Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ridhanu asem!

Asyifa terus menggerutu sambil menuruni anak tangga gedung yang sudah sepi. Gadis berparas manis itu mempercepat langkahnya. Aura gedung yang bersebelahan dengan makam kecil di sebelah kiri itu membuat bulu kuduknya meremang. Kisah-kisah seram yang beredar di lingkungan mahasiswa pun masih terekam dalam memorinya.

"Ngeselin, ngeselin!" pekik Asyifa tertahan sambil mengepalkan tangan. Gadis itu menoleh sekilas ke belakang, kemudian mengusap dada. "Untung nggak ada orangnya."

Asyifa tidak terima dengan peraturan dilarang cinta lokasi yang dibuat Ridhanu di BEM. Baginya, hal tersebut terlihat aneh jika diterapkan di organisasi intrakampus meskipun universitas tempat mereka menuntut ilmu bernapaskan Islam. Peraturan itu lebih cocok jika diterapkan di lembaga dakwah kampus.

"Dilarang cinta lokasi? Salah tempat!" ucap Asyifa sambil menghentakkan kaki, kesal. "Bilang aja itu ditujukan ke aku. Iya, kan, Ridh?"

Asyifa sedari tadi berpikir jika peraturan itu adalah akal-akalan Ridhanu untuk semakin jelas menolak perasaannya. Ada rasa malu menyelinap dalam perasaannya. Ia menyesal telah terjerat pesona Ridhanu lewat pandangan pertama beberapa bulan yang lalu.

"Nyesel sumpah!"

Asyifa menghela napas lega. Dirinya sudah sampai di luar gedung SC. Gerbang belakang kampus pun sudah tertutup. Namun, lantai tiga setengah--julukan untuk area yang berada di antara lantai tiga dan empat gedung kuliah bersama masih ramai oleh mahasiswa yang memanfaatkan fasilitas internet gratis dari kampus.

Asyifa mengeluarkan ponsel dari saku celana denim. Ia segera membuka aplikasi WA. Bukan untuk kirim pesan tetapi langsung menelepon Bima. Nada sambung terdengar dari ponsel dengan casing berwarna merah hati tersebut. Asyifa berharap mahasiswa tingkat akhir itu masih berada di lantai tiga setengah.

"Iya, Neng. Kenapa?" tanya Bima begitu telepon tersambung.

"Akang masih di kampus, 'kan? Anterin aku pulang ke kos, dong," pinta Asyifa penuh harap.

"Neng di mana sekarang? Udah selesai rapat BEM?"

"Di samping lantai tiga setengah, Kang. Akang di situ, 'kan?"

"Bukan, di hot spot dekat kolam. Aku tunggu di sini, ya."

"Ogah! Aku tunggu di pos satpam depan aja." Asyifa bergidik membayangkan jalan menuju sana begitu sepi.

"Oke, tapi agak lama, loh. Baru download, nih."

Asyifa mengiyakan ucapan Bima. Keputusannya menunggu di pos satpam lebih baik daripada harus berjalan kaki sendirian di malam hari. Jalanan di kampus terlihat sepi, hanya terdengar suara Jangkrik yang memecah kesunyian malam. Teman-temannya sudah tidak terlihat lagi. Pepohonan besar yang berjajar dengan jarak dekat membuat Asyifa mempercepat langkahnya.

Tiba-tiba, tengkuknya terasa meremang. Seperti ada yang mengikuti dari belakang. Nyali pun semakin menciut saat sampai di depan gedung perpustakaan berlantai dua yang berdiri kokoh dengan gemericik air mancur membelah tangga. Asyifa yakin ada langkah kaki yang mengikuti di belakang.

Asyifa menghentikan langkah dan membalikkan badannya. Sepi! Tidak ada seorang pun di belakangnya. Tanpa menunggu waktu lama, gadis dengan tas punggung denim berwarna hijau pupus itu berlari menuju pos satpam yang sudah terlihat.

Asyifa sampai di pos dengan napas terengah-engah. Kali ini yang dirasakannya bukanlah ketakutan akan hal seram seperti setan. Namun, lebih pada orang yang berniat jahat. Apalagi saat ini banyak berita beredar di sosial media tentang kriminalitas terhadap mahasiswi. Hal itu membuat Asyifa langsung bergidik membayangkan kisah tersebut.

"Dikejar apa, Mbak? Sampai lari gitu," tanya Pak Satpam yang sedang berjaga begitu Asyifa duduk di bangku depan pos jaga.

"Nggak tau, Pak. Kayak ada yang ngikutin dari belakang."

"Wah, kalau seperti itu, sih, saya sering ngalami. Apalagi kalau lagi jaga malam. Makhluk tak kasat mata." Pak Satpam terkikik sendiri.

Asyifa melongo mendengar penuturan barusan. Pak Satpam kembali tertawa begitu melihat ekspresi Asyifa. "Bapak, nih, makin bikin takut aja."

Asyifa mengedarkan pandang ke arah helipad yang dikelilingi jalan poros kampus. Hatinya berharap Bima segera muncul. Namun, belum ada tanda-tanda laki-laki itu menampakkan diri.

Udara dingin semakin menusuk kulit. Entah, ini dinamakan mitos atau bukan. Setiap menjelang penerimaan mahasiswa baru, Kota Malang semakin menunjukkan dinginnya. 14 derajat Celsius menduduki suhu terdingin pada bulan ini. Orang Jawa bilang musim bediding atau perubahan suhu yang mencolok di awal musim kemarau. Asyifa meraih jaket hitam bergambar Trisula, lambang fakultasnya.

Sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan badan sedikit berisi muncul dari arah timur helipad. Asyifa tersenyum lebar. Penantiannya berakhir sudah. "Kang! Akhirnya datang juga."

"Maaf, Neng. Lumayan lambat tadi sinyalnya. Ya udah, aku ambil motor dulu di parkiran."

Asyifa mengangguk mantap. Ia sudah merasa aman sekarang melihat kehadiran Bima. Laki-laki itu belum pernah gagal menjadi pelindungnya saat berada di rantau. Hanya satu saja yang tidak berhasil, masalah hati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro