BAB - 48: Badai Akan Berlalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sarah ternyata hanya mengalami beberapa luka memar di pinggang, perut, dan paha. Tidak ada yang sampai parah sehingga Sarah hanya dapat infus agar mengembalikan nutrisinya. Sudah beberapa menit berlalu, Sarah bosan sekali sehingga ia memutuskan untuk dorong tongkat gantungan infus untuk keluar, untungnya diizinkan sama perawat.

Lampu tanda operasi masih belum mati juga, padahal sudah hampir dua jam. Apa susahnya ambil peluru? Atau peluru itu menembus salah satu organ tubuhnya Satya? Sarah sampai menunduk lalu mengatupkan kedua tangan di dahi, berdoa semoga Satya benar-benar bisa bertahan.

"Hei Sar."

Suara tenor itu bikin Sarah menoleh, ternyata Mas Anton. Walau kemejanya sudah kusut dan rambutnya berantakan, tapi tidak melunturkan ketampanannya. Tidak heran Satya selalu iri dengki setiap ada yang bilang Kakaknya ganteng.

Sarah baru bicara ketika Mas Anton duduk di sampingnya. Perempuan itu menanyakan posisi Mbak Tyas sebagai basa-basi yang dijawab Mas Anton sedang ngobrol ke pelayan di rumah soal kondisi anak-anak.

"Sar, saya boleh bertanya sesuatu tentang Satya ke kamu, boleh?" Tibalah Mas Anton bertanya tentang tujuannya ke Sarah.

"Silakan, Mas."

"Begini ..." Mas Anton sedang menyusun kalimat. ".... Apa betul Satya berurusan dengan Pandora sejak kalian sekolah dulu?"

Sarah agak terkejut, tapi ia tetap menjawab. "Pertama-tama, saya minta maaf dulu ke Mas Anton jika jawaban saya nanti tidak memuaskan Anda. Sebenarnya yang lebih berhak menjawab ini adalah tiga sahabatnya, Mbak Nira, Mas Obi, atau Mas Tio. Apa tidak apa-apa, Mas? Khawatirnya Saya dianggap sok tahu."

"Tidak apa-apa, kok. Jawaban dari kamu pun saya apresiasi. Nanti saya akan tanyakan ke mereka bertiga untuk cross check."

Sarah bernapas lega, pantas saja banyak yang mengagumi Mas Anton soale orangnya selain rendah hati beliau selalu membuka sudut pandang seluas-luasnya setiap menghadapi banyak hal. Belum lagi mata teduhnya yang bikin siapa saja luluh. Ia mengingatkan diri sendiri untuk fokus dan kembali ke realita, memang pesona Beliau tumpah-tumpah sekali.

"Mas Anton tahu sendiri, kan, betapa terkenalnya Pandora di kalangan semua orang terkait curhatnya itu." Sarah mulai bercerita. "Sepengetahuan saya, waktu SMA dulu Satya pernah cerita kalau curhat ke Pandora tuh bikin dia lega. Penyebabnya adalah kesepian ditinggal keluarga, kata dia sebanyak apa pun teman dan sahabat, tapi dia rindu kehangatan rumah seperti waktu kecil. Dari situ saking seringnya curhat dia dapat hadiah, tapi saya nggak–" Sarah teringat oleh kalung pisau yang tergantung di leher Satya setiap sesi bercinta mereka. Dia yakin lima ratus persen kalau itu memang hadiah dari sang Anonim, soalnya ukiran emasnya berbeda.

Ada hati kecil yang retak sedikit dari Mas Anton, seharusnya waktu Satya remaja dulu dia lebih peka dan banyak menghabiskan waktu dengannya. Cepat-cepat ia ubah ekspresi rasa bersalah itu jadi datar agar tak terbaca oleh Sarah.

"Kenapa, Sar?" tanya Mas Anton yang penasaran akan perubahan ekspresi Sarah yang begitu cepat.

Sarah mengulas senyum palsu. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Saya hanya teringat pesanan pakaian-pakaian klien dan butik yang belum beres renovasi." Dia terpaksa bohong untuk bagian pisau belati, biarkan bagian ini diceritakan Satya sendiri.

"Ya pokoknya begitu sih kata Satya. Selebihnya bisa tanya ke Mas Tio, Mas Obi, atau Mbak Nira." Sarah buru-buru menutup jawaban terkait Pandora.

Tahu-tahu Mbak Tyas sudah duduk di samping kiri Sarah dan menoleh ke suaminya. Hingga Sarah berasa diapit oleh pasangan suami istri itu.  "Mas, sudahlah jangan bikin Sarah takut gitu."

Sarah lagi-lagi tak bisa berkata apa-apa, hanya membungkuk sedikit dengan senyum terima kasihnya.

"Sayang." Mas Anton menjentikkan jari. "Kamu pernah jadi anak tersayangnya Pandora, kan?"

Di luar dugaan Sarah, matanya melebar pada saat Mbak Tyas menganggukan kepala dengan santai. "Iya, itu dulu sih sejak SMP sampai sebelum nikah sama kamu, Mas. Waktu itu aku hanya jadi pelindung, bukan permainan. Setahuku Pelindung itu kemana pun kamu pergi, perlindungan Pandora dari orang negatif semakin ketat. Yah, kepleset dikit ada, tapi nggak parah kok. Kalau permainan, berarti menyelesaikan masalah yang dialami oleh orang-orang generasi sebelum atau saat ini. Kalau bisa selesaikan, hadiahnya lebih besar. Mungkin itu yang dialami Satya, permainan."

"Terus waktu itu kamu dapat hadiah apa, Sayang?" Mas Anton masih belum puas.

Mbak Tyas menunjukkan lima jari tangan kiri, di mana ada cincin dengan batu warna kuning pastel dengan lingkar emas putih tebal yang tersemat di jari telunjuknya. "Ini hadiah dari Pandora. Mas tahu, kan, masalah aku yang beberapa bulan sebelum kita nikah. Mungkin kalau nggak dilindungi Pandora, nyawaku melayang kali."

Kepala Mas Anton manggut-manggut. "Alamak kejadian itu. Ya ampun, Sayang." Tangan mereka berdua saling tertaut melewati Sarah yang kebingungan. "Maafkan aku, seandainya waktu itu aku lebih peka."

"Jangan gitu, Mas," balas Mbak Tyas dengan suara teduh. "Toh semua sudah berakhir, dan aku bahagia sama kamu, kan?"

Mas Anton mengangguk lemah, tapi senyumannya langsung bikin suasana rumah sakit yang mencekam mendadak seperti taman bunga.

Penuturan Mbak Tyas lebih mudah dicerna Sarah, begitu juga dengan Mas Anton.

"Sudahlah, Mas," lanjut Mbak Tyas, "Toh yang penting walau terluka Satya ditangani orang yang tepat."

Sarah berdiri dengan sedikit membungkuk untuk pindah posisi di samping Mbak Tyas, biar pasangan suami istri itu bisa mesra-mesraan dengan bebas.

"Oh, ya, Sar. Mami sebentar lagi datang," ucap Mas Anton, topik bicaranya sudah ganti. "Nanti kamu temani sebentar ya, kami berdua mau cari udara segar dulu. Sebelum itu, gue minta flashdisk yang tadi."

Ah, hampir saja Sarah lupa. Ia melipir sejenak ke kamar mandi untuk ambil benda kecil itu dari himpitan celana dalamnya, beri tisu basah dengan sedikit sabun di bagian luar agar tidak bau. Terakhir menyerahkannya pada Mas Anton lalu bilang semuanya akan baik-baik saja dan serahkan semua ke dia.

Benar saja, lima menit dari ucapan Mas Anton. Sarah mendapati Mami Kirani dengan blus biru pastel dengan tali pita yang tersimpul rapi di bagian tengah dan celana kain hitam serta sepatu fantovel warna merah muda malah menarik perhatian orang medis yang lewat. Tak lupa tas tangan Chanel hitam yang tak lekang oleh waktu itu menyempurnakan penampilan sederhana tapi harganya tidak. Mana dua asisten pribadi di belakangnya lagi telepon-telepon entah sama siapa, mungkin untuk mengabarkan pembatalan jadwal arisan atau acara amalnya.

Mami Kirani hanya melirik Sarah dengan senyum tipis dan cipika cipiki sekedarnya kemudian memeluk hangat Mas Anton dan Mbak Tyas bergantian. Sarah sadar diri bahwa ia hanyalah orang asing di keluarga ini, dan untuk kembali berdamai terasa sulit.

Selepas kepergian Mbak Tyas dan Mas Anton, Mami Kirani duduk di samping Sarah dengan anggun. Sebelum bicara beliau menyuruh pelayannya pergi ke kantin untuk beli tambahan minuman, yang langsung bikin suasana ruang tunggu depan pintu operasi kembali sepi.

"Sarah, Nak."

Yang dipanggil langsung menoleh, pasang muka melongo akibat suara lembutnya Mami Kirani. Buru-buru Sarah langsung bersimpuh, menggenggam kedua tangan Mami Kirani di atas lututnya sambil berkata parau. "Tante, Sarah akui Sarah salah mengambil pekerjaan prostitusi yang membahayakan semua orang. Namun, hanya Mami Zee yang Sarah punya, dan pekerjaan inilah yang bikin Sarah terbebas dari utang ibu kandungku yang sekarang entah di mana. Sarah paham ... Sarah paham akan kekecewaan Tante selama kenal sama Sarah. Untuk itu, Sarah minta maaf jika selama ini sudah bikin Tante sakit hati akan sikapku baik sengaja atau tidak."

Genggaman itu semakin erat, diiringi oleh badan Sarah yang bergetar untuk tahan tangis. Tidak peduli nyeri di tangannya yang kena infus, tidak peduli asalkan ia sudah menyampaikan permintaan maaf dari lubuk hatinya yang terdalam.

Mami Kirani sungguh tak menyangka, dia pikir bertemu dengan Sarah kebanyakan diam atau dia sendiri yang akan banyak tanya. Rasa iba menyelimuti dirinya, mengikis kekecewaan yang dialami beberapa bulan belakangan.

Tangan Mami Kirani yang dipenuhi urat itu membalas genggaman Sarah. "Mama mana yang nggak kecewa ketika pasangan pilihan anaknya punya masa lalu seperti itu. Mami lebih kecewa lagi ... ketika kamu tidak jujur soal kondisimu selama ini."

"Tante ....." Mata Sarah berlinang air mata yang mengalir.

"Panggil Mami aja kayak biasanya, Sar," ralat Mami cepat.

Mami Kirani melepas salah satu genggamannya untuk menghapus aliran air mata Sarah. "Namun, apa yang kita lakukan pasti ada alasan logis dibaliknya. Mami senang dengan kejujuran Sarah, dan Mami bangga Sarah bisa melewati semua cobaan ini. Satu sisi, Mami sadar diri bahwa hidup Sarah, ya Sarah sendiri yang menjalankan, Mami hanya jadi penggembira asalkan kamu bahagia. Jadi, Sarah tenang saja, ya, Mami sudah memaafkan Sarah, kok."

Satu kalimat terakhir yang bikin tangisan Sarah menjadi. Buru-buru Mami Kirani redam dalam pelukan hangatnya dengan tepukan pelan di punggung mantan kekasih anak bungsunya itu.

"Sudah, ya, Sarah. Mami juga restui kok kalau kamu ada niat balikan dengan Satya," bisik Mami. Hal ini bikin pipi Sarah memerah, dan tersadar akan hubungannya dengan Satya yang tak jelas.

"Ih Mami," balas Sarah dengan bibir manyun.

Ah tidak apa Mami menggodanya seperti itu, yang penting mereka berdua sudah damai.

Lampu Operasi yang mati bikin dua perempuan itu melepas pelukan dan siap mendengarkan penjelasan dokter yang menangani operasi Satya.

***

Rumah Sakit Tempat Vika dirawat, satu minggu kemudian.

Setelah beberapa hari masuk ruang ICU dengan pengawasan polisi dan Rahman yang kadang datang, akhirnya waktu ini telah tiba. Petugas medis memindahkan Vika di ruang rawat inap. Tentu saja polisi berada di belakangnya, dan Rahman hanya pakai metode jalan cepat. Ini saja dia sempat-sempatkan datang karena habis dari tempat kurir untuk kirim pesanan daring suku cadang motor ke beberapa pelanggan.

Sambil mengintip, Rahman terima telepon. "Oit Ziz, ada apa telepon?"

"Sorry baru ngabarin lo sekarang." Suara Aziz terdengar lemah. "Satya ditembak gara-gara bongkar kejahatan Terry dan Koko Tian, dan sekarang lagi rawat inap di rumah sakit Bandung. Anaknya sudah sadar sih, dan rencananya gue sama Sarah mau jenguk. Lo mau ikut nggak?"

"Astaga, ya pasti gue ikut sih." Rahman tutup mulut, sebenarnya sudah ia duga. Kemarin ia nonton berita terkait penangkapan Terry sebagai pelaku pembunuhan wanita di klub dan pencemaran nama baik Grup Anggara — bagian terakhir dipresentasikan sama tim public relation mereka.

"Bagus, lo di mana sekarang? Ini sekarang gue jemput Sarah di apartemennya."

"Gue lagi di rumah sakit tempatnya Vika, sekarang dia sudah dipindah ke kamar inap soalnya masa kritisnya sudah lewat."

Terdengar napas lega yang panjang dari seberang telepon. "Tinggal nunggu dia sadar dan bereskan sisa masalah. Oke lo tunggu di situ, gue sama Sarah ke sana. Tetap pantau keadaan Vika di situ ya."

Panggilan tertutup, dan perawat sudah keluar dari kamar kelas satu yang mana belum ada penghuni. Rahman minta izin polisi untuk masuk.

Wajah Vika yang tenang dalam tidurnya bikin Rahman lega. Tanpa sadar bibir Rahman melengkung ke atas. Di luar kuasanya, ia mengikis jarak kemudian bibirnya mendekat ke telinga Vika, "Gue tahu arwah lo lagi gentayangan. Gue bangga sama lo yang sudah bertahan hidup selama ini, sekarang lo bangun, ya. Gue jamin Terry atau orang jahat lainnya nggak akan ganggu lo karena dia sudah ditangkap dengan kondisi sekarat. Ayo, lo pasti bisa kembali ke tubuhmu, lakukan bertahap, ya." Bisikan itu diakhiri dengan usapan kecil pada rambut hitam Vika.

Sepeninggalan Rahman, jari kanan Vika sedikit bergerak.

***

Selama satu minggu, Satya benar-benar dirawat dengan baik oleh dokter dan perawat. Kamar VIP ini terlalu luas, soalnya yang jenguk juga ganti-gantian. Orang yang paling sering nengok tentu saja Sarah dan Mami Kirani. Satya sendiri juga baru sadar sekitar akhir pekan sebelumnya. Bagian pinggang kanannya masih nyeri, tapi setidaknya pas sesi ganti perban sama perawat, luka jahitannya sudah tidak terlalu basah. Namun, Satya lagi-lagi tidak suka sama makanan rumah sakit yang terlalu tawar itu.

Satu perubahan yang Satya tangkap adalah ....

Mami Kirani dan Sarah yang kembali akrab seperti dulu, bahkan Satya jadi lebih banyak mendengar soal desain terbaru yang sedang Sarah buat. Rasanya hangat, dan seperti kembali ke masa kecilnya dulu. Satya tahu hubungan mereka masih belum jelas, tapi bolehkah dia merasakan momen ini lebih lama?

Contohnya seperti percakapan ini yang terjadi sehari sebelumnya.

"Mami suka banget sama desain gaunmu kali ini, Sar. Ini kelihatannya sederhana, tapi Mami tahu pasti jahitannya rumit, ya."

Sarah mengangguk ceria. "Banyak main lipat dalam sama jahitan di bagian payet, Mi. Namun, nggak apa, demi klien apa sih yang enggak."

Mami Kirani meminjam iPad Sarah lalu menunjukkannya ke Satya yang baru selesai menaikkan sandaran brankar. "Dek, coba lihat desainnya Sarah. Bagus, kan?"

Sketsa itu sudah sampai tahap pewarnaan bagian tengah gaun, modelnya memang agak ketat, tapi Sarah sedikit kasih robekan di bagian belakang agar pemakai lebih leluasa bergerak. Bagian yang Satya suka adalah di bagian pinggang yang terdapat pita sederhana dengan pinggiran berlian putih, cukup mengisi kekosongan busana. Satya menjelaskannya bagaikan kasih tahu model investasi terbaik untuk calon kliennya.

"Wah, Dek, cara jelasinmu enak betul," puji Mami, Sarah ikut menyusul untuk minta izin ambil iPadnya lagi. "Kenapa kamu nggak coba buka konsultan keuangan aja?"

Satya tersipu bukan karena pujian, tapi panggilan Dek dari Mami.

"Eh bener juga, gaun lengan pendek ini nggak usah banyak payet, cukup kecil-kecil dan tonjolkan bagian pita di pinggang," sambung Sarah. "Makasih banget lho komentarnya, Sat. Dan gue setuju kalau misalnya lo buka jasa konsultan keuangan. Lo, kan, daridulu suka kasih saran-saran investasi atau finansial tuh di akun Moon Risemu?"

Pipi Satya terasa panas, sampai pura-pura garuk kepala. "Itu, kan, biar gue-nya bisa bertahan hidup dari stress kuliah. Jadi, ya, bagi-bagi pengetahuan biar nggak kalah sama mereka bertiga."

"Coba aja dulu, ini teman arisan Mami ada yang mau konsultasi ke kamu," timpal Mami Kirani sambil menunjukkan ponsel yang berisi percakapan pesan. Hal ini bikin Satya mematung, tak percaya akan semua ini yang terasa seperti mimpi di siang bolong. "Mereka percaya sama kamu, Sat. Soalnya semua saran investasi yang dulu kamu bagi di Moon Rise bisa bikin keuangan rumah tangga dan perusahaan terkendali."

"Satya ... pikir-pikir dulu deh." Hanya itu yang bisa dia bilang, masih banyak hal yang harus diurus.

Mami Kirani menepuk pelan bahu putra bungsunya. "Apa pun keputusan kamu, Mami dukung selama itu positif."

Sarah ikut mengangguk, ikut merasakan atmosfer bahagia seperti waktu SMA dulu.

Sekarang, kunjungan Aziz, Rahman, dan Sarah malah bikin suasana ramai. Mereka bertiga bicara banyak hal, mulai dari zaman sekolah, kuliah, kehidupan, sampai hubungan pribadi. Sarah dan Satya tidak bisa jawab soal kelanjutan hubungan mereka, biarkan waktu menjawab. Aziz juga memberitahu tentang Koko Tian dan Terry yang kerjasama selama ini.

"Pantesan aja gue curiga mereka kek pasangan aneh gitu," sahut Rahman setelah Aziz selesai cerita.

"Eh, Ziz, semua beres, kan?" tanya Satya memastikan.

Aziz mengangguk semangat. "Makasih juga sana, sama Abang lo. Koko Tian proses penyidikannya nggak lama, besok kasusnya sudah masuk kejaksaan."

"Kalau Terry?" tanya Sarah penasaran.

Aziz menghela napas, agak kesal. "Katanya Terry juga selamat, dia juga barusan sadar. Anaknya tantrum setiap polisi mulai interogasi dia di rumah sakit. Untung polisinya sabar banget, dan bersedia nunggu Terry untuk pulih."

"Palingan nggak lama," komentar Sarah. "Mereka juga dikejar waktu sekarang. Yang penting, coba cek medsos lo, Sat."

Satya ambil ponsel lalu buka semua isi instagram yang sudah lama tak memposting sesuatu. Ribuan pesan langsung dan ratusan ribu komentar memenuhi laman profil, kebanyakan bilangnya minta maaf dan memuji keberanian Satya selama ini diam-diam mengungkap kebenaran. Terus ia juga mengklik beberapa artikel yang mana isi judulnya menjatuhkan nama Terry sebagai tersangka pembunuhan Sintia dan pencemaran nama baik Grup Anggara.

Rahman bersiul. "Soal Vika, dia sudah dipindah ke ranap, tinggal tunggu sadar."

"Badai benar-benar akan berlalu," gumam Sarah.

Tanpa Sadar, Satya mengiyakan perkataan Sarah tadi tanpa sepengetahuan perempuan itu.

2478 kata
(25 Januari 2024)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro