Hari Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Ah, rupanya memang ma- ... Ru- ... Ya?"

Sayup-sayup Alex bisa mendengar suara pelatihnya. Mungkin karena kesadarannya belum sepenuhnya kembali dia tidak bisa menangkap jelas apa yang diucapkan.

"Karena itu me- ... -ka mengira kau ...-ku."

Alex berusaha untuk mengumpulkan kesadarannya, supaya bisa mendengar lebih jelas.

" Kita sudah tak boleh bertemu lagi, Lui."

Ketika Alex membuka mata, dia sudah terbaring di ruang istirahat sasana beladiri. Pelatihnya sudah tak ada. Beberapa hari kemudian, datang kabar bahwa pelatihnya mengundurkan diri dan akan pergi meninggalkan wilayah Plate.

Setengah tahun berlalu.

Dering weker baru berbunyi sekejap, ketika sebuah tangan terjulur untuk menarik tuasnya. Mata cokelat dan bulat pemilik tangan itu mengerjap sekali, untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Jarum jam yang berpendar dalam kegelapan, menunjukkan waktu pukul 4.30.

"Terlalu pagi ...," keluh Alex, sambil membenamkan wajah di telapak tangan.

Seingatnya, semalam jam weker dia pasang untuk berbunyi pukul 5.30. Dia sudah menghitung dengan cermat waktu tidur yang dibutuhkan. Siapa yang telah mengubah ...?

Pikiran Alex terhenti pada sesosok perempuan yang sangat dia kenal. Ibunya pastilah sudah mengubah seting weker, tanpa sepengetahuan dia. Alex menghela napas panjang.

Ibunya masih sulit melepaskan kendali atas dirinya. Padahal dia sudah berusaha menunjukkan bahwa dirinya cukup mampu mempersiapkan kegiatan hariannya sendiri.

Ibu hanya khawatir, begitulah alasan yang selalu digunakan.

Apakah beliau tidak memikirkan, bahwa bagi anak-anak seumurnya, waktu tidur yang kurang saja bisa membuat kadar konsentrasi menurun? Apalagi bagi Alex, yang sangat membutuhkan kestabilan aliran energi, lebih dari manusia normal.

Mengeluh sekarang juga percuma. Dia sudah terlanjur bangun. Menambah waktu tidur sejam, tidak akan banyak mengubah kondisinya. Lebih baik dirinya segera membuat pikirannya segar, supaya bisa menambah cukup stamina untuk memulai hari.

Dengan pikiran seperti itu, Alex bangkit dari tepian tempat tidur untuk mempersiapkan diri. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah menengah.

Tanggal 16, bulan 8, tahun 1951. Kalender yang tergantung di dinding kamar menunjukkan bahwa dalam beberapa hari lagi akan ada perayaan berdirinya Federasi Anti Magis, kira-kira bertepatan dengan dibangunnya Plate pertama di dunia.

Mengapa sekolahnya memilih hari pertama masuk sebelum tanggal itu, padahal nanti akan diliburkan kembali? Alex mengernyit pada warna merah di angka 18, kalendernya. Mungkin mereka akan mendapat wejangan dari sekolah sehari sebelumnya? Atau ada acara khusus lain berkaitan dengan tanggal itu?

"Ludwig?" panggil Sonje, setelah membuka pintu kamar tanpa mengetuk. "Sudah siap?"

"Sudah, Ibu," jawab Alex yang baru saja selesai merapikan simpul dasinya sendiri. "Aku segera turun."

Setelah menelusuri penampilan puteranya, dari ujung kepala hingga ujung kaki, sepasang mata yang sewarna dengan Alex itu terhenti di satu titik. Perempuan itu mengernyitkan dahi. Ekspresinya membuat Alex menaikkan waspada.

"Matamu sembab, Ludwig!" ujar ibunya dengan tangan sudah menahan dagu mungil bocah lelaki itu. "Bagaimana suhu badanmu? Denyut nadimu? Apa napasmu sesak?"

"Ibu," panggil Alex yang buru-buru mundur. "Ibu, sudahlah ... aku baik-baik saja!" protes bocah itu lagi, seraya menghindari jangkauan tangan-tangan lembut yang terus saja berusaha memeriksa setiap jengkal kesehatannya. "Hanya bangun terlalu pagi saja."

Mendengar itu wajah ibunya memucat. Namun, tanpa banyak merubah ekspresinya perempuan itu berkata, "Kalau begitu, lain kali kau harus tidur lebih awal!"

Kemudian melangkah keluar dari kamar puteranya.

Alex memandang pintu kamarnya ditutup kembali dari luar. Tidak terlalu kencang, tidak juga terlalu pelan. Tatakrama Sonje, nyaris sempurna. Kecuali untuk permintaan maaf. Perempuan itu, mungkin lebih memilih menggit lidahnya sendiri daripada harus mengakui kesalahan pada puteranya.

"Kau baik-baik saja?" Kali ini Erich, ayahnya, yang bertanya dari kursi pengemudi.

Melihat pandangan khawatirnya dari spion tengah, Alex mendesah panjang. "Aku tak apa-apa, Ayah. Hanya kurang tidur saja."

"Kau yakin? Kita bisa ... berhenti untuk istirahat di kafe dekat sini, misalnya? Akan kurahasiakan pada ibumu," tawar Erich, seraya memperlambat laju mobilnya. "Sedikit telat di hari pertama masuk, tak masalah ... Kau hanya akan tidur karena ceramah para guru di upacara penyambutan."

"Kalau gitu, sebaiknya aku tetap masuk tepat waktu, Ayah ... Supaya bisa tidur lebih lama, saat mendengarkan ceramah," tukas Alex, jengkel. Dia jengah dengan perhatian berlebih yang diberikan kedua orangtuanya. Membuat dia ingin segera tiba di sekolah saja.

"Oke ... oke. Tak perlu marah begitu."

"Aku tak marah!"

Setidaknya Erich sudah berhati-hati untuk tidak menyinggung itu di depan istrinya. Dan Alex sangat menghargai itu.

"Maaf," celetuk ayahnya lagi setelah mereka terdiam selama beberapa saat. "Aku lupa kau sudah berjuang keras untuk bisa diterima di sekolah ini. Pastinya kau tidak mau ketinggalan satu hari pun, bukan?"

Alex tidak menjawab. Namun rona merah di pipinya yang tampak, bahkan dari spion tengah, terlihat oleh Erich. Membuat ayahnya tersenyum lebar.

Ya. Dia sudah berjuang keras mengejar keterlambatannya selama beberapa tahun terakhir ini, supaya bisa diterima di Gesamtschule yang memenuhi standar ibunya. Apabila gagal, dia harus pindah ke sekolah menengah pilihan Sonje—dengan pengawasan penuh.

Sedan hijau yang mereka kendarai mulai mencapai tempat yang banyak dilalui remaja seusia Alex. Ada cukup banyak antrean mobil juga, membuatnya sedikit merasa lega tak perlu meminta Erich menurunkan dia lebih awal di blok sebelah. Namun ketika gilirannya turun dari mobil, Alex baru sadar bahwa hanya dirinya yang mengenakan jas dan dasi.

"Ludwig!" panggil ayahnya dari jendela pengemudi yang terbuka. "Aku parkir dulu, baru nanti ikut turun mengantar."

Alex melihat ke sekeliling. Ada beberapa anak yang datang bersama orang tuanya juga, mungkin tak masalah. Dia baru akan mengiyakan perkataan Erich, ketika telinganya menangkap celetukan.

"Eh, lihat, bajunya setelan lengkap!"

"Anak dari kalangan elit, ya?"

"Kau lihat, mobilnya? Itu sedan terbaru."

Hal yang paling tidak dia inginkan terjadi. Menarik perhatian, apalagi disebabkan oleh penampilan dan orangtuanya.

"Ludwig?" ulang ayahnya karena Alex tidak juga menjawab.

"A-aku bisa sendiri, Ayah!" jawab bocah itu cepat-cepat. "Sampai nanti!"

Tanpa menunggu persetujuan Erich, Alex bergegas lari masuk ke halaman sekolah. Dengan antrean mobil-mobil lain di belakangnya, Erich tak punya pilihan kecuali segera meninggalkan tempat itu.

"Yah, kantorku tak seberapa jauh. Seharusnya tak masalah," gumam lelaki itu sembari mengarahkan sedan hijaunya ke blok perkantoran.

Tepat di belakang sedan Erich, sebuah mobil dengan logo dan nama salah satu toko terkenal di area perdagangan, menurunkan seorang anak perempuan berambut merah. Sepasang kuncirnya berayun-ayun riang mengikuti irama langkahnya yang penuh semangat.

"Aku juga ingin sekolah bersama Kakak!" rengek anak lelaki yang tertinggal di dalam mobil.

"Kau masih harus lulus sekolah dasar dulu sebelum bisa menyusul kakakmu, Peter," lelaki yang mengemudikan mobil menjawab. Lalu melanjutkan perjalanan.

Mengikuti papan-papan bertanda panah, gedung aula berlangit-langit tinggi menjadi tujuan semua murid baru. Di sana mereka akan mendapat wejangan dan sambutan dari para pejabat sekolah dan beberapa guru.

"Murid baru, ya?" sapa seorang murid perempuan dengan pita berlogo organisasi sekolah disematkan di lengan. Sepertinya senior yang bertugas. Suaranya dekat sekali, nyaris membuat Alex terlonjak.

"Langsung masuk saja. Kau bisa pilih mau duduk di mana saja asal kursinya masih kosong," jelas senior itu lagi dengan senyum ramah. "Deretan sebelah sana masih banyak yang kosong, kalau kau tidak keberatan duduk agak di belakang."

"Terimakasih," gumam Alex. Lalu segera melangkah mengikuti saran yang diberikan.

Tiba-tiba ....

BRUK!!!

"Aduh!" Tubuh ringan Alex terpental beberapa langkah tetapi terhenti dengan sentakan di lengan.

"HATI-HATI, BODOH!!!" hardik suara seorang remaja lelaki, kencang.

Alex melihat sepasang mata kelabu menatap galak padanya dari balik rambut pirang tak beraturan. Agak bingung, karena dia tidak merasa menabrak remaja galak itu. Namun suara rintihan di belakangnya membuat Alex melihat bahwa ada satu murid lain yang sedang terjerembab di lantai.

Sedikit rasa nyeri membuat bocah itu baru menyadari bahwa remaja galak itu menggenggam kuat lengan atasnya. Murid lain yang menabraknya, terbirit-birit ketakutan tanpa mengucapkan apa pun. Mungkin karena posturnya yang besar dan menjulang itu terlihat angker di mata remaja seumuran.

"Dasar ... Minta maaf pun tidak bisa?!" gerutu remaja galak itu lagi.

Alex membuka mulut, hendak mengucapkan terimakasih.

"KAU JUGA!" hardik remaja galak itu lagi. Kali ini sasaran amarahnya adalah Alex. "Kalau jalan itu, lihat depan ... Kaki menjejak ... Jangan letoy!"

Setelah Alex menjawab dengan anggukan, barulah lengannya dilepaskan. Kemudian sosok besarnya berlalu sebelum guru-guru terpancing oleh keributan.

Demi kedamaian bersama, Alex memutuskan untuk mengganti arah. Dia berharap di area depan masih ada tempat duduk. Konon murid-murid sekolah lebih suka untuk duduk di baris tengah atau belakang.

Satu-satunya kursi kosong yang tersisa ada di pojok kanan, baris terdepan.

"Permisi," Alex menyapa murid laki-laki berkacamata yang duduk di sisi kiri kursi itu. Ada perasaan lega timbul karena penampilan murid laki-laki itu mirip dengannya,setelan jas dan celana selutut, walau tanpa dasi. "Apakah kursi ini kosong?" tanya Alex berusaha terdengar seramah mungkin.

Murid berkacamata itu melirik sesaat pada kursi di sebelah kanannya, lalu menjawab, "Seperti yang terlihat."

Jawaban yang lebih dingin dari yang Alex kira. Was-was, dia melirik pada pakaiannya sendiri, khawatir ada sesuatu yang mungkin membuat murid berkacamata itu kesal. Alex mengedarkan pandangan, memikirkan kemungkinan untuk mencari tempat kosong yang lain. Namun semua tempat sudah terisi.

"Selamat datang, para murid baru!" sapa beberapa murid senior dari atas podium. "Sebentar lagi acara penyambutan akan dimulai. Silahkan duduk di kursi masing-masing ...."

Tak ada pilihan lain, Alex terpaksa duduk. Dalam hati dia berharap, murid berkacamata di sebelahnya tidak terlalu keberatan dirinya mengisi tempat kosong itu.

Jam berdentang dua belas kali ketika Alex sampai di rumah.

"Ludwig?" Ibunya yang membukakan pintu terlihat memandanginya dengan penuh kekhawatiran. "Kau pulang sendiri? Mengapa tidak menunggu ayahmu?"

"Hari ini pulang lebih cepat."

"Kenapa tidak menghubungi Ibu?"

Lalu membuat semua teman barunya berjengit pada berbagai alat kesehatan yang akan dipasangkan ibunya begitu mereka bertemu? Tidak terimakasih. Namun Alex hanya menjawab, "Aku sudah bilang pada ayah kalau bisa pulang sendiri. Hanya dua halte Bus, Bu."

Sonje mendesah, ada nada tak setuju, tetapi akhirnya perempuan anggun berambut gelap itu hanya menyuruh puteranya segera berganti pakaian.

"Bagaimana hari pertamamu?" tanya Sonje sembari menuangkan segelas penuh susu cokelat untuk Alex.

"Baik-baik saja," gumam Alex, buru-buru mengambil gelasnya sebelum ibunya menambahkan madu.

"Kau tidak lupa dengan inhaler-mu, 'kan?"

Alex teringat pada tabung hisap yang selalu tersimpan dalam tas sekolahnya. Setiap pagi ibunya selalu memeriksa tasnya, memastikan tabung hisap dan beberapa botol obat selalu tersedia. Alex tahu sebetulnya semua itu tak begitu berguna untuk kondisi tubuhnya, tetapi dia tak mau menambah keributan, jadi dia biarkan saja.

"Iya, Bu," jawabnya patuh. Lalu mulai meneguk perlahan susu cokelatnya untuk menghindari keharusan menjawab pertanyaan lebih lanjut. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro