Chapter 44 - The Truth?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah kehilangan Rory di sekolah, aku memutuskan untuk pulang sendiri ke rumah. Hari sudah hampir gelap, aku berbaring di ranjangku sambil memainkan ponsel.

Jari-jariku bergerak menelusuri halaman Instagram milik Rory. Ia tidak memposting apapun selama hampir dua minggu. Tidak ada feed post, tidak ada Instastory. Ia juga tidak membalas komentar-komentar di fotonya. Rory benar-benar menghilang seperti hantu.

Tiba-tiba, panggilan telepon masuk ke ponselku. Aku sama sekali tidak mengenal nomornya. Dengan cepat aku bangun dan mengangkat panggilan telepon tersebut.

"Halo?" sapaku.

"It's me," jawab seseorang di seberang telepon.

Aku mengernyit. "Huh?"

"Natasha."

Rasanya seperti terkena serangan jantung mendadak. Untuk apa Nat meneleponku? Jika bisa, rasanya ingin sekali mengakhiri panggilan telepon yang sedang kulakukan sekarang. Namun tentu saja hal itu hanya memperburuk keadaan.

"Maaf meneleponmu tiba-tiba. Aku dapat nomormu dari Myra," ucap Nat di seberang telepon. "Are you okay?"

Aku terdiam. Apa maksudnya Nat bertanya seperti itu padaku?

"Nicole?" tanya Nat lagi.

"Huh? Y-yeah, I'm okay." jawabku gugup. "Thanks."

"Kejadian tempo hari di auditorium pasti sangat berat bagimu. Sorry, seharusnya aku menghubungimu lebih cepat. I'm worried about you," lirihnya.

Aku terdiam dan masih berusaha mencerna apa maksud dari perkataan Nat. I mean, aku lah yang menyebabkan kakinya patah, namun mengapa ia yang minta maaf padaku?

"Kau free malam ini? Aku ingin mengajakmu minum cokelat panas di Golden Griddle." Ajak Nat.

"Malam ini juga?" tanyaku.

"Yeah!" Nat terdengar antusias. "Satu jam lagi, di Golden Griddle."

Tidak butuh waktu lama untuk berpikir, aku menyetujui ajakannya. Kuharap rumorku segera lenyap jika aku meluruskan kesalah pahamanku dengan Nat.

"Okay. See you there." Aku tersenyum tipis.

*****

Satu jam kemudian, aku tiba di Golden Griddle. Syukurlah salju yang turun tidak terlalu lebat malam ini, jadi aku bisa sampai tepat waktu.

Di salah satu meja, aku melihat Nat duduk sendirian di salah satu sofa. Ia sedang menikmati cokelat panas sambil melihat salju yang sedang turun di luar jendela. Dengan cepat aku berjalan menghampirinya.

"Hai, Nat," sapaku.

Nat mendongak ke arahku, kemudian tersenyum. "Hai, Nicole, duduklah!"

Aku tersenyum canggung, kemudian duduk di sofa tepat di seberangnya. 

"Kau mau pesan sesuatu?" Nat menyerahkan buku menu padaku.

Aku menggeleng. "No, thanks. Trust me, aku sudah terlalu sering minum cokelat panas di sini."

Nat menarik kembali buku menu tersebut kemudian meletakkannya di atas meja. Kami diliputi keheningan yang cukup panjang. Jujur saja, aku merasa semakin gugup sekaligus tidak nyaman.

"Nat--"

"--Nicole."

Nat mengerjap ketika kami saling menyebut nama masing-masing dalam waktu yang sama, kemudian kami tertawa kecil.

"Oh my God. Kau duluan," ujar Nat.

"Tidak, kau duluan!" Sanggahku.

"Baiklah, sebenarnya ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu." Nat menoleh ke luar jendela restoran. "Kau tidak terjebak salju ketika menuju ke sini, kan? Apakah kau kemari bersama Ajay?

"Unfortunately, we broke up." Aku tersenyum pahit.

Nat membelalak. "What?! But, why?"

"Ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi di auditorium beberapa hari yang lalu." Dengan cepat aku mendongak ke arahnya. "Nat, aku benar-benar tidak bermaksud untuk mencelakainmu! Aku berani bersumpah, hanya stool kubus beroda itu yang kutemukan di--"

"Whoa, whoa, slow down!" Nat memotong. "It's okay. I trust you."

"Benarkah? Kau tidak akan berbuat buruk padaku, kan?" Aku menekuk wajahku.

"Nicole, kakiku patah karena kecerobohanku sendiri, bukan karena orang lain." Nat tersenyum. "Seharusnya aku bisa melihat roda di bawah stool itu."

"Tapi ..." ucapku parau. "Semua orang menuduhku. Semua orang membenciku karena mereka percaya aku sudah berbuat jahat padamu, bahkan Ajay--"

"Oh God." Nat bergumam, ia beranjak dari sofa di hadapanku dan berpindah tepat ke sampingku, kemudian memelukku. "Aku tidak membencimu. Semua teman-temanku pun begitu." 

"Tapi ..." cicitku. "Aiden membenciku--"

"Yeah, that stupid guy." Nat memelukku semakin erat. "Aku akan langsung memarahinya sepulang dari sini!"

Aku tertawa kecil. "Kau tidak perlu melakukan itu!"

Nat ikut tertawa. "Tapi aku serius. Aku ingin bertemu denganmu untuk meluruskan kesalah pahaman kita. Aku benar-benar percaya padamu, Nicole. Melihat perlakuan buruk seluruh murid teater tempo hari, justru aku yang merasa bersalah padamu."

Aku melepas pelukanku dan mengusap kedua mataku. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Cepat atau lambat rumor tentangku akan tersebar."

"Aku tahu persis apa yang kau rasakan." Nat tersenyum tipis.

"No. You're not." Aku menggeleng. "Kau cantik, populer, everybody loves you. Siapa orang bodoh yang benci padamu?"

"Let's say, seseorang yang iri padaku?" Nat mengangkat bahunya.

"Siapa orang yang bisa-bisanya benci padamu?" Aku mengernyit.

"Kau tahu kan, sebagian murid Hearst High pernah bersekolah di Berry High sepanjang musim semi kemarin? Seorang cheerleader Hearst High yang bernama Kara Sinclair pernah mengadu domba aku dengan seseorang di klub band." Nat memulai ceritanya. "Kara sangat berambisi untuk memenangkan gelar prom queen, jadi ia melakukan apa saja untuk menyingkirkanku."

Aku mengangguk, mengisyaratkan Nat untuk melanjutkan ceritanya.

"Waktu itu ada pemain saxophone yang berbakat dari Hearst High. Klub band mengadakan audisi untuk menentukan siapa solois saxophone yang akan tampil di spring concert."

"Spring concert? Konser di mana Brian mengajak Myra pergi ke prom dan mempermalukannya?" tanyaku.

Nat mengangguk. "Selain drama yang dibuat Brian, Kara juga menyabotase audisi yang akan kuikuti, ia membuat kompetitorku tidak hadir dan didiskualifikasi. Namanya Cameron, BTW."

Aku mengernyit. Cameron? Di mana aku pernah mendengar nama itu?

"Cameron marah padaku. Semua orang di sekolah percaya bahwa aku yang membuat Cameron tidak hadir saat audisi karena akulah satu-satunya kompetitor Cameron." Nat melanjutkan ceritanya.

"Apa yang kau lakukan setelah itu?" tanyaku.

"Michael membantuku menemukan siapa pelaku sebenarnya dari sabotase itu, dan pelakunya adalah Kara. Ketika Cameron tahu yang menyabotase audisi itu bukan aku, rumor tersebut hilang dengan sendirinya." Nat mengangkat bahu. "I dunno how."

"Kurasa Cameron memberitahu semua orang bahwa pelakunya bukan kau," ucapku.

"Maybe," jawabnya.

Astaga, rupanya Nat pernah mengalami hal yang lebih buruk dariku. Maksudku, semua orang di sekolah pernah membencinya! Aku masih jauh lebih beruntung karena hanya murid teater yang percaya dengan rumor tentangku. Dan mungkin hanya beberapa murid non-teater yang percaya?

"I'm sorry," ucapku ketika Nat selesai bercerita.

"It's okay, hal tersebut sudah lama terjadi." Nat tersenyum. "Aku beruntung masih memiliki Aiden di sampingku. Ketika aku menangis sendirian di ruang musik, ia datang menyusulku dan membuat perasaanku menjadi lebih baik."

"You're so lucky. Ajay bahkan ikut menuduhku," jawabku.

"Kebenaran akan segera terungkap. Percayalah padaku. Kalau kau tidak berbuat salah, jangan takut." Gadis di sampingku mencoba untuk menghiburku.

"I dunno." Aku menunduk. "Aku takut sekali. Hanya Erin dan Skye yang kupunya di klub teater--"

"Jangan lupakan Myra!" ucapnya.

"Yeah, Myra." Aku menghela napas. "Aku kehilangan Ajay, pacarku dan sahabat masa kecilku juga, Rory."

"Rory juga percaya kalau kau pelakunya?" tanya Nat.

Aku mengangkat bahu. "No idea. Ia benar-benar menghilang seperti hantu. Sulit sekali bertemu dengannya di sekolah. Rory bahkan tidak membalas pesanku dan memposting apapun di sosial medianya."

"Mungkin dia hanya sibuk? Kau tahu, banyak sekali remaja yang mengikuti komunitas di luar sekolah, sepertiku dan Ajay?"

Aku terdiam, kurasa ucapan Nat cukup masuk akal. Tetapi komunitas apa? Apakah komunitas tersebut benar-benar membuat Rory menjadi sesibuk itu hingga tidak memposting apapun di sosial medianya?

Nat menepuk bahuku dan mengelusnya dengan lembut, kemudian tersenyum. "Rory tidak akan membencimu seperti murid teater lainnya, percayalah padaku. Kalian sudah bersahabat bertahun-tahun, bukan?"

Aku menatap lekat kedua manik emerald milik Nat. Perlahan, senyumku mengembang. Nat adalah orang asing di kehidupanku, namun entah kenapa ia memperlakukanku lebih manusiawi dibandingkan sebagian besar teman-temanku di teater. Rasa sakit yang ada di dadaku berkurang secara signifikan. Aku menjadi lebih tenang sekarang.

Tiba-tiba, pintu Golden Griddle terbuka, kami menoleh ke arah seseorang yang baru saja datang. Ia berjalan menghampiri kami di salah satu meja makan.

"Nat? Is something bad happened? Mengapa kau memintaku menemuimu di sini--" Ia terdiam sejenak ketika melihatku. "--Oh. Hai."

"Hai." Aku tersenyum canggung ketika Aiden menyapaku.

"Aiden!" seru Nat.

Ketika Aiden duduk di seberang kami, Nat berpindah untuk duduk di sebelah Aiden. Ia melihat-lihat layar ponselnya, kemudian menunjukannya pada Aiden. "Aku ingin mengajakmu menonton film ini di bioskop, tonight!" 

Aiden mengernyit. "What?! Mengapa mendadak sekali? Apakah kau tidak punya PR untuk besok--"

"No homework for tomorrow!" Nat tersenyum.

Setelah itu, Nat dan Aiden bercanda gurau bersama. Hal yang lebih menyebalkan lagi, Aiden tidak menghiraukanku sama sekali. Rasanya aku ingin pergi saja dari sini.

"Sebelum berangkat, bolehkah aku pergi ke toilet sebentar?" tanya Nat pada Aiden.

"Um, sure," jawab Aiden.

Dengan cepat Nat beranjak, lalu berjalan menuju ke toilet, meninggalkanku berdua saja dengan Aiden.

Baru saja suasana hatiku membaik, kini kepanikan kembali meliputiku. Maksudku, Nat meninggalkanku berdua saja dengan seseorang yang ikut menuduhku tempo hari? Aku menghela napas pasrah dan memijit pelipisku. Aiden masih saja bersikap cuek padaku, ia malah asyik memainkan ponselnya.

Dengan gelisah aku mengecek arlojiku berulang kali. Demi Tuhan, Nat sudah pergi meninggalkan kami nyaris lima menit! Rasanya tidak nyaman berduaan dengan Aiden yang sama sekali tidak menganggapku ada.

Menit demi menit berlalu, beberapa kali aku memergoki Aiden melirik ke arahku sambil memegang ponselnya. Ketika aku menangkap lirikannya, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Kurasa Aiden ingin mengatakan sesuatu padaku.

Benar saja, beberapa menit kemudian, tiba-tiba Aiden berdeham. "Um, Nicole."

Dengan cepat aku mendongak ke arahnya. "Yeah?"

"I'm sorry," lirihnya.

Aku mengerjap. Apakah Aiden baru saja meminta maaf padaku?

"Um, pardon?" Aku mengernyit.

"Perkataanku tempo hari. I was mean, menuduhmu tanpa bukti apapun." Aiden menggigit bibirnya.

Rasanya kecemasan dan rasa sakit yang ada di seluruh tubuhku berkurang sedikit demi sedikit, meninggalkan perasaan lega yang luar biasa. Satu masalah terpecahkan, akhirnya Aiden percaya bukan aku pelakunya!

"I was stupid. Aku selalu kehilangan kontrol ketika seseorang berusaha berbuat jahat pada Nat. Banyak sesuatu yang buruk terjadi padanya selama aku mengenalnya, jadi aku selalu bersikap ekstra siaga ketika sesuatu yang buruk terjadi padanya." Aiden menghela napas berat. "I love her. Nat tidak sebahagia yang terlihat, ia pernah melewati masa sulit selama bertahun-tahun."

Aku yakin ada sesuatu yang belum Nat ceritakan padaku. Bertahun-tahun? Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apakah ini ada hubungannya dengan perceraian orang tuanya?

Perlahan, senyumku mengembang. "Thank you, Aiden, untuk mempercayaiku sepenuhnya."

"I'm really sorry. Seandainya aku bisa melakukan sesuatu untuk membuatmu merasa lebih baik," lirihnya.

Aku menggeleng. "It's okay, kini murid yang membenciku sudah berkurang satu orang. Aku sudah merasa lebih baik dari sebelumnya."

"Seharusnya aku tidak mempercayai perkataan Michael," ucap Aiden lagi.

Aku mengernyit. "Michael?"

Aiden mengangguk. "Di hari Nat dilarikan ke rumah sakit, Michael bilang semua ini bukanlah kecelakaan. Ia menduga seseorang sengaja mencelakai Nat."

Aku merasakan seluruh darah di tubuhku mendidih. "Jadi Michael yang menyebarkan rumor tentangku?!" Aku menaikkan nada bicaraku.

"No, no!" Aiden menginterupsi. "Ia hanya menduga, aku menyuruhnya untuk tidak memberitahu siapa-siapa karena hal ini masih dugaan. Michael memiliki kemampuan analisis yang luar biasa, sudah banyak kasus di Berry High yang ia selesaikan, seperti ketika ia membantumu menemukan Skye yang hilang beberapa minggu yang lalu. Tentu saja aku percaya padanya waktu itu."

Aku menggigit bibirku kemudian mengangguk, mengisyaratkan Aiden untuk melanjutkan ceritanya. Sulit dipungkiri, kemampuan analisa Michael memang luar biasa. Aku paham jika Aiden sangat mempercayai Michael.

"Bagaimana cara seseorang itu mencelakai Nat?" tanyaku.

Aiden menggeleng. "No idea." Lalu menghela napas. "Ini semua hanya dugaan. Aku tidak bertanya lebih jauh tentang ini."

"Tapi aku tidak pernah berniat mencelakai Nat," lirihku.

"Well, ia tidak bilang pelakunya adalah kau," ucapnya.

"Lalu siapa?"

"Brian Crandall."

"But why?"

Aiden menghela napas panjang. "It's a long story. Nat pernah menampar Brian ketika pemuda itu berusaha menyakiti Myra. Kurasa ia melakukannya untuk balas dendam."

Aku menyibakkan rambutku dengan frustasi. "Seriously? Bagaimana cara Brian Crandall menyakiti Nat? Ia murid Hearst High dan tidak ada saat audisi!

"Michael menduga, ia mengancam seseorang di Berry High untuk menjadi kaki tangannya, mungkin seseorang yang memiliki relasi dengannya dan juga memiliki akses bebas untuk memasuki auditorium."

"Can he do that?"

"Well, ia pernah mengancam Myra untuk mencorat-coret patung maskot sekolah, membuat gadis itu benar-benar melakukannya."

"Seseorang yang memiliki relasi dengan Brian Crandall dan memilik akses bebas keluar masuk auditorium? Who?" gumamku.

Tiba-tiba, terlintas satu nama di otakku. Seperti terkena serangan jantung mendadak, rasanya seperti tertampar oleh kenyataan.

Skye Crandall?

"No way." Aku menggeleng perlahan dan bergumam. "She's my best friend."

"What?!" Aiden mengernyit.

Aku menghela napas dan menutup wajahku dengan kedua tangan, kemudian tumbang di atas meja.

"Nicole? Are you okay?" Aiden panik.

Aku mengalami perang batin yang luar biasa. Hatiku berkata Skye tidak mungkin pelakunya. Namun otakku berpikir keras, terdapat bukti yang kuat mengapa aku sedikit percaya bahwa Skye yang melakukannya.

Pada awalnya, Skye juga berusaha mati-matian menyembunyikan identitasnya bahwa ia adalah seorang Crandall. Apakah ia menyembunyikannya tidak hanya karena malu, tetapi juga untuk menutupi perbuatannya?

Hal yang lebih penting, Skye memiliki akses bebas masuk dan keluar auditorium karena ia yang memegang kuncinya! Skye juga yang menyebabkan aku dan Ajay terkunci di sana beberapa bulan yang lalu.

Mungkinkah Skye yang sesungguhnya itu sama buruknya dengan kakaknya?

*****

Sebahagia ini nemu foto Emma sama Chloe di satu frame guys, since I'm so terrible at photoshop😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro