RTI 6: Di Balik Sapa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SUARA teriakan seseorang cukup mengejutkanku dan para pengemis yang masih mengerubungiku. Dua polisi bertubuh tinggi menghampiri kami, ditemani seorang gadis berambut ikal kecokelatan. Dengan gerakan cepat, kedua polisi itu menarik bocah-bocah pengemis agar menjauh dariku.

Usai terbebas, aku merapikan pakaian yang lumayan kusut, terutama tali sepatuku yang terlepas. Lega adalah rasa yang dapat mendefinisikanku saat ini. Pandanganku jatuh pada gadis yang datang menemani polisi tadi, dan ternyata ia juga sedang melihat ke arahku. Mungkinkah gadis ini yang sudah memanggil para polisi untuk menolongku?

"Are you okay?" tanyanya dengan wajah khawatir.

Aku mengangguk lalu menjawab, "Thank you for helping me."

"Don't mention it." Tak lama, gadis itu tiba-tiba tertawa lalu berkata, "Sorry, but you look so funny right now."

"Excuse me?" Aku bingung sembari memperhatikan bagian tubuhku. Rasa-rasanya tidak ada yang aneh, bahkan kancing kemejaku tidak ada yang terlepas satu pun.

Apanya yang lucu sih? Aku nelangsa begini malah ditertawakan. Tapi, tunggu dulu. Bukankah gadis di depanku ini adalah teman SMA-ku?

Naya. Si gadis yang diam-diam kukagumi.

Aku memperhatikan kedua polisi yang sedang memberi peringatan kepada para pengemis, sampai akhirnya mereka dibiarkan pergi. Naya tengah berbicara dengan dua polisi itu, mungkin untuk mengucapkan terima kasih dan sebagainya. Polisi berkumis tebal menggeleng-gelengkan kepalanya, semenatara polisi tanpa kumis melambaikan tangan ke arahku lalu meninggalkan kami.

Selepas kepergian mereka, Naya kembali menghampiriku dengan memasang tampang menyelidik.

"Are you a tourist?"

"Yes, I'm from Indonesia."

"Oh, orang Indonesia?" Aku mengangguk pelan. "Tadi aku lihat kamu waktu ngasih uang ke pengemis itu, dan aku udah bisa memprediksi kejadian setelahnya sih."

"Memang pengemis di sini begitu ya?"

"Yah begitulah, dan mereka lumayan takut kalau sama polisi. Makanya aku manggil polisi buat bubarin mereka."

"Makasih sekali lagi ya. Aku juga enggak tau bakalan jadi begini, niatku 'kan cuma nolong mereka."

Naya mangut-mangut sembari memandangku dengan rasa penasaran lalu ia kembali berkata, "Wajah kamu enggak asing deh. Apa kita pernah ketemu sebelumnya?"

"Kita memang satu SMA. Nama kamu Naya 'kan? Aku juga kenal kamu kok." Aku berusaha menjelaskan agar Naya bisa menemukan ingatannya. Kalau Naya benar-benar tidak ingat, ya sudah.

"Seriously?" Naya begitu terkejut mengetahui fakta yang baru saja kusampaikan. Gerakan tubuhnya semakin mendekat lalu ia berdiri di sampingku. "Maaf ya, ingatanku memang agak buruk."

"Enggak masalah. Aku memang bisa disebut murid tak kasat mata. Yah, jadi wajar kalau kamu enggak ingat." Ia memperhatikan wajahku dan tertawa lagi.

Kali ini, apa lagi yang terlihat lucu sih? Kenapa gadis ini senang sekali tertawa?

"Maaf, maaf, kalau aku enggak ingat kamu. Kalau begitu, kita kenalan dari awal lagi aja, gimana?" Naya menaik-turunkan alisnya sembari mengulurkan tangan. "Hai, namaku Naya."

Aku masih bergeming beberapa detik memperhatikan Naya yang benar-benar nyata ada di depanku. Sebentar, tidak hanya ada di depanku, tetapi Naya juga sedang berbicara denganku. Pukulan pelan di bahuku dari tangan Naya, seolah mampu mmengembalikanku ke bumi setelah sempat terbang.

"Bisma," balasku dengan senyum rikuh.

"Heum, Bisma ya?" Naya mengetuk-ngetuk dahinya dengan jari telunjuk, tampak berusaha mengingat sesuatu. "Kalau aku enggak salah nih ya, kamu anak yang mau ngintip itu 'kan? Aku ingat waktu itu sempat mergokin kamu di depan toilet cewek."

Eleuh-eleuh, kenapa memori memalukan itu sih yang harus diingat Naya? Begini-begini, aku juga punya prestasi membanggakan sewaktu SMA. Seperti juara tim basket, juara main hockey, juara sepak bola dan lari estafet. Lalu kenapa yang diingat justru adegan aku yang hampir memotret si Kucing jadi-jadian itu?

"Aku udah pernah bilang, kalau aku enggak berniat ngintip siapa pun. Waktu itu aku lagi motret kucing, tapi kucingnya hilang. Mungkin dia kebelet pipis. Atau bisa jadi dia jelmaan The Flash."

Naya menahan senyum lalu berujar, "But the way you act makes me suspicious, Bisma."

"Kalau begitu, terserah kamu deh mau berpikiran tentangku seperti apa." Aku membuang napas kasar sembari membenarkan letak ransel di pundakku.

"Ih ngambek. Oke... sorry deh, sorry, kalau aku udah salah sangka sama kamu. Dimaafin enggak nih? Dimaafin dong ya, please!" Naya memasang puppy eyes-nya dan hal itu membuatku tidak mampu mengabaikannya. Lagi pula, itu masa lalu. Hanya saja kalau dituduh mengintip, ya aku tidak akan terima.

"Iya, dimaafkan."

"Yeay, thank you, Bisma. By the way, kamu mau ke Red Fort nih?"

"Iya, tapi kayaknya aku mau cari makan dulu."

"Ide bagus. Yuk, aku ajak kamu ke tempat makan yang enak dan murah. Cocok buat turis seperti kamu."

"Turis seperti aku, maksudnya?"

"Turis polos hehe. Aku cuma takut kalau kamu ketemu pengemis lagi terus enggak bisa kabur gara-gara kejebak." Belum sempat menjawab, Naya sudah bergerak meninggalkanku.

Sadar kalau gadis itu sedang bergurau, aku mulai mengejarnya.

"Naya!"

"Ayo, Bisma, cepetan jalannya!" katanya masih tidak mau menghentikan langkahnya.

Oh, God, Kenapa di pertemuan pertama ini Naya begitu menyebalkan?

Dari Red Fort, Naya mengajakku belok kanan ke arah Jama Masjid. Ia bilang, di depan Jama Masjid ada Meena Bazaar. Di sana terdapat bermacam-macam penjual makanan dan juga kebutuhan warga India.

Sampai di salah satu kedai makanan, Naya menarik lenganku lalu berbisik, "Kita sepiring berdua aja ya, Bis. Porsi di sini tuh jumbo banget. Aku yakin deh enggak bakalan sanggup ngabisinnya. Nanti kalau kamu masih lapar, kita bisa pesan lagi kok. Gimana?"

"Aku setuju."

"Kamu enggak nanya kenapa?"

"Apanya yang kenapa? Bukannya tadi kamu udah jelasin alasannya?"

"Iya sih, tapi aku takut kamu mikir kalau aku enggak punya uang." Aku tertawa mendengar kalimat Naya.

"Aku enggak mikir begitu. Aku malah mikirnya kalau kamu memang pengin makan sepiring berdua bareng aku."

"Ya anggap aja begitu deh," balasnya tidak menolak asumsiku sama sekali.

Kami makan nasi haleem ditambah mutton biryani. Makanan tersebut berupa nasi berwarna merah, kuning dan putih yang penuh rempah-rempah serta dilengkapi daging kambing, sementara kuah haleem itu seperti kuah satai padang. Naya benar, porsi sepiring nasi haleem memang benar-benar jumbo. Aku juga tidak yakin bisa menghabiskan sepiring nasi ini. Perutku yang tadinya keroncongan sudah kembali bahagia karena menikmati makanan khas India yang begitu lezat. Daging kambing di India memang juara, berbeda dengan di Indonesia yang seratnya lebih sedikit.

Naya bercerita, kalau ia ke sini sebagai pramuwisata. Ia baru saja mengantar tamunya ke hotel sekitar Red Fort, dan dari sanalah Naya melihatku dikerubungin pengemis lalu memanggil polisi.

"By the way, habis ini kamu mau ke mana?"

"Enggak ada rencana sih, tadinya mau langsung ke rumah teman. Kalau aku ikut sama kamu ke Red Fort, boleh enggak, Bis?

"Kenapa harus minta izin, 'kan Red Fort-nya bukan punyaku." Naya tertawa setelah menghabiskan chai yang sudah dingin.

"Aku cuma takut kamu keberatan kalau aku ikut."

"Ya enggak lah, 'kan lumayan nanti kamu bisa jadi tour guide-ku," cengirku sembari menatap Naya yang sedang tersenyum. Kali ini, entah kenapa senyumnya sangat manis.

Aku tidak menyangka, bercengkrama dengan Naya bisa seasyik ini. Padahal ini pertemuan pertama kami. Ternyata Naya anaknya mudah sekali berbaur, tidak kaku sama sekali. Aku menyesal, kenapa sejak dulu tidak berani mendekatinya? Kalau tahu sifatnya semenyenangkan ini, mungkin kami sudah jadi teman dekat.

Duh, kenapa pikiranku malah jadi ke mana-mana sih?

"Kenapa kamu mau repot-repot bawa air segede gitu, Bis?" tanya Naya saat aku selesai membeli minuman ukuran botol satu setengah liter. "Biasanya 'kan cowok paling males nenteng bawaan."

"Aku lebih baik kerepotan bawa minum deh, Nay, daripada harus kehausan terus minum air gratis di sini."

"Kamu pernah minum air gratis sebelumnya?" Aku mengangguk sembari mengikuti langkah Naya menuju gerbang Red Fort.

"Aku pernah minum air gratisan waktu ke Taj Mahal dan besoknya langsung kena diare. Belum lagi waktu ke rumah sakit, dikasih obatnya tuh segede jempol tangan. Kejadian itu bikin aku yakin, kalau aku enggak bakalan mau ngulang kesalahan yang sama."

"Kalau aku sih memang engak pernah mau minum air umum, mending bawa. Ya, kayak kamu begini. Terus kamu minum obat yang segede jempolnya?" tanya Naya menahan tawa.

"Karena pengin sembuh ya aku minum, dan ternyata memang seampuh itu sih obat India. Bahkan enggak sampai nunggu besok. Habis minum obatnya, diareku langsung pergi begitu aja."

"Syukurlah."

Begitu masuk ke Lahori Gate, kami melewati selasar yang disebut Chatta Chowk, semacam pasar atau bazaar di lorong tertutup. Banyak yang berjualan tas, kipas dan suvenir lainnya. Usai melewati lorong bazaar tadi, kami memasuki pekarangan istana.

"Kamu tau enggak, Bis. Dulu, bangunan ini namanya Lal Qila karena bentengnya terbuat dari batu bata pasir warna merah, dan dalam bahasa Inggris disebut Red Fort. Red Fort juga terinspirasi dari sebuah benteng Islam yang lebih tua bernama Salimgarh, dibangunnya pada 1546. Kamu tau siapa yang membangun Red Fort?" Aku menggeleng, masih mendengarkan penjelasan Naya. "Kaisar Mughal, Raja Shah Jahan. Dulunya, Red Fort ini berfungsi sebagai kediaman para kaisar Mughal selama sekitar dua abad sebelum jatuh ke tangan Inggris."

"Sebentar, Nay. Ini maksud kamu, Shah Jahan yang bikin Taj Mahal itu?"

"Yap."

"Wah, aku baru tau nih. Nice info, Nay."

"Kamu dapat informasi baru 'kan?"

Aku mengangguk sambil tersenyum lalu menjawab, "Ini salah satu keuntunganku dapat tour guide dadakan. Selain pintar sejarah, dia juga cantik."

"Siapa, Bis, siapa? Aku enggak tau lho orangnya." Naya memasang tampang berpura-pura dan polahnya itu sangat menggemasakan di mataku.

"Enggak tau, yang merasa aja deh." Naya malah menepuk-nepuk bahuku, mungkin untuk mengalihkan rasa geroginya.

Kami terus berjalan sembari memperhatikan satu per satu bangunan di dalam Red Fort. Ternyata tidak semua bangunan ini berwarna merah, ada juga yang dibuat dari marmer putih. Naya bilang, pada masanya bangunan putih itu dijadikan sebagai ruang pengadilan yang memiliki langit-langit perak dan dihiasi dengan batu permata. Aku mengeluarkan kameraku untuk menangkap momen indah melalui bangunan bersejarah ini.

Aku memotret sebuah gedung dengan konsep terbuka dan pilar-pilar tinggi berukir di seluruh langit-langitnya. Ini benar-benar indah, dan sepertinya dulu gedung ini difungsikan sebagai ruang pertemuan. Aku terus berjalan sampai tiba di bagian tengah ruangan ini. Ada semacam monumen atau singgasana, karena disekat kaca, aku kurang jelas melihatnya. Mungkin tujuannya agar para pengunjung tidak bisa menyentuhnya.

Puas memotret, aku menoleh ke arah Naya. Gadis itu terlihat lelah sembari mengusap peluhnya. India sedang musim panas, dan suhunya mencapai lebih dari 40 derajat.

"Kita ke sana dulu, yuk!" Aku menunjuk pohon-pohon rindang untuk mencari keteduhan sejenak. Aku juga sudah lumayan lelah.

"Panas banget ya," ungkap Naya yang kini sudah berbaring di atas hamparan rumput hijau, mirip sekali dengan permadani. Aku duduk di sampingnya lalu menyesap air mineralku.

"Kamu udah berapa kali ke Red Fort, Nay?"

"Udah lima kali, tapi selalu enggak kuat kalau harus keliling. Luas benteng ini sekitar 103 hektar lho, Bis. Lumayan bikin kaki mau copot 'kan?"

"Lima kali? Hebat kamu, Nay. Kalau kamu udah terlalu lelah, aku enggak masalah kok kalau kita sampai sini aja. Aku juga udah lumayan dapat banyak foto, lagian kamu pasti udah hafal semua bangunan ini."

"Ada satu bagian sih yang belum sempat kulihat."

"Bagian mana?"

"Kamu mau nemenin ke sana? Aku penasaran soalnya." Ia bangkit lalu duduk.

"Ke mana sih, Nay?" Naya bergerak cepat lalu berdiri sembari membenarkan letak ranselnya.

"Nanti juga bakalan tau. Kamu udah 'kan istirahatnya?" Aku mengangguk lalu bangkit mengikuti gerakan Naya.

Naya terus mengajakku melewati museum, sampai tiba di kompleks paling ujung bangunan ini. Aku mulai cemas, masalahnya kondisi di sini tampak sepi dan nuansa magis histori cukup terasa kuat.

"Ayo, Bis, mumpung penjaganya lagi keliling."

"Nay, kamu memang enggak lihat? Itu 'kan tulisannya dilarang masuk."

"Tapi aku penasaran sama keadaan di dalam, Bis. Biasanya 'kan yang dilarang itu lebih menggoda rasa ingin tau kita."

"Please deh, Nay, kamu jangan ngaco!"

"Terserah kamu deh kalau enggak mau ikut, aku bakalan tetap mau turun ke sana."

Aku menatapnya tidak percaya. Naya yang kupikir gadis lembut nan kalem, ternyata bisa seberani ini. Lagi pula, sepenasaran itu kah ia melihat bangunan tua di bawah sana? Aku bukan jeri dengan penjaga yang berkeliling. Masalahnya ini negara orang, setidaknya kita harus mengikuti aturan yang punya rumah. Kendati aku termasuk orang yang sering mengabaikan aturan, tetapi sikonnya juga harus diperhatikan.

Karena Naya sudah turun, aku pun mengekor di belakangnya. Ruangan ini tampak seperti sistem pengairan bawah tanah. Kami terus menapaki jenjang ke bawah tanah sampai akhirnya melihat sumur besar, dan juga terowongan air.

"Nay, hati-hati! Ini agak licin soalnya."

"Oke," balasnya singkat.

Naya masih sibuk mengamati ruangan ini, aku pun kembali mengeluarkan kamera untuk menyimpan sebagai histori. Aku yakin, kesempatan masuk ke sini tidak akan terjadi dua kali.

Aku memperhatikan Naya dengan rasa takjub sekaligus kagum, di dalam diri gadis itu tidak ada rasa takutnya sama sekali. Aku sadar, sebagai pramuwisata Naya tidak hanya pernah datang ke India. Mungkin di negara lain ada tempat semacam ini, bahkan mungkin ada yang lebih magis dan ekstrem untuk dilalui.

Melihat keberaniannya hari ini, aku yakin Naya selalu bisa menghadapi setiap rintangan yang dilaluinya. Untung saja Naya bertemu denganku di sini, setidaknya aku bisa menjaganya. Yah, meskipun Naya sangat mampu menjaga dirinya sendiri.

First impression kalian terhadap Naya, gimana?

05 September 2020

Untuk mendapatkan info seputar Ruang Temu Ingatan follow IG @Sulizlovable

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro