Ibunda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Alex masih belum mau membuka matanya. Aroma disinfektan yang tercium oleh hidungnya sudah sangat familier bagi remaja laki-laki itu. Linen steril yang menyentuh kulit tubuh yang tak terbungkus pakaian juga dia kenali dengan baik. Berdasarkan nyeri samar yang dia rasakan di salah satu punggung tangannya, menandakan jarum infus sedang menjalankan tugas mengantarkan cairan nutrisi dan mungkin juga obat ke dalam tubuhnya.

Masa kecil Alex dihabiskan dengan keluar-masuk dari rumah sakit karena kondisi tubuhnya. Mudah lelah dan sering lemas tanpa sebab yang jelas membuatnya tidak bisa banyak melakukan kegiatan fisik. Bukan masa kecil yang menyenangkan, tetapi setidaknya masa itu dia bisa hidup tenang tanpa harus mengetahui kutukan yang menimpanya.

Kutukan yang dibawa oleh darah keturunan keluarganya.

"Aku tahu kau sudah bangun," bisik sebuah suara perempuan yang akrab di telinganya. "Waktuku tak banyak—ibumu tidak mengizinkan aku menemuimu, aku ke sini diam-diam mumpung beliau masih bicara dengan doktermu ... Jadi kutinggalkan pesan di dalam buku catatan pelajaranmu."

Alex mengernyit dalam tidurnya. Pesan apalagi yang harus dia terima? Apakah perempuan itu akan mengomelinya lewat tulisan karena dia tidak mengindahkan peringatan untuk tidak ikut campur?

"Kuharap aku tidak perlu melihatmu seperti ini lagi."

Sedari tadi perempuan itu memang berbicara dengan suara lirih, tetapi kalimat yang terakhir itu terdengar berbeda dengan biasanya. Seperti ... Ucapan selamat tinggal. Alex tidak menginginkan itu. Setengah memaksakan diri—kelopak matanya terasa lengket dan susah untuk dipisahkan, remaja laki-laki itu buru-buru membuka mata.

Silau cahaya lampu kamar rawat inap segera membuat kepalanya pening. Namun tanpa menghiraukan nyeri menusuk-nusuk pada bola matanya Alex terus mengedarkan pandangan, mencari sosok perempuan yang tadi berbisik padanya.

"Lien...-Ohok!" dia terbatuk. Tenggorokannya terlalu kering untuk mengeluarkan suara. Sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri? Tangannya menggapai, mencari-cari apa yang bisa meringankan rasa gatal di tenggorokannya. Tubuhnya terasa berat untuk digerakkan.

"Ludwig, sayangku ... Kau sudah sadar?!"

Yang menyapanya kali ini adalah ibu kandungnya. Perempuan berambut cokelat gelap yang terlihat berdarah keturunan bangsa Timur itu baru saja memasuki ruangan. Melihat ekspresi yang terukir di wajah cantiknya, orang akan mengira bahwa Alex sudah koma bertahun-tahun. Ibunya memang punya kecenderungan untuk bersikap berlebihan bila menyangkut kesehatan puteranya, tetapi baru kali ini Alex melihat wajahnya selelah itu.

Setelah meninggalkan begitu saja vas bunga yang tadi dia bawa di meja terdekat, perempuan itu segera menghambur untuk memeluk putera semata wayangnya.

"Syukurlah ... Syukurlah, Ludwig!" gumam perempuan itu berulang-ulang seraya terus menghujani Alex dengan pelukan dan ciuman penuh kasih. "Mama kira kau tidak akan pernah sadar lagi!" Suara perempuan itu terdengar semakin pecah bersamaan dengan isak dan air mata.

Ditengah serangan kasih sayang yang bertubi-tubi, Alex merasakan sesak di rongga dadanya. Seperti terlilit dan terhimpit dengan kuat oleh kain sutra yang lembut.


***


Setelah ibunya cukup tenang untuk memanggil perawat, seorang dokter datang untuk memeriksa kondisi Alex. Rupanya dia memang cukup lama tidak sadarkan diri. Luka-luka di lengan dan kakinya bahkan sudah mulai menutup, tetapi dokter tidak juga berhasil membuatnya sadar.

"Selain sisa cedera luar, seharusnya secara fisik putera anda baik-baik saja. Namun untuk berjaga-jaga sore ini juga dia bisa menjalani check-up menyeluruh untuk memastikan tidak ada kerusakan permanen," jelas dokter itu.

Masih terisak, ibunya mendengarkan saran dokter untuk membiarkan Alex dirawat inap dulu untuk mengistirahatkan tubuhnya, sekaligus mengawasi perkembangan kesehatannya. Tangan lembut perempuan itu tak henti-hentinya diusapkan pada rambut halus kecokelatan puteranya.

Alex tidak terlalu mendengarkan percakapan antara dokter dengan ibunya. Mata cokelat Alex mengarah pada perban yang sedang diurai oleh perawat. Dia mendapatkan luka itu ketika bergumul dengan orang yang berusaha melukai teman-temannya. Di pelipisnya masih tersisa luka akibat benturan dengan sudut meja, tersembunyi di balik perban yang dilipat persegi dan ditahan dengan pita plester berwarna cokelat.

Bagaimana nasib orang-orang itu? Alex memang tidak menyukai mereka, dia juga tidak setuju dengan apa yang menjadi tujuan mereka, tetapi dia juga berharap tidak ada hal buruk yang menimpa orang-orang malang itu. Remaja laki-laki itu tidak begitu ingat apa yang terjadi setelah kepalanya terbentur.

Kemana tiga orang teman yang bersamanya saat itu? Dia ingat dua dari temannya tertangkap lebih dahulu, untuk memancing Alex supaya mau memenuhi apa yang diinginkan oleh orang-orang yang menyerang sekolahnya. Kemudian satu orang lagi teman dekatnya datang menyusul, saat itulah situasi menjadi kacau.

Alex ingin menghargai keberanian temannya yang rela menerjang melewati kepungan para petugas keamanan demi menolong dirinya dan dua orang teman mereka yang lain, tetapi logikanya menolak. Tindakan gegabah satu orang itu membuat orang-orang berbahaya yang menyekap mereka menjadi terpicu untuk melakukan tindakan yang lebih berbahaya lagi.

Mengapa di ruangan yang seharusnya tersedia untuk 3 orang pasien itu hanya ada dia seorang? Dua ranjang lain di sisi kanan tempat dia berbaring terlihat kosong. Apabila semua temannya selamat seharusnya paling tidak dua dari mereka ditempatkan di kamar yang sama dengan dirinya.

Ranjangnya sendiri berada di sisi terdalam, jauh dari pintu. Seperti usaha minimal untuk mencegah Alex keluar dari kamar tempat dia dirawat. Padahal tanpa perlu repot-repot seperti itu, Alex sendiri menyadari bahwa dirinya saat itu belum memungkinkan untuk bisa menggerakkan tubuh dengan bebas.

Kecuali mungkin siapa pun yang mengatur posisi ranjangnya mengkhawatirkan ada orang yang akan membawa Alex pergi. Tidak terlalu membantu, bila calon penculiknya adalah orang-orang yang sama dengan yang menyerang sekolahnya tempo hari, tetapi setidaknya memberi sedikit kesulitan.

Apakah teman-temannya juga mendapat perlakuan sama dengan dirinya?

Alex mencoba berharap, alasan teman-temannya yang lain tidak ada di situ karena cedera mereka jauh lebih ringan. Sulit untuk mengetahui nasib satu temannya yang terakhir, karena dia satu-satunya perempuan di antara mereka berempat. Namun Alex bisa mencoba mengorek info dari perawat atau dokter saat ibunya sedang tidak melihat.

"Hanya ditambah satu hari lagi rawat inap, Dok? Apa cukup? Kami mampu membayar untuk membayar lebih, bila memang itu yang dibutuhkan ... Suami saya masih ada tabungan untuk hal-hal semacam ini!"

Melihat dokter yang menanganinya mulai kewalahan karena ibunya terus mendesak untuk menambah waktu rawat inap bagi Alex, dia buru-buru ikut bicara, "Ibu, aku sudah tak apa-apa ... Besok juga aku pasti sudah sehat lagi. Kalau aku menginap lebih lama, bagaimana dengan sekolahku...?"

Satu kerlingan dari sepasang mata cokelat ibunya membuat Alex menelan kalimat yang akan dia ucapkan berikutnya. Dia memang terpilih untuk mewakili sekolah dalam lomba lari jarak jauh, tetapi dengan kondisinya sekarang, mustahil dia diijinkan untuk berlomba. Apalagi sejak awal ibunya kurang setuju dengan kegiatan ekstrakurikuler yang dia ikuti.

"Kau tidak usah khawatir dengan sekolahmu, Ludwig ... Mama sudah mengirimkan surat pengunduran dirimu pada sekolah terkutuk itu ... Tidak perlu mengkhawatirkan jumlah kehadiran pada sekolah yang membiarkan seorang anak sampai kehilangan kesadaran selama berminggu-minggu!"

Nyaris tidak bisa mempercayai pendengarannya, Alex menatap lekat-lekat pada ibu kandung yang meneruskan berkata dengan senyum mengembang.

"Nanti kau akan dipindahkan ke sekolah lain yang lebih aman, Mama sudah tanyakan pada Papamu untuk rekomendasi sekolah swasta yang lebih dekat dengan rumah juga. Komuter kota sekarang ini keamanannya patut dipertanyakan, bukan?"

Dokter yang saat itu masih berada dalam ruangan tidak melihat perubahan ekspresi yang gamblang dari remaja yang sedang dia tangani. Namun, bila dia memperhatikan lebih seksama, semakin jauh ibunya berkata semakin redup cahaya semangat di mata anak lelakinya.

Alex tidak mengerti, bagaimana ibunya bisa memutuskan hal yang begitu berarti bagi dirinya dan mungkin juga berpengaruh untuk masa depannya, tanpa mendiskusikan terlebih dahulu pada yang paling berkepentingan. Apakah ayahnya juga setuju dengan keputusan ibunya itu? Mungkin bila Alex membicarakan hal ini dengan beliau, ibunya bisa mengurungkan niat untuk... 

"Kau juga pasti mengerti, bukan? Mama melakukan ini semua karena Mama tidak mau kehilanganmu, Ludwig ... Karena Mama sangat menyayangimu."

Suara ibunya yang mengucapkan kalimat itu seharusnya terdengar lembut dan menenangkan. Namun setiap detil kata yang diucapkan terasa jauh menyasar pada orang yang tidak ada di situ. Segala kasih sayang itu, untuk siapa dicurahkan?

Tali-tali dan pita sutra beraneka warna, terlihat lembut dan indah. Meluncur berjatuhan sehelai demi sehelai bersamaan dengan setiap kata yang dilontarkan dari mulut perempuan yang melahirkannya. Bersaling-silang satu sama lain. Membelit perlahan tungkai-tungkainya dalam warna pastel yang manis.

Mengekang geraknya.

Menahan jalan napasnya.


***


Malam itu ketika semua orang lain—kecuali pekerja rumah sakit yang bertugas malam hari, terlelap, Alex duduk di ranjangnya. Di tangannya terbuka buku catatan yang diselundupkan oleh Lien Hwa, perempuan yang meninggalkan pesan untuknya. Di situ tercatat dengan singkat dan runtut apa yang sesungguhnya terjadi dalam peristiwa yang menimpa Alex dan teman-temannya tempo hari.

Seperti yang sudah dia duga sebelumnya, tujuan para penyerang itu adalah dirinya. Mereka membutuhkan kemampuan mata kanannya yang bisa merusak fungsi Plate Anti Magis yang menyelimuti negara mereka. Namun baik para penyerang itu maupun Alex sendiri salah memperhitungkan sejauh mana kerusakan yang ditimbulkan.

Mata kanan Alex berdenyut ketika membaca lebih jauh tulisan Lien Hwa. Apa yang tertulis di situ sulit untuk dia percaya karena ingatannya sendiri masih timbul-tenggelam, berlompatan tak beraturan, mencoba melengkapi detil yang hilang dari apa yang tertulis dalam catatan.

Selembar potongan kliping berita dari koran lokal terselip di antara lembar buku catatan. Ujungnya berwarna kelabu menyembul, meminta Alex untuk mencabutnya dari tempat potongan Koran itu terlampir. Apa yang dimuat dalam sepotong kecil kertas itu membuat detak jantungnya meningkat.

Sebuah foto hitam-putih suatu apa yang tampak seperti kawah kecil di tengah area mantan sekolah Alex. Kawah itu memakan sepertiga bangunan tempat dia pernah disekap. Tidak ada serpihan puing di sekitarnya, hanya batas rapih seperti bekas terpotong oleh sesuatu yang besar membentuk lingkaran.

Kalau digambarkan dengan kalimat yang lebih mudah, seolah ada orang yang membangun gedung di sekeliling bola raksasa, kemudian bola itu lenyap. Meninggalkan sisa gedung dan tanah lapang yang terpotong.

Dirinya, kemampuan yang tersimpan dalam mata kanannyalah yang menciptakan kawah itu.

Alex mencengkeram tunik pasien warna kelabu yang dia kenakan. Dadanya terasa sesak. Ibunya mati-matian berusaha mengeluarkan Alex dari lingkungan yang konon katanya berbahaya bagi dirinya. Namun ibunya tidak menyadari bahwa dirinya itulah sumber bahaya yang sesungguhnya.

Ah, bukan begitu ... Ibunya bukannya tidak menyadari, ibunya hanya tidak mau mengakui kenyataan bahwa putera semata wayangnya adalah sumber bahaya bagi sekeliling mereka.


*****


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro