Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tertidur setelah salat Subuh berimbas pada aktivitas pagi Ridhanu. Ia hanya sempat mencuci muka dan gosok gigi. Rumah kontrakan yang berisi tiga kamar itu terlihat lengang. Beberapa penghuninya sudah berangkat ke kampus. Hanya ada dua mahasiswa yang masih tertidur pulas. Ridhanu meraih tas dan kunci motor. Ia bergegas mengeluarkan kendaraan roda dua kesayangan yang dibawanya dari kampung halaman.

Ridhanu memperlambat laju motor begitu memasuki gerbang kampus tiga bagian depan. Bangunan dengan dua tiang kokoh bercat putih dengan papan nama Universitas Surya Gemilang itu seolah menyambut kedatangan seluruh civitas akademika. Baru juga sampai di jalan menurun dekat lapangan basket, antrian memasuki area parkir dekat helipad terlihat mengular. Pemuda dengan jaket berwarna merah kesayangannya tersebut mendadak gelisah ketika melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Lima menit lagi kelas akan dimulai.Tidak lama kemudian, kendaraan yang berada di depannya mulai bergerak maju.

Tempat pengambilan karcis parkir berada di belakang pos satpam. Ada dua orang petugas yang mengenakan seragam berwarna cokelat tua sedang sibuk mencatat nomor-nomor kendaraan yang masuk. Ridhanu terkekeh pelan saat melewati lokasi ini. Ingatannya tertuju pada kejadian tadi malam, saat melihat Asyifa berlari cepat menuju pos ketika melewati taman dekat perpustakaan.

Asyifa ... Asyifa, kamu orangnya lucu juga ternyata.

Tiin tiiin ...!

Suara klakson di belakang membuyarkan lamunannya. Segera diraihnya karcis yang diberikan juru parkir. Barisan motor sudah tertata penuh di area mendekati jalan ke arah helipad. Ridhanu terpaksa harus menempatkan motor di ujung halaman parkir dekat panjat tebing yang merupakan akses keluar dari parkiran. Sudah pasti ia akan terlambat masuk kelas. Ridhanu segera memacu langkah secepat mungkin.

Ridhanu tiba di kelas yang berada di gedung laboratorium Teknik Mesin dekat kantor Biro Administrasi Umum, tepatnya di ujung sebelah timur. Ia pun mengembuskan napas penuh kelegaan. Dosen belum tampak hadir di ruangan. Napasnya masih terengah. Jarak dari tempat parkir sekitar 200 meter hanya ditempuhnya dalam waktu lima menit!

"Presiden mahasiswa kok, terlambat, Rek," celetuk Gamal, teman sekelas Ridhanu yang juga kekasih Nida.

"Begadang," jawab mahasiswa penyuka nasi pecel itu singkat.

"Begadang bikin peraturan dilarang pacaran? Eh, bukan. Dilarang cinta lokasi?" Gamal terkikik dengan ekspresi mengejek.

"Pacarmu cepat banget nyebar berita. Dasar cewek," cetus Ridhanu seraya mengeluarkan buku dari dalam tas. "Jadi admin Lambe Turah cocok itu."

"Enak sekali ngata-ngatain pacarku."

Ridhanu tertawa. "Ampun, Sob."

Gamal menggeser kursi kayu yang ditempatinya, lalu mendekat ke arah sahabatnya itu. Tangannya menepuk punggung Ridhanu.

"Aku cuma mau bilang, hati-hati termakan peraturan sendiri. Apa ada jaminan kamu bisa menghindari cinta? Tiga tahun berteman, aku paham benar sifatmu."

Ridhanu menatap Gamal dengan pandangan penuh tanya. "Ngomong apa ini? Apa itu cinta? Makanan?"

"Ridhanu ... Ridhanu. Jangan alergi sama cinta. Patah hati boleh. Tapi disambung lagi hatinya."

"Berapa SKS mata kuliah tentang cinta?" ledek Ridhanu. Gamal masih saja bersemangat menceramahinya tentang cinta.

"Ingat nggak, Sob? Tahun pertama kita kuliah, kamu tergila-gila dengan mantanmu dulu itu. Ah, lupa namanya. Itu karena apa? Cinta lokasi di pesantren mahasiswa yang hanya lima hari itu. Di kampus dua sana, tuh."

Ridhanu hanya diam. Ia kembali membuka tas, kemudian mengeluarkan peralatan tulisnya.

Gamal masih melanjutkan ucapannya. "Nah, sekarang bayangkan. Satu tahun kamu bakal sering ketemu anggotamu. Ada empat cewek, kan, di BEM. Nggak menutup kemungkinan kamu bakal naksir salah satunya. Eits, kecuali pacarku."

Ridhanu hanya tersenyum sinis menanggapi ceramah panjang Gamal. Baginya larangan cinta lokasi dibuat karena ada dasarnya.

"Jadi, Sob--" Ucapan Gamal terputus saat dosen datang. Ridhanu terkekeh melihat wajah jengkel Gamal karena tidak tuntas menceramahinya.

Seratus dua puluh menit berhadapan dengan kertas, bolpoin, pensil, dan penggaris membuat Ridhanu kelaparan. Tiga tahun menyandang status sebagai anak kos, menjadikan dirinya sering melewatkan sarapan tepat waktu. Beruntung ia tidak sampai berteman dengan penyakit langganan anak kos, maag. Biasanya sebelum berangkat kuliah, ia selalu menyempatkan diri makan nasi pecel langganan yang berada di Jetis—satu kilometer dari arah barat kampus. Warung pecel itu sangat terkenal di kalangan mahasiswa. Bumbunya sangat melimpah. Harganya pun relatif terjangkau di kantong mahasiswa. Hal itu membuat warung tersebut hanya beroperasi dari jam lima sampai tujuh pagi. Lauk yang paling laris adalah Weci atau Ote-ote. Sedikit unik dibanding warung pecel lainnya yang menyajikan lauk seperti telur, tempe, atau empal daging.

"Sob, ayo ke Mak Nyak," ajak Ridhanu pada Gamal yang baru merapikan peralatan tulisnya.

"Ayo, lapar banget, nih. Nggak sabar pingin makan penyet tempe."

Kata penyet tempe Mak Nyak membuat Ridhanu harus bersusah payah menelan salivanya. Warung tersebut berada di belakang GKB 3. Letaknya bersebelahan dengan kuburan muslim. Soal cita rasa memang juara meskipun menu sederhana. Sambal tomat dan cabai berpadu dengan terasi udang menjadi kolaborasi sempurna yang bisa menggoyangkan lidah. Harganya pun sesuai kantong anak kos.

"Pesenkan dulu, Sob. Biasa, porsi jumbo. Aku mau hubungi sekretarisku dulu." Ridhanu mengeluarkan ponsel dari saku kemeja.

"Yang punya sekretaris baru, Rek," ucap Gamal dengan nada mengejek.

Ridhanu mengabaikan ucapan Gamal. Dalam organisasi, sekretarislah yang mempunyai tugas mengirim undangan. Tentu setelah mendapat perintah dari ketua. Jika bukan karena structural, Ridhanu bisa memastikan bahwa tidak akan mengirim WA untuk Asyifa terlebih dahulu.

Ridhanu segera mencari kontak Asyifa. Setelah tergabung dalam satu BEM, ia baru menyimpan nomor gadis itu. Ridhanu pun segera mengetik chat WA untuk Asyifa. Rupanya gadis itu sedang online.

Sekedar mengingatkan, tolong sms teman-teman untuk rapat malam ini, setelah isya.

Di Warkop Gapura.

Terima kasih.

Pesan sudah terkirim. Tidak lama berselang, balasan dari Asyifa masuk ke ponselnya.

Oke

Kedua alis Ridhanu saling bertaut. Senyuman pun terbetik di bibir.

"Sekarang kamu yang singkat dalam berbalas pesan, Asyifa," ujar Ridhanu lirih.

"Sob!" panggil Gamal sambil menggoyangkan tangan di depan wajah Ridhanu.

Ridhanu terkesiap. Ia segera memasukkan ponsel ke saku celana. "Udah pesennya?"

Gamal menganggukkan kepala. "Udah dari tadi. Eh, aku jadi khawatir liat orang senyum-senyum sendiri. Obat diminum rutin kan, Sob?"

Ridhanu menoleh ke arah sahabatnya dengan raut tanpa ekspresi. Ia lalu mengambil satu buah pisang yang ada di meja dan melahapnya. Terkadang jokes Gamal vibes bapak-bapak.

"Rupanya peraturan dilarang cinta lokasi bisa bikin senyum-senyum sendiri gini, ya. Kenapa aku nggak nyalon ke BEM Universitas aja kemarin." Gamal yang terpilih di Senat Mahasiswa Universitas masih melanjutkan ucapannya walaupun tidak ditanggapi oleh Ridhanu. "Eh, beneran nggak takut kena senjata makan tuan?"

"Maksudnya?" tanya Ridhanu yang akhirnya penasaran dengan ucapan Gamal.

"Karma."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro