26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

26

Ada banyak hal yang berubah sejak kemarin. Kalila telah menerima Jiro sebagai pacarnya dan, tentu saja, tak ada yang boleh tahu tentang hubungan mereka. Entah apa yang akan terjadi di masa mendatang. Kalila tak mau memikirkannya terlalu dalam karena hanya akan membuatnya sakit kepala.

Perkataan Jiro semalam membuatnya lebih tenang. Benar. Tak ada yang salah dengan hubungan mereka. Secara biologis, mereka bukanlah saudara. Dan seperti perkataan Jiro semalam bahwa Kalila tak perlu takut jika hubungan mereka berembus. Mereka cukup menyembunyikan hubungan tak wajar mereka di depan orang lain dan bersikap seperti biasa saja.

Akan ada waktu di mana Jiro memperjuangkan hubungan mereka karena saat ini masih terlalu dini untuk mengungkapkan kebenaran. Jiro mencintainya dan tak ingin kehilangannya lagi. Kalila yang berpacaran dengan Arvin membuat Jiro bertindak cepat karena Kalila mengingkari perkataannya untuk tidak berpacaran hingga lulus SMA.

Segala yang terjadi kemarin membuat Kalila semakin sadar bahwa perasaannya pada Jiro berbeda dengan perasaannya pada Adam maupun Trey. Kalila jelas menganggap Adam dan Trey seperti saudara kandungnya sendiri. Mungkin karena faktor perbedaan perlakuan mereka. Adam dan Trey memperlakukan Kalila sebagai adik. Sementara Jiro tidak.

Entahlah. Kalila tak tahu seperti apa itu jatuh cinta. Namun, yang jelas adalah Kalila merasa cemburu berat pada Ashana, senang dengan perlakuan manis Jiro, dan tak ingin jauh dari Jiro. Jika dia yakin telah menganggap Jiro sebagai kakaknya, maka dia tak akan mungkin menerima tawaran Jiro untuk membuktikan perasaannya lewat ciuman.

Apa pun itu, Kalila merasa nyaman dengan hubungannya yang baru bersama Jiro. Kalila senang Jiro memeluknya, mengusap kepalanya, mencium pipinya, dengan status mereka yang baru.

Kalila juga senang saat mobil berhenti karena lampu merah, lalu Jiro akan menarik tangan Kalila dan menyatukan jemari mereka dengan lembut. Jiro tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya karena masih menjaga batas saudara di antara mereka, tetapi kali ini tak ada yang perlu Jiro batasi lagi.

Namun, Kalila merasa sedikit kecewa. Jiro tidak mengubah panggilannya. Kalila memiringkan wajah dan menatap Jiro yang sibuk menyetir. "Kak Jiro nggak pengin ubah cara bicara Kak Jiro? Aku-kamu.... gitu!"

"Enggak, ah. Nanti gue keterusan di depan yang lain," balas Jiro. "Terus kalau lo juga nanti keceplosan, Adam dan Trey juga bakalan mau pakai aku-kamu ke lo."

Kalila menghela napas panjang. "Terserah, sih, asal Kak Jiro nggak aku-kamuan sama cewek lain."

"Kenapa juga gue harus aku-kamuan sama cewek lain?"

"Siapa tahu sama yang namanya Kak Ashana itu!" Kalila tak sadar berteriak. "Dia mukanya manis, nggak bosenin. Terus orangnya kalem. Kak Jiro nggak mungkin nggak suka sama dia!"

"Mungkin. Buktinya, satu-satunya cewek yang gue suka selama ini cuma lo."

Kalila menatap jendela kaca mobil yang tertutup sambil bersedekap. Mobil Jiro telah melewati jalanan depan sekolah. Mobil memelan, lalu berbelok ke gerbang utama yang terbuka lebar. Kalila masih tak mau bicara. Entah kenapa dia jadi tak tenang ketika memikirkan lagi tentang Jiro dan Ashana yang merupakan teman sebangku.

Bukan hanya itu, tetapi Kalila merasa kalah dari Ashana karena meskipun secara resmi dia adalah pacar Jiro, tetapi orang-orang hanya tahu bahwa mereka adalah saudara. Berbeda dengan Ashana yang hanya orang asing. Ibu dan Bapak pasti akan setuju jika Jiro dekat dengan cewek seperti Ashana.

Ada yang lebih mengganggu dari hal tersebut, yaitu tentang Jiro yang baru kali ini terlihat dekat dengan seorang cewek. Biasanya Jiro akan cuek pada cewek mana pun selain dirinya. Seolah Ashana punya tempat istimewa dalam garis takdir Jiro. Kalila merasa takut jika suatu saat nanti dirinya dan Jiro akan berpisah karena keadaan yang tak mendukung, lalu Ashana akan datang mengisi tempat kosong di hati Jiro.

Membayangkannya saja sudah membuat hati Kalila terasa berdenyut sakit, apalagi jika benar-benar terjadi? Ternyata benar. Dia menyukai Jiro sampai membuatnya sesakit ini hanya memikirkan Jiro dekat dengan cewek lain selain dirinya.

"Kemarin Kak Ashana bawa bekal dan obat buat Kak Jiro. Kak Ashana sampai rela-rela buatin makanan buat Kak Jiro. Mustahil banget kalau Kak Ashana nggak ada rasa sama Kak Jiro."

"Kalila."

"Kak Jiro pasti tahu kan Kak Ashana suka sama Kak Jiro? Nggak mungkin Kak Jiro nggak tahu. Dia sejelas itu kok sukanya."

"Kalila."

"Nggak mau ngomooong!" Kalila lalu menoleh saat Jiro memegang kepala Kalila dengan kedua tangannya dan membuat wajah Kalila kini berhadapan dengan wajah Jiro.

"Denger, Kalila sayang, dari dulu sampai sekarang dan sampai tahun-tahun mendatang, cuma lo satu-satunya yang ada di hati gue. Kenapa gue harus suka sama cewek lain disaat lo sendiri udah menarik perhatian gue empat tahun lalu? Empat tahun itu bukan waktu yang singkat, Kalila."

"Selama itu, nggak mungkin Kak Jiro nggak lirik cewek lain."

"Beneran enggak, kok. Enggak ada yang menarik soalnya."

"Bohong."

"Beneran."

"Bo—"

CUP. Kecupan singkat itu membuat Kalila membelalak. Dia langsung melihat ke depan mobil dengan jantung berdebar. Untunglah, tak ada siapa-siapa yang bisa saja melihat mereka dari luar sana.

Ketika Kalila kembali menghadap Jiro, ingin mengomel karena sikap Jiro yang tak tahu tempat, tetapi dia urungkan karena Jiro mengusap-usap puncak kepalanya dengan lembut. "Ayo, gue anterin ke kelas. Sekalian gue pengin mantau Arvin, apa dia masih berani lirik diam-diam cewek gue."

Kalila cemberut mendengar nama yang tak ingin dia dengar, tetapi kemudian mengangguk patuh saat Jiro membuka sabuk pengaman Kalila.

***

Jiro hanya singgah sebentar melihat penjuru kelas dan tak ada Arvin maupun Emily, mereka belum datang, lalu cowok itu berjalan lurus untuk ke kelasnya sendiri.

Sejak bermusuhan dengan Emily karena insiden itu, Kalila merasa malas berada di kelas yang sama dengan Emily. Jika bisa dipindahkan ke kelas lain, maka sudah dia lakukan sejak memergoki Arvin dan Emily. Sayangnya, apa yang bisa dia lakukan hanya sebatas pindah tempat duduk.

"Bisa bicara sebentar?"

Kalila mengernyit saat didengarnya suara yang paling tidak ingin dia dengar. Terpaksa dia mendongak untuk menatap pemilik wajah memuakkan yang sedang berdiri di depan mejanya. Arvin, cowok tak tahu diri itu, berani-beraninya memunculkan diri di depannya. "Enggak."

"Please...."

Kalila menunduk, kembali mencoret kertas kosongnya. Wajah Jiro yang hampir berhasil dia gambar dengan cepat kini rusak karena suasana hatinya yang buruk.

"Kalila."

"Jangan sebut nama gue!" bisik Kalila tertahan. Satu-satunya yang boleh menyebut namanya seperti itu adalah Jiro. "Minggir sana!"

Namun, Arvin malah menarik pergelalangan tangan Kalila dan memaksanya berdiri. Kalila yang tak punya tenaga cukup untuk menandingi tenaga cowok itu, berakhir berdiri dan melangkah dengan paksa. Arvin mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Kalila dan membuat Kalila meringis. Cowok itu berhenti di ujung lorong lantai dua dan memasang wajah sendu, lalu dia membelalak saat Kalila memegang tangannya yang kesakitan.

"G—gue megangnya kekencengan, ya?" Arvin berusaha memegang pergelangan tangan Kalila, tetapi Kalila berhasil menghindar. "Gue mohon, Kal. Maafin gue. Gue bodoh banget nyia-nyiain kesempatan buat pacaran sama lo. Gue ngaku salah, tapi tolong jangan diemin gue kayak gini karena gue ngerasa nggak tenang belakangan ini."

Kalila menutup rapat-rapat bibirnya. Dia tak mau mengeluarkan sepatahkata pun, khawatir dia akan mengatakan sumpah serapah yang membuat cowok di depannya itu tersinggung dan semakin mengganggunya.

"Kalila, please, gue mohon—"

BUK. Sebuah bola basket mengenai wajah Arvin dan membuat cowok itu hampir terjatuh ke belakang jika saja tak segera mengendalikan posisi berdiri. Darah segar mengalir dari hidungnya tak lama kemudian.

"SIALAN!" Teriakan Trey dari jauh membuat Kalila sudah menduga itu. Bola basket yang dia gunakan untuk melempari wajah Arvin memantul di lantai beberapa kali hingga berhenti dan mengguling kembali ke arah Trey, seolah tahu pemiliknya. "ANDAIKAN NGGAK ADA PENJARA DI DUNIA INI, GUE BAKALAN LEMPAR KEPALA BAGIAN LAIN LO SUPAYA GEGER OTAK!"

Arvin mengangkat wajah dan memencet hidungnya. Kalila langsung berlari ke arah Trey dan menarik adiknya itu untuk segera pergi dari sana.

"Kenapa lo ninggalin gue sendirian dan malah perginya bareng Kak Jiro?" tanya Trey, bukannya membahas hal barusan malah membahas hal lain. Kalila tak melihat wajah Trey sekarang karena sibuk melihat jalan dengan panik, tetapi dia bisa membayangkan bibir Trey sedang manyun sekarang. "Jadi, sekarang lo lebih milih Kak Jiro daripada gue, Lil?"

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro