XXXIII. | Pengandaian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada yang aneh dari Mei, Lianna rasa.

Mei bukanlah seorang yang mudah merasa 'takut' atau 'gundah'. Tidak, ini tidak ada hubungannya soal dia manusia atau hanya buatan.

Saat pertama mereka berhadapan dengan bahaya, Mei tidak keberatan menjadi umpan pada robot yang menyamar sebagai 'teroris'. Ia tidak gentar dalam posisi membahayakan atau berhadapan dengan sumber bahaya itu sendiri. Mei yang cepat belajar mudah mengevaluasi sekitarnya, ia juga tidak keberatan mencoba sesuatu yang kurang familier baginya, seperti menembak. Mei pun mudah beradaptasi pada situasi mencekam seperti saat mereka terkatung-katung saat Sektor 6 mengalami purging.

Apa yang sudah terjadi yang membuat Mei terlihat rapuh dan tidak percaya diri?

"... Mei?" panggil Lianna dengan suara lemah.

"Aku tidak seharusnya ada di sini, Lianna," suaranya terputus-putus. Namun ia seperti menahan diri untuk berteriak, atau menggeram. Atau Mei sendiri-lah yang tidak ingin menaikkan suara atau nadanya. "Aku tidak seharusnya bersama kalian walau kalian-lah yang menerimaku sebagai manusia. Aku seharusnya meyakini hal ini sejak awal."

Sedari awal, Mei memang tidak seharusnya ada bersama mereka. Mereka-lah yang sudah 'mendapat' Mei dan memilih untuk tidak menyerahkannya pada perlindungan Lysander dan melindungi Mei dari E8. Mei adalah 'bom waktu' yang membuat 0027 seperti target di lapangan terbuka, siap untuk diburu kapan saja ketika sesuatu hal mengenai Mei jatuh ke tangan yang salah. Walau selama ini tantangan terbesar mereka hanyalah E8, tidak menutup kemungkinan E8 tidak menggunakan pihak ketiga untuk mengejar Mei nantinya.

Lianna menatap Mei lembut, keterbatasan akan tubuhnya saat itu membuatnya tidak bisa menjangkau Mei.

"Lalu apa yang kamu inginkan? Apa kamu ingin ... pergi?"

Mei mengangkat kepalanya. Matanya terbelalak sempurna. Ekspresi lain yang jarang sekali terlihat darinya. Lianna kira Mei akan melangkah mundur, atau mungkin pergi lagi dari sana, lagi ia kembali mendekat. Lianna tidak pernah bisa menebak jalan pikiran Mei, dan kini Lianna tidak bisa menebak alur emosi Mei.

Apa yang sudah membuatnya seperti ini—apa yang sudah membuatnya terluka?

"Sejujurnya, aku tidak tahu," Mei menggenggam pergelangan tangan kirinya, wajahnya muram. "Aku tidak ingin membuat kalian ada dalam bahaya, namun aku juga tidak ingin pergi. Aku sudah egois."

'Egois' - mana ada manusia buatan akan berpikir sejauh itu? Bahkan manusia biasa saja tidak akan bisa paham keegoisan mereka sendiri atau menyadari dan paham bahwa mereka sudah berlaku 'egois'.

"Kamu tahu kami tidak selemah itu, 'kan, Mei?"

"Aku-" napasnya tercekat. Ia kembali menarik pandangannya dari wajah Lianna. "Kalian tidak lemah. Aku saja yang tidak bisa melindungi diriku sendiri, padahal aku yang mereka incar."

Lianna menghela napas, "Mei, bisa tolong kamu ... berdiri di sini?"

Ia menunjuk sisi sebelah kanannya, Mei terkesiap. "Ah, maaf! Kamu yang baru terbangun jadinya mendengar ini ..."

"Tidak masalah," Lianna tersenyum. "Atau malah kamu memilih memutus hubungan dengan kami tanpa pamit?"

Mei mengernyit, tidak segera menjawab. Ia mengiyakan permintaan Lianna dan berdiri di sisi kanan kasur, sisi Lianna yang tangan kanannya masih cukup bebas ketimbang tangan kirinya dan plang infus yang membatasi gerakannya.

Yang Lianna lakukan adalah menepuk kepala Mei, membelai lembut pucuk rambutnya. Atmosfer pembicaraan mereka yang berat kini terputus.

"Apa kamu menyesal sudah memilih bersama kami?"

Mei menggeleng.

"Kalau begitu bagus," ucap Lianna cepat. "Artinya kamu tidak perlu pergi. Tetaplah di sini."

"Walau aku mungkin sudah melakukan sesuatu yang buruk pada kalian—padamu?"

Lianna terkekeh, "Hal buruk apa, sih? Numpang tinggal? Ikutan makan?"

"Lebih dari itu," balasnya. Ia menarik tangan Lianna turun, kembali di atas kasur, seakan ia tidak layak mendapat perlakuan itu. "Aku, aku masih belum bisa menghubungkan semua hal yang ada karena masih ada memoriku yang hilang. Tapi aku ... tersadar telah melakukan sesuatu yang membuat kalian merana."

Apa yang sudah didengarnya? Siapa yang mengatakan hal itu padanya? Apa yang disadarinya? Banyak pertanyaan Lianna yang urung ia keluarkan, merasa ini bukanlah saat tepat. Lianna merasakan keengganan dari Mei, tidak baik juga memaksakan Mei untuk mengemukakan dirinya ketika ia tidak siap.

Yang bisa Lianna lakukan adalah ada di sini bersamanya, meyakinkannya - seperti ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja.

"Apa pun itu nantinya, jawabanku tetap sama," balas Lianna. "Aku yakin Rosen dan Natalia pun akan berkata hal yang sama. Kamu adalah bagian 0027, Mei. Kamu bukan beban. Kamu bukan penghalang."

Gadis berambut putih salju itu membuka mulutnya, hendak menyuarakan sanggahan, akan tetapi yang ada adalah air mata yang jatuh ke pipinya. Mata Lianna membulat, sementara Mei yang sadar kalau air matanya meleleh berusaha menghapusnya, namun air mata itu tidak kunjung berhenti. Tangis itu mungkin adalah hal baru baginya. Mei mencoba menangkup wajahnya, membendung isak tangis dan rasa yang tumpah ruah tak terkendali. Mei tidak terisak, atau ia tidak mengerti konsepnya, lagi air mata itu mengalir tanpa lelah seperti menjadi wakil atas segala emosi yang membuncah.

Lianna mengulum bibirnya. Hatinya bergetar. Sakit. Ia tidak ingin melihat Mei menangis seperti itu. Ia tidak seharusnya merasa bersalah hanya sekedar ada.

Ia mengingat kejadian seperti ini sering terjadi ketika ia masih di panti, ada saja anak yang dirundung karena sekedar berpenampilan berbeda atau memiliki hobi lain ketimbang yang lain lakukan, seperti Lianna yang gemar membaca 'sampah pohon' dan kerap diejek. Ada mereka yang marah menghadapi perundungan dan menyerang balik. Ada juga mereka yang hanya bisa diam menerima. Ada juga yang segera menangis di tempat dan pelaku perundungan itu semakin menjadi. Kala itu, Lianna bingung harus berbuat apa ketika ia bukan menjadi pusat ejekan atau cemoohan, biasanya ia akan mencoba menyuruh mereka semua diam, yang kemudian akan dibalas dengan sikap abai. Bukan Lianna tidak berani melawan mereka, hanya saja ia merasa tidak perlu ikut campur.

Sekarang, skenarionya memang berbeda, tapi Lianna tidak ingin melihat Mei terus berada dalam lingkarannya sendiri dan merasa bahwa ia sendirian.

Lianna menariknya pelan, dan Mei tidak meresponnya seperti tadi. Ia tidak menangkis tangan Lianna atau menggeleng menolak. Wanita berambut biru itu menangkup wajah Mei yang menghangat, turut menjalin jarinya dengan jemari Mei yang masih berusaha menghapus tangis dengan terburu.

Mata Mei seakan berpendar dalam gelap, bersinar dengan tetes demi tetes air mata yang keluar. Mata biru yang melebihi langit cerah alih-alih menggambarkan bahwa kehadirannya tidaklah alami. Melebihi biru laut yang ada dekat dengan tanjung Kaldera di dalam mimpinya. Melebihi biru indah sang pengarang yang dijelaskan dalam buku 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan'.

Semakin Mei menitikkan air mata, semakin hati Lianna mencelus. Semakin ia berusaha menghapus jejak itu dengan jarinya dan jari Mei, Mei tidak juga berhenti.

Ketika angan terbersit di bawah sadarnya, segalanya terasa sudah nirguna. Ketika bibirnya itu menemui bibir Mei, Mei tidak menolaknya. Lianna tidak berlama-lama, segera menarik diri dan mulai mempertanyakan perilaku impulsifnya sendiri, namun deru napas mereka berdua yang dekat begitu nyata. Mei tersenyum, entah ia memaksakan atau tidak, sementara Lianna menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa dirinya sudah bersalah.

Tangis derasnya itu memelan, dan mereka berdua bergeming dalam hening yang mengganjal.

Kenapa bibir Mei terasa ... tidak asing baginya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro