RS | Part 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Terkadang, keadaan bisa membuat seseorang tanpa sadar saling menyakiti satu sama lain."

Rintik Sendu
by Idrianiiin

HAMNA tidak pernah mengira bahwa ternyata tinggal seatap dengan mertua semengerikan itu adanya. Selama ini dia hanya sebatas mendengar dari cerita orang-orang, ataupun melihat dari beberapa postingan yang tersebar luas di jejaring maya.

Sebagian besar wanita yang kerapkali mengeluhkan, karena katanya perempuan lebih susah diterima oleh pihak keluarga laki-laki, ternyata itu benar-benar fakta dan sekarang dia mengalaminya.

Berbanding terbalik dengan keluarganya yang menyambut Hamzah dengan tangan terbuka lebar. Kedua orang tuanya pun memperlakukan Hamzah selayaknya anak mereka sendiri. Kadang kala dia diliputi rasa iri, kenapa Hamzah tidak mendapat perlakuan serupa sebagaimana dirinya?

Atau mungkin akan lebih baik, kalau dia bisa diperlakukan dengan layak oleh ibu mertuanya. Tak usah muluk-muluk untuk dianggap sebagai anak, sekadar dianggap ada dan sedikit beramah-tamah pun tak apa. Karena jujur, dia pun lelah kalau setiap hari harus terlibat perdebatan sengit.

Di mata Hamna mertua layaknya seorang rival yang harus senantiasa dia lawan, lengah sedikit dia yang akan tumbang dan menjadi korban.

"Na buatkan minuman untuk Nak Hamzah, bukan malah leha-leha kayak gitu," tegur Irna yang merupakan ibunya.

Dengan langkah malas, Hamna pun menuruti titahnya. "Mau minum apa, A?"

"Terserah kamu, yang sekiranya nggak merepotkan saja," jawab Hamzah yang sudah memahami gelagat kemalasan di wajah sang istri.

"Nggak boleh berwajah masam seperti itu di hadapan suami, Na. Dosa," tegur Irna.

Hamna hanya mengangguk lalu melengos ke dapur menyiapkan air keran untuk minum suaminya. Karena hanya minuman itu yang tak membuatnya kerepotan.

"Silakan diminum air kerannya," tutur Hamna setelah meletakkan nampan di atas meja.

"Hamna nggak baik kayak gitu!"

"Bercanda doang itu, lagian mana mungkin Hamna kasih A Hamzah air keran. Itu air putih dari galon yang ada manis-manisnya, Bu," sahut Hamna.

Dia tidak mungkin sesadis itu untuk menghidangkan air keran. Dia hanya bergurau, tapi ibunya malah menganggap hal tersebut serius.

"Haleezanya nggak dibawa Nak Hamzah?"

"Nggak, Bu, ditinggal di rumah sama Mama," sahut Hamzah.

"Hamna nggak macem-macem, kan?"

Hamzah tak langsung menjawab, dia menoleh singkat ke arah Hamna yang tengah memberinya pelototan sadis. "Jangankan macam-macam, Bu, satu macam saja sudah buat saya memar-memar."

"Apaan sih nggak jelas banget, pake ngadu-ngadu segala sama Ibu," sela Hamna tak terima.

"Ibu tanya buat dapat jawaban, bukan Nak Hamzah yang  sengaja ngaduin kelakuan kamu sama Ibu. Ketus banget kamu sama suami, Na. Jangan kayak gitu atuh," tegurnya.

"Berasa ternistakan, di rumah sendiri padahal!"

Hamzah terkekeh pelan. "Nggak, Bu, Hamna baik sama saya, baik banget malah. Nggak ada duanya, Ibu nggak usah khawatir ya."

Hamna memutar bola mata malas. "Bapak lagi pencitraan di depan saya? Maaf nggak akan mempan!"

Irna menggeleng kecil. "Yang benar atuh, Na kalau panggil suami itu, masa Nak Hamzah kamu panggil 'bapak', jangan ngaco kamu."

"A Hamzah, kan memang sudah tua, lebih cocok Hamna panggil bapak, dibanding Aa!"

"Maafkan Hamna ya, Nak Hamzah, dia itu anaknya emang suka ceplas-ceplos kalau ngomong. Nggak ada saringannya, suka sembarangan. Pokoknya kalau Hamna lagi koar-koar nggak usah ditanggapi saja ya, jangan dimasukan ke hati."

Hamna mendelik, ibunya ini memang sangat suka sekali membuka aib anak sendiri. Bukannya disanjung-sanjung, yang ada malah disudutkan. Hamna jadi sedikit mempertanyakan, sebetulnya yang berstatus sebagai anak kandung itu siapa?

Dirinya atau Hamzah.

"Mau nginap di sini atau hanya mampir?" tanya Irna kemudian.

"Maunya Hamna nginap di sini, tapi nggak bisa karena terkendala izin mertua," katanya blak-blakan.

Irna tersenyum tipis. "Ya, sudah lain waktu juga, kan bisa, Na. Mungkin mertua kamu itu ingin betul-betul mengenal kamu, jangan kesel gitu ah."

Rasanya mulut Hamna gatal ingin sekali berterus terang ihwal perlakuan sang mertua padanya yang kelewat kejam. Tapi, dia masih punya hati dan memikirkan perasaan Hamzah jika sampai fakta itu sampai di telinga sang ibu.

Hamna hanya berdehem sebagai respons.

"Istirahat dulu sebentar di sini, nanti ba'da magrib baru pulang. Ayah nanyain kamu terus, Na, berasa kehilangan anak gadisnya yang cerewet semenjak kamu nikah," ujar Irna.

"Ayah emangnya belum pulang, Bu?"

"Sebentar lagi juga pulang, Na. Ajak Nak Hamzah istirahat dulu gih, pasti capek pulang ngajar langsung kamu bawa ke sini. Terus kamu bantu Ibu di dapur."

Hamna menghela napas singkat. "Ibu mau rumah kita kebakaran lagi? Lupa kalau gara-gara Hamna ikut masak bantuin Ibu, rumah kita jadi hangus tak tersisa."

"Ya jangan sampai atuh, Na. Itu, kan gara-gara keteledoran kamu yang lupa matiin kompor. Ini rumah baru, mana pemberian dari mantu lagi, jangan sampai deh. Nauduzbilahimindzalik."

"Maka dari itu lebih baik Hamna juga istirahat," sahutnya enteng tanpa dosa.

"Ibu nggak usah masak, saya pesankan makanan saja bagaimana? Ibu mau makan sama apa?" tanya Hamzah menawarkan.

"Nggak usah repot-repot, Nak Hamzah, lagi pula ada bahan masakan di dapur kok."

"Sama sekali nggak merepotkan, Bu. Nggak setiap hari juga, yang di dapur buat besok saja ya."

Hamna melengos menuju kamar. "Pencitraan terus. Carmuk sampai mampus!"

Irna geleng-geleng melihat kelakuan anak bungsunya. "Maafin Hamna ya, Nak Hamzah. Ibu jadi nggak enak, kelakuan Hamna sangatlah buruk. Apa dia memang selalu bersikap seperti itu?"

Hamzah tak menjawab dengan gamblang, tapi senyum tipis yang dia tampilkan sudah cukup memberi Irna jawaban.

"Ya sudah Nak Hamzah istirahat dulu saja, Ibu juga mau ke dapur buat masak. Jangan sungkan-sungkan, kalau perlu apa-apa bilang sama Ibu ya."

Hamzah mengangguk patuh, lalu pamit untuk menyusul Hamna ke kamar.

"Na kalau di depan orang tua kamu, jangan terlalu memperlihatkan rasa tidak suka kamu terhadap saya, bisa?"

"Emangnya kenapa?"

"Saya tidak ingin membuat mereka kepikiran, apalagi pernikahan kita ini masih dalam hitungan hari."

"Saya itu iri sama Bapak!"

"Iri kenapa, Na?"

"Ibu saya bisa memperlakukan Bapak selayaknya anak sendiri. Tapi Ibu Anda tidak bisa memberikan apa yang telah Ibu saya berikan untuk Anda. Menurut Bapak apakah itu adil?"

Hamzah merapatkan matanya sejenak. "Perkataan kasar kamu itu wujud dari kekecewaan?"

"Ya Bapak pikir saja sendiri. Masih nanya lagi!"

"Maafkan Mama ya, Na, beliau belum bisa melakukan hal serupa sebagaimana yang telah ibu kamu lakukan. Saya tahu, kamu pasti sudah sangat bosan dan muak dengan permohonan maaf saya, tapi saya tidak bisa melakukan lebih dari ini."

"Belum bisa atau nggak akan pernah bisa?!"

"Belum, Na, belum. Saya akan berusaha untuk meyakinkan beliau kalau memang kamu adalah orang yang tepat untuk saya mendampingi saya," tutur Hamzah.

Hamna menepis tangan Hamzah yang hendak menggenggamnya. "Saya itu nggak butuh janji, tapi butuhnya bukti."

"Iya, saya akan berusaha semampu saya, Na."

BERSAMBUNG

Padalarang, 18 November 2023

Maaf update kemalaman, sistem kebut semalam soalnya 🤣 ... Kalau ada typo tolong diingatkan ya ☺️

Penikmat setia kisahnya Hamzah dan Hamna masih ada, kan? Masih mau melihat perjuangan mereka, atau dicukupkan saja? 😅😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro