4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

4

"Gue masih nggak nyangka Jiro sekolah di SMA ini juga! Waktu MOS aja dia jadi incaran kakak kelas cewek. Lo beruntung banget Shan bisa sekelas sama dia."

Ashana menutup bukunya. Dia lelah. Jiro, Jiro, Jiro, dan Jiro. Tiada hari tanpa mendengar nama itu. Di antara beberapa anak yang satu SMP dengan Jiro, hanya Ashana lah teman satu SMP Jiro dan kini sekelas dengan cowok itu di kelas X ini.

Sialnya, entah sejak kapan Ashana menyukai cowok yang memiliki lesung pipit di kedua pipinya itu.

Ashana memejamkan mata dan meringis. Mereka bahkan tak pernah saling bertegur sapa. Jiro juga tak mungkin tahu keberadaannya. Tak mungkin juga Jiro tahu bahwa Ashana adalah teman satu SMP cowok itu. Meskipun satu SMP, tetapi mereka berbeda kelas. Tak sekalipun ada kesempatan di mana mereka bertemu apalagi saling bicara.

Ketika melihat nama Jiro ada dalam deretan kelas yang sama dengannya di kelas X, jantung Ashana langsung berdetak kencang. Itu seperti mimpi. Namun, mereka sudah berada di kelas yang sama dan cowok itu masih sulit dia gapai.

"Denger-denger, tentang dia yang playboy tuh nggak bener, tahu," kata Tasha, teman SMP Ashana yang saat ini kembali satu sekolah dengannya. Sayang sekali, mereka berada di kelas yang berbeda. "Dia katanya nggak pernah pacaran, tapi sering PHP-in cewek yang pernah dekat sama dia."

Ashana menatap lapangan basket.

"Lo tahu Tyas, kan?" tanya Tasha. "Cewek tercantik angkatan kita waktu SMP! Pernah ditolak sama Jiro. Kasihan banget. Padahal tuh anak katanya udah koar-koar kalau lagi PDKT-an sama Jiro, eh ujung-ujungnya malah nggak jadi. Malu banget pasti."

"Hm...." Ashana mendongak, menatap langit yang cerah.

Jiro memang terlihat seperti cowok dengan perlakuan yang manis. Beberapa kali Ashana melihat Jiro memperlakukan cewek yang ada di dekatnya dengan perlakuan yang bisa membuat cewek-cewek itu salah paham.

"Dia tuh suka ghosting!" seru Tasha, lalu menghela napas sambil bertopang dagu. "Cowok yang bahaya."

Ashana setuju. Jiro adalah cowok yang berbahaya karena bisa membuat Ashana jatuh cinta.

Suara bel membuat Ashana dan Tasha segera bangkit dari pinggiran taman yang mereka duduki. Tasha melambai sambil berlari kencang. Mereka berpisah di koridor berbeda. Ashana melanjutkan perjalanannya menuju kelas. Dilihatnya siswa-siswi bergegas memasuki kelas sampai membuat beberapa dari mereka saling himpit.

"Ah, Pak Ilyas," gumam Ashana, mengingat guru yang masuk di jam pertama adalah guru matematika yang akan marah jika kelas masih berisik saat beliau datang.

Ashana ikut bergegas dan ketika dia tiba di pintu, bahunya bertubrukan dengan seseorang. Ashana mengaduh dan menoleh. "Ah, ma ... af."

Seseorang yang bertubrukan dengan bahunya itu ternyata adalah Jiro.

"Ladies first," kata Jiro sambil menyingkir dengan senyum kecil yang tercetak di wajahnya.

Ashana segera melangkah dengan cepat, lalu duduk di kursinya dengan tangan yang lemas. Jantungnya semakin berdegup kencang ketika cowok itu berjalan di sampingnya untuk di bangku milik cowok itu yang berada jauh di belakang sana.

***

"TREY! TREY! TREY! TREY!"

Suara teriakan di tribun penonton dipenuhi oleh suara para siswi SMP. Ada dua tim yang masing-masing merupakan tim dari SMP ini dan SMP lawan yang sedang bertanding basket di lapangan itu. Trey menjadi bintang utama. Baik hari ini dan hari-hari lainnya. Cowok itu sedang tebar pesona dengan cara menyugar rambutnya yang basah karena keringat. Cewek-cewek di tribun langsung berteriak heboh melihat ketampanan sang kapten basket.

"Huek." Kalila rasanya mau muntah melihat Trey yang sok ganteng di sana. Mereka tak tahu saja betapa baunya kentut saudara laki-lakinya itu saat ingin buang air besar.

"Aaaa Trey makin hari makin ganteng!" teriak cewek di samping Kalila, sahabatnya sejak kelas tujuh, Anggini.

Tak ada yang tahu bahwa Kalila dan Trey bersaudara, termasuk Anggini. Kalila merahasiakan hubungan saudara mereka karena belajar dari pengalaman saat masih SD, di mana Kalila selalu saja diganggu oleh beberapa anak perempuan hanya karena mereka ingin dekat dengan Trey. Kalila bersyukur bisa memahami kondisi dan bisa bersepakat dengan Trey yang juga tak mau mengakuinya sebagai saudar di depan teman-teman baru cowok itu.

PRIIIT! Suara peluit menandakan pertandingan persahabatan ini berakhir. Tim Trey menang dengan poin 45 sementara tim lawannya dari SMP lain tertinggal jauh, tak sampai setengahnya.

Para siswi masih bertahan di tribun hanya untuk melihat Trey yang sedang istirahat di tepi lapangan. Cowok itu mendongak saat minum dari botol air mineralnya. Matanya melirik ke tribun dan langsung bertatap mata dengan Kalila. Meski dari jauh, Kalila bisa melihat senyum nakal dari cowok itu.

Anggini memukul-mukul lengan Kalila dengan membabi buta. "Lila! Lila! Dia ngelihat ke arah sini nggak, sih?"

Kalila menghela napas panjang. "Iya, ngelihatin lo kali."

Seketika Anggini berteriak histeris. "AAA, MASA, SIH? JANGAN BIKIN SALTING, DEH!"

Kalila menepuk jidatnya. Terserah, lah. Baik Anggini maupun cewek-cewek lain, mereka semua itu sedang masa puber. Jadi, wajar saja jika mudah jatuh cinta jika melihat cowok yang tampan sedikit.

***

"Nggak ada yang lihat, kan?" tanya Kalila ketika Trey menyusul masuk di kursi penumpang bagian belakang, tepat di samping Kalila. Kalila langsung menjepit hidungnya dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Ugh! Lo belum mandi, ya?"

"Gimana bisa gue mandi di sekolah? Ganti baju doang ini mah," balas Trey sambil mendekati Kalila dengan sengaja.

Walau bau keringat yang normal dan tidak bau ketek yang buat mual, tetapi Kalila trauma dekat-dekat dengan Trey saat cowok itu berkeringat. Trey pernah memeluknya dalam keadaan pakaian yang basah karena keringat banyak. Itu terjadi beberapa minggu lalu saat Trey pulang joging dan langsung memeluk Kalila dengan kaos oblong hitamnya yang basah. Untung saja ada Adam yang langsung menarik Trey agar menjauhi dari Kalila dan Adam langsung menceramahi Trey karena bersikap kurang ajar.

"Jalan, Pak," kata Trey pada sopir pribadi mereka.

Keduanya memang masih berangkat dan pergi bersama. Di pagi hari, Trey akan turun di lokasi yang sedikit jauh dari sekolah, lalu berlari di sepanjang trotoar hingga tiba di sekolah, katanya sekalian olahraga pagi. Begitupun saat pulang, Kalila akan dijemput di depan gerbang sekolah dan Trey akan dijemput di tepi jalan.

"Temen gue fan berat lo," kata Kalila. "Lihat cewek yang di samping gue tadi? Yang sering bareng gue itu loh, si Anggini."

Trey menaikkan alis. "Nggak lihat. Tadi kan gue merhatiin lo terus."

Kalila memutar bola mata. "Awas aja kalau sampai kesebar kalau kita sodaraan!"

Trey berdecak, lalu dia menghadap ke sampingnya. "Bentar lagi kita SMA. Kak Adam dan Kak Jiro ada di SMA yang sama. Gue yakin Ibu dan Bapak bakalan nyuruh kita sekolah di SMA mereka. Semester genap nanti ada pengumpulan berkas bebas tes, lo harus coba ikut kirim berkas. Gue juga bakalan coba. Pokoknya kita musti coba di semua kesempatan."

Tadinya, Kalila ingin mencoba di SMA yang berbeda. Dia tak mau berada di sekolah yang sama dengan Trey lagi karena akan membuatnya kesulitan. Namun, Kalila ingin berada satu sekolah dengan Jiro. Mereka sungguh jarang bertemu. Satu-satunya jalan adalah memasuki SMA yang sama dengan Jiro.

"Semalam gue denger Ibu ngobrol sama Bibi lewat telepon." Trey menarik rambut Kalila dengan iseng. "Katanya, Bibi hamil. Terus Jiro mau balik ke rumah."

Kalila tak jadi marah karena Trey mengusik rambutnya. Dia menoleh pada Trey dan menatap cowok itu tak percaya. "Serius...?"

"He'em. Ngapain juga gue bohong soal ginian? Apa lo nggak aneh? Tadi pagi Mama masuk ke kamar yang biasanya buat tamu, di samping kamar lo itu. Kayaknya udah mau arahin Mbak buat beres-beresin kamar itu. Pindahnya Kak Jiro, nih, nggak tahu kapan."

"Oh." Kalila kembali bersandar di kursi mobil. Dia tiba-tiba merasa gugup.

Jiro akan kembali ke rumah....

Hubungannya dengan Jiro terasa sangat berjarak dan canggung. Bando putih hadiah Jiro dua tahun lalu sudah patah karena jatuh dari lantai dua. Kalila benar-benar sedih saat itu.

"Nah, Kakak lo bertambah!" seru Trey. "Kalau Kak Jiro udah balik ke rumah, panggil gue Kakak. Lo paling kecil di rumah, pokoknya."

"Lo yang paling kecil! Paling bungsu! Bodo amat!" seru Kalila.

"Lupa lo? Gue pernah bilang kan, siapa yang paling tinggi berarti dia yang Kakak!"

"Kalau dilihat dari tinggi badan, emang lo lebih tua dari Ibu, hah?"

"Itu beda!"

Mereka bertengkar sampai sopir hanya bisa geleng-geleng kepala.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro