijawab dengan debuman pintu tempatnya sendiri. Aziz berharap kusennya tidak rusak saja, matanya benar-benar terfokus pada titik koordinat Satya yang mulai bergerak ke luar Jakarta.

Namun, ada yang aneh.

Mengapa hanya titik koordinat Satya yang bergerak, sedangkan Sarah tidak?

"Sialan, ini pasti hpnya Sarah dirusak sampai kena alatnya. Semoga Satya dan Sarah berhasil," bisik Aziz harap-harap cemas.

***

Satya membuka matanya perlahan-lahan. Bias cahaya yang menyambut pandangannya saat ini adalah lampu gantung yang terletak tepat diatasnya. Lelaki itu merasakan tangannya tidak bisa digerakkan. Dia menggoyangkannya sebisa mungkin, hasilnya nihil. Matanya yang terbuka sempurna mulai melirik ke sebelah kiri, ternyata kedua tangannya terikat dibelakang.

"Pantesan tangan gue nggak bisa gerak gini," gumamnya pelan.

Kaki Satya bergerak kesana kemari, merasakan tekstur lantai yang kasar tanpa ubin. Pandangannya menganalisa sekitarnya, terdapat banyak kayu dan tongkat besi disekelilingnya. Satya melihat kemeja coklat mudanya yang sekarang lusuh.

"Ugh, baju gue ya ampun alamat cuci lagi nih," keluhnya. Suaranya menimbulkan gema pelan.

Pergerakan Satya menimbulkan gesekan lain dibelakangnya. Ini kulit manusia, berarti ada satu orang lagi yang terjebak di ruangan busuk ini.

"Ugh ... bisa nggak sih Lo nggak ngeluh ... gue lagi bersenang-senang di alam mimpi tadi." Ternyata itu suara perempuan. Satya mengerutkan dahi, sepertinya dia mengenal suara ini.

"Sarah." Satya memanggil sekaligus meyakinkan prediksinya. Dia tidak bisa elihat langsung lawan bicaranya karena posisi mereka saling membelakangi.

"Iya, ini gue," jawab Sarah. Wanita itu rupanya juga mengenal suara pria dibaliknya. "Kenapa sih gua kejebak sama Lo disini? Bosen gue," tanyanya kesal sambil menggoyangkan tangannya, "Mending deh sama pangeran tampan dari pada sama playboy cap kardus macam Lo."

"Heh playboy gini gue nggak banyak drama kali kayak Lo." Satya tidak terima, "Ugh, kapan sih bisa lepasnya dari sini? Tangan gue kesemutan ini," gerutu Satya.

"Biarin, mendingan drama dah dari pada Lu. Nyakitin hati cewek melulu, nggak sadar apa?"

"Eh yang penting gua kagak ambil keuntungan dari wanita-wanita yang gua kencani selama ini ya, Sar. Nggak kayak Lo, suka manfaatin situasi dari Om-Om kaya yang Lo pacarin selama ini."

Sarah makin kesal ketika tangan Satya makin menggeliat kasar, "Eh, gini-gini gue masih rasional, Sat. Kagak emosian kayak Lu, yang langsung cari pelaku berita nggak penting lo itu. Ih ... bisa kagak sih sabar dikit? Lu bikin kulit indah gue jadi kotor."

"Masa bodo, yang penting gue bisa bebas dari sini."

Jemari Sarah yang bebas makin sulit untuk meraih pisaunya akibat pergerakan Satya. "Lu bisa nggak sih? Nggak nyusahin gua, sehari aja Sat. Capek nih nggak bisa ambil pisau serbaguna dibalik punggung."

"Biarin, sengaja, habisnya Lu ngatain gua duluan," sahut Satya kesal.

Sarah mengerang, masa bodoh sama Satya. Tangannya mengayun seperti penari bergerak maju, rasa sakit dan kebas menjalar. Wanita berambut panjang sepundak itu tetap meraih pisaunya. Pisau itu mulai terasa di genggaman tangannya, Sarah menarik perlahan. Tepat ketika pisau itu berhasil dikeluarkan sepenuhnya, pintu rumah terbuka.

"Sudah bangun rupanya?" ujar sosok berotot besar yang menggunakan tanktop hitam, memperlihatkan tato di lengannya yang bermotif aneh.  Pandangannya meremehkan.

"Ssst ...," Sarah memberi kode gerakan gelitikan, membuat Satya paham.

"Eh algojo, Lu ngapain sih bawa kita berdua kemari?" tanya Satya penasaran, "Iya, gue tau gue anak orang kaya dan ganteng meskipun kagak dianggap. Tapi ya, percuma juga nyulik gue sama si ratu drama satu ini. Kagak penting." Satya tertawa, hampir saja gerakan pisaunya terhenti.

"Bos gua sih yang minta," jawab pria itu. Dia berjalan menuju tempat Satya, membuat Sarah mempercepat gerakan memotong talinya. Langkahnya berhenti tepat di Satya dan mempersempit jarak diantara mereka,

Satya dapat merasakan bau nasi goreng ikan asin dari mulutnya. "Gile, Bos, beli dimana nasi gorengnya? Mau dong," Satya sudah membayangkan kelezatan nasi goreng ikan asin dihadapannya.

"Alamak," Pria itu memutar bola mata, "Kau ini banyak alasan aja, mau ku dor?" Ia mengeluarkan senjata dan menempelkan di pelipis Satya. Membuat lelaki itu diam seribu bahasa.

Satya merasakan tangannya mengendur. Sarah sepertinya sudah terbebas dari ikatannya. Tak lama, ikatan Satya terlepas sempurna, tetapi lelaki itu belum mengubah posisi tangannya. "Yah, jangan didor dong. Aku masih mau hidup, belum menyukseskan diri sendiri nih." Satya memasang wajah sok melasnya.

Karena merasa kasihan, pria itu mengendurkan todongan pistol dari pelipis Satya. Sarah menggunakan kesempatan itu untuk memukul pria itu dengan kursi. Dia berdiri dan mengangkat kursinya.

BUGH!

Si pria pingsan, dan Sarah mengambil pistol pria itu lalu menaruhnya dibalik punggungnya.

"Buat apaan sih?"

"Nggak usah banyak tanya, ayo cepetan lari!" perintah Sarah. Kali ini entah mengapa Satya menurut saja, sepertinya lelaki itu terlalu lelah.

Ketika mereka berdua berhasil keluar dari rumah kumuh itu, ternyata sudah ada yang menunggu. Satya dan Sarah terkejut bukan main dengan sosok tersebut, kemudian menyambut mereka berdua dengan senyum dingin.

"Mau kemana kalian, ha?"

Terry dan pria di sampingnya yang sangat Satya dan Sarah kenal bergerak maju, tapi dua orang cerewet nan tukang debat ini malah memundurkan gerakan kaki.

"Seenaknya aja kalian pergi-pergi dari villa gue, padahal belum kasih sambutan," ujar Terry lagi yang tak dapat respon dari lawannya.

Satya menoleh ke belakang, selama ini dia pikir rumah kumuh. Ternyata lokasi penculikan mereka berada di bagian basement. Mendadak, Sarah menautkan jemarinya super erat beriringan dengan gemerisik sepatu tanda preman aneh bin gila itu sudah berada di belakangnya.

"Ko, lo kalau bucin jangan bego gini dong." Satya mengisi keheningan yang bikin Koko Tian tidak mengubah ekspresinya sama sekali. "Lo kenapa diperdaya sama Terry? Kecurigaan gue bener selama ini."

Tawa melengking Terry muncul, bikin Sarah mendadak plonga-plongo. "Sat, kita ini sama-sama punya pasangan yang rela mencintai kita dengan apa adanya. Lo nggak usah munafik deh, apalagi menutupi denial lo dengan tebar pesona ke cewek-cewek. Nggak kasihan apa sama mendiang Sintia?"

"Yaelah Sintia lagi Sintia lagi," gumam Sarah lelah diiringi dengkusan kecil. "Jangan-jangan lo lagi yang demen sama Sintia."

Tangan Terry terkepal keras, tapi ia tutupi dengan wajah santai dan genggaman hangat Koko Tian yang menenangkan. "Emang, masalah banget buat lo, Sarah cewek perek? Sintia tuh temen gue, dan Satya bisa-bisanya bunuh dan bisa melenggang bebas."

"Buset dah." Satya melempar kernyitan heran, perempuan ini benar-benar di luar nalar bohongnya. "Lo semua, kan, masukin obat aneh-aneh ke minuman beralkohol gue. Perasaan orang mabok tuh mana sanggup bunuh, soalnya sudah letoy banget badannya. Jadi mana bisa bunuh orang, Ter."

Koko Tian menutup tawanya.

"Sekarang gue deh yang nanya." Satya mencoba bernegosiasi sama Terry, setidaknya harus coba cara baik-baik. "Seharusnya, kan, lo jatuhin gue yak Ter, kenapa malah sampai libatin Bokap Nyokap dan Mas Anton?"

Terry bersedekap, memandang Satya yang super bodoh ini. "Kan di berita sudah ada, lo kudet banget apa bego deh, Sat."

"Bukan gitu maksud gue." Satya berjalan maju, sudah ada pasukan preman kiriman Om Edi yang maju, tapi dihalangi Terry. "Itu sih sudah denger. Maksud gue gini, tuh, apa faedahnya sampai lo jatuhin keluarga gue pakai berita palsumu itu? Padahal, kan, lo yang bermasalah sama gue. Harusnya lo serang personal gue, kan masih banyak sisi lain gue yang lo tahu."

Bukan, ini yang bukan Terry harapkan selama ini. Keluarga Anggara terkenal dengan sikap ceria dan penuh optimisnya, dan ia tak percaya Satya mengeluarkan sisi ini. Sisi paling berbahaya yang bakal bikin semua perempuan terjerat dalam pesonanya selain rayuan. Namun, bukan Terry namanya kalau nggak bisa lawan. "Gue mau lo sejatuh-jatuhnya dan nggak ada yang nolongin sama sekali, Sat. Jatuhnya lo harus totalitas. Termasuk sahabat-sahabat lo, sayang gue nggak bisa sentuh tiga teman paling berharga itu karena gue bakal digibeng abis sama Om Edi."

Satya manggut-manggut, mempertahankan senyum manis yang jadi andalannya walau sudah tak tahan ingin menghunus Terry dengan belatinya.

"Terus untuk lo, Ko." Satya berdehem, meredam rasa sakitnya. Begini rasanya dikhianati teman sendiri, pantas Nira kadang punya sisi protektif dan nggak berekspektasi apa pun dalam persahabatan mereka selama ini. "Gue, Rahman, sama Aziz selama ini kurang apa di mata lo? Lo nggak ingat siapa yang bantuin lo upgrade diri?"

Koko Tian tersenyum tenang, rasa khawatirnya mendadak sirna dengan rangkulan Terry di pinggangnya. "Gue ... murni bantuin Terry. Gue nggak bisa meninggalkan dia, dan kalian semua itu nggak berkontribusi apa-apa di hidup gue."

Geraman kecil berusaha keluar dari bibir Satya. Ia langsung menutupinya dengan deheman. "Wah, ternyata ini sisi jahat lo, Ko. Padahal, masa lalu lo termasuk buruk di mata masyarakat."

"Dia melakukannya karena terpaksa," bela Terry.

"Iya memang terpaksa," balas Satya seraya bergerak mundur. Kakinya yang beralaskan sepatu keds beradu dengan paving. "Kita pasti bakal bantu kalau lo minta bantuan waktu itu, Ko. Sungguh disayangkan hidup lo yang tenang dan berharga itu ternodai sama kehidupan malammu itu."

Sebelum Koko Tian buka mulut, Satya menggerakkan jarinya ke kiri dan kanan dengan seringai tipis. "Hidup gue juga nggak sempurna, setidaknya gue berusaha jujur dan nggak menjatuhkan nama baik orang."

Tanpa mereka sadari, Sarah perlahan jalan mundur dan cari celah untuk kembali ke basement terkutuk itu. Tentu saja dengan cara pukul tengkuk beberapa pengawal – yang jauh dari jangkauan Terry – sampai pingsan.

2409 kata
(17 Januari 2024)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro