21. Melon Bread

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rudy's got the chalk-a, chalk-a, chalk ChalkZone
Rudy's got the chalk-a, chalk-a, ChalkZone
Rudy's got the Chalk!

Chalk! chalk! chalk! chalk! chalk! chalk!
ChalkZone!

Pagi-pagi diseret dari tempat tidur, padahal tidak ada jadwal kerja, ialah musibah dahsyat bagi semua orang. Termasuk Rindang. Semalam Umai diminta menginap oleh Inang. Sekarang, wanita itu dengan wajah berseri-seri mendudukkan Rindang. Ia membilas wajah Rindang dengan air dingin agar bangun, kemudian memamerkan dua dress panjang selutut. Suaranya mendayu di pagi ini. Ia juga membeberkan bahwa mereka akan pergi ke pesta pernikahan adik ipar Ridam.

Pesta pernikahan ialah sinonim mimpi buruk.

Rindang pun terpaksa mandi agar tidak diomeli lebih panjang. Gadis itu memilih dress kuning model smocked neck dengan bagian lengan panjangnya berbahan chiffon ketimbang pilihan ibunya. Beliau memilih gaun merah muda lembut, namun sayang mengekspos bahu. Baju yang berbahaya. Bagaimana kalau melorot?

Di depan Kemuning Hills, sebuah mobil sejuta umat, Avanza silver, terparkir. Rindang curiga itu taksi daring, sampai akhirnya sosok tinggi familier muncul. Ia berdiri tegak melebihi pengibar bendera yang berdiri di dekat Rindang.

"Lama banget, Mai," keluhnya, lalu memandang Rindang. "Lo udah mandi belum, hah? Kok, masih kucel aja. Bau lagi."

"Idung lo mepet sama mulut!"

"Ah, enggak, ah. Mungkin karena gue mancung aja, makanya hidung gue sensitif. Maaf, orang pesek can't relate."

Rindang mendengkus. Ia berusaha tidak menggubrisnya lebih jauh. Mungkin, Ridam hanya akan bungkam kalau Rindang memakai bedak setebal heels yang sekarang ia pakai. Atau gincu sewarna api neraka, bulu mata anti bencana alam, maskara, mbakkara, dan segenap keluarga besar 'kara'.

"Oh, iya. Kenalin, ini temen gue, Wira."

Di samping Ridam, ada seorang pemuda sepantaran. Rambutnya ditata rapi dengan pantofel mengkilap. Laki-laki itu dengan sopan menyalami Umai, lalu menawarkan salaman ringan untuk Rindang,

"Saya Wira."

Wirkha. Ada huruf R-nya. Sebisa mungkin, Rindang harus menghindari memanggil orang ini. Ia hanya balas tersenyum, mengangguk, lalu cepat-cepat masuk ke dalam mobil yang dibawa Ridam.

"Sejak kapan, sih, lo punya mobil, Bang?! Nyewa?"

"Bukan mobil gue. Mobil Wira."

Oh. Rindang jadi canggung. Sebelah kakinya sudah berada di dalam mobil, sedangkan sebelah lagi di udara. Ia menjadi orang paling bersemangat masuk ke dalam properti milik orang lain sebelum dipersilakan. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang.

"Masuk aja, Rin," Wira tersenyum. Berjalan memutar untuk mencapai kursi pengemudi, ia duduk di belakang setir.

Belum apa-apa dan Rindang sudah mempermalukan diri sendiri di depan orang baru. Good, girl. Good!

Pesta hanya menyenangkan kalau kita bisa memuaskan mata dan lidah dengan berbagai makanan yang ada. Setelah piring kedua, Rindang merasa tidak sanggup memasukkan makanan lain ke perutnya. Jadi, ia hanya terdiam. Mata Rindang mulai menatap sang pengantin. Sosok itu begitu cantik dalam balutan gaun merah muda pudar di atas pelaminan. Ya, senyum yang ia tahu cukup palsu. Pasti melelahkan, menyalami dan tersenyum pada semua orang untuk waktu lama. Atau mungkin, itu hanya dirinya?

"Cantik, kan?" Tahu-tahu, Umai berbisik di telinganya, "Nanti kalau kamu nikah di Jakarta, kita bisa sewa rias pengantin yang ini, ya. Pelaminannya juga bagus. Umai suka." Tidak berapa lama, ia menambahkan, "Riasannya nanti yang kayak gini, ya?"

Yang menorkh, maksud Umai?

Mendadak, Rindang merasa mual. Ia membayangkan berdiri di sana dengan riasan mengkilap setebal dua senti. Serta, baju yang sesak oleh pernak-pernik. Ia akan berdiri di samping pria yang...

Siapa, kira-kira?

Cepat-cepat ia menghapus pikiran itu. Menikah tidak ada dalam daftarnya sama sekali. Tidak di tahun ini. Tidak dalam waktu dekat. Pertanyaannya; kenapa Umai tidak memasukkannya kembali ke dalam perut saat Rindang lahir? Dengan begitu, ia tidak perlu berdamai dengan dunia aneh ini.

Untungnya, Umai kali ini tidak mencecar Rindang dengan pertanyaan 'Kapan kamu punya pacar?'.

Setelah mereka menyalami sang pengantin, mengobrol dengan keluarga besan (yang tentu tidak bisa dikatakan singkat), finallyFINALLY!─Rindang dapat merasakan udara bebas begitu ia melangkah keluar dari gedung resepsi.

Rindang siap berakhir pekan dengan Park Ha-Joon dan Lee Yoon lagi. Atau dalam versinya, Calvin dan Bian.

Di dekat lahan parkir, dengan formasi sama seperti mereka datang, Umai menarik Ridam.

"Umai masih harus tinggal sama keluarga besan. Mau bantu-bantu. Ridam juga. Iya, kan, Yan?"

Umai memegangi lengan Ridam kuat. Rindang mulai bertanya-tanya ke mana arah pembicaraan ini. Kabar tidak mengenakkan, jawaban itu datang lebih dulu, sebelum Rindang menyiapkan diri.

"Kalian duluan aja. Wira, antar Rindang pulang, ya. Dia anaknya suka nyasar kalau pergi sendiri."

Umai menarik lengan baju Rindang lantas berbisik, "Rin, baik-baik, ya. Wira anaknya baik, loh. Sudah PNS, lagi! Siapa tahu, kalian jodoh."

Kalimat itu seketika membuat Rindang menatap Umai horor. Belum sempat gadis itu protes, Umai sudah mendorong Rindang ke dekat mobil Wira. Ia bersemangat. Ia berharap penuh anaknya yang sudah berdebu karena terlalu lama disimpan di rumah... akhirnya akan laku.

Di dalam mobil, awalnya mereka diam dalam kecanggungan. Wira mengajak bicara, Rindang menjawab seperlunya. Satu dua kata tanpa mencoba memperpanjang obrolan. Atau bertanya balik. Hal yang ia harap akan sukses menambal mulut Wira sepanjang perjalanan yang terasa sepuluh kali lipat lebih panjang, dari saat mereka berangkat.

Dan Rindang merasa sangat tidak nyaman. Ia sangat ingin kabur. Andai mendobrak mobil, lalu berguling di atas aspal bisa semudah film laga. Hal pertama yakni mendobrak pintu, satu kemustahilan baginya.

"Kamu kenapa? Sakit perut?"

Oke, jadi sepertinya wajah berpikir Rindang terlihat seperti orang konstipasi.

"Saya ... saya lupa kalau saya ada kerjaan hari ini. Harus ke kantor dulu, jadi saya turun di sini aja."

"Oh... Kalau gitu saya antar, ya?"

"Nggak usah!" jawab Rindang cepat. Terlalu cepat untuk sebuah penolakan. Buru-buru, ia menyunggingkan senyum. "Kamu pasti sibuk. Tempat kerja saja jauh. jadi nggak usah. Saya bisa naik angkutan umum, kok!"

"Hari ini saya nggak sibuk, kok. Jadi, nggak papa."

SAYA YANG PAPA!

"Jangan! Saya bisa sendirkhi─"

"Jangan sungkan. Saya antar."

Rindang panik. Bagaimana menghindarinya? Mungkin ia perlu berguru pada Sashi. Ia jago berperang dengan lidah. Atau Ursa yang bisa terlihat dingin dan tak tersentuh. Rindang hanya bisa tersenyum canggung. Ia menurut, meskipun dalam hati komat-kami melafalkan doa.

"Di mana kantor kamu?" Wira bertanya lagi. Senyum ramah pria itu nampak mencekam untuk Rindang.

Pria itu nyaris tidak bisa diam. Jika tidak menanyai Rindang macam-macam, ia akan dengan sukarela menceritakan tentang dirinya sendiri tanpa diminta.

"Jadi, habis kuliah itu saya ambil S2 bisnis ekonomi. Sambil kuliah, saya sudah mulai membuka usaha sendiri seperti jualan cireng kekinian," ujarnya dengan kebanggaan luar biasa. "Rasanya macam-macam. Stroberi, cokelat, keju..."

"Ohhh... hebat, ya. Hehehe." Dan itu adalah tawa tidak ikhlasnya Rindang.

"Iya. Soalnya, saya itu nggak mau menyusahkan orang tua. Sejak kecil, saya sudah belajar mandiri. Waktu SD saya jual cilok di sekolah. Saya nggak malu. Nggak kayak orang-orang yang gengsian," jelasnya sombong. "Waktu SMP, saya mulai usaha yang berbeda, jualan bakso, tapi gagal karena ..."

Asdfghjklhhsdhhpphhh. Dengung lebah.

Rindang mengerjap. Wira seolah mendongeng untuknya, hingga ia mengantuk. Pikiran Rindang mulai melantur ke tempat berbeda. Menatap Wira, ia melihat pria itu perlahan berubah ... menjadi Mail bin Ismail.

"STOP! STOP!!!"

Wira menekan klakson dengan refleks bersamaan dengan rem. Matanya membulat penuh ketika menatap Rindang yang tiba-tiba berteriak panik.

"Kenapa?"

"Ah, enggak. Itu... tempat kerja saya di depan sini," ujarnya asal seraya menunjuk sebuah toko roti di pinggir jalan.

"Oh, kantor kamu di sini? Katanya, tadi masih jauh?"

"Itu ... sudah pindah! Sudah, ya. Makasih tumpangannya."

Cepat-cepat, Rindang melepas seatbelt dan turun. Ia nyaris lega karena berhasil terbebas. Tapi dugaannya salah. Wira, pria yang keramahannya menyeramkan itu, ikut turun.

"Kamu ngapain?"

"Antar kamu ke dalam. Ayo, masuk."

Begitu Wira mengambil langkah maju, mendekat padanya, Rindang mengambil satu langkah mundur dengan waspada. "Kan... udah?"

Namun, Wira tetap tersenyum. "Saya nggak biasa antar cewek sampai depan aja. Saya mau tahu pekerjaan kamu, terus ketemu teman kerja kamu."

Mampus aja! Orang ini... kenapa tidak pergi ke tengah jalan dan dilindas bajaj saja?

"O-oke..."

Dengan langkah kaku, Rindang melangkah masuk ke dalam toko roti. Ia berharap setelah Wira melihatnya masuk, pria itu segera pergi. Nyatanya, tidak semudah itu.

"Mau beli apa, Mbak?" Hal gawat pertama terjadi. Pegawai di belakang kaca pajangan menegurnya.

"Eh, Titi! Maaf, ya, gue telat! Soalnya kondangan dulu! Bentar, ya. Gue ganti baju dulu ke belakang," sapanya pada pegawai yang terbengong-bengong.

Sebelum pegawai itu menelepon petugas keamanan, Rindang pun masuk ke pantry, diikuti tatapan mata para pegawai yang keheranan. Di belakangnya, hal gawat kedua mengambil tempat.

Gadis dengan apron dan topi bercap logo toko sendiri itu didatangi Wira. Dengan lugas, pria itu menjabat tangan Titi, atau siapapun nama aslinya.

"Titip Ririn, ya," ujarnya sebelum berpamitan.

Mati dua kali, boleh?

Ketika Wira berbalik untuk melambai padanya sekali lagi, Rindang buru-buru berjongkok di belakang meja. Di balik kaki meja yang tertutup taplak, ia dapat mengintip raut kebingungan pria itu dalam usaha menemukannya, sampai ia benar-benar pergi.

Akhirnya.

Namun tentu saja, Rindang tidak ingin gegabah. Gadis itu menunggu hingga setidaknya lima menit, sampai ia benar-benar bernapas lega.

Manusia lawan jenis dan segala ancaman yang mereka bawa!

Rindang bangkit berdiri, membetulkan dress, lalu sambil membungkuk meminta maaf kepada semua pegawai yang menatapnya curiga. Semua dilakukan dengan wajah ditebalkan. Toh, ia tidak akan pernah bertemu mereka lagi. Ia tidak akan pernah mampir ke toko roti itu, jadi tidak apa-apa.

Lalu...

"Mbak, roti melonnya dua."

Suara itu membuatnya membalikkan badan seketika. Dan tanpa sempat memikirkan konsekuensi refleksnya, ia sudah dihadapkan pada sosok familier. Cowok yang tidak begitu ingin ia temui. Lebih sialnya lagi, ia tidak akan sempat kabur karena orang itu juga telah menemukannya.

Tatapan mereka bersirobok.

Samudera.

Entah dunia yang sempit atau nasib Rindang saja yang apes.

Rindang nyaris kembali menyembunyikan diri di bawah meja ketika suara Samudera dengan bersemangat menyapanya.

"Rindang! Kamu ngapain di sini? Beli roti di sini juga?"

Kenapa. Harus. Bertemu. Dengannya. Dan. Kenapa. Dia. Harus. Menyebut. Nama. Rindang. Keras-keras?!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro