RS | Part 48

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tak usah terlalu mematok diri dan juga pasangan untuk jadi ideal di mata orang-orang. Cukup jadi apa adanya, karena kunci bahagia bukan dilihat dari standar manusia."

Rintik Sendu
by Idrianiiin

HAMZAH geleng-geleng kepala saat dirinya pulang, rumah sudah didekor sedemikian rupa dengan kain-kain sebagaimana orang yang hendak menggelar hajatan, bahkan di pelataran rumah pun terpasang tenda dengan dilengkapi banyak kursi.

"Berasa lagi ngadirin acara sunatan," komentar Hamna.

Bukannya tersinggung, lelaki itu malah mengangguk. "Perpaduan cream dan putih yang jadi andalan ibu-ibu. Tinggal ditambah pelaminan untuk manten sunat saja."

Detik itu juga Hamna tergelak. "Berhubung sang putra mahkota hanya satu, ya sudah kalau gitu mari saya antar Aa ke mantri sunat."

"Ngaco kamu, Na."

"Ya habisnya Mama itu aneh-aneh saja, bilangnya hanya tumpengan, lha ini apa coba maksudnya? Pake acara manggil kang dekor sama kang sound."

"Perasaan dulu pas Hanin hamil nggak sampai sebegininya deh."

"Untuk sang putra mahkota apa sih yang nggak. Perkara kayak ginian mah gampang buat Mama."

"Nggak gitu juga atuh, Na, kesannya Mama pilih kasih. Saya sama Hanin diperlakukan dengan setara," ralatnya.

"Ya, ya, ya, terserah."

"Kalian ini bukannya langsung masuk malah ngobrol di luar. Mama tungguin dari tadi juga," oceh Anggi pada anak serta menantunya.

"Baru nyampe kok, Ma," sahut Hamzah.

Tiba-tiba Anggi menarik tangan Hamna, membawa menantunya masuk ke dalam. "Mama sudah siapkan pakaian untuk kamu, semoga saja ukurannya pas ya, Na."

"Pakaian untuk apa, Ma?"

"Ya untuk acara hari ini atuh."

"Emang harus pake baju baru?"

Anggi mengangguk mantap. "Harus, karena Mama sengaja beli baju couple untuk kamu dan Hamzah. Gamis dan juga koko yang sudah include dengan perintilannya."

"Kapan belinya, Ma?" tanya Hamna dibuat tak percaya.

"Tadi pagi atuh, pas kalian berangkat kampus Mama cariin baju untuk kalian."

"Apa ini nggak berlebihan?" Kini Hamzah yang mulai mempertanyakan.

"Nggak ada yang berlebihan. Sudah kalian jangan banyak interogasi Mama, sekarang mandi terus pakai baju yang sudah Mama siapkan. Sebentar lagi acaranya akan dimulai."

"Mama undang berapa banyak orang?" seloroh Hamzah enggan untuk mengikuti titah sang ibu.

"Hanya 200 orang."

"Segitu Mama bilang hanya?"

"Seharusnya dua kali lipatnya, Ham, tapi saat Mama pikir-pikir lagi mending nggak usah, terlalu banyak. Yang penting nanti nasi kotak dan bingkisannya sampai ke banyak orang."

"Emangnya Mama buat berapa pcs?"

"Kurang lebih ada 500 porsi nasi kotak, bingkisannya juga berjumlah sama kalau nggak salah."

Hamna meneguk ludahnya. Tuh, kan apa dia bilang. Acara yang mertuanya sokong sudah serupa dengan hajatan yang digelar satu hari satu malam. Pantas saja pukul tiga dini hari tadi hebohnya minta ampun.

Lha wong para ibu-ibu sedang berjibaku mempersiapkan segala keperluan, tak lupa juga dengan dibubuhi kegiatan transfer data yang membuat suasana kian meriah.

"Kenapa jumlahnya banyak banget, Mama?"

"Sanak-saudara kita banyak kalau harus kamu tahu, belum lagi tetangga dan juga para kerabat. Sudahlah, Ham kamu jangan banyak protes, dan tinggal terima beres."

"Mama habis uang berapa untuk acara ini?"

"Nggak perlu kamu tahu, itu urusan Mama."

"Tapi, kan mau gimana juga ini acara untuk Hamzah dan Hamna masa Mama yang hanya keluar uang."

"Ini acara untuk menantu dan cucu mama."

"Jadi maksudnya saya yang harus ikut andil dalam membiayai ini semua?"

Anggi terkekeh kecil. "Nggak atuh, Na, pokoknya ini acara untuk kamu sebagai wujud terima kasih Mama karena kamu sudah mewujudkan keinginan Mama."

Hamna dibuat kicep seribu bahasa. Dia benar-benar tidak bisa berkata-kata.

"Cukup sesi tanya jawabnya, sekarang kalian harus segera siap-siap," titah Anggi tak menerima bantahan.

Keduanya menurut tanpa mengeluarkan apa-apa lagi. Tapi, mereka diam membisu seraya saling memandang setibanya di dalam kamar.

Masih tidak habis pikir dengan kelakuan Anggi yang sungguh di luar nalar.

"Nggak salah emang saya menjuluki Mama sebagai titisan Dayang Sumbi. Perkara nyuruh ayam untuk berkokok di jam yang nggak seharusnya saja bisa, apalagi cuma perkara bikin acara dadakan kayak gini. Hal yang sangat amat mudah!"

"Untung saya nggak kamu juluki Sangkuriang ya, Na. Kalau sampai iya, kisah Gunung Tangkuban Parahu akan terulang di masa kini."

"Sangkuriang, kan jatuh cinta sama ibunya sendiri makanya Dayang Sumbi kasih syarat nggak masuk akal supaya anaknya gagal. Emangnya Aa cinta sama Mama apa? Ngaco!"

"Kamu lupa ya, Na---"

"Lupa apa?" potong Hamna cepat.

"Lupa kalau saya ini cintanya sama kamu, bukan sama wanita paruh baya bergelar ibu."

Hamna malah memutar bola mata malas. "Nggak usah gombalin saya. Nggak akan mempan!"

"Saya berkata fakta, bukan sekadar gombalan."

"Alah, sekarang sih iya bisa bilang kayak gitu. Coba lihat beberapa tahun ke depan, kalau semisal saya dipanggil lebih dulu. Saya yakin seribu persen sebelum tanah kuburan saya kering pun Aa akan nikah lagi. Kebanyakan laki-laki, kan kayak gitu."

"Kamu ini kalau ngomong suka sembarangan banget sih, Na. Doa itu yang baik-baik, bukan malah kayak gitu. Masa iya kamu nyumpahin diri kamu sendiri mati."

"Bukannya nyumpahin, tapi ya kemungkinan-kemungkinan itu pasti ada, kan? Makanya kalau sama saya, jangan banyak gombal. Nggak ada istilah salting dalam kamus hidup saya."

Hamzah berdecih. "Kamu emang bukan tipikal perempuan shy-shy cat, Na."

"Saya, kan manusia bukan kucing."

"Ish, itu hanya istilah, Hamna."

"Nah kalau Aa itu komodo."

"Kamu ngatain saya?"

Dengan polosnya Hamna menggeleng seraya tertawa. "Komodo-komodo teman baikku."

Hamzah menjitak kening sang istri. "Itu kodomo, Hamna!"

"Lha sudah ganti rupanya?"

"Emang dari dulu juga kayak gitu."

Hamna tertawa terpingkal-pingkal. "Berarti saya salah dong ya."

"Saya suka lihat kamu tertawa lepas kayak gitu," ungkapnya malah salah fokus.

Hamna pun menghentikan tawanya seketika. Dia berdehem pelan lalu memilih untuk beranjak. "Saya mau siap-siap dulu."

Hamzah mengangguk. "Nggak usah dandan, saya tidak ingin kecantikan istri saya dinikmati oleh banyak orang."

"Lha, perasaan saya nggak pernah dandan."

"Iya, karena kamu memang sudah cantik tanpa tambahan apa pun."

Hamna bergidik ngeri. "Duhh, mendadak merinding bulu kuduk saya ini."

Hamzah tertawa terpingkal-pingkal. "Cewek lain kalau digombalin salting, paling nggak mesem-mesem. Lha, kamu malah kayak gini, emang limited edition banget istri saya yang satu ini."

"Ya iyalah. Mana ada perempuan yang bersedia ditarik paksa untuk menikah dengan bujang karatan sejenis Aa. Yang mau hanya saya!"

Setelah mengatakan hal tersebut, Hamna langsung masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya dengan rapat. Dia tertawa puas kala mendapati pekikan nyaring sang suami.

"Sekali lagi kamu ngatain saya bujang karatan, saya hukum kamu kamu, Na!"

"Bodo amat saya nggak peduli!"

BERSAMBUNG

Padalarang, 09 Desember 2023

Kepo sama acara yang digelar Mama Anggi? Kuyy, diramaikan dulu kolom komentarnya 😂✌️

Gaskennn?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro