Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semalam Asyifa tidak bisa tidur. Ia baru bisa memejamkan mata pukul dua malam. Efek dibonceng Ridhanu membuatnya menjadi salah tingkah sendiri. Alhasil, ia pun bangun pukul delapan pagi. Untung saja tamu bulanan sedang datang. Subuh pun tak terlewatkan.

Tangan kanan Asyifa meraba kasur. Tubuhnya masih telentang. Ia masih enggan beranjak. Padahal perutnya sudah keroncongan. Akhirnya, ponsel yang dicari sudah dalam genggaman. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuka WA.

Asyifa terperanjat hingga rasa kantuk benar-benar lenyap dari matanya. Ia pun sudah duduk bersila.

"Ridhanu?" Asyifa membuka chat dari sang ketua.

Bisa ke kampus sekarang?

Aku butuh stempel BEM.

Asyifa memukul dahinya. Sikap laki-laki itu makin dingin saja. Tidak ada basa-basi dalam pesan tersebut.

"Dasar makhluk es! Heemm lihat saja balasanku."

Asyifa mengirim balasan. Ia tergelak saat melihat dua huruf yang ditulisnya sendiri.

Bs.

Balasan pesan masuk dengan cepat.

Oke. Jangan lama-lama.

"Suka-suka gue, dong."

Asyifa tertawa puas. Ia terhibur dengan kesempatan bisa bersikap semaunya sendiri ke Ridhanu. Tanpa menunggu waktu lama, Asyifa bergegas meraih handuk yang tergantung di belakang pintu. Ia kemudian melangkah menuju kamar mandi. Ridhanu tentu tidak tahu berapa lama dirinya suka menghabiskan waktu saat mandi.

Satu jam kemudian.

Asyifa sudah tiba di gedung SC lantai empat. Ruangan di sekitar kantor BEM tampak ramai. Setelah saling sapa dengan teman-teman yang dikenalnya, Asyifa pun segera masuk ke kantor. Rupanya pintu sudah terbuka lebar.

Gadis itu mengucap salam. Hening, tidak tampak ada penghuninya. Ia pun menuju ke ruangan di belakang lemari besar. Sepi, hanya ada tas hitam dan jaket merah bersandar di kursi. Seketika, jantungnya berdetak cepat melihat baju hangat tersebut. Jaket yang dipakai Ridhanu saat dirinya pertama kali melihat laki-laki itu.

"Datang juga." Suara Ridanu terdengar dari arah pintu.

Asyifa menoleh untuk memastikan. Laki-laki berkemeja biru itu melewati dirinya yang diam tanpa ekspresi. Ridhanu langsung mengambil kursi dan mengeluarkan proposal yang selesai dibuat kemarin.

"Mana stempelnya? Surat pengajuan dana harus segera diserahkan ke pihak kemahasiswaan."

"Iya. Ini."

Asyifa menyerahkan bungkusan plastik putih. Mata gadis itu menatap Ridhanu dari arah samping, memandangi pemilik alis tebal yang sedang fokus dengan proposal di hadapannya. Aura penuh wibawa tampak jelas di wajah laki-laki bertubuh tegap itu. Dulu, menatapnya hanya mampu sejauh mata memandang. Sekarang, sedekat ini tetapi rasanya tetap sama. Dingin dan berjarak.

"Akhirnya! Beres juga," seru Ridhanu seraya mengemasi stempel ke tempatnya kembali.

Asyifa tergemap mendengar pekikan Ridhanu. Segera dialihkannya pandangan ke atas meja.

Ridhanu tersenyum samar. "Ayo, ikut ke kemahasiswaan. Aku lagi buru-buru mau bimbingan skripsi."

"Aku, Mas?" Asyifa lalu menoleh ke kanan dan kiri.

"Ada orang lagi selain kita di sini?" tanya Ridhanu sambil berlalu.

Asyifa beranjak dari kursi, kemudian melangkah keluar. Ridhanu sudah tidak terlihat di depan kantor.

"Cepat banget jalannya." Asyifa menutup pintu. Saat akan mengunci, ia langsung berbalik arah.

"Mas!" pekik Asyifa dari pagar depan kantor ke arah lantai tiga.

Ridhanu menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke samping. Ia pun melanjutkan langkahnya karena tidak menemukan sumber suara.

"Mas!"

Ridhanu tetap menyusuri anak tangga hingga sampai di lantai dua. Namun, suara panggilan itu semakin mendekat. Belum sempat ia menoleh, tas punggungnya serasa ditarik.

"Loh? Ngapain?" tanya Ridhanu penuh selidik. Gadis di depannya itu mengulurkan tangan. Ridhanu menautkan kedua alis mata.

Mau minta salaman? Ridhanu segera meraih tangan sekretarisnya itu.

Asyifa tersentak saat telapak tangannya bersentuhan dengan Ridhanu. Ia pun reflek menarik tangannya.

Ridhanu melongo melihat ekspresi gadis di depannya. Rona merah terlihat jelas di wajah kuning langsat tersebut.

"Kunci kantor," ucap Asyifa sambil menundukkan wajah. Ia menghela napas dalam. Peristiwa yang sempat terjadi tadi seketika membuat tangannya gemetar dan tubuhnya lemas.

Ridhanu merogoh saku celana denim sebelah kanan untuk mengambil kunci. Ia lalu menyerahkan benda dari logam tersebut kepada Asyifa. Gadis itu bergegas meraihnya, kemudian berlari menaiki tangga menuju lantai empat. Ridhanu menggelengkan kepala dengan senyum tipis melihat tingkah mahasiswi Psikologi tersebut.

Ridhanu masih berdiri di sana menunggu sekretarisnya turun kembali. Tidak lama kemudian, Asyifa datang. Mereka pun langsung menuju ke lantai satu. Suasana yang terjadi di antara keduanya semakin terasa canggung. Tidak ada yang mau mengawali perbincangan.

Jalan bareng patung. Asyifa melirik ke arah ketuanya itu.

"Assalammualaikum, Pak Pres. Mau ke mana?" Fadil tiba-tiba muncul dari dalam kantor Kemahasiswaan saat Ridhanu dan Asyifa akan masuk.

Ridhanu pun membalas salam. "Mau nyerahin proposal, Pak. Lagi part time?"

Fadil mengangguk sambil tersenyum. Mahasiswa jurusan Tarbiyah itu lalu menghadang Asyifa yang ingin mengikuti Ridhanu. "Eh, Asyifa setelah ini mau ke mana?"

Pertanyaan Fadil sontak membuat Ridhanu menoleh sekilas ke arah Asyifa. Kedua mata mereka sempat sekejap bersirobok.

Gelenyar pada tubuh yang dulu kerap dirasakan Asyifa saat melihat sosok Ridhanu, ternyata masih sama. Ia lalu tersenyum samar mendapati sorot mata pemuda yang bersikap dingin terhadapnya itu.

"Asyifa," panggil Fadil.

"Eh, em ... enggak kemana-mana kok, Kak."

Fadil mengacungkan jempol, kemudian memberitahu Asyifa untuk menunggu sebentar di depan taman depan SC. Asyifa mengiyakan permintaan itu, lalu menyusul Ridhanu yang sedang bercakap dengan karyawan kemahasiswaan.

Urusan di kemahasiswaan sudah selesai. Ridhanu dan Asyifa pun menuju ke pintu depan gedung tempat Pembantu Rektor Tiga bertugas.

"Mau ke mana tadi?" tanya Ridhanu tanpa menatap gadis yang berjalan di sebelahnya.

Asyifa menyipitkan mata, mencoba mencerna pertanyaan laki-laki yang menurutnya memiliki kharisma seorang pemimpin itu. "Ke mana?"

Ridhanu bergeming. Tidak menjawab pertanyaan yang diulang Asyifa.

"Oh ... itu tadi. Kak Fadil katanya mau ngomong sesuatu di depan taman," ungkap Asyifa sambil memainkan ponselnya.

Ridhanu menatap Asyifa sekilas, saat gadis itu tengah asyik dengan telepon genggamnya. Ia pun berbelok ke kiri gedung, menuju taman.

Asyifa mengernyitkan kening. Bukannya tadi dia buru-buru mau bimbingan? Kenapa malah duduk santai di kursi taman? Eh, kursi taman?

Asyifa menghentikan langkah. Ia memiliki memori yang kurang menyenangkan dengan tempat itu. Dan, dengan orang yang sama. Ia pun hanya berdiri di seberang taman.

Kenapa harus di sini? Sengaja apa mau bikin aku malu?

Asyifa terus menggerutu. Tangannya mulai asik dengan ponsel, demi mengusir kegelisahan. Asyifa segera mengirim chat ke Fadil untuk mengabari jika dirinya sudah di depan taman.

Bentar lagi aku ke sana, Asyifa.

Asyifa membaca balasan Fadil sembari tersenyum. Laki-laki itu selalu menyebutkan namanya secara utuh. Ia pun kerap menirukan cara bicara Fadil saat menyebutkan namanya. Penuh kelembutan.

Ridhanu duduk sambil memainkan ponsel. Ia sesekali melirik ke arah Asyifa. Heran meihat gadis itu malah berdiri di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro