Chapter 37 - A Thousand Emotions

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah selesai makan malam, aku berencana untuk berkunjung ke rumah Ajay meskipun hanya sebentar. Ia bilang, Mohit ingin sekali bertemu denganku. Tentu saja aku tidak dapat menolak ketika bocah imut berambut mangkok itu ingin bermain denganku.

Namun, ketika Ajay membuka pintu rumahnya, terdengar suara dari piring yang pecah.

"Cut the crap, Samir! Aku muak dengan egomu! Kau tidak pernah membiarkan aku untuk membahagiakan anak-anakku!" Suara Shruti yang meninggi terdengar dari arah dapur.

"Memangnya tidak boleh kalau Mohit makan malam di rumah ibukku?!" Bentak Samir.

"Bullshit! Kau membawa Mohit ke rumah ibumu untuk makan malam karena kau tidak suka kalau Mohit memakan masakan buatanku! Lalu apa peranku sebagai ibu jika bukan memasak untuk anak-anakku?!"

"Yes. Lihatlah masakanmu! Tidak bisakah kau memasak masakan yang sehat?!"

Kali ini terdengar suara panci yang sepertinya sengaja dilempar ke lantai.

"Kalau begitu kau sewa saja chef untuk memasak!--" Bentak Shruti lagi.

Aku menoleh ke arah Ajay yang berdiri tepat di sebelahku. Ia meremas handle pintu dengan keras, lalu membanting pintu dan berjalan dengan cepat menuju mobilnya yang terparkir di depan rumahnya.

"Ajay, wait!" Aku berlari kecil untuk mengejarnya.

Ajay masuk ke dalam mobilnya dan duduk di bangku pengemudi, aku mengikutinya masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku penumpang depan. Ia mengepalkan tangannya dan meninju kemudi mobil, napasnya berubah menjadi tidak beraturan, rahangnya mengeras.

Dengan perlahan aku menggenggam tangannya.

"Ajay?" Lirihku.

Kepalan tangannya melunak dengan perlahan, ia balas menggenggam tanganku dan menghela napas berat, "sorry."

"It's okay." Aku tersenyum.

"Aku benci ketika kedua orang tuaku bertengkar di depanmu." Lirihnya.

"Nobody's perfect, Ajay."

"Tapi orang tuaku sangat tidak normal! Dua kali mereka seperti ini! Di depanmu!" Ia meninggikan suaranya, "kau tahu, rasanya aku ingin kabur saja dari rumah untuk memberikan mereka hukuman!"

"Seperti Skye? Dan membiarkan kami khawatir dan kerepotan mencarimu?"

Ajay terdiam sejenak, "sorry, aku kekanak-kanakan."

"Kau butuh pengalihan. Bagaimana kalau kita membeli camilan untuk membuat perasaanmu lebih baik?" Aku memberikan sebuah ide.

"Nah. Sedang tidak mood." Jawab Ajay.

"Kau yakin? Meskipun itu caramel popcorn atau nachos?" Tanyaku.

Ajay menggeleng, "no, no, no. Aku sedang tidak mood untuk makan. Aku masih kenyang."

"Menonton bioskop? Menonton Netflix? Bermain di arcade? Bermain ice skating?" Aku menawarkan ide-ide kencan terbaik yang ada di otakku.

Namun lagi-lagi, Ajay menggeleng. Aku memejamkan mataku dan menghela napas berat. Rasanya seperti sedang berkencan dengan seorang gadis. Ia bahkan tidak bisa memutuskan ke mana kita akan pergi!

"Mau pergi ke rumahku?" Aku mengeluarkan opsi terakhirku.

Ajay menoleh ke arahku dan mengernyit, "for what?"

Aku mengangkat bahu, "entahlah, mungkin kau bisa membantuku untuk berlatih teater?" kemudian tersenyum, "lagipula, akan sangat menyenangkan kalau aku bisa berlatih langsung dengan sutradara kesayanganku, kan?"

Perlahan, senyuman terukir di wajahnya, "well, that's a great idea."

*****

Sesampainya di lokasi, Ajay memarkirkan mobilnya tepat di seberang rumahku. Kami berdua melangkah menuju pintu rumahku dan menekan bel pintu.

Diam-diam aku melirik ke arah jendela kamar Rory yang tertutup oleh tirai. Kurasa semuanya aman. Rory tidak mungkin memergokiku bersama Ajay, seperti apa yang Skye lakukan siang tadi.

Tidak lama kemudian, Nick membukakan pintu untuk kami.

"Oh, Nicole--?" Lalu ia menoleh ke arah Ajay dan menyeringai, "--dan pacar barunya?"

"Hai, Nick." Sapa Ajay.

Aku menatapnya dengan tajam, "tolong jangan berbicara begitu di sekolah."

Nick tertawa kecil, "I know. It's a secret." Ia mundur satu langkah dan membukakan pintu untuk kami, "masuklah."

Setelah Nick menutup pintu, Aku dan Ajay mengikutinya untuk naik ke lantai dua.

"Mom dan Dad belum pulang?" Tanyaku pada Nick.

Ia menggeleng, "Belum, mereka masih di Golden Griddle. Pengunjung hari ini banyak sekali!"

"I see." Jawabku singkat.

Tiba-tiba, Nick mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telingaku, "jangan lakukan hal-hal aneh. Kau tahu kan, dinding kamar kita tipis? Aku bisa mendengar suaramu dengan jelas."

Aku memelototi Nick dan menginjak kakinya, kemudian tertawa renyah ketika Nick meringis kesakitan.

Ajay melihat ke sekeliling sambil berjalan, ia terlihat sedang mengamati setiap detail interior rumahku. Tentu saja, ini pertama kalinya Ajay berkunjung ke rumahku! Rasanya wajar jika ia ingin mengenal detail-detail rumahku lebih jauh. Setelah sampai di lantai dua, aku dan Ajay berpisah dengan Nick untuk masuk ke kamar masing-masing.

Aku meletakkan ranselku di atas kursi meja belajar, sedangkan Ajay masih saja melihat-lihat detail interior rumahku.

"Kau lihat apa, huh?" Tanyaku.

"Sorry, aku lumayan tertarik dengan desain interior." Ia menoleh ke arahku, "jika aku tidak bisa berkuliah di jurusan seni teater, mungkin aku akan mengambil jurusan desain interior."

"Why not both? Jurusan tata panggung?"

"Boleh juga. Tetapi prioritas utamaku adalah seni teater." Jawabnya.

"Apapun pilihanmu, aku akan selalu mendukungmu!" Ucapku dengan senyum lebar.

Ajay tertawa kecil, ia mengelus rambutku dan mengecup dahiku.

"Karena malam ini kau berlatih langsung denganku, bagaimana kalau kita berlatih adegan yang belum kau kuasai saja?" Ia bertanya.

Aku mengangguk, "okay."

Selama beberapa menit ke depan, kami berlatih beberapa adegan yang belum kukuasai. Ajay mengambil posisi sambil membawa script di tangannya. Kini, ia akan berperan sebagai ksatria.

"Princess, berbahaya jika kau berkelana sendirian di tengah hutan seperti ini. Penyihir bisa kembali kapan saja." Ajay mengulurkan tangannya padaku, "ikutlah denganku, aku akan mengantarmu kembali ke istana."

Ketika menatap wajahnya yang sengaja dibuat-buat menjadi serius, tawaku pecah. Rory dan Ajay sangat berbeda. Meskipun Ajay adalah seorang sutradara yang cukup berbakat, ia tidak bisa berekspresi serius layaknya seorang aktor, seperti yang biasa Rory lakukan.

"Excuse me, ada yang lucu?!" Ia protes.

"Kau tidak cocok menjadi ksatria!" Ucapku sambil terus tertawa.

Ajay memutar bola matanya, "ya sudah, anggap saja aku ini Rory yang sedang berakting! Ayo, ulangi!"

Aku mengulang adegan tersebut sekali lagi dan menganggap bahwa yang ada di depanku ini adalah Rory. Saran darinya cukup berhasil, kini aku tidak tertawa lagi ketika menatap wajahnya. Kami juga mencoba berlatih beberapa adegan lainnya, seperti adegan dengan sang ratu dan penyihir. Aku hanya tinggal membayangkan Ajay sebagai Erin dan Danielle.

"Mother, penyihir sudah menempati lahan perkebunan wortel milik kita. Beberapa petani sudah terkena kutukannya, hasil tani pun semua mati." Aku kembali berakting sebagai Princess Abigail.

Ajay yang sedang berperan menjadi Erin berdiri dari kursi belajarku--yang sebenarnya adalah singasana milik Baginda Ratu--dengan geram. Ajay mengepalkan tangannya dan berkata, "bebaskan Sir Evans dari penjara! Kita membutuhkan bantuannya!"

Menit demi menit berlalu dengan cepat, kini kami sedang berlatih adegan di mana ksatria akan melamar sang putri.

"Princess Abigail, maukah kau menikah denganku?" Ucap Ajay sambil menggenggam tanganku.

"Yes! itu suatu kehormatan untukku, Sir Evans. Aku mau menikah denganmu!" Jawabku.

Aku menatap kedua manik coklat tua milik Ajay dan tersenyum ketika ia mengelus pipiku dengan lembut. Secara perlahan, Ajay mendongakkan wajahnya ke arahku untuk mencium sang putri.

Aku memejamkan mataku dan berusaha mengkhayati adegan yang sedang kami lakukan. Perlahan, sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Aku membalas ciumannya dan melumat bibirnya dengan lembut. Kupu-kupu yang tertidur di perutku kini berterbangan ke sana ke mari.

Namun, dengan cepat pemuda di depanku melepas ciumannya. Lamunanku buyar ketika aku membuka mataku dan melihat Ajay yang sedang mengerutkan dahinya.

"Nicole, kau tidak perlu melumat bibirku. It just a stage kiss." Ucapnya.

"W-what?!" Ucapku gugup.

"Stage. Kiss." Ajay menekan perkataannya. "Mengapa kau melumat bibirku seperti tadi? Ini sebuah drama di teater, bukan drama di film-film remaja."

"A-aku melumat bibirmu karena kau pacarku. Ja-jadi aku terbawa suasana." Jawabku gugup.

Perlahan, senyumnya mengembang, ia mencubit pipiku, "oh yeah? Kau kan bisa menciumku kapan saja, dork!"

"Berhenti memanggilku dork!" Aku merengut. Ajay semakin gemas denganku, kini ia mencibut hidungku.

"Sakit!" Protesku.

Ajay tertawa renyah, namun perlahan tawanya pudar. Ekspresi wajahnya mendadak berubah menjadi serius.

"What?" Tanyaku.

"Ngomong-ngomong soal stage kiss--" Ajay mengelus tengkuk lehernya, "kau tidak harus mencium Rory seperti tadi, loh."

Aku terkejut, kemudian mengernyit, "huh?"

"Yeah, you know. Kalian akan berciuman di atas panggung--"

"No!" Dengan cepat aku memotong. "Kau tidak perlu khawatir dengan itu! Aku tidak akan melumat bibir Rory di atas panggung!"

Perlahan, senyum Ajay mengembang. Ekspresi wajahnya manis sekali, ia sukses membuatku tertawa.

"Mengapa kau tertawa?!" Keluh Ajay.

"Are you jealous?" Godaku.

"No." Jawabnya dengan singkat.

"Liar!" Cibirku.

Ajay menggigit bibirnya. Aku tertawa kecil, kemudian melingkarkan kedua lenganku di lehernya dan mencium bibirnya dengan cepat. Ajay terlihat sangat terkejut dengan kejutan dariku.

"You don't have to worry. I won't do that." Lirihku.

Ajay masih menatap kedua manik ocean-ku. Perlahan, ia merengut, kemudian menarikku ke dalam pelukannya.

"Ajay? Hey?" Aku sedikit terkejut karena ia memelukku cukup erat.

"Bolehkah aku begini sebentar saja?"

"Huh?" Aku bingung.

"Aku hanya ingin memelukmu. Tidak ada alasan khusus." Jawabnya.

Tidak ada alasan khusus? Bohong!

Bukannya merasa tersanjung, aku justru merasa geli. Tawaku pecah untuk yang kedua kalinya. Seriously? Jadi beginilah Ajay ketika ia mencoba untuk menutupi rasa cemburunya?

Perlakuan Ajay padaku sangat berbeda dengan perlakuannya ke seluruh murid teater!

"Why are you always laugh?!" Ajay protes.

"Nothing. You weirdo." Balasku.

Tiba-tiba, ponsel Ajay yang terletak di meja belajarku bergetar. Ia melepas pelukannya, lalu mengambil ponselnya dan membaca pesan yang masuk. Kedua netranya membulat sempurna.

"Ajay? Ada apa?" Tanyaku sambil meraih bahunya.

Perlahan, ia menoleh ke arahku. Ekspresinya sulit dijelaskan oleh kata-kata, yaitu gabungan antara sedih, marah, kecewa dan bingung.

"Ibuku--" lirihnya, "--ia menggugat cerai ayahku. Besok mereka akan mengurusi berkas perceraiannya."

Hai! Maaf telat update ya😭

Aku lagi pengen istirahat sejenak dari dunia oren, jadi bakalan jarang buka wattpad.

Tapi bukan berarti hiatus kok, aku bakalan tetep up cerita ini karena sudah tersimpan rapi di draft.

Mungkin ke depannya bakal lebih fokus ke Avenir karena ada rencana mau diterbitin.

Or maybe not😐

Sampai jumpa di chapter selanjutnya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro