1. From Mba Nu @verbacrania

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul : Sang Pemimpi (Tetralogi Laskar Pelangi #2)
Penulis : Andrea Hirata
Terbit : 2006
ISBN : 9789793062921
Reviewer : verbacrania dan Reia_ariadne



Sinopsis :

Sang Pemimpi adalah sebuah lantunan kisah kehidupan yang memesona dan akan membuat Anda percaya akan tenaga cinta, percaya pada kekuatan mimpi dan pengorbanan, lebih dari itu, akan membuat Anda percaya kepada Tuhan. Andrea akan membawa Anda berkelana menerobos sudut-sudut pemikiran di mana Anda akan menemukan pandangan yang berbeda tentang nasib, tantangan intelektualitas, dan kegembiraan yang meluap-luap, sekaligus kesedihan yang mengharu biru.
Tampak komikal pada awalnya, selayaknya kenakalan remaja biasa, tapi kemudian tanpa Anda sadari, kisah dan karakter-karakter dalam buku ini lambat laun menguasai Anda.

Karena potret-potret kecil yang menawan akan menghentakkan Anda pada rasa humor yang halus namun memiliki efek filosofis yang meresonansi. Karena arti perjuangan hidup dalam kemiskinan yang membelit dan cita-cita yang gagah berani dalam kisah dua orang tokoh utama buku ini: Arai dan Ikal akan menuntun Anda dengan semacam keanggunan dan daya tarik agar Anda dapat melihat ke dalam diri sendiri dengan penuh pengharapan, agar Anda menolak semua keputusasaan dan ketakberdayaan Anda sendiri.

“Kita tak kan pernah mendahului nasib!” teriak Arai.
“Kita akan sekolah ke Prancis, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Apa pun yang terjadi!”

Isi review :

Kalimat pertama yang membuat saya mengerjap menahan tangis adalah: “Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati…”—Arai. Andrea Hirata dengan kesederhanaan kata, tapi tetap saja tak mampu mengikis makna.

Bagi Ikal dan Arai, dua pemuda miskin dari kampung Belitong, taka da yang bisa menjaga mereka untuk tetap tegar bekerja keras membanting tulang di sela-sela sekolah menengah tingkat atas kecuali MIMPI. Sebuah kata sakti yang mampu menyuluh semangat mereka untuk tetap berdiri menantang kejamnya dunia, keterbatasan fasilitas, hingga kurangnya perhatian pemerintah pada sebuah desa kaya raya namun dikuras habis oleh ‘pendatang’. Mereka tetap berdiri, menginjak karang, hingga berseru lantang bahwa suatu saat mereka akan meraih mimpi-mimpi yang sudah mereka lebur di dalam nadi.

Adalah Arai, sang Simpai Keramat, keturunan terakhir dari silsilah keluarganya. Lelaki yang membuat saya sering terkesiap, terkekeh di lain waktu, hingga menangis sesenggukan membayangkan kelakuanya. Jika saya boleh memilih seorang sahabat sehidup semati, maka Arai adalah pilihan pertama.

Pemuda kedua, Ikal, partner in crime dari Arai. Pemuja sejati ayahandanya. Dari Ikal saya belajar kegigihan untuk membahagiakan orang tua adalah keinginan paling mulia dan kepuasannya tak pernah bisa disandingkan dengan kegembiraan mana pun. Ikal, sosok manusiawi yang selalu meredam mimpi-mimpi Arai yang tak berkesudahan, namun seringkali hanyut dalam argumen-argumen cerdas Arai dan malah menjadikannya penyokong nomor wahid untuk mimpi-mimpi Arai.

Ada Arai yang mengangkasa, ada Ikal yang membumi, tak lengkap jika tak membahas tentang Jimbron. Sesosok lelaki tambun gila kuda yang menjadi sahabat mereka. Lelaki yang tak fasih berkata-kata, gagap saat gugup, dan selalu mendapat peringkat akhir di raport sekolah. Namun, kebaikan memang tak mengenal kekurangan diri. Jimbron mengajarkan saya bahwa jika pun ia tak dapat meraih mimpi, jadilah orang yang mampu mendukung mimpi sahabat-sahabatnya. Tabungan kuda hitam dan putih, yang diisi dengan nominal yang sama persis, ia serahkan pada Ikal dan Arai yang melenggang ke Universite de Paris Sorbonne, Perancis setelah lulus dari seleksi ketat beasiswa.

Angan-angan yang dulu dipentik oleh guru mereka, membuat Arai dan Ikal bermimpi untuk menjelajahi Eropa, kini sudah terpampang di hadapan mereka. Tak pernah sedikit pun Tuhan silap akan keinginan dan permohonan hamba-Nya yang tak kenal menyerah.

Dari Arai saya belajar untuk bermimpi, dari Ikal saya belajar cara mewujudkannya, dan dari Jimbrom saya belajar kebijaksanaan untuk mendukung mimpi dan membuatnya menjadi nyata.

Memang benar apa yang selalu diteriakkan Arai: Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu!

Rating: 5 of 5 (disertai isak tangis dan haru, merasa saya belum menjadi apa-apa).


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro