📍 [²log8 × 5 (a)] Fernando

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DIA HANYA MEMBICARAKAN SIKAP FELICIA YANG MENYEBALKAN, TETAPI TAK PERNAH SEKALIPUN MENEGUR GADIS ITU.

~••~

Selamat Membaca!!!

💭💭💭

Fernando's POV

“Mau ke kantin, Bro?” Sebuah suara di belakang membuat langkahku untuk keluar kelas menjadi terhenti. Seorang lelaki bertubuh tegap dengan gigi kelinci itulah yang bertanya padaku tadi.

“Iya. Bareng?” Ya, walaupun kami berdua tidak duduk sebangku, tetapi aku jauh lebih akrab dengan Dika dibanding teman sebangkuku, Satya.

Jika ditanya kenapa. Huh ... lelaki itu sangat menyebalkan. Ya, aku tahu kalau Satya tidak suka dengan Felicia—karena aku sendiri pun tak suka dengan sikap sok dari perempuan itu. Akan tetapi, haruskah setiap hari, setiap jam dia membicarakan kelakuan Felicia yang menyebalkan? Jujur saja, membicarakan kejelekan Felicia tidak akan ada habisnya. Aku yakin dengan hal itu. Sebab, setiap hari ada saja kelakuan gadis itu yang membuatku geleng-geleng kepala.

Bahkan, dalam hati aku selalu bertanya. Dia ini sebenarnya cowok atau cewek? Dia hanya membicarakan sikap Felicia yang menyebalkan, tetapi tak pernah sekalipun menegur gadis itu. Paling hanya menatapnya sinis. Oh, ya. Dia pernah dengan terang-terangan membicarakan Felicia di depan gadis itu. Tentu saja Felicia marah besar. Yah, lama-lama aku tidak hanya kesal dengan Felicia, tetapi dengan lelaki ini juga. Bagaimana gadis itu bisa berubah menjadi baik jika dinyinyiri terus?

“Ya, aku ikut, Ndo.” Jawaban Dika akhirnya membuat kami berjalan menuju kantin. Namun, baru saja aku di ujung lorong kantin, tampak banyak siswa yang bergerombol.

“Nando. Itu ada apaan, sih?” Aku diam saja, tidak menanggapi pertanyaan Dika. Sebab, sebelum Dika tadi bertanya, aku mendengar suara pecahan kaca yang beradu di atas lantai. Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis yang cukup familiar tengah berdiri dan berjalan menuju sumber suara yang menyebabkan bunyi kaca pecah tadi.

Aku bukan dukun, bukan pula cenayang. Namun, aku bisa menduga apa yang akan gadis itu lakukan. Dengan segera, aku berjalan cepat ke samping kantin. Dika pun mengikuti langkahku. Sepertinya ia juga paham situasi apa yang akan terjadi, sehingga ia tidak banyak berkomentar saat aku tidak langsung masuk kantin.

Setelah aku menemukan barang yang kucari, kuserahkan barang itu ke Dika dan mengajaknya masuk ke kantin.

"Kamu lihat! Makanan dan minuman kami tumpah semua dan itu gara-gara kecerobohanmu. Aku nggak peduli, kamu belikan lagi makanan untuk kita dan kamu juga harus tanggung jawab mengganti piring dan gelas yang pecah itu. Oh, ya, jangan lupa bersihkan ini semua. Pokoknya kamu harus tang—"

"Sudah, jangan nangis. Sini biar aku bantu bersihkan." Tanpa memedulikan Felicia yang sedang mengomel, aku segera menghampiri gadis malang yang duduk dengan wajah melas di depan pecahan kaca yang berserakan, serta pakaian penuh dengan noda. Aku pun langsung jongkok, membantunya mengumpulkan pecahan kaca.

"Eh, kalian ngapain, sih? Dia yang salah, harusnya—"

"Bisa diam nggak? Ngamuk aja bisanya," ujarku supaya dia menghentikan omelannya. Namun, yang namanya Felicia, pasti tidak akan berhenti mengomel jika tidak memenangkan perdebatan.

"Kamu itu dengar nggak, sih, omonganku? Biar—dia—yang—bersihkan! Apa masih kurang jelas? Dia harus tanggung jawab atas kecerobohannya!" Dan, ya. Dari situ, dia mulai mengomel tidak jelas padaku, bahkan dengan beraninya dia mencengkeram kerah seragamku. Namun, aku tak memedulikan seluruh omelannya. Sambil menyingkirkan tangannya yang mencengkeram kerah bajuku, kupanggil Dika yang kini juga ikut membantu gadis malang itu—ternyata bernama Alicia setelah kulihat nametag-nya.

"Dik, kamu bantu dia ngambilin pecahan kacanya terus bantuin ngepel juga, ya? Aku mau ke kelas sebentar." Setelah itu, aku menatap Felicia dengan tajam.

"Dan kamu ... jangan coba-coba menghalangi Dika buat bantu dia. Awas aja, ya, kalau berani! Lebih bagus lagi kalau kamu bantu mereka," Setelah itu, aku berjalan meninggalkan kantin. Sempat kudengar gadis itu berteriak, tetapi aku merasa bodoh amat.

Aku terus melangkah menuju kelas. Tujuanku saat ini adalah ingin mengambil seragam olahragaku yang akan kupinjamkan pada Alicia. Sejujurnya, aku merasa kasihan pada gadis itu. Entah sejak kapan, Alicia selalu menjadi target utama untuk di-bully oleh Felicia.

Kebetulan, hari ini mata pelajaran olahraga di kelasku sedang kosong. Karena, mendadak saja dikabarkan kalau Pak Anton, guru olahraga, sedang izin tidak masuk. Jadi, aku akan meminjamkan pakaian olahragaku ini pada Alicia.

Setelah mengambil pakaian olahragaku yang masih terlipat rapi, dengan segera aku melangkah menuju kantin, yang sebelumnya mengajak Pak Arman—petugas kebersihan di sekolah kami—terlebih dahulu.

Aku berharap, jangan sampai Felicia membuat keonaran lagi, sehingga aku berjalan dengan langkah cepat menuju kantin. Namun, sesampainya di sana, aku justru melihat gadis itu duduk dengan teman-temannya. Ia pun hanya memandang dengan tatapan kosong ke arah Dika, Alicia, dan teman Alicia yang sedang membersihkan lantai. Akan tetapi, aku tak memedulikannya. Bukankah bagus kalau dia tidak membuat kegaduhan lagi?

"Alicia." Gadis yang kupanggil itu menatapku dengan mata yang sembab.

"Kamu ganti baju dulu aja. Nanti, itu biar aku, Dika, dan temanmu yang lanjut membersihkan. Juga dibantu sama Pak Arman. Iya, kan, Pak?" tanyaku pada Pak Arman, meminta dukungannya.

"Iya, Mas. Tenang aja, Mbak. Saya bantu bersihkan, kok."

Namun, Alicia justru menolak pinjaman pakaian olahraga dariku ini dan mengatakan tidak masalah jika ia tidak mengganti baju. Hufftt ... ini memang kebiasaan sebagian besar cewek, ya. Selalu sungkan. Entah sungkannya itu karena benar-benar sungkan, atau hanya pencitraan saja. Kecuali Felicia, tentu saja. Jangankan sungkan, rasa kasihan saja sepertinya gadis itu tidak punya.

"Nggak apa gimana? Memang kamu nyaman pakai baju yang kotor kayak gitu? Tenang aja. Kalau ada guru yang tanya kenapa kamu pakai baju olahraga, bilang aja karena ketumpahan makanan. Seandainya guru-guru masih nggak percaya, kamu minta aja mereka untuk panggil aku supaya aku kasih tau kalau aku sendiri yang minta kamu pakai baju olahraga. Oke?" Namun, Alicia masih saja diam tak berkutik.

"Kebetulan hari ini kelasku nggak ada olahraga. Jadi, baju ini belum aku pakai dari tadi. Kalau nggak percaya, kamu bisa tanya Dika. Kausnya nggak kebesaran, kan, buat kamu?"

Alicia masih saja diam. Tentu saja aku gemas. Dengan segera, aku menarik tangannya dan meletakkan pakaian olahragaku di atasnya. Bukan aku terlalu percaya diri, tetapi ... aku melihat ada tatapan lain darinya. Aku hanya tidak ingin mendramatisir keadaan.

💭💭💭

Alohaaa. Spesial hari ini, aku pakai POV Fernando. Kalau kalian perhatikan di part "CAST" di situ aku sempet bilang, kalau seluruh part di cerita ini akan menggunakan POV Felicia. Tapi ... mendadak aku dapat ilham buat male POV. Jujur, ini menantang banget :)

Kalau ada yang merasa POV nya bocor, atau karakternya nggak sesuai cowok banget. Untuk krisar, waktu dan tempat dipersilakan. Menerima krisar 24 jam nonstop :)

Nando akrab banget, ya, sama Dika, hihi. Suka aku tuh liatnya 💜💜

As always, jangan lupa vote dan komen, ya, untuk membangun cerita ini.

Jangan lupa follow juga akun putriaac untuk dapatkan informasi update terkait cerita ini dan juga cerita-cerita menarik lainnya.

Have a nice day.

©Surabaya, 15 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro