Part 3: Mood Si Bos

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AKU melirik jam digital di atas nakasku sembari mengucek mata, sudah waktunya bangun dan kembali melakukan rutinitas seperti biasa. Kenapa malam terasa begitu cepat berlalu? Perasaan baru saja aku tidur, tahu-tahu hari sudah pagi lagi.

Rasanya tubuh ini enggan beranjak dari atas kasur, apalagi suara gemercik hujan masih saja terdengar sejak subuh tadi. Namun, mengingat hari ini ada jadwal psikotes untuk karyawan baru mataku seolah terbuka lebar.

Kusibak selimut hangatku dengan rasa tak rela lalu kulipat dengan rapi seperti sedia kala. Aku terbiasa merapikan tempat tidur setelah bangun, hal ini selalu kulakukan setiap hari karena aku tidak suka melihat benda yang berantakan atau tidak berada sesuai pada tempatnya. Aku bukan gadis perfeksionis, hanya saja aku menyukai kerapian.

Aku segera masuk ke kamar mandi dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Seperti anak kos pada umumnya, aku sarapan dari hasil memasak sendiri. Masakan ala kadarnya nasi goreng dan telur ceplok, atau ayam goreng yang tinggal digoreng hasil berburuku di supermarket. Terkadang kalau sedang malas memasak, aku memilih sarapan di kantin kantor atau membeli makanan ketika dalam perjalanan menuju kantor setelah itu makan di kubikel.

"Pagi Mbak," sapaku pada Mbak Lucy yang sudah tiba lebih dulu. Aku mendekat ke mejanya, kalau dilihat ia sedang membuka aplikasi membaca di ponsel miliknya sampai-sampai sapaanku saja tidak dijawab. Memang orang kalau sedang asyik membaca serasa dunia milik sendiri, karena otak bebas berimajinasi. "Baca apa sih Mbak? Serius bener," kataku masih berdiri di belakang Mbak Lucy.

"Eh Sha, udah dateng?"

"Udah dari kemaren Mbak," sindirku. Mbak Lucy terkikik mendengar jawabanku.

"Ini gue lagi baca cerita di aplikasi membaca gitu, seru-seru deh ceritanya. Penulis Indonesia bener-bener berbakat deh, Sha. Ada juga yang masih pada sekolah tulisannya duh keren-keren banget."

"Iya Mbak memang penulis Indonesia tuh bagus-bagus kok, cuma sayang penduduk di Indonesia masih kurang minat bacanya."

"Iya sih bener, Sha." Mbak Lucy meletakkan ponselnya dan mulai memfokuskan pandangannya kepadaku.

"Menurut artikel yang gue baca, dari hasil survei yang berasal dari studi Most Littered Nation In the World 2016 yang dilakukan pada tahun 2016 lalu, minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Gila 'kan, itu artinya cuma 0,01 persen per tahun."

"Iya miris juga sih," sahut Mbak Lucy menyimak dengan serius pembicaraan kami pagi ini. "Makanya gue selalu mengajarkan anak gue untuk membaca, kapanpun dan di manapun. Nggak harus belajar dengan waktu yang udah ditentukan jadwalnya, pokoknya belajar sambil bermain aja."

"Iya bagus tuh Mbak, menanamkan edukasi membaca sejak kecil. Menurut survei Nielsen tahun 2017 lalu juga, katanya masyarakat cenderung memilih televisi dibandingkan media cetak atau hal yang berbau informasi dari dunia literasi." Mbak Lucy mengangguk setuju dengan informasi yang kuberikan.

Pembicaraan kami terhenti ketika extention-ku berdering. Ternyata yang menelepon adalah resepsionis dari bawah, mengabarkan kalau beberapa orang yang akan mengikuti psikotes sudah tiba. Aku melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh menit. Aku membuat jadwal psikotes jam sembilan pagi, masih ada empat puluh menit lagi untuk menunggu sampai semuanya hadir.

Aku meletakkan tas di atas meja lalu menyalakan komputerku, setelah itu aku pergi ke pantry untuk membuat teh hangat. Ini termasuk rutinitasku setiap pagi. Ketika aku selesai menuang air panas ke dalam cangkir tehku seseorang menepuk bahuku dari belakang.

"Eh Pagi Pak, baru dateng?"

"Iya," sahutnya singkat. "Teh hangat sepertinya enak," komentarnya, lalu pandangan melirik ke isi cangkirku.

"Mau saya buatin, Pak?"

"Boleh, kalau kamu tidak keberatan."

"Oh saya nggak masalah, Bapak ke ruangan aja nanti saya antar!" Tanganku dengan cekatan mengambil cangkir yang lain untuk teh Pak Cakra.

"Saya nunggu saja, lagi pula ini 'kan bukan pekerjaan kamu." Pak Cakra mengucapkannya dengan penuh kelembutan.

"Saya nggak masalah Pak, santai aja."

"Saya yang masalah. Bisa tidak, kali ini kamu menurut dan tidak membantah!" Kali ini nada perintah mendominasi ucapan Pak Cakra. Baru saja tadi minta tolong dengan cara yang lembut, sekarang sudah berubah ke sifat aslinya lagi.

"Iya Pak," sahutku tanpa membantah.

"Kamu tahu tidak?" katanya mulai mengajakku bicara kembali. Ia menarik kursi lalu duduk di sana, matanya tetap memperhatikanku saat menuang air ke dalam cangkir. Aku menunggu kalimat selanjutnya dari Pak Cakra.

"Kamu itu anak buah saya yang paling bandel," katanya sembari tersenyum datar. Aku mengercutkan bibir seraya mengaduk-aduk teh milik Pak Cakra kemudian menyerahkan cangkir tersebut kepadanya. Pak Cakra menerimanya lalu menepuk bahuku pelan. "Thanks."

"Masa sih Pak, bandel kenapa?" Aku penasaran dengan ungkapan Pak Cakra yang mengatakan kalau aku anak buah yang bandel. Bandel dari mananya? Jelas-jelas aku penurut begini.

"Mau tahu?" Aku mengangguk yakin. "Ada syaratnya," katanya. Pak Cakra sudah seperti akan menceritakan rahasia besar saja pakai acara minta syarat segala.

"Ah, Baoak pakai syarat segala sih, bikin penasaran tahu."

"Iya dong, kamu mau tahu 'kan penilaian saya terhadap kamu selama kamu bekerja di sini, khususnya jadi anak buah saya?" Aku mengangguk pasrah, bos selalu benar. Ingat itu poin pertama.

"Oke deh, syaratnya apa?" Aku menajamkan pandangan ke arahnya seakan menantang lelaki yang hari ini mengenakan pakaian serba hitam itu.

"Nggak sekarang, oke Ansha terima kasih untuk tehnya. Ini enak manisnya pas, tapi lain kali no sugar please." Setelah itu ia meninggalkan pantry.

Apa-apaan sih Pak Cakra kenapa jadi sok misterius begini? Bikin penasaran saja, lalu aku memutuskan untuk kembali ke kubikel.

Sepuluh menit lagi waktu menunjukkan pukul sembilan, aku menemui para peserta untuk mengikuti serangkaian psikotes. Kuarahkan mereka ke sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk pertemuan besar. Di sana sudah tersedia kursi dan meja yang tertata rapi, lalu kupersilakan mereka duduk di tempat masing-masing. Sebelum itu aku menyuruh mereka untuk absen daftar kehadiran terlebih dahulu agar aku tahu siapa yang sudah dan belum hadir.

Setelah semuanya mengisi daftar kehadiran, aku membacanya satu persatu. Baru Sembilan belas orang yang datang, satu lagi ke mana? Aku meraih ponselku yang berdering, kulihat nomor yang tidak dikenal muncul di layar. Aku keluar ruangan untuk mengangkatnya sebentar, barangkali ini merupakan panggilan penting.

"Baik, sama-sama. Selamat pagi." Aku menutup panggilan lalu kembali ke dalam ruangan.

Ternyata penggilan tadi berasal dari salah satu peserta yang kemungkinan datang terlambat, dan ia meminta kelonggaran waktu padaku. Mendengar kesungguhan alasan yang diberikannya, aku menerima permintaannya lagi pula sudah bagus ia memberi informasi keterlambatan lebih dulu.

Kubagikan satu persatu kertas berisi soal untuk tes psikologi kepada seluruh peserta calon karyawan hari ini. Mereka membacanya dengan penuh ketelitian, kemudian mengisinya dengan hati-hati.

Aku jadi teringat saat pertama kali masuk ke perusahaan ini. Kala itu aku tidak mengikuti serangkaian psikotes, aku langsung diwawancara oleh Pak Cakra karena pada saat itu divisi HRD sedang membutuhkan karyawan dalam waktu cepat. Hal itu karenakan Mbak Nirmala –karyawan sebelum aku— memilih resign setelah wanita itu menikah.

***

Hampir setengah hari kuhabiskan mengurusi peserta yang mengikuti tes. Semuanya telah selesai, kini giliranku menyeleksi siapa saja yang berhak lolos dan tidak. Setelah semuanya selesai aku menyerahkan data-data peserta yang lolos kepada Pak Cakra. Beliau akan ikut memilah dan juga merekomendasikan peserta mana yang sekiranya cocok ditempatkan di divisi yang sedang membutuhkan karyawan baru.

"Sha, ini sepertinya cocok untuk admin Bu Sandra." Pak Cakra berkomentar saat aku menuliskan nama-nama yang lolos untuk selanjutnya diwawancarai oleh user.

"Yang mana, Pak?" Aku mendekat ke arahnya dan memperhatikan berkas yang sedang dipegang oleh Pak Cakra.

"Ini Roman Danadhyaksa," katanya seraya menunjukkan CV-nya kepadaku.

"Itu dia yang tadi datang telat, Pak." Aku memberitahu dengan gaya sedikit tak percaya pada dengan pilihan Pak Cakra.

"Oh begitu, tapi ini hasil psikotesnya oke kok dan data pribadinya juga cocok dengan kriteria yang diminta sama Bu Sandra. Coba nanti kamu tanya Bu Sandra saja!"

Banyak orang yang salah mengerti tentang psikotes, terutama orang-orang yang menganggap tes itu dapat dipelajari dan mereka yang berorientasi pada status, bukan prestasi sehingga mereka berusaha mempelajari psikotes dengan cara-cara tertentu. Psikotes itu tidak dapat disamakan dengan ujian mengenai pengetahuan. Psikotes bukanlah sesuatu yang perlu dipelajari atau dipelajarkan.

Psikotes berbeda dengan Tes Potensi Akademik (TPA), psikotes secara umum lebih kepada tes kepribadian. Jadi, di dalam penilaian psikotes tidak berdasarkan siapa yang paling pintar, karena bisa saja orang yang secara akademik tidak begitu pintar, justru bisa mengalahkan orang yang lebih pentar darinya dan lolos ujian psikotes.

Hal ini sering terjadi, bahkan mungkin aku pun pernah mengalaminya atau melihat orang lulusan perguruan tinggi terbaik belum bekerja atau diterima kerja di sebuah perusahaan karena selalu gagal dan tidak lolos psikotes.

"Hari ini Bu Sandra cuti bos, nanti Senin saya follow up deh."

"Ya sudah kamu atur saja, nanti kalau sudah masuk dibicarakan dengan Bu Sandra!" tukas Pak Cakra. "Barangkali beliau cocok dengan peserta ini." Aku mengangguk setuju dengan usulan yang diberikan olehnya.

Pak Cakra kalau mood-nya sedang bagus ya begini, enak diajak diskusi dan menerima masukanku. Terkadang memang mood sangat berpengaruh dengan kualitas pekerjaan dan komunikasi antarkaryawan, khususnya antara bos dengan anak buah.

"Ya sudah kamu pulang sana, kerjaan sudah beres 'kan? Ini besok saja dikerjakan toh tinggal menghubungi para user, nggak mungkin 'kan kamu kerjakan sekarang?"

Tuh 'kan Pak Cakra hari ini mood-nya sedang baik, masa aku disuruh pulang padahal ini masih jam lima. Meski memang ini sudah masuk jam pulang, hanya saja aku merasa aneh kalau bisa pulang secepat ini. Tapi, kesempatan tidak datang dua kali, aku mengiyakan usulan Pak Cakra.

"Serius Pak, saya boleh pulang?" Pak Cakra mengangguk cepat.

"Jangan lupa nyalon, biar tidak kucel-kucel amat itu muka kamu!" Bibirku mencebik sebal. Ternyata ia menyuruhku pulang cepat karena merasa penampilanku kucel? "Kamu 'kan kerja di bagian HRD. Kamu yang menangani calon karyawan lebih dulu dibandingkan divisi-divisi lain, tentu penampilanmu harus cukup menarik."

"Itu karena saya sering lembur Pak, jadi nggak punya waktu untuk sekadar pergi ke salon. Jangankan ke salon tidur aja kurang," keluhku padanya.

"Loh saya nggak pernah menyuruh kamu lembur. Justru saya yang harus tanya kalau kamu sampai lembur, itu dari pagi kamu ngerjain apa?"

"Tapi 'kan Pak ..."

"Tidak usah banyak mengeluh! Saya kasih kamu kesempatan untuk pulang cepat, makanya dimanfaatkan dengan baik. Oke!"

Can you see how annoying my boss is?

"Siap Pak," jawabku akhirnya, lalukurapikan berkas-berkas peserta yang masih tergeletak di atas meja Pak Cakra."Permisi Pak." Aku meninggalkan ruangan Pak Cakra dengan perasaanantara senang dan mood yang buruk.

***

Yes part 3 updated, enjoy this story guys.

grasindostoryinc

Salam Romansa
02 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro