52

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


happy reading!

love,

sirhayani

vote dulu sebelum baca, yaa 😍 terima kasih❤️🫶🏻

52

"Ini udah sore, Kalilaaa!" Ibu berseru frustrasi pada Kalila yang tersenyum lebar sambil memegang pelampung donat yang sudah melingkar di pinggangnya. Ngomong-ngomong, dia memang tidak bisa berenang. Padahal kata Ibu, dulu dia bisa berenang saat masih bayi.

"Justru sore itu bagus buat renang loh, Bu." Dia telah siap dengan baju renang hitam selutut dan bagian lengan menutupi hampir sikunya. Rambutnya juga sudah tertutupi topi renang. "Karena enggak bisa ke atlantis hari ini, maunya renang sekarang aja. Ibu juga siniii. Aku udah panggil Kak Adam, Kak Jiro, sama Trey."

Panjang umur! Trey langsung muncul dan hanya mengenakan celana pendek di atas lutut. Yap, Trey bertelanjang dada. Namun, Kalila sudah terbiasa dengan pemandangan Trey yang seperti itu. Mungkin Anggini atau cewek-cewek lainnya akan memiliki pandangan sendiri terkait Trey yang bertelanjang dada.

Adam juga muncul dan langsung melompat ke kolam. Disusul Jiro yang membuat Kalila langsung mengerjap. Di antara mereka bertiga, Kalila memang agak kikuk melihat Jiro bertelanjang dada karena memang Jiro satu-satunya cowok yang bukan saudaranya.

Jiro tidak langsung terjun ke kolam seperti Adam dan Trey. Dia hanya berdiri di sisi kolam lain sembari mencelupkan ujung kakinya ke kolam. Cowok itu lalu mengangkat wajah dan menatap Kalila.

"Siapa yang ajarin Kalila renang jam segini?" seru Ibu, menatap anak lelakinya satu per satu.

"Aku yang ajakin mereka, Buuu! Bukan aku yang diajakin." Kalila menghentakkan pelan kakinya di tepi luar kolam renang.

"Aduh, Kalila kamu kan habis sakit, Nak."

"Tadi kan cuma sakit perut, Ibuuu." Kalila turun perlahan di tepi, lalu menaiki pelampung dan menggerakkan kedua kakinya dengan senang. "Ibu sini!"

Ibu bersedekap sambil menghela napas panjang.

"Ibu," panggil Kalila. "Kalila pengin sekarang. Kalau besok-besok mana sempat ke atlantis. Terus pulang sekolah juga sore. Memangnya Ibu sama Bapak ngebiarin aku izin sekolah cuma buat ke atlantis?"

Tanpa sepengetahuan Kalila, Trey mendekati Kalila dan menarik pelampungnya, membuat Kalila terjatuh ke air. Adam langsung mendekat untuk menolong. Jiro yang sebelumnya berada di luar kolam, langsung terjun ke air. Ibu berteriak panik.

Sementara Trey, si pelaku utama, hanya terbahak-bahak di tempatnya.

Kalila langsung mengejar Trey di dalam air, meninggalkan Adam dan Jiro yang sempat menolongnya. Fokusnya sekarang adalah balas dendam pada Trey. Meski berjalan di air yang setinggi dagunya itu membuatnya lamban, tetapi air juga yang membuatnya bisa menggapai rambut Trey dan menariknya dengan kencang.

"Ish! Rasain!" Kalila menarik rambut Trey dan membuat wajah cowok itu tenggelam di air selama beberapa detik. Kalila tidak segan untuk melakukan itu karena tahu Trey bisa menahan napas dengan baik di dalam sana.

Puas dengan pembalasan dendamnya, Kalila menghampiri pelampungnya yang berada di dekat Jiro dan Adam yang sebelumnya hanya menonton pertengkaran kecil antara Kalila dan Trey. Kedua tangan Kalila terulur ke depan, niatnya agar bisa berjalan lebih cepat dan mendapatkan pelampungnya, tetapi sepertinya Adam dan Jiro salah paham. Kedua cowok itu menggapai masing-masing tangan Kalila dan menggenggamnya erat. Membuat keduanya berakhir saling pandang dengan tatapan permusuhan.

Trey sudah naik di tepi, menghampiri Bapak yang baru saja datang. Bapak menatap anak-anaknya sambil geleng-geleng. "Apa ini? Kok enggak ajak-ajak Bapak?"

"Bapak tadi sibuk teleponan, sih." Kalila berhasil menjauh dari Jiro dan Adam. Dia kabur bersama pelampungnya. Kalila melotot ketika dilihatnya Trey sedang berdiri di belakang Bapak sambil menaruh telunjuk di bibir. Bapak berdiri di tepian, lalu mencelupkan ujung jemarinya di air. Beliau tersenyum. Tak lama senyuman di wajah itu berubah jadi ekspresi terkejut karena anak lelaki paling kurang ajar Bapak berhasil mendorong Bapak ke kolam.

Ibu menghampiri Trey dan memukul-mukul punggung Trey yang sedang terbahak-bahak. "Trey! Masa dorong Bapak ke kolam, sih?"

"Ibu juga mau aku dorong?" goda Trey dengan senyum setan.

Bapak berdiri di kolam dengan basah kuyup, lalu menghampiri Trey yang berdiri di tepi dan memegang pergelangan kaki anak itu. "Sini kamu! Anak kurang ajar!"

Meski Bapak terlihat marah, teapi itu hanya akting. Kalila tahu, Bapak menikmati semua ini. Lihat saja senyum Bapak langsung terbit ketika Trey berteriak panik saat celananya hampir dipeloroti.

"Bapak! Aku enggak pakai celana dalam! Cuma boxer langsung celana!"

Teriakan Trey membuat Kalila tergelak puas. Trey tentu saja malu jika celananya dipeloroti karena dia sudah besar sementara ada dua perempuan di sini. Dia malu pada Ibu. Apalagi pada Kalila.

Kalila menoleh. Jiro sedang duduk di tepi kolam sambil tersenyum tipis. Dia terlihat menikmati suasana ini meski dia lebih banyak diam jika sedang berkumpul seperti sekarang.

Kalila keluar dari kolam. Dia berlari ke dalam rumah, lalu datang kembali membawa sebuah peluit berwarna kuning. Cewek itu berdiri sambil mengangkat tangan setelah membunyikan peluit dengan suara panjang.

"Bapak, Kak Adam, Kak Jiro, Trey. Lomba renang! Yang juara boleh minta apa pun ke Ibu." Kalila tadinya ingin mengatakan bahwa pemenangnya boleh meminta apa pun padanya, tetapi Kalila tak ingin ada yang salah paham bahwa dia sengaja melakukan itu karena pemenangnya sudah dapat dipastikan adalah Jiro.

"Agak enggak setuju!" Trey mengangkat tangan. "Tapi setuju juga, sih. Gue enggak akan kalah dari Kak Jiro. Kak Jiro memang pernah sering ikut lomba, tapi sekarang udah enggak, kan? Gue enggak akan kalah!"

Kalila memberikan senyum kecil pada Jiro yang menatapnya bingung.

"Gue juga enggak akan kalah." Adam dengan penuh semangat mulai mengambil posisi.

"Apalagi Bapak." Bapak naik ke atas dan berdiri tak jauh dari Adam.

Semua orang kini memandang Jiro yang masih enggan berdiri. Ibu juga sepertinya menantikan perlombaan dadakan ini, terlihat dari sikap antusias Ibu. Jiro kemudian berdiri dari tepi kolam sisi lain, lalu mengambil posisi di samping Trey.

"Kalau peluitnya bunyi pendek, berarti mulai, yaaa," ucap Kalila. "Bersedia! Siap! PRIT!"

Semua melompat dengan semangat. Ibu sedang harap-harap cemas. Berbeda dengan Kalila yang melompat-lompat kegirangan. Meskipun Jiro memang yang paling hebat dalam berenang karena berenang adalah bagian dari hidupnya, tetapi Jiro tidak menyepelekan lomba abal-abal ini.

"Juara pertama adalah Kak Jiro. Juara kedua adalah Trey. Juara ketiga Kak Adam. Sementara itu, karena Bapak menempati posisi jauh di belakang Trey, juara terakhir adalah Bapak!" Kalila bertepuk tangan. "Yey! Jadi, Jiro berhak minta apa pun ke Ibu!"

"Sini. Sini, Nak." Ibu menggerakkan jemarinya pada Jiro yang sudah berdiri di tepi luar kolam. Cowok itu mendekati Ibu. Sementara si juara dua, Trey, meninju air yang tak bersalah. Jiro berdiri di hadapan Ibu dan menunduk ketika Ibu mengusap rambut basahnya. "Mau minta apa ke Ibu, hm?"

Adam menyandarkan kedua sikunya ke sisi kolam, membiarkan tubuhnya terangkat oleh air. Jiro menoleh padanya.

"Permintaan, ya?" Jiro tersenyum penuh arti. "Ibu harus jitak kepala Kak Adam."

Kalila membelak.

Trey yang sebelumnya sibuk meninju air langsung menghentikan aktivitasnya. "Apaaa?"

Permintaan macam apa itu? Semua juga tahu bahwa Ibu tak pernah mengerasi Adam secara fisik karena Adam termasuk anak yang tenang dan tak banyak tingkah sejak kecil. Sudah pasti, permintaan Jiro ada hubungannya dengan dendam pribadi.

Ibu berdeham. "Adam? Sini kamu."

Adam naik ke atas tanpa banyak protes. Ketika berhenti di dekat Ibu, cowok itu memberikan kepalanya dengan suka rela. Ibu lalu menjitak Adam hingga Adam terperanjat dan mengusap kepalanya sambil mengaduh.

"Ibu ada dendam sama aku, ya?" tanya Adam sambil meringis.

Jiro berbalik, membelakangi Ibu dan Adam. Dia menahan tawa sampai menutup mulutnya. Bahunya terangkat beberapa kali, menandakan bahwa cowok itu benar-benar puas dengan apa yang terjadi.

Kalila tersenyum lebar.

Semoga saja waktu berjalan lambat untuk beberapa hari ke depan.

***

Setelah berenang, Kalila ingin sesuatu yang hangat-hangat. Ternyata bukan hanya dia yang menginginkan hal itu, tetapi Adam, Trey, dan Bapak juga. Kalila ingin makan pizza, Trey ingin makan roti bakar, Adam ingin martabak telur, lalu Bapak malah ingin makan martabak manis padahal tak baik untuk kesehatan Bapak.

Ibu berkacak pinggang. "Kalila. Kamu tadi sakit perut. Enggak boleh makan yang seperti itu. Bapak juga, enggak boleh makan yang manis-manis."

"Yeeey, berarti makan roti bakar aja!" seru Trey yang sedang memainkan ponsel sambil menyandarkan pinggungnya di lengan Bapak.

"Enggak ada. Enggak ada," balas Ibu. "Mending beli salad buah."

"Ibuuu, salad buah itu kemanisan juga, loh," kata Kalila.

Hal yang membutuhkan waktu lama adalah memilih menu yang akan dimakan. Kalila sejak tadi sibuk menggulir layar untuk melihat makanan yang ada di aplikasi antar makanan. Cewek itu sedang berbaring di atas karpet, lalu dia mengubah posisinya jadi telungkup dengan tatapan yang terus mengarah pada layar ponsel.

"Maunya pizzaaa!" Kalila merengek pada Ibu setelah menjauhkan sesaat ponselnya dari dekat wajah, memperlihatkan layar ponselnya ke Ibu yang langsung menyipitkan mata untuk melihat dengan jelas. "Perut aku itu udah baik-baik aja Ibu."

Trey tiba-tiba berdiri, memperliahkan ponselnya sambil tersenyum puas. "Ternyata bisa pesen di beberapa tempat beda dalam satu waktu. Jadi, aku pesen pizza, martabak telur dan manis, pesan roti bakar juga."

Ibu melotot. "Trey!"

"Ya habisnya lama banget. Keburu perut enggak mood nerima makanan," kata Trey dengan tampang tak berdosa. "Ibu, aku enggak pegang uang saku. Nanti bayarin ya, Ibuku sayang. Hehe."

Setelah itu, Trey mendapatkan tamparan pelan di lengannya dari Ibu.

Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Membatalkan pesanan hanya akan merugikan pengemudi. Kalila duduk di antara Ibu dan Bapak, lalu mengapit masing-masing lengan mereka.

"Sambil nunggu makanan datang, nyanyiin lagu Nina Bobo, dong!" seru Kalila. "Bu! Pak! Pleaseee!" Kalila menggesek kepalanya di pundak Ibu.

"Memangnya kamu mau tidur?" tanya Ibu dengan tampang heran.

"Enggak, sih. Kan mau makan." Kalila menyangga dagunya di bahu Ibu. "Keinget aja waktu kecil Ibu nyanyiin aku lagu Nina Bobo."

Menjelang maghrib ini, mereka bersantai setelah sebelumnya menghabiskan waktu di kolam renang. Semoga saja waktu berlalu lambat, meski kenyataannya tidak demikian. Semakin Kalila menikmati waktu, maka semakin cepat waktu berlalu.

Momen kebersamaan dengan keluarga ini akan segera berakhir. Kalila melirik Jiro yang sedang duduk sembari menonton tayangan televisi bersama Adam. Bapak juga tertarik menonton. Kalila menyembunyikan wajahnya di pundak Ibu. Tepatnya, menyembunyikan kedua matanya yang sedang berkaca-kaca karena menahan tangis.

Di waktu seperti ini, Nenek dan Kakek malah keluar negeri. Kalila mengeluarkan ponselnya. Tanpa bertanya lebih dulu lewat pesan teks apakah Nenek sedang sibuk atau tidak, Kalila langsung melakukan panggilan video. Panggilan videonya langsung diterima, membuat Kalila membelalak dan langsung duduk tegak.

"Loh? Nenek enggak sibuk?"

"Sibuk gimana. Cucu Nenek hubungi Nenek. Harus angkat, dong." Nenek mengalihkan arah kamera ke yang lain. Wajah Kakek yang sedang mengernyit dan menyipitkan mata, membuat Kalila tertawa kecil. "Ini Kakek."

"Siapa itu?" tanya Kakek, masih dengan kernyitan di dahi. Namun, kali ini dengan mata yang berusaha melihat dengan jelas, kadang menyipit kadang melotot, karena Kakek tidak sedang menggunakan kacamatanya.

"Kalila," balas Nenek pada Kakek.

Kalila tersenyum. Dia juga sedang menahan tangis meski tak terlihat dari wajahnya bahwa dia sedang menahan tangis.

Rencana Papa sudah tepat. Kalila harus pergi dari kehidupan keluarga besar ini dengan cara memalsukan kematiannya. Dia harus setega itu. Karena tak mungkin juga Kalila mengatakan kebenaran tentangnya. Tak mungkin juga Kalila jujur hanya pada beberapa orang saja, itu sama saja tak adil.

Kalila sudah tidak akan kembali ke masa ini, sama saja dia sudah mati, kan?

Jadi, sudah tepat dia akan pergi dengan cara seperti yang Papa rencanakan.

***

"Ngapain lo nyuruh gue ke sini?" Jiro sudah tiba lebih cepat satu menit di halaman samping rumah, tempat pertemuannya dengan Adam yang mengatur pertemuan ini.

Sang Kakak baru saja tiba, lalu duduk di bangku beton. Tempat ini strategis untuk membicarakan sesuatu yang penting apalagi jika sifatnya rahasia. Jika ada yang datang, maka mereka bisa melihat langsung dari pintu dan dinding kaca sehingga mereka bisa menunda percakapan penting yang akan Adam mulai bahas.

"Gue berubah pikiran," kata Adam. "Ini bukan soal cepat enggaknya mutusin hubungan lo dan Kalila, tapi lihat kondisi yang tepat aja. Bukan berarti gue ngebiarin kalian masih berhubungan. Gue yakin lo bisa milih waktu yang tepat untuk akhiri semuanya sesegera mungkin."

"Lo ternyata masih mikirin perasaan Kalila ke gue, ya," balas Jiro.

"Kalau dia nerima lo, itu artinya dia suka sama lo secara spesial, kan?" tanya Adam. "Kecuali lo udah cuci otaknya buat suka sama lo."

Jiro hampir saja tertawa melihat raut serius Adam saat mengatakan demikian. "Tapi lo ada benernya, sih. Hubungan kami udah terlalu jauh sampai gue percaya diri dia bakalan sedih banget kalau gue jauhin."

Adam mengepalkan tangan, tetapi dia terlihat tak melakukan apa-apa selain itu. Tak juga mengucap sepatah kata. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Mungkin ucapan Jiro barusan membuatnya marah.

Jiro menatap ke dalam rumah, yang lain masih menghabiskan waktu bersama di dalam sana.

"Gue masih enggak bisa nerima ini." Adam bersuara. "Adik kandung gue dan adik yang sudah gue anggap seperti adik kandung punya hubungan khusus. Kalila ... bahkan gue ngerasa aneh kalau bilang dia itu adik angkat gue karena benar-benar udah kayak adik kandung gue sendiri. Bahkan gue ngerasa Kalila itu beneran adik kandung gue yang asli sementara lo bukan."

Jiro tertawa masam. "Jahat juga lo ngatain gue bukan adik kandung lo, tapi ya wajar, sih. Lo lebih lama hidup bareng Kalila dibanding gue. Jadi, wajar dia lebih kayak adik beneran dibanding gue."

Setelah itu, di antara mereka tak ada yang bersuara. Entah apa yang Adam pikirkan sekarang. Jiro juga diam karena memikirkan sesuatu. Sejujurnya, dia tak memiliki jalan keluar untuk mengakhiri hubungannya dengan Kalila.

Dia makin merasa buntu sampai membuatnya terpikirkan rencana awal, tetapi di sisi lain dia sudah tidak ingin menyinggung rencana awal yang hanya akan merugikan Kalila.

Jiro semakin sadar bahwa dia tak ditakdirkan untuk hidup bersama Kalila. Dia sebenarnya tertampar dengan kata-kata Adam waktu itu bahwa meski dia dan Kalila tak sedarah, tapi mereka sepersusuan. Ketika melihat Kalila bersama Ibu dan Bapak juga kebersamaan Kalila dengan yang lain, Jiro semakin termenung. Dia hanya akan membawa Kalila ke dalam masalah jika mempertahankan keegoisannya.

Tak apa-apa jika hanya Jiro yang dibenci keluarga besar, tetapi dia terlalu egois karena membawa-bawa Kalila. Kalila sudah pasti akan dibenci juga. Bagaimana bisa jiro tidak memikirkan hal itu sejak dulu?

Bagaimana mungkin dia menghancurkan keharmonisan keluarga ini karena keegoisannya? Bagaimana mungkin dia akan membuat hubungan Kalila dan Ibu Bapak jadi tak seperti sekarang ini jika pada akhirnya hubungan mereka sampai diketahui?

Jiro bukan anak-anak lagi. Harusnya dia bisa mengerem keinginannya untuk memiliki Kalila demi keharmonisan keluarga. Lagipula menikah dengan Kalila adalah sesuatu yang mustahil. Benar-benar mustahil.

Jiro memejamkan mata, lalu menghela napas.

"Kayaknya berat banget, ya?" tanya Adam tiba-tiba.

Jiro mendongak sambil tersenyum menatap langit yang mulai gelap. "Thanks karena udah buat gue sadar sesadar-sadarnya."

Adam membisu.

"Gue akan akhiri hubungan gue dengan Kalila secepatnya. Gue pastiin, hubungan gue dengan dia yang sempat terjalin akan gue kubur dalam-dalam. Enggak akan ada yang tahu kami pernah pacaran diam-diam. Gue enggak akan ngerusak kebahagiaan Kalila dengan keluarga ini." Jiro meneguk ludah. "Tapi..., gue butuh waktu. Gue akan coba akhiri dengan cara baik-baik supaya enggak melukai perasaannya, Kak."

***


catatan:

yang mau lihat cuplikan part 53 ada di instagram zhkansas ❤️



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro