RS | Part 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Namanya juga rumah tangga, pasti banyak huru-hara dan juga dramanya."

Rintik Sendu
by Idrianiiin

HAMNA mengerjapkan matanya secara perlahan, dia terperanjat kaget kala melihat Hamzah yang tengah tertidur di sampingnya. Sontak dia pun membuka selimut, memastikan tubuhnya masih memakai pakaian lengkap, bahkan dia pun meraba kepalanya yang masih tertutup hijab terusan.

Dia mendorong tubuh Hamzah hingga terguling ke bawah, dan sang empunya mengaduh kesakitan seraya mengucek mata kasar. Hamzah sudah menduga, kalau hal semacam ini akan mewarnai pagi mereka.

"Bapak gila. Kenapa bangun-bangun saya ada di kamar hotel!"

Hamzah berjalan menuju ranjang dan duduk di sana menghadap Hamna. "Memangnya salah kalau saya membawa istri sah saya ke hotel? Saya rasa tidak ada. Mana tega saya melihat kamu terlelap di kursi mobil, badan kamu pasti akan pegal-pegal, Na."

"Bohong! Bapak modus, kan sama saya. Bapak berniat buruk, kan sama saya, Bapak pasti ngapa-ngapain saya, kan pada saat tidur!"

Hamzah menghela napas singkat. "Pakaian kamu masih utuh, Na, bahkan kerudung pun masih terpasang apik. Seburuk itukah saya di mata kamu?"

"Ya, kan saya nggak sadarkan diri. Bisa saja Bapak melakukan hal tak senonoh terhadap saya?!"

"Kalau saya benar-benar melakukannya bagaimana? Itu hak saya, dan merupakan kewajiban untuk kamu. Ada masalah?"

Hamna berteriak histeris lalu memukul secara brutal tubuh Hamzah dengan bantal dan guling. "Dasar kurang ajar! Bisa-bisanya Bapak melakukan hal keji itu pada saya! Duda tidak tahu malu!"

"Stop, Na! Stop!" pinta Hamzah lalu melempar asal bantal dan guling yang Hamna jadikan sebagai senjata.

Dia memegang kedua tangan Hamna, yang terus memberontak. "Kamu bisa tenang sedikit?"

Hamna menggeleng tegas. Air mata sudah membayang dan siap meluncur bebas. "Bagaimana mungkin saya bisa tenang di saat saya sudah Anda lecehkan!"

Hamzah memeluk Hamna yang terus-menerus memukul dadanya. "Saya tidak sepicik itu, Na. Meskipun kamu halal untuk saya, tapi saya tidak mungkin menyentuh kamu tanpa persetujuan, apalagi di saat kamu hilang kesadaran. Kita hanya tidur, tidak lebih!"

Hamna mendongak, menatap lekat mata Hamzah yang menyorotkan kesungguhan.

Hamzah mengurai rengkuhannya, lalu menghapus air mata Hamna lembut. "Jangan nangis lagi ya, Na. Saya tidak bertindak melebihi batas, hanya sekadar menggendong kamu dari mobil ke kamar ini. Hanya sebatas itu, kamu percaya, kan sama saya?"

Hamna menggeleng kuat. "Saya nggak percaya. Omongan Bapak nggak bisa saya pegang!"

"Ya sudah, terserah kamu mau percaya atau tidak. Itu hak kamu, yang penting saya sudah berkata jujur apa adanya."

Hamna menggigit selimut. "Bagaimana kalau saya hamil?" cicitnya.

Hamzah geleng-geleng seraya tertawa. "Alhamdulillah, lha."

"Tuh, kan! Berarti benar Bapak sudah ngapa-ngapain saya!"

Hamzah semakin terbahak dan mengacak puncak kepala Hamna hingga membuat hijabnya sedikit berantakan. "Kamu lucu kalau lagi panik."

Saat itu juga botol air mineral yang berada di atas nakas melayang apik di kening Hamzah. "Bisa-bisanya Bapak mengatakan hal tersebut?! Benar-benar gila!"

"Kening saya benjol lagi ini, Na. Kamu sadis banget sih jadi perempuan," oceh Hamzah seraya memegang keningnya yang berdenyut ngilu.

Hamna turun dari ranjang lalu masuk ke dalam kamar mandi. Tak lupa dia pun membanting kasar pintunya hingga berdentum keras.

Hamzah menatap nanar kepergian istrinya. Dia benar-benar tak habis pikir, kelakuan Hamna bisa sebar-bar itu jika tengah panik dan ketakutan.

Padahal niatnya hanya mengerjai, tapi malah dia yang kembali menjadi korban. Memang kalau dengan Hamna, dirinya tidak bisa bermain-main dan bergurau. Anaknya terlalu serius.

Suara pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka, hanya kepala Hamna yang menyembul keluar. "Tas saya di mana? Bapak kemanakan pakaian-pakaian saya, hah?!"

Hamzah tertawa terpingkal-pingkal melihat kepala Hamna yang ditutup dengan handuk, dan hanya mengintip dari celah pintu. "Ya mana saya tahu!"

Hamna melempar sandal yang merupakan fasilitas dari hotel ke arah Hamzah. Tapi untuk kali ini meleset, karena Hamzah bisa mengamankan diri.

"Bapak jangan main-main ya sama saya!"

"Seharusnya kamu baik-baikin saya, Na. Bersikap manis terhadap saya, hanya saya yang bisa membantu kamu untuk mengambilkan pakaian."

Hamna menggeram dan semakin dibuat meradang. "Ambilkan tas saya sekarang juga!"

Hamzah bersandar di dinding dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Kaki saya malas untuk beranjak. Tidak mau saya!"

Hamna mengembuskan napas kasar dan merapatkan matanya sejenak. "Bapak Dosen yang baik hati, bisa tolong ambilkan tas saya?"

"Kurang lembut itu, senyumnya jangan terpaksa gitu dong. Yang manis kalau minta tolong sama suami," katanya dengan alis yang dinaik-turunkan.

Hamna menarik lepas kedua sudut bibirnya lalu berkata, "Aa tolong ambilkan tas istrimu yang cantik jelita dan baik hati tak tertolong ini, bisa?"

Hamzah menahan tawanya. "Kenapa kamu malah memuji diri sendiri sih, Na?"

"Kenapa Bapak banyak sekali protes sih. Ayolah, saya kedinginan ini!"

Hamzah pun mendekat ke arah Hamna.

"Bapak mau ngapain? Bapak jangan macam-macam, ya!" peringatnya bersiap untuk menutup pintu kembali.

"Katanya tadi minta tas, kenapa saya mendekat kamu malah panik?"

"Cukup letakan tas saya di depan pintu dan Bapak keluar dari kamar ini!"

"Kalau saya tidak mau?"

"Ya harus mau!"

"Itu namanya pemaksaan."

Hamna berteriak frustrasi. Sumpah demi apa pun pagi ini Hamzah sangat amat menyebalkan.

"Dimohon dengan sangat pada A Hamzah untuk beranjak dari kamar ini, dan letakan tas saya di dekat pintu kamar mandi. Tolong kerjasamanya ya, Aa?"

Hamzah manggut-manggut lalu menyerahkan tas Hamna sesuai instruksi.

"Bisa tolong keluar sekarang?"

Untuk kali ini Hamzah menggeleng tegas. Entah mengapa dirinya mendadak ingin mengerjai Hamna, dia merasa senang kala melihat wajah kesal Hamna dengan bibir mengerucut ke depan.

"Ayolah A Hamzah, berhenti menjahili saya!"

"Oke, tapi ada harga yang harus kamu bayar kalau menginginkan saya pergi dari kamar ini."

"Iya, iya, nanti saya akan bayar Bapak. Goceng, kan?"

"Uang segitu mana cukup."

"Cukup kalau di tangan suami yang tepat."

"Jadi menurut kamu saya ini tepat untuk dijadikan suami?"

Hamna ingin segera menyudahi percakapan absurd ini. "Ya, tepat sekali!"

"Jadi, kamu berubah pikiran, kan untuk menyudahi pernikahan kita?"

"Kalau itu lain lagi ceritanya!"

"Lalu?"

"Bapak tidak kasihan pada saya? Saya kedinginan ini. Kalau sakit dan masuk angin gimana? Memangnya Bapak mau tanggung jawab. Sudah ya, Pak cukup bincang-bincangnya," mohon Hamna penuh harap.

Hamzah mengangguk singkat. "Kamu mau sarapan apa, Na?"

"Terserah Bapak!"

"Mau makan di bawah atau dibawa ke kamar?"

"Terserah Bapak!"

Belum selesai Hamzah berbicara Hamna sudah lebih dulu menyela.

"Terserah, Bapak, pokoknya terserah. Sudah jangan banyak bicara. Keluar sekarang atau saya akan mengurus berkas-berkas perceraian ke pengadilan agama!"

Hamzah mundur secara teratur, lalu bergegas cepat keluar kamar hotel.

Saat Hamna menurunkan badan untuk mengambil tasnya yang berada di bawah, pintu kamar hotel terbuka dan menampilkan Hamzah yang melongo di tempatnya.

"Dasar Hamzah Duda Gila!" teriak Hamna seraya melempar handuk yang ada di kepalanya, lalu kembali masuk ke dalam kamar mandi.

BERSAMBUNG

Padalarang, 21 November 2023

Hamna kacau kalau lagi ngamuk 🤣 ... Bisa-bisa Hamzah babak belur karena ulah istrinya sendiri 😂

Gaskennn terus nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro