50

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

happy reading

love,

sirhayani

vote dulu sebelum baca, yaa 😍 terima kasih❤️🫶🏻50

Saat melihat bibir Jiro yang luka, Adam langsung teringat oleh seorang teman di kampusnya. Bibir bawah temannya terluka karena katanya digigit oleh sang pacar yang sedang marah. Adam yang sejak dulu mencurigai hubungan Jiro dan Kalila, tentu saja langsung memikirkan hal itu ketika melihat luka di bibir bagian bawah Jiro yang terlihat masih baru.

Meski segala perkataan Jiro tadi terdengar masuk akal, tetapi Adam tak juga langsung berhenti mencurigai Jiro. Meski Adam tak pernah hanya fokus pada bibir Kalila, tetapi entah kenapa Jiro sempat salah fokus pada bibir Kalila yang sedikit bengkak. Bagaimana mungkin Adam tidak semakin curiga pada hubungan mereka berdua?

Ketika dia menarik Kalila menuju kamarnya, Jiro menatapnya dengan pandangan tak suka. Bahkan adik pertamanya itu mengikuti mereka dari belakang. Adam melepaskan genggaman tangannya dari Kalila ketika mereka memasuki kamar Adam yang bau harum lavender. Dia melepas ranselnya, menaruhnya di atas tempat tidur. Kemudian dia duduk di tepi tempat tidur sembari membuka kaos kaki.

Kalila melangkah ke jendela yang terbuka lebar. Angin bertiup pelan memasuki kamar ini. Kalila sibuk dengan udara yang dia hirup sementara Jiro baru saja memasuki kamarnya dan duduk di sofa sambil mengambil remote televisi, memencet tombol on.

"Masa ngajakin Kalila doang? Nanti orang lain yang lihat jadi salah paham, loh," kata Jiro.

Kalila menoleh dan tak mengatakan apa-apa. Namun, Adam sadar dari ekspresi tak biasa Kalila sejak tadi, cewek itu jelas khawatir akan sesuatu.

Adam tak ingin mencurigai adik-adiknya memiliki hubungan istimewa, tetapi segala kecurigaan Adam semakin membesar. Sudah setengah tahun dia tak bisa memantau mereka berdua sehingga kekhawatiran bahwa kedua adiknya itu memiliki hubungan khusus, memanglah bisa terjadi.

"Salah paham gimana?" tanya Adam, menatap Kalila yang canggung. "Kalila kan adik gue. Apa yang harus disalahpahami di antara kami?"

"Kalila~" Panggilan dari Ibu pada Kalila yang terdengar sampai ke kamar Adam, membuat tiga remaja itu terdiam karena teralihkan oleh suara Ibu.

"Iya, Buuu!" seru Kalila sambil berlari ke luar kamar. Cewek itu menatap Adam dan Jiro bergantian. "Ibu manggil gue, doang. Gue pergi dulu kakak-kakak!"

Kalila melambaikan tangan dan setelah Kalila tak terlihat lagi, Jiro bangkit berdiri. Adam segera menutup pintu. Tak dia biarkan Jiro pergi darinya sebelum mendapatkan kejelasan.

Jiro menaikkan alis tinggi-tingi. "Kenapa?"

"Duduk." Adam menggerakkan kepalanya ke arah sofa. "Ada yang pengin gue bahas."

Tak banyak protes, adiknya itu kembali duduk di tempat semula. Adam melangkah hingga berhenti tak jauh di hadapan Jiro dengan posisi berdiri. Sejak dulu, Adam selalu menahan diri atas kecurigaannya pada Jiro. Namun, sekarang Adam tak bisa diam saja. Meskipun akan langsung terjawab jika dia bertanya pada Kalila langsung, mengingat Kalila tak bisa menyembunyikan rahasia lewat bahasa tubuhnya, tetapi Adam tak ingin Kalila menjadi canggung padanya dan tak bersikap seperti dulu lagi.

"Gue udah curiga ini dari lama. Apa lo punya hubungan istimewa sama Kalila?"

Jiro mengangkat alis. "Hubugan istimewa?"

"Gue yakin lo tahu maksud gue." Balasan Adam tak membuat Jiro membuka suara. Adiknya itu hanya berdecak dan memalingkan wajah sembari menyandarkan punggungnya yang sebelumnya dia duduk tegak di sofa. "Gue sayang sama Kalila. Sebagai adik gue. Seolah dia adik kandung gue. Trey juga sama. Dia mandang Kalila seolah Kalila itu saudara kandungnya. Tapi kenapa, di rumah ini, cuma lo satu-satunya keluarga yang lihat Kalila dengan cara yang beda?"

Jiro menatapnya. "Gue lihat Kalila dengan cara yang beda?"

"Ya, seolah di mata lo, Kalila tuh perempuan yang lo cintai. Bukan adik yang lo sayangi," balas Adam dengan jujur. "Kalila juga. Di antara kita bertiga, sikapnya lebih beda ke lo. Apa yang udah lo lakuin ke dia? Lo enggak ngerusak pikiran Kalila, kan? Gue enggak tenang. Bibir lo itu, bukan digigit Kalila, kan?"

Jiro menyentuhkan ibu jarinya ke bibir, mengusap lukanya yang darahnya sedikit mengering. "Mau gue gigit sendiri atau digigit Kalila. Itu bukan urusan lo."

"Itu urusan gue," balas Adam dengan cepat. "Bahkan Kalila kelihatan paling panik. Apa yang udah lo perbuat ke dia?"

Jiro berdecak.

"Oke, gue harap memang bibir lo luka karena lo sendiri, tapi ingat, Kalila hidupnya enggak aneh-aneh dari dulu. Sejak gue jarang di rumah dan tiap gue ketemu dia, gue ngerasa ada yang beda dari dirinya. Bahkan Trey selalu ngeluh ke gue, lo dan Kalila jadi makin akrab sampai ngebuat Trey enggak bisa kayak dulu lagi bareng Kalila. Lo tolong jangan ngerusak pikiran Kalila dengan hal-hal buruk. Sepertinya, dia nggak deket sama cowok mana pun selain lo. Kalau Kalila bertingkah buruk, gue anggap lo yang udah buat dia jadi seperti itu."

Jiro bangkit dari sofa setelah terlihat dia menahan amarah. Adam tak bisa menyaring semua perkataannya. Segala yang dia pikirkan keluar begitu saja dan tak bisa dia hentikan.

Sekarang, Jiro berdiri di depannya dengan jarak dekat. Memandangnya dengan tatapan kesal. "Kalau pun gue jatuh cinta sama Kalila memangnya kenapa? Nggak sedarah, kok."

"Apa maksud lo ngomong gitu?" Adam mengepalkan kedua tangannyadi sisi tubuh. Dia baru pulang ke rumah dan tak menyangka akan langsung menghadapi masalah ini. Adam masih mencoba berpikir bahwa ucapan Jiro hanya sebuah pemisalan, bukan kenyataan. Sehingga Adam bisa menahan dirinya untuk tidak melayangkan pukulan di wajah adiknya itu. "Kita semua saudara, Bajingan. Gue, lo, Trey, Kalila. Kita semua sepersusuan. Ibu kita sama, yaitu Ibu. Kalila tetap adik kita bertiga yang enggak boleh lo lihat dengan cara berbeda."

"Kalau gue lihat dia dengan cara berbeda karena bukan keinginan gue, tapi karena perasaan gue?"

Adam menyipitkan mata. "Apa maksud lo ngomong gitu?"

"Apa lagi?" Jiro tersenyum paksa. "Sejak kecil gue enggak pernah anggap dia adik gue. Gue suka sama dia dan mandang dia sebagai perempuan. Gue punya perasaan sama dia. Gue punya harapan buat menikahi Kalila dan bisa dapetin restu Ibu dan Bapak."

Adam mendongak dan menghela napas panjang. Dadanya sesak mendengar sebuah pengakuan dari Jiro. Bagaimana mungkin Jiro bisa menyukai adiknya sendiri? Ditatapnya Jiro dan berusaha untuk tetap tidak melayangkan pukulan. Dia selalu tenang jika berhadapan dengan sebuah masalah, tetapi masalah kali ini membuat emosinya nyaris menguasainya. "Lo serius? Kenapa lo punya pikiran yang menjijikan kayak gitu, huh? Lo cuma pengin bercandain gue dan buat gue marah, kan?"

"Menjijikan?" Jiro mendengkus, terlihat sebal. "Iya, di mata lo gue memang menjijikan karena gue suka sama adik gue sendiri, tapi gue udah bilang, kan? Kalila bukan adik gue dan selamanya bukan adik gue. Gue berhak suka sama dia."

Adam menelan ludah, getir. Matanya memanas setelah mendengar pengakuan Jiro yang tak masuk akal. Lagi-lagi dia bertanya dalam hati, bagaimana mungkin dia menyukai adik sendiri?

"Sejauh mana hubungan kalian?" Adam mendengkus. Dia sejujurnya tak mau mendengar pengakuan Jiro tentang sejauh mana hubungan mereka karena sebagai seorang kakak, Adam tak ingin terluka mendengarnya. Akan tetapi, untunglah Jiro tak menjawab pertanyaannya. "Sejauh apa pun itu. Berhenti mulai sekarang. Gue enggak mau keluarga ini jadi berantakan karena masalah yang lo buat. Gue enggak pengin masalah ini sampai diketahui Ibu dan Bapak. Jadi, gue bakalan tutup mulut. Tolong berhenti dari sekarang sebelum semuanya semakin jauh. Masih banyak cewek di luar sana. Bukan cuma Kalila cewek di dunia ini." Adam berbalik dan melangkah untuk membuka pintu agar Jiro keluar dari sana dengan segera. Dia perlu menenangkan diri.

"Gue tahu bukan cuma Kalila satu-satunya cewek di dunia ini." Perkataan tiba-tiba Jiro setelah sebelumnya hanya diam membuat Adam menghentikan tangannya yang baru saja akan menyentuh gagang pintu kamar. Dia menoleh ke belakang. "Tapi, perasaan gue cuma untuk Kalila. Gue enggak akan berhenti suka sama dia. Apalagi mencoba untuk jauhin dia. Terserah lo mau anggap gue bajingan. Atau anggap gue manusia paling menjijikan di dunia ini. Gue enggak akan nurutin keinginan lo dan tetap pada pilihan gue."

Adam tak mungkin bisa mengatakan fakta ini pada Bapak apalagi Ibu. Adam tak ingin suasana rumah menjadi berantakan. Dan sepertinya, Jiro mengerti diri Adam yang mementingkan ketenangan dan kenyamanan dalam rumah sehingga Jiro mengatakan tanpa ragu atas penolakannya pada keinginan Adam.

Adam bahkan tak ingin meminta kepada Kalila langsung agar menjauh dari Jiro karena dia tak ingin Kalila canggung padanya. Dalam hal ini, satu-satunya yang bisa Adam lakukan adalah memohon kepada Jiro untuk menjauhi Kalila. Namun, Jiro bahkan tak menginginkan hal itu.

"Lo serius ngomong kayak gitu?" tanya Adam dengan hati-hati. "Lo enggak mikirin perasaan Bapak dan Ibu?"

"Ngapain?" Mata Jiro terlihat berkaca-kaca. "Bahkan mereka enggak pernah ngerti perasaan gue dari gue kecil."

Adam membisu, lalu dia mengembuskan napas dengan berat. "Apa pun itu, terserah. Masalah hubungan kalian itu enggak ada jalan keluarnya."

Jiro menunduk dalam. "Gue tahu...."

Setiap kali Adam melihat luka di bibir Jiro, pasti dia akan teringat bibir Kalila yang sedikit bengkak seolah habis dicium. Adam mengepalkan tangannya. Dia benar-benar marah. Jiro sudah mengakui hubungannya dengan Kalila dan tentu saja adik yang lebih tinggi lima senti meter darinya itu adalah pelakunya.

Kalilanya yang polos tak akan mungkin mau dicium jika bukan orang yang dia sukai yang meminta. Adam melangkah ke dekat Jiro. Dia tarik baju adiknya itu dan dengan cepat dia layangkan kepalannya ke sudut bibir Jiro yang terluka. Jiro terjatuh di lantai tanpa perlawanan seolah dia siap menerima setiap pelajaran dari sang kakak.

"Sialan." Adam masih berdiri sambil menatap langit-langit kamar. "Kenapa lo malah nodain adik gue. Sial."

"Oh? Apa kelihatan jelas gue habis cium dia?" tanya Jiro dengan santai. Dia masih duduk di lantai sambil mengusap luka yang bertambah di bibirnya.

Kepalan tangan Adam tak pernah mengendur. Dia benar-benar kesal pada kenyataan itu. Dadanya sesak, membayangkan adik perempuannya berada dalam masalah yang rumit. Selama ini, Kalila terlihat baik-baik saja di hadapan Jiro. Itu artinya, Kalila menyukai Jiro juga, kan?

Adam memejamkan mata sembari mengembuskan napas panjang. Dia sudah punya banyak pikiran di hari pertama liburannya. Ditatapnya Jiro yang baru saja berdiri. "Keluar sekarang. Sebelum gue buat muka lo makin hancur dan malah akan ngebingungin orang-orang rumah."

Jiro melangkah menuju pintu kamar.

"Apa pun caranya. Tolong akhiri secepatnya hubungan kalian berdua. Kalau lo enggak mulai dalam waktu dekat, gue akan ngomong langsung ke Kalila buat jauhi lo."

Pintu kamarnya dibuka, lalu tak lama kemudian tertutup rapat. Jiro baru saja pergi tanpa balasan apa pun dan Adam langsung merebahkan diri di atas tempat tidur sambil memijat pelipisnya yang berdenyut-denyut.

Jiro memang keras kepala. Namun, Kalila pasti akan mendengarnya dengan baik jika dia mengatakan keluarga ini akan berantakan jika sampai ketahuan Ibu atau Bapak. Meski dia harus menerima risiko Kalila tak bersikap seperti dulu lagi padanya, tetapi yang terpenting saat ini adalah hubungan Jiro dan Kalila harus segera berakhir sebelum yang lain tahu.

***

Jiro memasuki kamarnya dan merenung di dekat jendela kamar. Tak menyangka, hari di mana Adam mengetahui hubungannya dengan Kalila akhirnya datang juga. Seorang seperti Adam tentu saja tak akan ingin sampai Bapak dan Ibu tahu. Masalah akan semakin besar jika Bapak mengetahui hubungannya dengan Kalila.

Sejak awal, Jiro juga sudah sangat tahu bahwa hubungan yang dia jalani dengan Kalila akan sulit. Dulu, satu-satunya yang dia pikirkan untuk keluar dari masalah ini adalah menghamili Kalila di mana Kalila akan menyerahkan diri dengan sukarela, tanpa paksaan. Dengan begitu, Bapak dan anggota keluarga lain tak akan bisa menghalangi mereka untuk menyatu, kan?

Namun, Jiro sudah tak ingin memakai cara itu lagi. Entah bagaimana mereka akan berakhir nantinya, tetapi Jiro akan memikirkan caranya seiring berjalannya waktu walau rasanya tetap saja buntu. Mereka juga masih remaja dan mungkin jika dia berusaha, maka sepuluh tahun lagi dia akan mendapatkan jalan keluarnya. Hal paling penting sekarang adalah membuat Kalila nyaman agar cewek itu tidak pergi demi menyusul keluarga kandungnya yang mungkin saja memang benar ada di masa depan.

Frustrasi. Cowok itu menyandarkan kepalanya di dinding sambil menghela napas. Entah kenapa, pilihan untuk menghamili Kalila adalah pilihan paling tepat. Bukankah selain bisa membuat Bapak dan Ibu tak punya pilihan selain menyatukan mereka, juga bisa membuat Kalila tetap di sisinya? Kalila tak mungkin tega membiarkan anak mereka terlahir tanpa seorang ayah, kan?

Jiro mendengkus. Sepertinya, pikirannya ini di desain kotor. Meski sudah berjanji untuk tidak menyentuh Kalila, tetapi tetap saja dia masih tak bisa untuk tidak mencium Kalila seperti apa yang terjadi hari ini.

Jiro tak akan mementingkan keegoisannya. Dia tak ingin menjadi cowok berengsek di mata Kalila. Meski Kalila tidak pernah menolak ciumannya selain saat cewek itu sedang waswas karena takut ketahuan, tetapi Jiro berjanji untuk perlahan-lahan membatasi skinship. Jika terlalu sering, maka Jiro khawatir akan ada satu kejadian di mana dia tak bisa menahan diri lagi dan berakhir menghamili Kalila karena ketidaksengajaan.

Memang tak ada jalan lain selain mengakhiri hubungan mereka dengan segera. Demi keluarga, dia harus mengesampingkan perasaan pribadinya. Namun, Jiro sulit melepas Kalila. Selain karena dia menyukai Kalila, juga karena Kalila memiliki aura positif yang bisa membuat Jiro tenang hanya dengan melihatnya.

Perjalanan masih panjang, tetapi entah kenapa Jiro merasa khawatir dengan apa yang terjadi mulai hari ini hingga beberapa tahun ke depan.

***


 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro