Another Extra [1] The Wedding

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai... Masih ingat cerita ini, nggak?

Aku punya extra chapter yang baru ... untuk menyambut sesuatu yang baru juga. Apa itu? Masih rahasia, ya. Hehe.

Enjoy yang ini dulu~

Your vote, comment and share would be much appreciated <3

***

1. The Wedding

Cahaya matahari pagi yang hangat menyentuh kaki. Rindang menariknya, menggulung badan seperti ulat, lalu mencoba kembali tertidur.

Suasana tenang. Tetapi tidak berlangsung lama. Segera setelah Rindang mulai terhanyut kembali, suara air yang meluap di kamar mandi membangunkannya. Sebagian dirinya ingin mengabaikan suara itu. Tetapi sebagian dirinya yang lain membayangkan air yang tumpah ke lantai kamar mandi, menggenang. Lalu tidak lama, rumahnya akan kebanjiran, menghanyutkan Rindang seperti gelombang tsunami.

Samudera menyebalkan! Pria itu pasti lupa menutup keran lagi!

Dengan malas-malasan, Rindang bangkit duduk, mata masih terpejam. Terseok-seok, ia menyeret kaki menuju kamar mandi, meraba-raba untuk menutup keran, lalu berjalan kembali ke tempat tidur dan mencoba kembali lelap. Atau setidaknya, rencananya begitu.

Ia tertidur pukul tiga dini hari, tadi malam. Usai menyelesaikan panel terakhir gambarnya. Ia sudah memutuskan untuk berhenti mengajar beberapa bulan lalu, kemudian menjalani hidup bebas sebagai seorang kartunis. Hal yang akhirnya berhasil dia lakukan (resign dan mulai mengejar pekerjaan yang diminati) setelah akhirnya memiliki seseorang untuk menggantungkan hidup, alias seseorang yang akan memberinya makan seandainya ia gagal dan jatuh miskin.

Karyanya diunggah di Webtoon dan sedikit demi sedikit, Rindang mulai menanjak karirnya di sana. Tidak melejit, tetapi perlahan namun pasti. Seperti kura-kura yang merayap lambat, meniti tangga satu persatu. Karirnya saat ini tidak memberinya kekayaan, belum. Tetapi, itu cukup memberikannya kebebasan dalam menentukan hidup. Dan setidaknya memberinya kebebasan.

Bebas, my ass!

Segera setelah kepala Rindang kembali menyentuh bantal, ponselnya berdering nyaring. Sialnya, benda itu ia letakkan di seberang ruangan semalam untuk di isi daya. Sekarang, kecuali merangkak ke sana, ia tidak akan bisa meraihnya.

Shit!!!

Rindang melempar bantal dengan kesal. Sambil mengucek kelopak mata yang masih menempel satu sama lain, Rindang merutuki dalam hati siapa pun yang meneleponnya sepagi ini. Apakah editornya? Kecuali dia ingin memberikan royalti, Rindang tidak akan memaafkannya.

Dasarkh pengganggu! Semoga motorkhnya nanti bocorkh dan bengkelnya lagi liburkh!

Gadis itu benar-benar merangkak ke seberang ruangan, lalu dengan mata masih terpejam menempelkan ponsel ke telinga. Ia bahkan tidak repot-repot mengecek siapa yang menelepon.

Keputusan yang kemudian ia sesali detik berikutnya.

Mata Rindang dalam sekejap terbuka lebar, telinganya berdiri, dan rasa kantuk kabur meninggalkannya seperti dikejar setan.

"Halo? Lilin? Kamu dengar Ibu?"

Ya, yang di seberang sana adalah Mama Melati. Alias mertuanya! Mampus!

Dengan gerakan cepat yang membuat persediaannya seketika syok, Rindang bangkit berdiri. Mata melotot kaget.

"Apa?" Ia berdeham. Suaranya sangat khas orang bangun tidur. Mama Mertua tidak boleh tahu itu atau ia bisa dikutuk jadi batu. "Maksudnya, Mama mau ke sini? Harkhi ini?"

"Hah? Kamu bilang apa? Hati?"

"Harkhi ini?"

"Hartini?"

Astagfirullah. Rindang menghirup napas panjang. Lalu, meninggikan suaranya, nyaris berteriak.

"HARKHI INI!!!"

"Oh, hari ini? Maaf kurang kedengeran. Mama di pinggir jalan, soalnya."

"Mama di mana, emangnya?"

"Ini lagi jalan mau ke apartemen kamu. Tadi naik Transjakarta tapi salah turun. Ini nunggu gojek. Lima belas menitan lagi nyampe, kayaknya."

15 menit?

Rindang menunduk menatap pakaiannya. Lalu pandangannya berpindah ke cermin agar dapat melihat tampak keseluruhan penampilannya; rambut kusut masai seperti singa habis dijambak istri karena selingkuh, setelan piyama yang bagian ketiaknya robek saking lusuhnya, sisa iler di sudut bibir. Belum lagi keadaan rumah yang seperti habis kerampokan; pakaian sampai bra tersebar di lantai, tercampur sisa bungkus keripik, styrofoam bekas seblak yang belum disingkirkan dan nangkring dengan nyaman di atas TV, juga debu yang lebih tebal dari dempul Rindang pada hari pernikahannya.

Dia tidak tahu bagaimana Samudera dapat bertahan selama ini, tapi yang dia tahu, Mama Melati tidak boleh melihat ini. Wanita satu itu selalu berbicara dengan lembut, namun menusuk. Mengawasi seperti hyena betina kelaparan, menunggu Rindang melakukan kesalahan agar bisa diterkam. Jika ada yang mengatakan ibu tiri kejam, bagi Rindang ibu mertua lebih kejam daripada ibu tiri.

"Kamu nggak bisa masak, ya? Wanita itu harus pintar masak bla bla bla...," omelnya ketika memergoki Rindang memesan makanan siap santap.

"Kamu kesiangan? Perempuan itu nggak baik kesiangan! Pamali! Bla bla bla ...," Itu ketika dia berkunjung di hari Minggu dan Rindang baru menjemur pakaian pukul sebelas.

"Ini debu di belakang rak TV loh, numpuk. Kok bisa? Emang kamu nggak bersihin tiap hari, ya?" Ya, memangnya siapa yang merangkak ke kolong TV untuk bersih-bersih?!

Tidak! Rindang tidak sanggup lagi menerima omelan semacam itu. Meskipun dia tidak mungkin memenuhi ekspektasi selangit wanita itu, dia setidaknya harus berusaha menghindari hujatannya.

Maka cepat-cepat, ia menggunakan jurus tangan seribu yang sebelumnya dia tidak tahu dia punya. Memunguti pakaian yang berserakan, membuang sampah-sampah (hingga nyaris mengakibatkan Rindang eror dan membuang pakaiannya sendiri), menyapu lantai sekaligus membersihkan debu dengan kemoceng, dari ruang tamu, lemari sekat, dan...

Gerakan Rindang berhenti di udara. Rak berisi foto-foto dari foto wisuda hingga foto pernikahannya terjatuh. Untungnya ke karpet dan tidak menimbulkan kerusakan apa-apa. Rindang berjongkok untuk memungutnya.

Itu foto pernikahannya. Ia dan Samudera. Tampak mengenakan pakaian adat modern yang lebih mirip gaun berwarna peach. Melihat wajahnya yang tegang di sana, Rindang ingat dengan jelas hari itu. Hari pernikahannya. Dan mau tidak mau, kenangan, serta ratusan perasaan yang hari itu dia rasakan, menyerbunya kembali.

***

"Bubble?"

"Hm?" Rindang sedang menyantap martabak spesialnya waktu itu, mulut masih penuh ketika dia mengangkat kepala untuk menatap Samudera, berhubung cowok itu sudah dua kali memanggil tanpa langsung mengatakan apa-apa.

"Aku ...," Ia terbata, menggigit bibir. Seolah, kalimat yang akan terucap dari bibirnya ini begitu sulit untuk diutarakan. Begitu ... sakral. "Aku mau datang ke rumah kamu, boleh?"

Rindang mengerutkan alis. Masih tidak begitu memahami maksud pria itu. Orangtuanya tidak tinggal di Jakarta, ia adalah anak rantau. Sehingga untuk bertemu orangtuanya artinya harus terbang ke Pontianak. Rindang belum pernah mengajak pria itu ke sana. Lebih tepatnya, belum cukup mengumpulkan keberanian. Ia tidak tahu akan seperti apa reaksi ibunya, kakak-kakaknya, dan segenap keluarga besarnya.

Sekarang, kenapa tiba-tiba Samudera ingin ke rumahnya?

"Hah?" Cepat-cepat, Rindang berusaha menelan sebanyak mungkin martabak di mulutnya dengan kunyahan cepat. Ia lalu menyeruput es teh, masih sembari menatap kebingungan pada Samudera. ".... "Ngapain?"

Tetapi jawaban pria itu membuatnya mematung. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Untuk waktu yang cukup lama.

"Aku mau melamar kamu."

***

Waktu itu petang, matahari telah bersembunyi meski malam belum sepenuhnya datang. Namun bagi Rindang, dingin menusuknya hingga ke sum-sum tulang. Ia merasa seakan meninggigil, dengan jantung yang berdetak amat cepat hingga Rindang khawatir ia akan melompat dari dada. Semua perasaan campur aduk sat itu, saat melihat Samudera berhadapan dengan setidaknya enam orang yang merupakan keluarga Rindang untuk kali pertama.

Dan dia, hanya mengintip takut. Baki berisi stoples-stoples camilan di tangan, yang urung ia serahkan karena ketidakberaniannya menghadapi semua orang. Ia meninggalkan Samudera sendirian di sana, dengan wajah seperti rusa buruan yang siap dimangsa.

"Saya mau melamar anak Ibu." Akhirnya Samudera mengatakannya. Dan hampir saja baki terlepas dari tangan Rindang yang terasa lunglai.

"Siapa?" Umai bertanya kebingungan. "Rinai sudah punya suami dan anak lho, emangnya nggak keliatan? Ridam itu cowok, kamu nggak..."

"Anak terakhir, Bu. Rindang."

Ada jeda sesaat. Bagi sejumlah orang di ruangan itu, waktu seakan terhenti berputar selama beberapa saat, semuanya, tanpa terkecuali perlu waktu untuk mencerna apa yang Samudera maksud. Hingga, Umai mencengkeram dadanya dalam syok.

"Kamu serius? Kok bisa?!" Ia meraih tangan Samudera, menepuk-nepuk punggung tangannya. "Maaf, Umai dulu itu bercanda anggap kamu calon suami Rindang. Kamu jangan merasa terbebani. Rindang itu masak air aja bisa gosong, loh! Sampai pancinya meleleh."

... Rkhajungan! Bahkan dalam kegugupan itu Rindang mulai mempertanyakan apakah benar ia bukan anak kandung, tetapi anak buangan yang ditemukan Umai di sungai dekat jamban?

Dalam gugupnya, Samudera terkekeh. Ia mengangkat pandang, menemukan Rindang mengintip di balik lemari hias yang memisahkan ruang tamu dengan tengah. Dalam gugup yang sama, senyum Samudera mengembang.

"Saya serius. Saya mau menikahinya, anak Ibu. Saya tidak meminta apapun, kecuali dirinya. Dan ... saya juga tidak bisa menjanjikan apapun, kecuali... kecuali bahwa saya akan berusaha, menjadi suami yang terbaik untuk Rindang. Yang tidak meminta lebih dari apa yang bisa saya berikan. Yang bersedia membagi beban."

Dalam gugup yang sama, Rindang merasa yakin. Dia ... ingin hidup bersama pria ini.

***

Denting gelas. Riuh rendah suara obrolan yang bercampur menjadi satu, ramai meningkahi kerasnya lagu hit Chacha Handika yang dibawakan seorang biduan berpakaian semarak, membahana dari tiga buah pengeras suara. Jika semua keberisikan itu belum cukup, hiasan di atas kepalanya terasa amat berat, bulu mata palsunya membuat Rindang tergoda untuk memejam, dan pakaiannya membuatnya benar-benar kegerahan. Apalagi, Rindang masih harus menyunggingkan senyum hingga giginya kering, membalas setiap tamu yang mengucapkan selamat dan minta foto bersama.

Rindang merasakan kepalanya berdenyut.

"Lin, senyum!" Umai menggamitnya, senyum semringah tidak pernah lepas dari bibir wanita itu. Bahagia bahwa dia telah melepas anak gadis terakhirnya, menyerahkannya pada seorang pria yang dia percaya.

Rindang merasakan tubuhnya kembali diapit oleh keluarga sepupu ipar nenek dari ibunya. Ia memasang senyum selebar mungkin, dan menjatuhkannya begitu mereka memunggunginya. Tersenyum benar-benar melelahkan!

"Capek?" Samudera berbisik di telinganya.

Rindang menoleh, lalu membiarkan bibirnya mencebik, menumpahkan ekspresi sesungguhnya pada pria yang sekarang menjadi suaminya itu. "Dikit."

"Tahan bentar lagi," katanya.

Rindang tahu itu hanya bualan. Sedikit apanya? Mereka harus seperti ini hingga ... paling tidak, empat jam kedepan. Namun kata-kata itu sedikit menghibur. Setidaknya, dia tidak melewati ini sendirian.

Ia lalu melongokkan kepala, teringat bahwa ia belum melihat kedua sahabatnya, Sashi dan Ursa. Kedua orang itu pasti tengah sibuk, Sashi dengan dua bayi kembarnya, dan Ursa ... Ursa memang selalu sibuk dalam studionya, melas emas. Tetapi kali ini Rindang curiga gadis itu juga tengah menyiapkan pernikahannya dengan dokter Eros.

Speak of the devil, kedua orang yang baru saja dia pikirkan muncul. Bergandengan tangan, dengan pasangan masing-masing mengekor di belakang. Aryasa, dengan menggendong Aru, dan Eros tampak kikuk sendirian. Acara pernikahan yang ramai dan dirinya tampak kontras, tampak lucu.

"Akhirnya Lin, lo nikah juga!" Sashi sudah berseru bahkan sebelum dia tiba di hadapan Rindang. Tanpa babibu, wanita itu segera memeluknya kencang, menepuk-nepuk punggungnya sebelum menjauh dan menyusut airmata tak kasatmatanya.

"Terharu gue! Akhirnya! Perasaan baru kemaren terakhir kali gue liat lo, pake baju seragam SMA dan bacain undang-undang dasar walaupun nggak bisa ngomong R!"

"Eh, jangan mengumbarkh aib, ya!"

Sashi dan Rindang sama-sama tertawa. Lalu Ursa maju. Gadis itu memeluknya singkat, tetapi pemandangan yang cukup jarang terlihat, terhampar di depannya; Ursa tersenyum.

"Selamat ya, Lin, atas pernikahannya. Akhirnya ada yang ngasih makan."

Lagi, Rindang tertawa. Momen-momen seperti ini, tawa bahagianya yang tulus dari hati, di tengah hari bahagianya terpatri di benak Rindang. Tidak ingin ia lupakan.

Menikah. Dia... akhirnya menikah?

Rasanya seperti mimpi, dan Rindang tengah melayang di atasnya. Menikah dan dirinya terasa tidak cocok berdampingan sebelumnya. Tetapi tiba-tiba saja ... Samudera datang, dan semua yang tidak mungkin sekarang justru menjadi kenyataan.

Ia menatap Samudera yang berdiri di sisinya, tersenyum kepada banyak orang sementara tangannya menggenggam tangan Rindang.

Rindang tersenyum. Ia penasaran ... akan seperti apa, kehidupan pernikahan itu nantinya.

***

Dan inilah yang terjadi. Pernikahannya tidak selalu diwarnai senyuman, pelukan, atau semua yang dia lihat di film-film romantis. Pernikahan kadang tentang bagaimana Samudera meletakkan handuk basah di kasur usai mandi. Samudera yang jika mengambil satu baju akan memberantaki seisi lemari. Samudera yang katanya pamit untuk rapat di York padahal nyatanya nonton bola atau main gim di ponsel.

Dan kadang pernikahan juga berarti Samudera yang membawakannya martabak spesial sepulang kerja atau saat Rindang ngambek. Samudera yang membantunya memasak dan mencuci piring saat Rindang sakit. Samudera yang memeluknya ketika tidur, menenggelamkannya dalam rengkuh lengannya yang hangat saat di luar hujan turun dan petir menggelegar.

Pernikahan juga bisa berarti ...

Bel apartemen berbunyi dan Rindang terkesiap. Mampus! Ini adalah bagian dari pernikahan yang paling tidak dia senangi; MAMA LAMPIR MERTUA DATANG!!!

See you on the next extras!

Tell me your thoughts on the story!!! XD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro