Perasaan Gelisah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"... Terjadi ledakan di beberapa tempat akibat kebocoran pipa gas. Departemen terkait dengan perawatan, diminta untuk ... ."

"... misi, ada rokok dan korek?"

Karena suara pembeli tak seberapa terdengar jelas, pemilik kios mengecilkan suara radionya.

"Maaf ... Apa tadi?"

"Rokok dan korek," ulang si pembeli.

Pemilik kios memperhatikan penampilan orang itu sepintas. Kemeja acak-acakan, tak dimasukkan ke dalam celana. Wajah lusuh, mata keruh, dengan rambut wajah tak terurus. Sama sekali tidak terlihat seperti kalangan terpelajar. Berdecak prihatin, pemilik kios meraih kaleng rokoknya yang termurah.

"Berapa batang?"

"Empa- ... tidak, tiga saja," jawab si pembeli seraya menjatuhkan beberapa koin perunggu di meja etalase. Tangan yang kuku-kuku jemarinya menguning, terlihat sedikit gemetar.

Jari-jari gemuk pemilik kios menepuk pantat kaleng untuk menjatuhkan tiga batang rokok ke meja etalase, yang langsung diambil dengan penuh suka cita oleh si pembeli. Pemilik kios juga sesekali menghisap tembakau, tetapi gerak-gerik si pembeli jelas terlihat kalau dia sudah kecanduan berat nikotin.

"Koreknya?"

"Itu, yang terkait di tali. Pakai saja."

"Aku beli sekotak yang kayu!" protes pembeli itu berang.

"Uangmu tak cukup untuk korek api!" jawab si pemilik kios tak kalah kesal. "Pakai saja dulu punyaku itu buat sebatang. Nanti kau sambung lagi untuk batang yang berikutnya!"

Menggerutu panjang-pendek, si pembeli terpaksa menuruti saran pemilik kios. Lalu melenggang pergi setelah menyumpahi pemilik kios beberapa kali lagi.

"Hhh ... dasar pengangguran tak tahu diri. Pasti dia imigran!"

Lalu pemilik kios kembali membesarkan suara radionya yang sudah berganti acara.

"Julie!"

Gadis yang namanya dipanggil menoleh.

"Ternyata benar," gumam Amelia, menghela napas lega. "Nyaris saja tidak kukenali ... Kenapa dengan rambutmu?"

Julie merengut, teringat pagi harinya dimulai dengan kacau. Penyakit asma Peter, adik lelakinya, mendadak kambuh parah. Obat hisap yang biasa tidak mempan, jadi orangtuanya buru-buru membawa anak itu ke klinik langganan mereka.

Dengan kehebohan seperti itu, Julie tidak sempat menata rambut merahnya menjadi kepangan seperti biasa. Akibatnya ukuran kepalanya terlihat seperti mengembang 2,5 kali lipat, membentuk surai merah kecokelatan. Walau kesal, dia sudah cukup bersyukur bisa sampai di sekolah tanpa terlambat.

"Bangun kesiangan?" tebak Amelia karena Julie tidak juga menjawab.

"Yahhh ...," jawab gadis itu, asal-asalan. Ada rasa tidak nyaman muncul dalam benaknya kalau harus membicarakan tentang kondisi kesehatan Peter.

"Tumben. Apa kau keasyikan baca novel?" Amelia menodong dengan mata berkilau. Julie tahu gadis yang berjalan bersamanya itu penggemar berat novel-novel remaja dan novel fantasi. Kalau ada sedikit saja kesempatan, gadis itu akan memberinya rekomendasi sederet judul yang pernah dia baca.

"Aku nggak begitu suka baca buku yang banyak tulisannya," ujar Julie, ketus. Membuat temannya mendesah kecewa.

"Lalu kenapa ...?"

Pembicaraan mereka terputus karena harus membuka pintu kelas. Namun sebelum salah satu dari mereka meraih gagangnya, daun pintu berayun membuka. Seorang anak laki-laki berperawakan kecil yang membukakan.

"... Tidak masuk?" tanya Alex, karena Julie dan Amelia berdiri mematung di depan pintu.

"Kau sendiri, tidak keluar?" Julie balas bertanya. Dia mengira pintu dibuka karena Alex hendak keluar.

"Tidak. Aku ... tahu kalian datang, jadi kubukakan."

"Uwaaah! Apa kami seribut itu?"

"Ehm!"

Suara berdehem yang datang dari belakang, membuat Julie dan Amelia menoleh. Wali kelas mereka, tampak sedang membetulkan kacamata, dan memandangi mereka dengan tatapan tajam.

"Homeroom akan dimulai. Kecuali ingin mendapatkan pelajaran tambahan, bagaimana kalau kalian segera kembali ke tempat duduk masing-masing?"

Mendengar ancaman guru itu, ketiganya segera berlari ke bangku masing-masing.

"Nanti setelah homeroom, kubantu rapikan, ya!" bisik Amelia sebelum duduk. Gadis berambut merah itu mengangguk.

Julie melangkah menuju kelas berikutnya dengan perasaan jauh lebih ringan. Rambutnya sudah terkepang rapi. Ketika melintas dekat jendela kaca ruang kelas lain, gadis itu menyempatkan diri untuk mengecek ulang tatanan rambutnya. Memastikan tidak ada yang masih mencuat.

"Ada apa di ruangan itu?" tanya Alex.

"Hiiih! Bisa, tidak ... jangan muncul tiba-tiba di belakang orang?" protes Julie. "Kukira guru lagi, tadi!"

Alex merasa tak mungkin ada guru di sekolah itu yang suaranya masih tinggi. Kecuali kalau Julie menyamakan suaranya dengan guru perempuan. Pikiran yang membuat seulas senyum masam mengembang di wajah Alex.

"Yang lain sudah pada jalan duluan, tuh ... Nanti kau kena tegur guru lagi." Alex mengingatkan.

"Iya ... Iya!" gerutu Julie, rasa senangnya agak menyusut karena 'gangguan' Alex. Lalu mempercepat langkahnya.

Sebelum menyusul Julie, Alex melemparkan pandangan sekali ke ruangan kelas yang kaca jendelanya digunakan Julie untuk bercermin. Sesuatu di dalam ruangan itu menarik perhatiannya, membuatnya penasaran, tetapi dia juga tak mau ketinggalan pelajaran. Akhirnya Alex memutuskan untuk mengabaikan apa pun itu.

"Kalau kau merasa ada yang janggal dan tak tahu cara menjelaskan pada yang lain ... berarti sesuatu itu masih di luar kuasamu," begitu yang dulu pernah dikatakan oleh pelatih beladirinya.

"Kalau begitu ... Apa yang harus kulakukan, Pelatih?" tanyanya pada waktu itu.

"Ya, tinggalkan saja ... Memangnya apa yang bisa kau lakukan, kalau mengerti saja tidak?"

Saat menjawab, ekspresi pelatihnya terlihat kocak sehingga teman-temannya yang lain tertawa. Namun karena wajah Alex kecil saat itu terlihat sangat khawatir, pelatihnya menambahkan, "Atau ... kalian bisa bertanya pada orang yang kalian percaya."

Selesai mengingat nasehat pelatihnya itu, membuat Alex menghela napas panjang. "Jawaban yang tidak membantu, Pelatih ... Sekarang ini, siapa yang bisa kutanyai?"

Jangankan bertanya. Mungkin apa yang dia bicarakan saja, tidak akan ada yang percaya. Saat ini Alex hanya bisa berharap apa pun yang ada di dalam kelas kosong itu bukan sesuatu yang berbahaya.

Ketika Alex tiba di kelas yang menjadi tujuannya, murid-murid lain terlihat riuh berceloteh dengan wajah-wajah yang kurang familiar. Rupanya kelas gabungan dengan homeroom lain. Julie bahkan sudah asyik berbincang dengan dua orang kenalan baru. Beberapa pasang mata melihat ke arahnya yang baru masuk—membuat Alex memeriksa rompi dan celananya sendiri, khawatir ada benang mencuat atau kancing yang lepas.

Kelas gabungan membuat semua bangku penuh. Satu-satunya yang masih kosong, ditempati murid laki-laki yang penampilannya hampir sama dengannya. Itu anak berkacamata yang duduk di sebelah Alex saat upacara penyambutan.

Murid berkacamata itu terlihat asyik membaca sebuah buku tebal. Alex tidak mengenali sampulnya, tetapi terlihat masih ada kaitannya dengan pelajaran di kelas yang akan mereka ikuti. Ragu-ragu akan mendapat reaksi yang ramah, Alex memutuskan untuk tetap menyapanya.

"Permisi, di sini kosong?"

"Seperti yang kau lihat."

Jawaban pendek yang sama. Kali ini dia menoleh pun tidak. Tidak mau memperpanjang masalah, Alex memutuskan untuk mengambil tempat itu. Lalu membuka buku pelajarannya sendiri untuk menghabiskan waktu.

"Gurunya lama sekali, ya?" komentar murid lain yang duduk di belakang mereka.

"Biasanya kalau terlambat, kita dikasih tugas atau ada guru lain yang menggantikan, kan?"

Alex melirik jam dinding di atas papan tulis. Tidak biasanya guru di sekolah mereka terlambat lebih dari 15 menit. Apakah terjadi sesuatu?

Tidak bisa tidak, pikirannya kembali melayang pada ruang kelas kosong yang tadi.

Pintu ruang kelas terbuka. Seorang guru buru-buru melangkah masuk, tetapi Alex tidak mengenali wajahnya. Bisik-bisik para murid lain, menandakan mereka juga merasakan hal yang sama.

"Selamat siang, semuanya ... Maaf terlambat. Saya Weber, guru pengganti. Karena sudah sangat telat, langsung saja. Semua buka buku paket, halaman 30, bab kedua!"

Semua mengeluarkan buku masing-masing dengan patuh. Untuk beberapa saat, hanya suara guru yang menerangkan dan detak jarum jam dinding saja yang terdengar. Sesekali disertai goresan pensil dan decit kapur tulis di papan.

Kemudian sesuatu yang tak terlihat menghantam Alex, hingga pensil di tangannya terlepas. Tidak ada seorang pun yang sadar. Namun paras wajahnya seketika memucat dengan keringat dingin mulai membanjir.

Pensil kayu milik Alex terus menggelinding di atas meja, lalu terjatuh ke lantai.

"Hei, wajahmu pucat sekali ... Kau tak apa-apa?"

...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro