RS | Part 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Bukan orang tua namanya kalau tidak banyak minta dan menuntut anak serta menantunya."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

TAK terasa Hamna sudah menjalani masa kuliah selama setengah semester. Dia bisa sejenak bernapas untuk menikmati masa libur semester ganjil, meksipun singkat tapi lumayan bisa dipakai untuk mengistirahatkan otak.

"Mumpung lagi sama-sama punya waktu luang, lebih baik kalian liburan berdua," saran Lingga.

"Waktu libur lebih baik dipakai untuk rebahan, Yah," sahut Hamna.

"Nggak kepengin liburan gitu?"

"Saya yakin ada udang di balik batu. Liburan yang Ayah tawarkan bukan sembarang liburan," selidik Hamna penuh curiga.

"Lha, kok malah jadi buruk sangka sama Ayah, Na?"

"Bukan buruk sangka, tapi bentuk dari kewaspadaan."

Lingga dan Hamzah hanya geleng-geleng dan saling pandang mendengar jawaban Hamna.

"Anak tetangga yang bulan lalu nikah, sudah hamil. Lha, kalian nikah sudah lebih dari enam bulan nggak kunjung menunjukkan tanda-tanda," cetus Anggi yang baru saja ikut bergabung. Dia meletakan teh hangat beserta camilan di atas meja.

"Anak tetangga Ibu sudah DP duluan kali," sahut Hamna asal.

Hamzah berusaha untuk menahan tawanya. Mulut Hamna itu memang suka sembarangan dan asal jeplak.

"Kamu kali yang bermasalah!"

Bukannya tersinggung, Hamna malah tertawa. "Itu Ibu tahu. Saya, kan emang biang masalah ya."

"Ham!" desis Anggi menuntut penjelasan lebih.

"Hamna cuma bercanda, Mama nggak usah terlalu serius. Dia itu, kan anaknya suka asal jeplak."

"Memangnya kenapa kalau saya bermasalah? Mau kayak di sinetron-sinetron gitu? Anaknya dipaksa nikah lagi, poligami? Basi itu, Bu. Ada yang lain?"

Wajah Anggi semakin merah padam. "Kamu makin berani ya sama saya. Nggak ada etika dan sopan santunnya ngomong sama orang tua."

Dengan santainya Hamna menyomot jajanan pasar lalu melahapnya tanpa dosa. "Putri ayunya enak, Bu. Beli di mana?"

"Emang bener-bener ya kamu, Hamna!"

"Benar-benar apa, Bu? Benar-benar cantik, jelita, dan baik hati ya."

Hamzah menimpuk kepala Hamna dengan tutup toples. "Cukup, Na, kamu seneng banget bikin Mama darah tinggi."

Dengan entengnya Hamna kembali melempar tutup toples itu pada Hamzah. "Lebih baik kelebihan darah, daripada kurang darah. Kan kalau lebih, lumayan bisa dihibahkan."

Anggi menggeram kesal lalu meletakan kasar dua tiket pesawat tujuan Lombok di atas meja. "Besok kalian flight."

Hamna kegirangan seketika. "Widih, ke Lombok A Hamzah. Mau ke Gili Trawangan saya."

"Tadi katanya nggak mau liburan, Na?" tanya Lingga.

"Nggak mau liburan kalau keluar modal sendiri, Yah. Kalau ini, kan gratis. Sudah termasuk hotel dan penginapan, kan? Ongkos jajanannya juga ditanggung, kan?"

Hamzah menepuk jidatnya. Merasa malu melihat kelakuan istrinya sendiri.

"Semuanya saya yang tanggung dengan satu syarat."

"Apa, Bu syaratnya?" tanya Hamna antusias.

"Sepulangnya dari Lombok kamu harus kasih saya tespeck garis dua."

"Gampang itu, Bu, gampang bisa dibicarakan. Sip, deh berangkat ke Lombok kita A Hamzah," seru Hamna heboh.

Hamzah dibuat melongo di tempatnya. "Kamu serius, Na?"

"Duarius kalau perlu, syaratnya gampang. Lumayan liburan gratis."

Untuk kali ini Hamzah benar-benar pening, dia memijat pelipisnya yang berdenyut.

"Za menginap di rumah Oma sama Opa dulu ya, Sayang?" cetus Lingga.

"Za mau ikut sama Papa dan Buna," rengeknya.

"Tiketnya hanya dua, nanti kita liburan sekeluarga kalau ada waktu panjang ya," bujuk Anggi.

"Nanti Buna kasih Za oleh-oleh, ya. Za jangan sedih, oke?"

Haleeza mengangguk pelan, tapi matanya sudah memerah menahan tangis.

Dengan sigap Hamna menggendong Haleeza dan membujuknya dengan berbagai macam cara, sampai bocah kecil itu akhirnya bisa kembali tertawa.

"Ya sudah lebih baik kalian pulang sekarang untuk berkemas, flight-nya pagi-pagi. Jangan sampai terlambat," titah Lingga.

Entah keberanian dari mana Hamna menggandeng Hamzah lalu berpamitan pada mertuanya.

"Kamu sehat, kan, Na?" tanya Hamzah khawatir.

Hamna memakai sabuk pengaman terlebih dahulu lalu berkata, "Sehat, lha, emang saya kenapa?"

"Hari ini kamu aneh!"

"Hanya perasaan Bapak saja kali."

Hamzah tak ingin ambil pusing, dia lebih memilih untuk melajukan mobilnya. Menanggapi ocehan Hamna, malah semakin membuat pening di kepalanya bertambah.

"Pokoknya ni ya, A sesampainya di Lombok saya mau langsung ke Gili Trawangan. Itu list paling wajib, mau makan ayam bakar taliwang. Pokoknya banyak deh, nanti akan saya list supaya nggak lupa."

"Kamu beneran nggak keberatan sama syarat yang Mama ajukan?"

"Ya nggaklah, kenapa juga harus keberatan."

Saat itu juga Hamzah menginjak pedal remnya secara mendadak. "Seriusan, Na?"

"Pelan-pelan dong, Pak kalau mau ngerem. Pake aba-aba jangan mendadak!" dumelnya.

Hamzah memutar tubuh untuk menghadap Hamna. "Jawab dulu pertanyaan saya, kamu serius nggak keberatan sama syarat yang Mama ajukan?"

"Nggak, emang kenapa sih? Orang cuma kasih tespeck garis dua doang juga. Tinggal mungut di tong sampah, pasti nemu."

Hamzah diam tak bisa berkata-kata. Isi kepala istrinya itu memang sangat susah dibaca. "Bukan itu maksud Mama, Na. Masa harus dijelaskan secara detail sih."

"Nggak usah Aa jelaskan juga ngerti saya. Tapi, ya bodo amat yang penting saya bisa liburan gratis. Nanti pulang tinggal ngorek-ngorek tempat sampah buat nyari tespeck garis dua."

"Itu namanya kamu bohongin Mama saya."

"Saya nggak bohongin Ibu Anda, yang salah itu Ibu Anda, kenapa hanya minta syarat tespeck garis dua. Kan, nggak ada keterangan kalau tespeck itu harus milik saya. Bener nggak? Bener dong!"

Hamzah kembali melajukan mobilnya. "Bisa ngamuk Mama kalau sampai kamu ngibulin dia!"

"Saya nggak ngibulin Ibu Anda ya. Makanya kalau kasih syarat harus jelas dan terperinci, jangan gamang kayak tadi!"

"Saya nggak habis pikir sama kamu, Na."

"Ya sudah jangan mikirin saya, kan nggak ada untungnya juga buat Aa."

Hamzah angkat tangan, dia menyerah menghadapi istrinya yang memiliki pemikiran aneh di luar nalar.

Hamna bersenandung kegirangan, dia sudah sangat tidak sabar untuk menikmati masa liburannya di Lombok. Baru kali ini dia bisa keluyuran jauh, dengan biaya 0 rupiah. Benar-benar nikmat yang patut untuk disyukuri.

Sesampainya di rumah, Hamna bergegas mengambil koper dan menyusun rapi pakaian serta perintilan lain yang sekiranya dia butuhkan.

"Kenapa Aa nggak berkemas?" tanya Hamna saat melihat Hamzah malah merebahkan tubuhnya di kasur.

"Mending nggak usah ke Lombok kalau niat kamu sudah nggak betul, Na. Bisa-bisa saya digorok Mama kalau sampai kamu benar-benar merealisasikan ide gila kamu itu."

"Emangnya Aa, Nabi Ismail apa? Nggak mungkin tega juga kali Ibu Anda menyembelih anaknya sendiri, mana satu-satunya lagi. Nggak akan mungkin itu."

"Ya sudah sana kamu saja yang pergi sendiri ke Lombok!"

"Kok malah ngegas sih!"

"Ya kamu juga sih, Na hobi banget cari penyakit. Kamu kira berurusan sama Mama akan mudah gitu, nggak!"

"Jangan salahin saya, yang salah itu Ibu Anda yang nggak pandai mengolah kata."

Suara dentingan gawai menghentikan perdebatan di antara keduanya. Hamzah menatap tanpa minat pesan yang baru saja dikirimkan oleh sang ibu.

"Buka dulu vn-nya itu, dengerin. Siapa tahu mau nambahin uang saku, kan."

Hamzah menjitak kepala Hamna. "Sudah nggak beres emang otak kamu, Na. Isinya uang mulu!"

Hamzah menyalakan voice note dengan volume full agar Hamna bisa mendengarnya dengan jelas. Dia tidak ingin istrinya itu salah menduga dan mengartikan lagi.

"Ham bilangin sama istri kamu, tespeck yang Mama maksud itu tespeck miliknya Hamna, bukan orang lain. Harus sertakan foto USG 4D juga ya."

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 25 November 2023

Langsung pingsan tuh si Hamna pas denger vn dari mertuanya 🤣🤣😅 ... Sorry, Na ada ralat syarat, kurang lebih begitu yang dikatakan oleh Mama Anggi ☺️

Masih mau digasskeun guys?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro