RS | Part 35

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Perempuan memiliki insting yang kuat, bahkan validasinya bisa sangat akurat."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

HAMNA menggeliat dalam tidurnya, dia pun menepuk-nepuk sisi ranjang yang ternyata sudah kosong. Dia mengucek matanya lalu bersandar dan menatap sekeliling, mencari keberadaan seseorang.

Saat telinganya menangkap suara gemericik air, dia melihat ke arah kamar mandi. Tak lama dari itu Hamzah keluar sudah dengan pakaian lengkap, sebuah kaos oblong serta celana pendek sebatas lutut dikenakannya.

Tanpa banyak bicara, dia membantu Hamna untuk menuju kamar mandi. "Sebentar lagi azan subuh, bersih-bersih dulu ya, Na."

Hamna hanya mengangguk lalu menutup rapat pintu kamar mandi. Tak memerlukan waktu lama, dia sudah menyelesaikan ritual bersih-bersihnya.

Saat keluar, dia sama sekali tak mendapati Hamzah berada di sana. Tapi tempat tidur sudah kembali rapi, bahkan ada pakaian ganti untuknya. Senyum Hamna sedikit tertarik saat membaca secarik kertas yang berada di atas pakaian tersebut.

Saya ke masjid dulu, pakaiannya sudah saya siapkan. Dipakai ya, Na. ;)

Terdengar kumandang azan saling bersahutan, dengan segera dia memakai pakaiannya. Menggelar sajadah, lantas menggunakan mukena untuk memulai salat

Hamna beranjak keluar kamar saat sudah menuntaskan kewajibannya. Dia berjalan menuju dapur, melihat isi kulkas untuk mencari bahan masakan yang sekiranya bisa dimasak.

"Assalamualaikum," suara salam menguar, berhasil menghentikan kegiatan Hamna yang tengah membersihkan beberapa potong ayam.

"Wa'alaikumusalam," jawab Hamna saat Hamzah sudah menghampiri dan berdiri tak jauh darinya.

Hamzah melepas kopiahnya terlebih dahulu. "Saya bantu. Mau masak apa, Na?"

Suasana mendadak canggung, bahkan Hamna beberapa kali berdehem untuk menormalkan suaranya. "Menurut Aa lebih baik ayam ini dimasak apa?"

Hamzah terkekeh. "Saya bertanya, kenapa malah balik bertanya, hm?"

Hamna sedikit menggeser posisi, merasa jarak di antara keduanya terlalu dekat. "Ayam suwir?"

"Boleh." Dengan telaten Hamzah mengambil alih ayam yang baru saja selesai dicuci bersih oleh Hamna, untuk dimasukan ke dalam panci beserta rempah-rempah supaya bau amisnya hilang.

Hamzah mengambil alat penghalus, lalu memasukan cabai, bawang, serta bumbu-bumbu lainnya hingga benar-benar halus dan siap untuk ditumis di dalam wajan.

Sedangkan Hamna sedikit melipir untuk melihat nasi yang sebelumnya sudah dia masak di dalam magic com. Saat dirasa sudah matang, dia mengambil dua centong nasi untuk disimpan ke atas piring.

Dia angin-anginkan nasi yang masih mengepulkan asap panas itu. Lalu kembali menghampiri Hamzah yang kini sudah mulai menyatukan bumbu serta ayam di atas penggorengan. Wanginya yang semerbak, membuat perut kian keroncongan.

"Makan di mana?" tanyanya saat sudah memindahkan ayam suwir kemangi ke atas piring, tak lupa ada beberapa pcs nugget yang juga sudah dia goreng.

Hamna menunjuk ke arah ruang tengah, di mana dia sudah menyiapkan nasi untuk suaminya. Hamzah mengangguk lalu mereka jalan beriringan, dan duduk lesehan.

"Enak, Na?" tanyanya.

"Apanya yang enak?"

"Ayam suwirnya, lha, Na. Kamu kenapa? Perasaan jadi banyak diem," seloroh Hamzah penuh keheranan.

"Nggak, nggak papa. Enak kok, enak."

Hamzah hanya manggut-manggut saja. Lalu kembali melanjutkan kegiatan makannya dalam keheningan.

"Saya mau ajak kamu ke suatu tempat."

"Ke mana?"

"Rahasia."

Hamna memutar bola mata malas, lalu membereskan piring-piring kotor untuk dibawa ke wastafel.

"Nggak asik banget main rahasia-rahasiaan!"

Hamzah terkekeh lalu mengejar langkah istrinya. "Kita ziarah ke makam Hanin sama Haikal, ya."

Tangan Hamna yang hendak mengambil sabun terhenti beberapa saat. "Haleeza dibawa?"

Sebuah gelengan Hamzah berikan. "Hanya kita, berdua. Saya pernah mengatakan ingin membawa kamu ke sana, kan? Mumpung sekarang Haleeza masih menginap di rumah Mama."

"Iya, boleh."

"Ya sudah kamu siap-siap dulu gih, cuci piringnya biar saya yang lanjutkan. Tinggal dibilas doang, kan," titah Hamzah.

Hamna menurut tanpa banyak protes. Entah kenapa, dia jadi merasa akward kalau harus terlibat perbincangan dengan suaminya. Ada perasaan aneh yang membuat dia malu setengah mati.

Jadi, akan lebih baik memang untuk saat ini sedikit menjaga jarak dulu. Tidak banyak terlibat obrolan, dan lain sebagainya yang berdampak tidak baik untuk kesehatan jantungnya yang kerapkali berdebar-debar.

°•°•°||°•°•°

Rasanya sudah cukup lama dia tak mengunjungi tempat peristirahatan terakhir sang adik. Ternyata sakit akan kehilangan masih tergambar jelas, bayangan wajah Hanin seolah enggan menghilang. Bahkan, dia masih mengingat betul kondisi sang adik yang tengah berlumuran darah saat di TKP beberapa tahun lalu.

Mendapati sudut mata Hamzah yang berair, sedikit ragu dia mengelus punggung suaminya untuk menguatkan. "Insyaallah Hanin sudah tenang di sisi Allah."

Hamzah melirik Hamna sekilas. "Aamiin, Na."

Dia mengelus nisan Hanin lembut. "Sekarang Aa nggak sendiri lagi kalau ke sini. Kamu pengin banget, kan lihat Aa gandeng perempuan? Sekarang Aa mau pamer sama kamu, Nin."

Hamna tersenyum tipis. Matanya tiba-tiba memanas melihat interaksi satu arah yang tengah Hamzah lakoni. Tidak ada kehilangan yang tidak menyakitkan, meksipun sudah berlangsung lama, tapi tetap saja tidak mudah untuk melupakannya.

"Haleeza sudah besar sekarang, dia tumbuh jadi gadis kecil yang menyenangkan. Sama seperti kamu, yang selalu ceria dan menghangatkan suasana. Dia juga sangat dekat dengan Hamna, istri Aa."

Hamzah merangkul pundak Hamna. "Janji Aa untuk mencarikan ibu sambung yang baik dan tulus menyayangi Haleeza sudah terpenuhi ya, Nin. Insyaallah putri kamu nggak akan merasa kekurangan kasih sayang berada di tangan Hamna dan juga Aa. Kamu yang tenang di sana. Sudah jadi bidadari surganya Haikal, kan?"

"Aa pamit pulang dulu ya, Nin. Insyaallah nanti Aa dan Hamna akan lebih sering mengunjungi kamu," katanya dengan helaan napas panjang.

Dia seakan enggan untuk melangkah pergi, bahkan kini dia pun kembali melangitkan banyak doa-doa terbaik. Padahal, tadi pada saat tiba, sudah memanjatkan doa terlebih dahulu.

Saat baru saja berdiri, mereka dikagetkan dengan suara seseorang dari arah belakang.

"A Hamzah?"

"Zanitha."

"Kalau tahu akan ke sini, tadi kita bareng berangkatnya, Ham," cetus Dipta kemudian.

"Saya nggak tahu kalau kalian juga akan ke sini."

Zanitha tersenyum tipis. "Sudah lama saya tidak mengunjungi Hanin, rindu."

Hamzah terkekeh pelan. "Ya sudah kalau gitu kita duluan."

"Nggak mau bincang-bincang dulu nih? Sudah lama lho kita tidak bersua," sahut Dipta.

"Boleh, boleh, saya tunggu di parkiran kalau gitu. Kalian ziarah dulu saja."

Zanitha dan Dipta mengangguk setuju.

"Siapa?" tanya Hamna saat mereka sudah sampai di parkiran.

"Teman lama."

Hamna hanya ber'oh' ria dan manggut-manggut.

"Kelihatanya perempuan bernama Zanitha itu sangat dekat dengan Hanin. Teman Aa dan Hanin dari circle yang sama?"

Hamzah menyandarkan tubuhnya di kap mobil, dia melihat ke arah Hamna cukup intens. "Zanitha dan Hanin memang sangat dekat. Mereka berteman."

"Teman Aa yang perempuan atau laki-lakinya?"

"Mereka berdua kerabat baik saya."

Hamna berpikir sejenak sebelum akhirnya berucap, "Saya paham sekarang, Zanitha mantan partner HTS Aa, kan. Dan laki-laki yang bersamanya itu, teman yang sudah menikung jalur sepertiga malam. Betul?"

Hamzah tak langsung menjawab, sampai akhirnya sebuah anggukan kecil dia berikan.

"I see, dari cara Aa memandangnya pun sudah sangat berbeda. Tapi, saya salut. Aa masih bisa menjalin hubungan baik dengan mereka. Sedalam apa perasaan itu sampai bisa terlihat seolah baik-baik saja, padahal pada nyatanya hati Aa sedang porak-poranda, bukan?"

"Itu masa lalu, Na, sudah lewat juga masanya. Jangan dibahas lagi, ya?"

"Oke!"

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 30 November 2023

Akhirnya Hamna ketemu mantan partner HTS Hamzah juga 😂🤣 ... Cung siapa yang kangen Zani sama Dipta? ✌️

Gaskennn terus nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro