RS | Part 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

SETIAP satu jam sekali dokter akan mengunjungi Hamna guna untuk memastikan apakah bukaannya bertambah atau tidak. Hari pun kian larut, dia sudah semakin resah berada di atas ranjang.

"Ibu Hamna sudah memasuki pembukaan delapan, Pak, Bu," kata sang dokter pada Hamzah serta Anggi.

Lingga dan kedua orang tua Hamna menunggu di luar, karena memang untuk bisa berada di ruang perawatan cukup dibatasi. Mereka akan saling bertukar, biasanya sesuai dengan permintaan Hamna. Perempuan itu ingin ditemani oleh siapa saja.

Hamna sudah sangat amat kelelahan, tapi bukaannya tak kunjung lengkap. Padahal dia sudah sangat lama berada di ruangan tersebut. Bahkan, sesekali dibawa ke ruang observasi untuk memastikan dia dan janinnya dalam kondisi siap untuk melahirkan secara normal atau tidak.

"Tinggal dua lagi, Na, sabar," ungkap Anggi selepas kepergian dokter.

"Elus-elus punggungnya, A sakit," pinta Hamna.

Hamzah menurut tanpa sepatah kata pun. Bahkan dia terima-terima saja saat dijadikan samsak pelampiasan Hamna. Entah itu bahunya yang digigit hingga meninggalkan bekas, atau tangannya yang jadi korban cakaran.

Sakitnya digigit dan dicakar tidak sebanding dengan sakitnya kontraksi yang tengah dihadapi sang istri. Jadi, dia tak keberatan sama sekali.

"Makan sama minum lagi ya? Supaya nanti pas lahiran kamu ada tenaga," bujuk Hamzah di tengah kegiatannya yang sedang mengelus-elus punggung Hamna.

Perempuan itu menggeleng kuat. "Aa tahu nggak sih ini tuh sakit, banget. Jangankan untuk makan, minum aja nggak berselera!"

Anggi menahan tawa, dalam kondisi seperti ini perempuan memang akan cenderung melampiaskan rasa sakit pada hal apa pun. Termasuk mengomeli sang suami, yang padahal tidak memiliki salah sama sekali. Dan dia sangat amat memaklumi hal tersebut.

"Ya udah operasi caesar kalau gitu. Ini udah enam jam lebih, tapi bukaan belum kunjung lengkap. Mau ya?"

Hamna melotot seketika. "Nggak!"

Hamzah menghela napas singkat. "Oke, tapi kalau udah nggak kuat bilang ya?"

Hamna hanya menjawab dengan anggukan.

"Lahiran anak pertama emang agak lama, Na, disabar-sabarin dulu aja," tutur Anggi.

Hamna kembali mengatur napas sebelum akhirnya berujar, "Kalau dijumlahin sama kontraksi yang semalam, mungkin udah tembus 20 jam, Ma. A Hamzah ngitung enam jam lebih, ya semenjak saya di rumah sakit."

"Maksimal 24 jam, Na. Kalau bukaan belum juga lengkap caesar ya?" bujuknya diselingi gurauan.

Padahal ada yang mengalami kontraksi sampai berhari-hari, tapi dia tak tega jika harus melihat sang menantu lebih lama lagi dilanda rasa sakit. Pasalnya ada dua bayi yang dipertaruhkan, terlebih nyawa Hamna pun jauh lebih berharga.

Dia tak ingin mengambil risiko.

"Masih ada waktu empat jam lagi supaya saya bisa lahiran normal. Saya harus ngapain supaya bukaannya lengkap, Ma?" seloroh Hamna dengan napas yang sudah terengah-engah.

Anggi mengelus puncak kepala Hamna yang tak tertutup hijab. "Dari bukaan delapan, ke bukaan sepuluh insyaallah nggak akan terlalu lama. Yang sabar, ya, banyak-banyak doa. Minta keridaan Ibu sama Hamzah, kalau Mama insyaallah sudah rida."

Hamna mengangguk patuh. Sedari orang tuanya datang, dia pun sudah mengucapkan banyak permohonan maaf, meminta keridaan untuk kelancaran proses persalinan. Tapi pada Hamzah, dia serasa malu sendiri. Pasalnya mulut itu kerap kali spontan berbicara dengan nada tinggi.

Ya, seperti tadi contohnya.

Dielusnya lembut perut Hamna yang terlihat kian menurun ke bawah. "Nak, bantu Buna ya? Jangan biarkan Buna kesakitan terlalu lama. Papa nggak sabar mau ketemu kalian. Yuk, dibantu Bunanya, Sayang."

"Hasbi Rabbi Jallallah, Ma fi Qolbi Ghayrullah, Nur Muhammad Salallah, La illah Hailallah," katanya secara berulang seraya mengelus lembut perut Hamna yang memang sudah sangat mengencang.

Hamna menikmati apa yang tengah dilakukan oleh sang suami. Rasa sakitnya memang tidak berkurang, tapi hatinya sedikit lebih tenang.

"Jangan mengejan, Na, bukaan kamu belum lengkap itu. Ish, sabar, robek nanti," ujar Anggi panik seraya menutup kedua paha menantunya yang terbuka.

"Rasanya udah di ujung, Ma, mau buang air besar saya."

Anggi menggeleng tegas. "Bukan, Na, kamu bukan mau BAB, itu emang dorongan kontraksi. Tapi kamu jangan mengejan, apalagi ini masih di ruang perawatan. Duhh, Ham panggil dokter buru!"

Hamzah berlari cepat mengikuti titah ibunya. Sedangkan Anggi berusaha untuk menenangkan Hamna, dan menahan sang menantu untuk tidak melakukan keinginannya.

"Tidur nyamping, Na. Posisi terlentang setengah duduk kayak gini nggak aman buat kamu. Ya Allah, Ya Rabbi, jangan buat Mama panik, Hamna!" pekik Anggi kelabakan.

"Tapi Ma ini posisi paling nyaman, nggak sabar buat ngejan."

Anggi lagi-lagi menggeleng tegas. "Hamna jangan diangkat bokongnya, Allahuakbar itu bisa mengakibatkan robekan jauh lebih besar. Tahan, Sayang, tahan, oke?"

Hamna menggeleng. Keinginannya untuk mengejan sudah benar-benar tidak bisa ditahan.

Anggi akhirnya bisa bernapas lega saat Hamzah datang dengan didampingi dokter serta perawat.

"Ham Mama mau keluar, stres parah ini. Perasaan dulu ngedampingin Hanin nggak sampai buat kepala Mama pusing," katanya berlalu begitu saja.

Hamzah hanya meringis kecil. Apa yang dikeluhkan sang ibu memang ada benarnya juga, terlebih pada saat melahirkan, Hanin melewati proses operasi caesar.

"Alhamdulillah, Bu Hamna bukaannya sudah lengkap. Sus bantu pasien untuk pindah ke ruang bersalin."

"Dok, nggak bisa di sini aja ya? Aduhh, udah bener-bener di ujung ini. Mau ngejan saya, Dok," komentarnya.

Pada saat itu Hamzah hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tidak habis pikir, dalam kondisi kesakitan pun istrinya itu masih bisa bernegosiasi. Entahlah.

"Harus di ruang bersalin ya, Ibu," terangnya.

Brankar Hamna pun didorong oleh beberapa tenaga medis, Hamzah ikut mendampingi. Tapi, tidak sampai masuk ke ruangan bersalin, dia diminta untuk menunggu di luar bersama dengan anggota keluarga lain.

Jantung yang sedari tadi berdebar, kian menggila karena dia harus membiarkan Hamna berjuang seorang diri di dalam. Ingin rasanya dia ikut mendampingi Hamna, setidaknya untuk memastikan bahwa kedua mata sang istri masih terbuka dengan lebar.

"Duduk Nak Hamzah," pinta sang ayah mertua.

"Iya ih, kamu malah mondar-mandir nggak jelas. Pusing Mama lihatnya!" timpal Anggi seraya memijat pelipisnya yang berdenyut.

"Hamzah panik, Ma, panik. Takut Hamna kenapa-kenapa."

"Berdoa, bukannya kayak gini," tegur Lingga.

Hamzah pun menurut, tapi dia duduk dengan sangat resah.

"Ya Allah, Hamzah, paniknya kamu ngelebihin paniknya Haikal tahu. Nggak ingat dulu, kamu malah ceng-cengin dia, eh sekarang kamu malah lebih parah!"

"Dulu, kan Hamzah nggak tahu kalau ternyata rasanya akan secampur aduk gini, Ma," protesnya menyangkal.

"Itulah yang dinamakan dengan ketulah, Nak Hamzah," sahut sang ibu mertua seakan menyudutkan.

Pria itu meringis pelan. "Ya udah nanti Hamzah ziarah sekaligus minta maaf ke makamnya Haikal, Ma, Bu, Yah, Pak."

Anggi menunjukkan jempolnya ke arah sang putra. "Bagus. Sekarang tahu, kan gimana perjuangan seorang ibu untuk melahirkan anaknya. Banyak-banyak bakti kamu sama Mama, sama Hamna juga. Kalau mau ngelakuin hal-hal aneh, pikir ulang. Inget sama momen sekarang."

Hamzah mengangguk tegas. "Iya, Ma, iya maaf kalau Hamzah punya banyak dosa dan salah sama Mama."

"Iya, Ham, bercanda Mama. Kamu udah sangat berbakti sama Mama kok," sahutnya begitu bangga.

"Hamzah janji nggak akan banyak protes lagi kalau Hamna suka marah-marah nggak jelas. Suka tiba-tiba nabok, nendang, dan judesin Hamzah. Pokoknya mau dia berulah sampai bikin kepala Hamzah pusing juga nggak papa, asal sekarang dia sehat dan selamat. Udah itu aja," katanya entah sadar ataupun tidak.

"Janji lho, ya? Mama udah rekam ini buat ditunjukkin ke Hamna. Awas kalau kamu ingkar janji," ujar Anggi seraya menunjukkan gawainya.

BERSAMBUNG—

Padalarang, 17 Februari 2024

Ngaku siapa yang senyum-senyum sendiri baca part kali ini. Hayoh, lho? 🤭😅

Kuyy lha, masih mau digasskeun?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro