Reruntuhan Candi dan Kabut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nadya memandang jenuh ke tanah pinggir sungai, tempat di mana para tiga remaja lelaki sibuk memamerkan kekuatan masing-masing. Mereka tidak henti-hentinya menunjukkan kemampuan dan sesekali menanyakan pendapat pada Nadya dan Ratna siapa yang paling keren. Tentu saja, kedua gadis itu hanya mengedikkan bahu sambil asyik memakan buah pepaya.

"Nad, gedangna hiji deui. Jang Ratna wenya?" tanya Ratna sambil menunjuk satu potong pepaya di tangannya.

Nadya mengangguk tanpa bersuara, matanya pun masih terfokus pada tiga remaja yang sibuk pamer. Si remaja yang paling tinggi, Mahesa, mengacungkan senjatanya yang memiliki mata pisau melengkung serta gagangnya hitam. Senyum percaya diri menghiasi wajah Mahesa tatkala muncul cahaya yang keluar dari kujangnya itu. Namun, teman-temannya berdecak. Dua remaja lelaki yang lain, Jaka dan Galih langsung mengangkat tinggi-tinggi benda milik mereka seraya berteriak lantang.

"Lihatlah, angklung sakral milik Jaka yang mampu membuat angin!"

"Halah, paling juga angin leutik," ujar Galih. "Tingali suling Galih. Bisa bikin kalian semua tertidur."

Mahesa dan Jaka mengenyit, memperhatikan suling bambu milik Galih yang diacungkan. Sedetik kemudian keduanya tertawa terbahak-bahak. Saling ejek pun terjadi, tetapi tidak ada pihak yang tersinggung. Ketiganya lalu kembali memamerkan kekuatan magis dari masing-masing benda, lalu melirik pada dua gadis yang kini asyik mengobrol.

"Nad, Rat!" panggil Mahesa yang langsung membuat keduanya menoleh pada sumber suara. "Siapa yang paling keren?"

"Aku, ya, Rat!" seru Jaka seraya mengedip.

"Halah, Galih nu keren mah!" sahut Galih sambil memukul pelan pundak temannya menggunakan suling.

Ratna tersenyum, matanya kini menatap Nadya yang memperhatikan tiga remaja tersebut. Seolah-olah jawaban Ratna adalah jawabannya Nadya juga, jadi gadis dengan kepang satu itu menunggu temannya membuka suara. Namun, alih-alih menjawab, Nadya memasang sandalnya dan berlari menghampiri tiga remaja tersebut. Tangannya lekas mengeluarkan kantung kain cokelat yang berisi banyak biji congklak. Gadis itu mengambil tiga, lalu melemparnya ke udara. Biji congklak yang mirip cangkang kerang mini tersebut bersinar saat dilempar, setelah itu melayang di udara dan bergerak naik turun seirama dengan gerakan tangan Nadya.

"Yang paling keren itu aku," ucap Nadya sembari mengepalkan tangan lalu melakukan gerakan melempar.

Sontak saja tiga biji congklak itu langsung bergerak cepat dan menghantam kening Jaka, telapak tangan Mahesa karena berusaha melindungi wajahnya, dan dada Galih. Suara tawa puas terdengar beserta rintihan kesakitan dari para remaja tersebut. Sementara itu, Ratna terkejut dan segera berlari menghampiri Jaka.

"Licik juga, ya, kamu. Padahal kamu, kan, enggak aku sebutin," kata Mahesa disertai ekspresi kesal.

"Ya, kan, kamu nanya siapa yang paling keren. Aku jawablah yang keren itu aku," timpal Nadya masih disertai wajah puas.

"Enggak gitu, Nadya!"

"Terserahlah. Nih, lihat, ya. Aku bisa angkat selendangnya Ratna," ujar Nadya bangga.

Gadis itu kemudian memungut kembali tiga biji congklak yang jatuh ke tanah, lalu mengambil tiga buah lagi dan menggerakannya untuk mengangkat selendang berwarna putih. Namun, alih-alih mengangkat kain, biji congklak itu malah melayang tanpa membawa apa pun. Hal ini tentu saja menjadi bahan tertawaan teman-temannya, apalagi saat melihat wajah Nadya yang sudah cemberut.

"Halah, sok jago kamu. Gitu doang mah Galih juga bisa," tukas Galih.

Ia pun langsung mendekatkan ujung suling ke bibirnya, beberapa jarinya menutupi lubang-lubang di badan alat musik tersebut, dan lelaki itu mulai meniup. Lantunan musik yang dihasilkan dari alat musik bambu terdengar menenangkan, seperti suasana desa asri dan tenang ditemani semilir angin. Meski terlihat samar, dari ujung suling itu muncul cahaya bagai not balok yang mengarah ke selendang Ratna. Lama-lama, selenang putih itu akhirnya terangkat walau hanya setinggi pinggang Galih.

Ratna takjub, sedangkan Mahesa berdecak karena merasa tersaingi. Akhirnya, lelaki itu ancang-ancang. Kujang dipegang satu tangan, sementara tangan lainnya seolah mendorong udara ke arah senjata tersebut. Mulut Mahesa terlihat bergerak, berkomat-kamit mengucapkan mantera andalan. Tatkala mantera menyentuh bait terakhir, kujang itu diayunkan ke depan dan mendorong bola angin yang keluar dari ujung mata pisaunya ke arah selendang Ratna.

Momen di mana semua orang takjub dan kaget bersamaan, sebab Mahesa berhasil membuat selendang temannya itu menjauh dari lokasi mereka. Lebih tepatnya, terbang terbawa angin ke dalam hutan.

"Alah siah, selendang Ratna kebawa angin," celetuk Jaka yang langsung saja memecah keheningan di antara mereka berlima.

Ratna yang tidak terima selendang kesayangannya juga merupakan sumber kekuatan magisnya, langsung saja memukul lengan Mahesa kencang. Gadis itu marah, ia ingin selendangnya kembali.

"Pokoknya, Ratna enggak mau tahu. Cari sampai dapet! Kalau enggak, Ratna ngadu ke Ki Kalingga."

Mendengar nama kakeknya disebut, Mahesa jelas panik. Meski kakeknya berwajah ramah dan suka mendongeng, sejatinya pria itu tegas juga tak sungkan untuk memberikan ceramah panjang lebar pada anak atau cucunya yang berbuat salah. Mahesa sebenarnya tidak mau masuk ke hutan, tetapi demi menghindari ceramahan maut sang kakek ia mau mencarinya.

Mahesa awalnya mendapat penolakan begitu mengajak Jaka dan Galih, tetapi akhirnya ia ditemani oleh mereka berdua. Sebelum ketiganya memasuki hutan, Nadya memilih ikut dengan dalih agar pencariannya cepat selesai. Meski ditentang oleh Mahesa, gadis itu tetap bersikeras untuk ikut. Kini, keempatnya memasuki hutan seraya saling menyalahkan, sementara Ratna hanya terdiam menatap punggung teman-temannya.

~o0o~

Selendang putih yang seharusnya mudah dilihat karena warnanya paling kontras, justru tidak bisa ditemukan oleh empat remaja. Mereka mulai mencari dari semak-semak dekat tempat bermain tadi, hingga naik ke atas pohon pun benda milik Ratna tidak kunjung terlihat. Gara-gara ini juga mereka kembali saling menyalahkan, terutama Mahesa dan Galih. Sampai Nadya yang kesal karena berisik, mulai melempari mereka dengan biji congklak.

"Nad, nanti biji congklak kamu habis lho kalau dilempar terus," kata Mahesa sambil memunguti beberapa biji congklak di dekatnya.

"Bodo amat. Soalnya kalian berisik!" timpal Nadya yang sudah bersidekap.

"Nanti kamu enggak bisa ngelawan maung bodas kalau congklaknya tinggal hiji," ejek Galih.

Seketika satu biji congklak melayang tepat ke kening lelaki itu, membuat Galih mengaduh sambil berdecak sebal.

Melihat kawannya kena sentilan biji congklak, Mahesa tertawa puas. "Makanya kalau ngomong itu jangan sembarang!"

"Tapi maung bodas katanya ada di sini."

Cepat-cepat Nadya memukul lengan Galih untuk tutup mulut, mengingat lokasi mereka berada di hutan yang katanya tidak boleh berbicara sembarangan. Sebetulnya gadis itu ingin sekali menyentil dahinya Galih, tetapi ia merasa sayang jika harus menghambur-hamburkan biji congklak untuk memberi jera pada orang seperti Galih.

Saat Mahesa mengembalikan semua biji serupa kulit kerang pada Nadya, Jaka tiba-tiba memanggil. Ketiganya menoleh ke sumber suara, tetapi sosok lelaki itu tidak ada di sana. Mata cokelat ketiga remaja itu saling bersitatap, seolah-olah melakukan telepati mengenai keberadaan kawannya. Setelah lama mereka bertiga hening dan Jaka yang memanggil terdengar kesal, barulah Mahesa mengedikkan bahu seraya berjalan ke sumber suara. Galih dan Nadya mengekor di belakang sambil mengedarkan pandangan berharap melihat selendang putih.

"Hei, lihat ini!" seru Jaka yang kini berada di tengah-tengah sebuah lapangan.

Tempat yang ditunjuk Jaka membuat semua mata membelalak. Di tanah lapang yang rumputnya bahkan setinggi mata kaki, terdapat banyak batu-batu andesit tersebar. Di beberapa tempat, ada candi yang terlihat utuh dan tidak utuh. Setidaknya ada empat buah pondasi candi yang terletak di setiap ujung tanah lapang berbentuk persegi tersebut. Di tengahnya ada candi yang sudah tidak sempurna dan hanya setinggi pundak Mahesa. Sementara candi yang terlihat masih utuh berada di utara.

"Kok ... ada candi di hutan?" tanya Nadya dengan ekspresi takjub.

"Iya, tapi candinya gini banget," sahut Jaka yang segera menghampiri teman-temannya.

Mahesa dan Galih terdiam, keduanya memperhatikan pondasi candi sebelum melirik yang lain. Lokasi tempat candi yang sudah nyaris hancur itu tak jauh dari desa mereka tinggali, tetapi tidak pernah ada rumor seputar penemuan candi di hutan. Padahal, biasanya hal baru atau aneh selalu menyebar dengan cepat di desa. Mereka berpikir jika ini terjai karena jarang ada yang mau ke hutan di sebelah utara, sebab posisinya dekat kaki gunung. Orang-orang desa lebih banyak beraktivitas di sebelah selatan dan jalan menuju kota kebanyakan lewat barat.

Galih memegang pundak Mahesa yang hendak menghampiri candi yang paling utuh. Lelaki itu kemudian berkata, "Mahesa, inget cerita Ki Kalingga soal harta karun di bawah candi?"

Mendengar penuturan temannya, seketika mata Mahesa membesar. Cerita yang sering Mahesa anggap dongeng itu sejatinya hanyalah cerita karangan Ki Kalingga sendiri. Ia memaklumi bahwa kakeknya suka berdongeng, sebab pria itu punya banyak stok cerita terutama khusus permainan wayang golek yang sering diadakan di desa.

"Harta karun yang menjadi saksi bisu hilangnya kerajaan paling berjaya pada masanya," gumam Mahesa.

"Berarti aki kamu enggak ngarang." Senyum merekah di wajah Galih, lalu ia berjalan mendekati candi yang masih utuh.

Lelaki dengan suling di tangan tersebut menaiki tangga candi, kepalanya melongo melihat bagian dalam yang gelap. Awalnya kerutan terlihat di dahi Galih, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresi wajah. Lelaki itu lantas membalikkan badan, kedua tangannya dilebarkan. Sebuah ide terlintas di kepalanya.

"Wahai rakyatku, saksikanlah permainan suling hebat raja kalian!" ujar Galih seraya mempersiapkan diri untuk meniup alat musiknya.

Jaka dan Nadya dengan cepat memberikan sorakan sebagai respons, tentu saja dalam artian mengejek temannya. Kemudian, mereka berdua mendekati Galih dan menyuruhnya turun seolah-olah penonton acara protes karena permainannya tidak enak didengar. Namun, Mahesa hanya terdiam, matanya membelalak ketika menyadari perubahan suasana di sekitar reruntuhan candi. Dengan sigap, lelaki itu segera mengenggam kujangnya.

"Nad, Gal, Jaka! Cepat ke sini!" seru Mahesa.

Ketiga temannya baru menyadari bahwa langit di sana tidak secerah sebelumnya. Kabut tipis mulai menyeruak dan berkumpul di sekitaran candi. Suara burung dan serangga juga mulai menghilang perlahan, yang bisa mereka dengar hanyalah suara satu sama lain. Lantas, ketiganya cepat-cepat berlari menghampiri Mahesa.

Nadya yang paling duluan sampai dan lekas menarik lengan kiri Mahesa. "Hawanya udah enggak enak, pulang aja, yuk! Selendangnya enggak ada di sini."

"Heeh, urang balik we," sahut Jaka dan diangguki Galih.

Mahesa mengembuskan napas keras, berdiam diri di sana bukanlah pilihan yang bijak. Ia pun mengangguk, memutuskan untuk mencari selendang Ratna di tempat lain. Jadi, keempatnya berjalan cepat meninggalkan reruntuhan candi. Akan tetapi, suasana suram itu tidak lekas meninggalkan keempat remaja tersebut. Hutan yang awalnya terlihat biasa saja, kini jadi seperti hutan angker.

Nadya berjalan lebih dahulu, sebab firasatnya mengatakan tidak enak. Ia dan tiga temannya memasang telinga waspada, jantung mereka pun berdegup seperti gendang yang ditabuh di acara hajatan. Lama-lama suara napasnya juga terdengar. Namun, alih-alih mempercepat langkah, Jaka malah berhenti. Matanya memperhatikan sesuatu di belakangnya. Tanpa sadar ia mendekap erat angklungnya.

Mata lelaki yang tubuhnya kurus itu menangkap sosok aneh dari balik kabut. Sosok yang pernah ia dengar dari mitos-mitos warga desa. Tubuh sosok itu tinggi besar, terdapat telinga lancip di bagian kepala, dan kedua tangannya seperti cakar. Makin lama sosok itu mendekat, makin terlihat jelas rupanya. Mirip serigala yang berjalan dengan dua kaki.

Sontak saja Jaka berteriak, bersamaan dengan makhluk mitos yang disebut aul itu menggeram. Refleks Jaka menggoyangkan angklungnya sehingga menghasilkan gelombang suara magis dan cukup menampar aul. Teriakan lelaki itu juga terdengar oleh teman-temannya, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang mereka semua berlari menuju ke luar hutan.

Akan tetapi, aul tersebut berlari lebih cepat, bahkan melewati jalan lain hanya untuk mencegah para remaja berhasil kembali ke desa. Karena panik, Galih malah mengambil batu dan melemparnya, sayang sekali meleset. Sementara Nadya bersiap lari ke arah berlawanan.

"Semuanya, keluarkan kemampuan kalian!" seru Mahesa yang siap dengan kujang.

Nadya yang posisinya sudah agak jauh langsung berhenti, ia mengeluarkan segenggam biji congklak dari kantung lalu berkomat-kamit. Biji-biji congklak itu melayang di udara, diselimuti pendar hijau. Kemudian dalam sekali ayunan, biji-biji congklak melesat cepat ke arah aul. Dua di antaranya menusuk mata.

Di sisi lain, Galih dengan sulingnya memainkan nada tidak beraturan. Suaranya bahkan tidak enak didengar sampai-sampai Mahesa protes. Namun, lelaki itu tidak peduli, sebab angin yang keluar dari sulingnya kini membentuk bola dan ditembakkan ke makhluk serupa serigala.

Serangan dari Nadya dan Galih setidaknya cukup membuka jalan bagi Mahesa untuk menyerang, dibantu Jaka yang terus menggoyangkan angklungnya untuk membuat aul terjatuh karena serangan mengarah ke kakinya. Begitu makhluk itu jatuh, Mahesa lantas menyambet bagian pundak aul.

"Cepet lari!" perintah Mahesa begitu aul mengaum kesakitan.

Para remaja itu berlari meninggalkan aul, tetapi rupanya luka yang disebabkan Mahesa tidak meninggalkan jejak apa pun. Makhluk itu kembali berdiri dan mengaum lagi, lalu mengejar. Bahkan aul sempat melompat untuk mengincar Mahesa yang berada di paling belakang. Setelah berhasil mendarat sempurna, membuat Mahesa kini berada di bawahnya aul. Kedua tangan bercakar itu memegang pundak si lelaki dan kukunya menembus pakaian hingga menggores kulit.

"Mahesa!" pekik teman-temannya.

Nadya, Galih, dan Jaka kembali bersiap untuk menyerang, tetapi sosok macan dengan bulu putih melesat di atas mereka dan mendorong jauh aul. Macan putih atau maung bodas yang pernah dijadikan bercandaan Galih rupanya betulan nyata, bahkan bisa berbicara bahasa manusia.

"Pergi dari sini!" kata maung bodas sebelum kembali menahan aul agar tidak menyerang para remaja itu.

Menuruti perkataan sang maung, Nadya segera berlari ke desa dengan cepat, sedangkan Galih dan Jaka menarik Mahesa untuk berdiri dan lari. Saat ini, keselamatan mereka yang diutamakan dan pencarian selendang Ratna bisa dilanjutkan besok. Mahesa pikir mungkin Ratna akan mengadu pada kakeknya, ia juga sudah mempersiapkan diri untuk kena ceramah yang penting nyawanya selamat dulu.

~o0o~

Para remaja itu akhirnya berhasil keluar dari hutan, walau begitu langit memang sudah mulai terlihat gelap. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa sudah berada di hutan dalam waktu berjam-jam. Meski begitu, keempatnya bersyukur bisa keluar dengan selamat.

Ratna yang rupanya masih menunggu dengan sabar tergopoh-gopoh menghampiri mereka, di belakangnya Nek Tita, neneknya Mahesa juga terlihat khawatir.

"Syukurlah, kalian enggak apa-apa?" tanya Ratna. Mata gadis itu membelalak saat melihat baju Mahesa sedikit sobek di pundak. "Sa, pundak kamu ...."

"Enggak apa-apa, tinggali diobati nanti di rumah. Ratna, maaf, ya, selendang kamu belum ketemu. Besok aku cari lagi," jawab Mahesa.

"Eh, enggak usah. Ini selendang Ratna udah ketemu tadi sama Ki Kalingga." Ratna menunjukkan selendang putihnya pada Mahesa yang sontak membuat teman-temannya terkejut.

"Lho, kok? Eh, ya udah, deh. Terus aki mana?" Mahesa mengedarkan pandangan, berharap bisa menemukan kakeknya.

"Aki pergi ke hutan cari kalian. Untung kalian udah di sini, ayo pulang. Udah magrib," ucap Nek Tita.

~o0o~

Terjemahan Basa Sunda:

"Nad, gedangna hiji deui. Jang Ratna wenya?" : "Nad, pepayanya tinggal satu. Buat Ratna aja, ya?"

Leutik : Kecil

Tingali : Lihat

Alah siah : Nah lho

Aki : Kakek

"Heeh, urang balik we." : "Iya, kita pulang aja."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro