RS | Part 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

ANGGI geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang menantu yang tengah sibuk memasang nursing cover, padahal di dalam ruangan itu hanya ada mereka bertiga, yang tidak lain ialah mertua serta suaminya sendiri.

"Apa saya perlu keluar dulu? Repot sekali kelihatannya kamu," ujar Hamzah tiba-tiba.

Hamna menggeleng kecil. "Nggak repot kok, cuma mungkin belum terbiasa aja. Maklum masih pemula," sangkal perempuan tersebut.

Anggi yang tengah menggendong cucu perempuannya berdecak pelan. "Sudah selesai belum ini? Cucu Mama butuh asupan ASI."

"Udah, Ma. Kepalanya di kanan ya, Mama juga yang kasih bayinya ke saya. Nggak bisa saya kalau harus ngambil dari gendongan Mama," ujar Hamna begitu blak-blakan.

Anggi menurut tanpa protes, sebisa mungkin untuk saat ini dan seterusnya dia berusaha untuk mengerem mulut, agar tak terlalu frontal jika berbicara dengan menantunya tersebut.

Hamna mendongak dan menatap Anggi saat dia sudah berhasil menggendong buah hatinya, tapi dia terlihat kebingungan saat mulut putrinya selalu terlepas dari areola, lingkaran hitam di sekitar puting.

Tanpa diminta Anggi langsung turun tangan untuk membantu menantunya. Dalam hati dia menahan diri untuk tidak mengomel, walau pada nyatanya sangat ingin melakukan hal tersebut.

Itulah pentingnya ilmu dan pengetahuan, perkara menyusui yang kerap kali dianggap gampang nyatanya tidak semudah yang dibayangkan.

Hamna meringis kecil saat mulut mungil sang putri mulai menyesap ASI-nya.

"Sakit?" tanya Anggi lembut.

Hamna mengangguk pelan.

Anggi melirik ke arah sang putra. "Ham, belikan pelembab puting yang mengandung minyak zaitun untuk Hamna. Kasihan dia, kalau perlu beli juga bantal menyusui supaya Hamna merasa nyaman, dan posisi bayinya pun aman," pintanya.

"Hamzah sudah belikan, tapi Hamna menolak untuk menggunakannya. Dia mencurigai Hamzah modus dan sok tahu, padahal dianya aja yang suuzan terus," jawab Hamzah seraya mengambil tas yang berada di dalam nakas samping brankar.

Hamna menampilkan cengirannya. "Bukan suuzan, tapi ya saya heran kok cowok tahu soal kayak gituan. Wajar dong kalau waspada?"

Anggi mengambil alih benda yang diserahkan sang putra. "Justru itu bagus, Na, tandanya Hamzah belajar dan mau mengamalkan. Apalagi istrinya modelan kamu, emang harus Hamzah yang lebih banyak berperan. Coba pelan-pelan belajar, cari tahu, apalagi sekarang kamu sudah jadi ibu."

Hamna pun mengangguk patuh.

"Sekarang tahan dulu sakitnya, nanti juga terbiasa. Kamu juga harus rajin buat rawat putingnya supaya nggak lecet dan sakit, dikompres pake air hangat atau air dingin kalau ada waktu luang. Dijaga kebersihannya, jangan jorok, harus selalu cuci tangan karena mau bagaimanapun ASI itu asupan paling utama untuk bayi," petuahnya.

Lagi-lagi Hamna mengangguk patuh. Dia menyadari betul akan kesalahannya yang terlalu menggampangkan sesuatu.

Anggi menyingkap nursing cover yang digunakan Hamna. "Lepas, Na, lepas. Kamu itu harus melihat secara jelas wajah putri kamu saat menyusui, apalagi ini yang pertama bagi kamu. Sekilas menyusui itu seperti mudah, tinggal menyodorkan payudara ke mulut bayi, tapi dalam praktiknya susah, kan?"

Bukannya menanggapi perkataan sang mertua, dia malah melihat ke arah suaminya yang seketika memalingkan wajah ke lain arah.

"Saya nggak lihat apa-apa, Hamna. Jangan hadiahi tatapan penuh waspada," ujar Hamzah.

"Saya malu, A Hamzah."

Anggi menggeleng beberapa kali. "Kalian nikah udah mau jalan dua tahun, kan? Malu kok dijadikan alasan, inget kalian ini sudah halal. Udah ada anak juga, kan."

Hamzah berjalan mendekat ke arah istri serta ibunya, ikut bergabung untuk duduk di brankar. "Bukan malu, mungkin belum terbiasa aja. Iya, kan, Na?" sahutnya.

"Mama jadi curiga, sebetulnya pernikahan kalian ini sehat nggak sih? Nggak wajar aja rasanya suami istri bertingkah laku seperti kalian."

Belum sempat Hamzah menjawab, perhatian mereka langsung teralihkan pada Hamna.

"Ishhh, pelan-pelan, Sayang. Sakit," desis Hamna spontan menarik payudaranya. Hal itu jelas membuat bayi kecil tersebut menangis sejadi-jadinya.

Anggi mengambil alih cucunya, dia gendong dan timang-timang supaya tangisnya mereda.

Hamna menatap lekat bagaimana sang mertua yang begitu cekatan. Meskipun mertuanya itu kerap kali bermulut pedas, tapi pada nyatanya memang baik dan penuh akan kasih sayang.

Mulai sekarang dia harus lebih bersyukur serta bersabar, tidak hanya berpusat pada salah satu kekurangannya saja.

"Pakai ini supaya ASI-nya nggak rembes, kamu pasang sendiri saya nggak mau dikira modusin istri sendiri," titah Hamzah berhasil menyadarkan Hamna.

Refleks Hamna pun langsung melakukan titah Hamzah secepat mungkin. "Dari tadi Aa lihatin saya ya!"

"Kamu ada di depan saya, ya jelas saya lihat. Sudah jangan mendebat. Didengar Mama kena amuk nanti kita," selanya.

"Maaf atuh, A, maaf. Saya nggak maksud apa-apa kok. Saya usahakan untuk mulai terbiasa. Saya masih kagok, malu, canggung, perasaannya campur aduk. Nggak bisa dijelaskan," cicit Hamna seraya menunduk.

Hamzah mengelus lembut puncak kepala Hamna. "Iya saya tahu, kita sama-sama berproses ya. Tapi, kalau di depan Mama, jangan terlalu kentara. Mama itu kelewat peka, Na."

Hamna pun mengangguk setuju.

Bisa-bisanya mereka berbicara dengan nada rendah, dan itu dilakukan di dekat orangnya langsung. Beruntung jarak Anggi agak terlalu jauh, karena tengah asik menimang sang cucu. Kalau tidak, tamat sudah riwayat mereka berdua.

"Lagi bisik-bisik apa kalian, hm?" seloroh Anggi saat sudah berhasil menenangkan cucunya.

Hamzah dan Hamna kompak menggeleng pelan.

Dia menyerahkan kembali cucunya pada Hamna sehati-hati mungkin. "Na, manfaatkan waktu yang singkat ini untuk membangun bonding dengan buah hati kamu, sebelum dia benar-benar nggak bisa kamu lihat dan gendong lagi. Kamu hanya punya satu hari, dan itu sangat sebentar."

Anggi mengecup pelipis Hamna. "Mama tahu ini nggak mudah untuk kamu, tapi Mama harap kamu bisa kuat. Maaf ya, perpisahan kalian ada andil usul Mama di dalamnya."

Mata Hamna memanas seketika, air matanya meluruh tanpa diminta. Dia peluk tubuh mungil sang putri begitu erat, rasa ikhlas yang dia ungkapkan beberapa jam lalu nyatanya tidak lagi berlaku.

Melihat bagaimana teduh dan polosnya wajah sang buah hati, membuat dia ingin menarik kembali seluruh kalimat yang sudah dikatakannya pada Hamidah. Nyatanya, ikhlas itu memang tidak mudah.

"Anak cantik, anak manis, shalihah-nya Buna, maafin Buna ya. Insyaallah suatu hari nanti kita akan bertemu kembali. Jadi sebaik-baiknya perhiasan dunia, jangan kayak Buna," katanya seraya mengelus penuh sayang pipi sang putri kecil.

Hamzah berusaha menenangkan istrinya dengan cara mengelus punggung Hamna penuh perhatian. "Kalau memang kamu berubah pikiran, saya nggak keberatan untuk menjalani hukuman. Melihat air mata kamu berderai, justru menambah rasa sakit di hati saya. Saya akan baik-baik saja, walau harus hidup di penjara."

Bukannya mereda, tangis Hamna malah kian pecah. Dia berusaha untuk menahan isakan agar tak mengganggu tidur sang putri kecil.

"Saya yang nggak akan baik-baik aja kalau sampai Aa dipenjarakan," katanya seraya menatap Hamzah begitu lekat.

Kini tatapan Hamna beralih pada Anggi. "Mama saya mau minta tolong boleh?"

"Apa, Na? Boleh atuh."

Dia melihat pada putrinya cukup lama, hanya diam dengan pandangan sulit terbaca, lantas berkata, "Saya nggak siap kalau harus bersama putri saya terlalu lama. Itu akan membuat goyah keputusan saya, Mama mau mengantarkan putri saya pada Bu Hamidah sekarang, kan?"

BERSAMBUNG

Padalarang, 03 Februari 2024

Huhu, tarik napas dulu ah biar rileks dikit 🤣😂✌️ ... Up dua hari berturut-turut nih, boleh kali diramaikan kolom komentarnya 🤭☺️

Gaskennn??

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro