Rin & Rei

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tokyo, pukul 16.00

Suasana sekolah menengah pertama cukup bising saat itu. Beberapa murid ada yang bercengkrama dengan temannya, ada pula yang saling menggoda.

Di depan kelas 1-2, terlihat seorang gadis tengah bersandar di depan pintu kelas. Ia nampak tengah menunggu kemunculan seseorang dari kelas itu.

"Selamat sore, Rin-senpai," sapa beberapa murid yang baru keluar dari kelas itu.

"Selamat sore." Nakamura Rin, itulah nama lengkapnya. Ia tersenyum saat mendapat sapaan dari adik kelasnya itu.

"Selamat sore Senpai, sedang menunggu Rei, ya?" Sapa seseorang yang biasa Rin kenal sebagai ketua kelas itu, Yamamoto Yui.

Rin mengangguk."Ia sedang piket ya?" Tanyanya.

Yui balas mengangguk."Umn, sebentar lagi selesai kok, aku masuk dulu ya, Senpai," pamitnya.

Rin kembali mengangguk. Ia sedikit mengintip ke dalam, kemudian tersenyum saat melihat adiknya, Nakamura Rei tengah mengelap meja kelas.

Dia tidak sendirian. Ada sekitar lima anak yang tersisa di dalam dan sedang melaksanakan jadwal piket mereka.

Terkadang Rei akan menunggu Rin di depan kelas jika gadis itu sedang ada jadwal piket. Banyak orang akan mengira jika mereka adalah anak kembar saat mendengar nama mereia. Tapi nyatanya, mereka adalah kakak beradik yang hanya berbeda usia dua tahun.

Jika beberapa kakak beradik sering kali bertengkar, maka mereka berbeda. Mereka jauh dari kata itu.

"Sampai jumpa besok!" Seruan itu membuat Rin kembali menegakkan tubuhnya, kemudian tersenyum saat melihat figur adiknya sudah berada di ambang pintu kelas.

"Rei, setelah ini temani kakak ke toko kue mau? Kakak mau beli bebeeapa camilan untuk nanti malam," ujarnya sembari menarik sang adik untuk tidak berdiri di depan pintu.

Rei mengangguk mengiyakan."Tentu saja, tapi nanti belikan aku kue coklat ya kak."

Rin tertawa pelan. Kemudian mengangguk.

Kini keduanya tiba di toko yang Rin maksud. Jaraknya yang dekat membuat mereka hanya perlu waktu sekitar sepuluh menit untuk tiba di sana.

Setelah melihat-lihat sejenak, mereka akhirnya menuju kasir. Sesuai janjinya, Rin membelikan beberapa roti coklat kesukaan Rei.

"Kak, nanti malam bisa tolong ajari aku matematika? Ada yang tidak aku mengerti tadi," ucap Rei ketika mereka keluar dari toko.

"Umn, boleh. Nanti kakak lihat materinya dulu ya."

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, keduanya tak berhenti bicara. Terkadang Rei yang mengajak Rin berbicara tentang hal absurd, kadang pula Rin yang memancing hingga membuat mereka tertawa.

"Apa hati kita sudah menjadi satu ya kak? Masalahnya baik dari segi rasa makanan, minuman, maupun warna pasti kita menyukai sesuatu yang sama?" Celetuk Rei mengetuk dagunya.

Yap. Memang benar ucapan anak itu. Keduanya sering menyukai sesuatu yang sama.

"Mungkin saja. Kita kan sudah bersama sejak kecil," balas Rin menanggapi.
***
"Kak, bagaimana cara menyelesaikan soal ini?" Tanya Rei menyodorkan buku latihannya.

Rin mengamati sejenak soal yang ada di buku latihan milik Rei. Kemudin ia mengambil kertas kosong, dan menuliskan cara termudah untuk menyelesaikan soal itu.

"Gunakan saja cara ini."

Rei mengangguk kemudian mencoba menggunakan cara itu.

Belajar bersama adalah hal kesekian yang sering mereka lakukan dimalam hari. Suasana rumah yang sunyi membuat keduanya mudah fokus saat belajar.

"Nee ... kakak ayah tidak akan memaksaku untuk sekolah di luar kota kan?" Tanya Rei tiba-tiba.

Rin menoleh, ia mengulas senyum tipis."Kakak sudah bicara dengan ayah. Dan ayah bilang, kau boleh tetap bersekolah di sini."

"Benarkah!? Yess!"

Memang ayah mereka dulu berniat mengajak Rei untuk ikut dengannya ke luar kota. Alasannya agar ia bisa mengawasinya dengan mudah. Tapi tentu saja Rei menolak, dirinya yang sudah sangat dekat dengan Rin menolak untuk berpisah.

Bahkan Rin ingat, saat mereka pergi ke pantai, Rei menangis kencang saat dirinya pergi sebentar untuk membeli makanan ringan. Beruntung Ibu mereka dengan sigap menenangkan Rei saat itu.

Ah, bahkan dulu Rin tidak bisa meninggalkan Rei terlalu lama. Jika tidak kejadian di pantai akan terulang lagi. Pernah pula ia mencoba mengerjai Rei dengan berpura-pura bersembunyi dan tidak menemuinya seharian penuh. Alhasil Rei terus menerus menangis dan berakhir dengan dirinya di marahi oleh Ken saat itu.

Rin bukanlah tipe kakak yang suka menjahili adiknya. Justru dia yang sangat berhati-hati agar adik kecilnya tidak terluka.

"Rei ... Kau kembali jadi bayi saja bisa tidak?" Tanya Rin sembari mengusap-usap rambut Rei.

Rei yang mendengar ucapan Rin terdiam sejenak. Sebelum akhirnya menggeleng."Tidak bisa dong kak, kakak tau kan setiap manusia itu bertumbuh dan tidak bisa kembali kecil?"

Rin memajukan sedikit bibirnya."Tapi ... Kau lebih lucu saat masih kecil tahu. Apalagi saat kau menangis dulu."

Rei tertawa. Ia mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, supaya bisa melihat wajah Rin."Kakak tidak kapok? Dulu kakak pernah di marahi ayah lho karena menjahiliku waktu itu?"

Rin tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi."Tidak, malah jika ibu tidak melarang, aku ingin menjahilimu terus menerus. Mau lihat fotomu waktu kau menangis? Aku masih menyimpannya lho," Tawar Rin.

Rei melongo. Ia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali."Yang benar?"

Rin mengangguk. Ia mengambil ponselnya, kemudian membuka sebuah album khusus dimana isinya adalah semua foto-fot Rei. Di mulai saat Rei masih belum bisa merangkak, sampai ada sebuah video yang di rekam oleh sang ibu sesaat sebelum Rei menangis..

"Kau yang memotret semua ini kak?" Tanya Rei terkejut. Pasalnya, foto dirinya lebih dari seratus foto.

Rin menggeleng."Saat itu Ibu yang memotretmu, Ibu bilang nanti jika Rei sudah mencapai cita-citanya, semua foto-foto itu akan di buat buku album. Katanya supaya kau terus mengingat dirimu saat masih kecil," terang Rin.

Rei tersenyum tipis, ia sendiri juga punya satu album yang khusus ia buat untuk foto Rin. Ada banyak kenangan indah yang tersimpan dalam foto-foto itu.

"Aku sayang kakak, dan aku akan selamanya menyayangimu!" Rei memeluk Rin dengan erat.

Rin sedikit terkejut saat Rei memeluknya secara tiba-tiba. Namun, ia langsung membalas pelukan sang adik, kemudian membisikkan hal yang sama dengan apa yang di ucapkan oleh Rei.

"Aku juga menyayangimu, walaupun kau sudah dewasa sekalipun, kau tetaplah pangeran kecilku."

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tapi keduanya seakan tidak mengantuk, Rei menikmati setiap usapan lembut yang Rin berikan untuknya. Ia bahkan tidak beranjak dari posisinya sekarang.

Pelukan Rin yang begitu hangat akan sangat Rei rindukan kelak, saat dirinya harus pergi ke suatu tempat demi impiannya. Dan begitu pula dengan masakkan dan semua perlakuan Rin padanya. Bagi Rei, Rin adalah sosok kakak yang sempurna gadis terbaik yang pernah ia kenal.

Begitu pun dengan apa yang Rin pikirkan. Rei adalah sosok adik yang sempurna di matanya.

1037 Word

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro