Sembilan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rapat kerja kembali dilanjutkan setelah sarapan usai. Masing-masing departemen dan pengurus inti berkumpul di bidang masing-masing. Asyifa, Ridhanu, Faris, dan Tia duduk di ruang depan sebelah pintu. Mereka mulai membahas program kerja pengurus inti untuk satu tahun ke depan.

"Sekretaris, apa cuma ini saja proker-nya?" tanya Ridhanu setelah Asyifa menjelaskan usulan program di bagian kesekretariatan.

"Saya rasa apa yang saya sampaikan tadi tentang penomoran surat keluar masuk, hingga pembuatan buku notulensi dan daftar hadir anggota sudah mencakup ranah yang dikerjakan oleh sekretaris," jelas Asyifa dengan rasa percaya diri. Ia ingin memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya kepada Ridhanu.

Ridhanu menggelengkan kepalanya membaca lembaran kertas yang diberikan Asyifa. Ekspresi pemuda itu membuat Tia—Bendahara BEM—dan Asyifa saling berpandangan.

"Saya ingin ada yang berbeda di kepimimpinan BEM Universitas tahun ini, terutama di bidang kesekretariatan. Masalah surat menyurat dan notulensi itu sudah biasa, memang wajib dikerjakan oleh sekretaris. Tolong cari program baru yang bermanfaat bagi mahasiswa di luar BEM Universitas."

Asyifa melongo mendengar penjelasan panjang lebar Ridhanu. Selama terjun di dunia organisasi kampus, program keskretariatan memang tidak jauh dari apa yang telah dijabarkannya tadi. Asyifa mulai menyimpulkan bahwa sang ketua memang ingin menyulitkannya.

"Hayo, loh, Syif. Disuruh mikir keras sama Pak Pres." Faris menggoda Asyifa yang sedang berpikir keras.

Asyifa hanya mengangkat satu sudut bibirnya dalam menanggapi gurauan Faris. Ia tidak boleh menyerah. Gengsinya di hadapan Ridhanu semakin meningkat. Ia tidak mau jika pemuda itu memandang remeh kualitasnya sebagai aktivis kampus. Dirinya harus terlihat berkualitas di hadapan laki-laki yang pernah meremehkan perasaannya itu.

Asyifa tersenyum sambil manggut-manggut. Pengalaman saat studi banding bersama Senat Fakultas Psikologi memberi gambaran untuk ide program kerja berikutnya.

"Baiklah kalau memang menginginkan hal yang berbeda dari bidang kesekretariatan. Saya akan mengadakan seminar tentang pengelolaan administrasi organisasi di kampus. Tidak hanya untuk BEM Fakultas dan HMJ tetapi juga UKM dan LSO yang ada di kampus," jelas Asyifa mantap seraya menyebutkan beraneka macam organisasi di kampus, baik yang intra maupun minat bakat.

Ridhanu mendengarkan penjelasan Asyifa dengan saksama. Ia lalu menegakkan tubuhnya. "Bagaimana dengan pemateri?"

"Tentu pemateri adalah mereka yang berkecimpung di dunia administrasi profesional."

"Wohohoho, menyala Asyifa, Rek."

Faris bertepuk tangan disusul Tia. Mereka kagum mendapati ide tidak biasa dari Asyifa. Baru kali ini mereka melihat sekretaris memiliki program kerja untuk pihak luar.

Beda hal dengan Ridhanu, ia hanya manggut-manggut sambil tersenyum simpul. Tanpa ada satu kata pun keluar dari bibirnya.

"Gimana, Ketua?" Asyifa bertanya dengan penuh percaya diri.

"Emm ...." Ridhanu mengusap dagu. "Boleh."

Hah? Cuma satu kata itu yang keluar? Yaa Allah bisa-bisanya aku jatuh cinta sama orang dingin macam dia.

Asyifa merutuki diri sendiri. Gimana lagi, hati tidak pernah berbohong kemana dia akan berlabuh.

***

Menjelang zuhur, rapat kerja telah selesai dilaksanakan. Semua program kerja dari setiap department juga pengurus inti sudah dikemukakan. Kini, giliran untuk berkemas dan kembali ke Malang. Setelah beres, mereka pun melaksanakan salat Zuhur berjamaah.

"Sekarang imamnya giliran siapa?" Faris selau ketua pelaksana raker bertanya pada Fadil.

"Ridhanu."

"Pak Pres, ayo jadwal jadi imam." Faris menepuk punggung Ridhanu yang berdiri di sampingnya.

"Siap, Pak!"

Ridhanu maju ke depan. Ia sudah bersiap memimpin solat jamaah. Laki-laki dengan sarung motif hitam dan abu-abu itu sudah berdiri di atas sajadah yang disiapkan.

Asyifa terkesiap mendapati Ridhanu yang menjadi imam. Hatinya sontak berdesir. Detak jantung pun berdegup kencang. Sebuah impian sejak jatuh hati pertama kali pada sosok laki-laki yang bahkan belum ia ketahui namanya saat itu.

Solat pun dimulai. Mata Asyifa mulai berkaca-kaca. Keharuan menyeruak dalam kalbunya. Muncul sebuah keyakinan bahwa Ridhanu adalah jodohnya. Asyifa menyerah dengan perasaan yang coba dikuburnya. Momen solat berjamaah seakan membangkitkan kembali rasa cinta yang beberapa bulan yang lalu sudah berusaha dimusnahkannya.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Ridhanu mengucap salam setelah tahiyat akhir. Ia lalu memutar posisi menghadap jamaah. Pandangannya jatuh tepat ditempat Asyifa duduk. Ia menautkan kedua alis. Gadis dengan mukena berwarana cokelat muda itu tengah mengusap mata.

Ridhanu yakin Asyifa sedang menangis. Ia sontak mengalihkan pandangan saat Asyifa tiba-tiba menatapnya.

Asyifa memastikan air mata sudah mengering di wajahnya. Ia terlalu terbawa suasana yang diciptakannya sendiri. Air mata karena rasa haru dan penyesalan karena gagal move on.

"Akhirnya, selesai juga raker. Selanjutnya, waktunya kerja, kerja, kerja satu periode ke depan!" Faris yang sudah berada di luar, berbicara cukup keras. "Ayo semuanya ngumpul di sini dulu. Mumpung pemandangan lagi bagus."

Para anggota BEM menuju lokasi yang ditunjuk Faris. Mereka akan melakukan sesi foto bersama. Kurang tepat memang jika acara diakhiri tanpa dokumentasi. Faris mengatur posisi teman-temannya agar terlihat bagus di kamera.

"Syif, kamu tuh, kecil ngapain sembunyi. Ayo maju." Faris meminta Asyifa berpindah posisi dari belakang ke pinggir. Gadis itu tidak terlalu suka difoto sehingga dirinya bersembunyi di belakang Nida yang tubuhnya lebih tinggi.

"Nah, gitu dong, Syif. Kamu ini sukanya sembunyi aja kalau foto. Pak Ustaz ayo pindah depan, samping Asyifa." Faris mulai memberikan instruksi.

Fadil maju, ia sedikit menjaga jarak dari Asyifa. Sebagai seorang aktivis dakwah, dirinya harus bisa menjaga kontak fisik dengan perempuan.

Faris mengacungkan jempol. Foto pun dimulai dengan gaya formal. Setelah beberapa kali pengambilan gambar, Faris meminta teman-temannya bergaya bebas.

"Ayo semua bilang, maniiisss!!!" seru Faris.

Gelaak tawa terdengar diikuti kata yang diajarkan Faris. "Maniiiss!!!"

"Siiip, sekarang gaya bebas."

Ridhanu sudah bersiap mengambil gaya. Saat jari Faris menunjuk angka tiga, ia bergegas maju ke celah di antara Asyifa dan Fadil. Senyumnya mengembang, dengan kepala dimiringkan ke arah sekretarisnya itu.

Asyifa terkesiap melihat tingkah laki-laki yang tiba-tiba muncul di sebelahnya. Ia kembali tersipu, seraya membetulkan letak kacamata. Pikirannya masih dengan jelas mengingat peristiwa dini hari tadi.

Tiiin tiiin!

Suara motor mendekat ke arah Vila. Semua orang menoleh ke sana. Seorang pengendara motor Vario 150 berwarna black metallic dengan jaket kulit berwarna senada.

"Hah? Kang Bima?" Asyifa terkejut mendapati seniornya datang ke tempat raker.

"Itu Bima?" Fadil memastikan.

"Iya, Kak." Asyifa kemudian berjalan mendekati Bima. "Akang ngapain ke sini?"

"Jemputlah."

"Jemput siapa?"

"Sekretaris BEM."

"Aku? Siapa yang minta jemput?" Asyifa masih heran dengan keputusan Bima yang tiba-tiba menjemput.

"Nggak ada, Neng. Aku mau jemput aja. Salah sendiri pamer masakan Ibu."

"Woi! Mau ngajak aku pulang ke rumah?"

"Iyalah."

Bima melepas helm. Ia sudah sering ke rumah Asyifa, otomatis sering mencicipi masakan ibu Asyifa. Sebagai anak tunggal, tentu orang tuanya menyambut dengan ramah.

"Aku capek, mau langsung pulang ke kos, Kang."

"Nggak boleh, ke rumah dulu aja bentar." Bima berjalan mendekati teman-temannya. Meninggalkan Asyifa yang berdecak kesal.

Asyifa mendesah pasrah. Bima memang selalu penuh kejutan. Laki-laki itu kadang hadir di hadapannya saat dirinya tidak membutuhkan bantuan sahabatnya itu. Baginya, Bima pengertiannya kelewatan.

"Untung aja kamu udah punya cewek, Kang. Bisa-bisa aku dikira pacarmu." Asyifa berbicara sendiri. Ia segera masuk ke Vila, menyiapkan barangnya untuk dibawa pulang.

Sementara itu di luar, Bima tengah berbincang dengan Fadil, Ridhanu dan Faris.

"Kamu jemput Asyifa?" tanya Faris.

"Iya, Bro."

Ridhanu dan Fadil sudah menebaknya. Asyifa adalah tujuan Bima.

"Kalau yang nggak tahu kamu udah punya pacar, pasti dikira Asyifa cewekmu," kelakar Faris. Bima pun ikut tertawa. Faris adalah salah satu orang yang tahu tentang kekasih Bima.

"Udah punya calon, Pak?" tanya Fadil memastikan.

"Mohon doanya, Pak. Didoakan aktivis dakwah, cepat terkabul." Bima menepuk bahu Fadil.

"Oh, tentu saja aku doakan yang terbaik, Pak." Senyum Fadil mengembang maksimal. Ia lega mendapati kenyataan tersebut.

Ridhanu hanya menyimak. Ia kagum akan persahabatan Bima dan Asyifa yang sangat akrab. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro