RT_Delapan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku pingin nyapa dulu, ya

Haiii, terima kasih buat teman-teman yang sudah mengikuti cerita Ashila dan Kenzi ini. Sehat selalu dan makin bahagia setelah baca cerita ini yaaa.

Ashila melangkah cepat untuk mendekat ke posisi Kenzi berdiri. Ia lantas menempelkan telapak tangan di kening suaminya, agak hangat.

"Kamu sakit? Apa yang sakit?"

Kenzi menatap lekat istrinya yang terlihat khawatir tersebut. Ia benar-benar terkejut mendapati kedatangan Ashila.

"Kata Ibu kamu meriang. Udah minum obat?" Nada bicara Ashila masih menunjukkan kecemasan. Ia menatap balik mata Kenzi yang masih mematung tanpa bicara. "Ken?"

Kenzi tersenyum penuh haru. Ia merengkuh tubuh Ashila, lalu mendekapnya erat. Laki-laki yang mengenakan baju koko dan sarung itu masih tidak bersuara.

Ashila tersentak dengan aksi tiba-tiba suaminya. Ada keharuan yang menyeruak di dasar hati.

"Aku kangen banget, Shil."

Mata Ashila sudah berkaca-kaca. Tidak menunggu lama untuk cairan bening itu luruh membasahi pipi. Kedua tangan yang sebelumnya berada sejajar dengan tubuh, kini mulai terangkat. Ashila membalas dekapan hangat suaminya. Namun, bibirnya tetap terkunci. Ia hanya bisa berkata dalam hati.

Aku juga, Ken. Aku juga kangen banget sama kamu.

Isakan pun mulai terdengar lirih. Kenzi mengernyit, ia lalu meregangkan pelukan untuk mengecek mata Ashila.

"Kok, nangis?"

Bukannya menjawab, isakan Ashila malah semakin keras. Kenzi tentu saja dibuat bingung. Baru juga bertemu kembali setalah lama berpisah, tetapi malah disambut air mata. Ia pun segera menutup pintu rumah dan menguncinya. Tangan kirinya tidak melepas genggamannya pada pergelangan tangan istrinya. Kenzi lalu mengajak Ashila ke karpet. Mereka duduk berhadapan.

Ashila terus menundukkan wajahnya. Ia masih belum bisa menghentikan tangisan harunya. Rasanya seperti ini bertemu lagi dengan orang yang dirindukan.

"Kenapa?" tanya Kenzi sekali lagi. "Oh, aku tahu."

Ashila mendongakkan kepala. Ia ketar-ketir jika Kenzi akan tahu bahwa dirinya tengah merindukan suaminya itu.

"Khawatir aku sakit, kan? Enggak, kok, aku udah sehat sekarang."

Senyum Ashila mengembang. Ternyata yang ditakutkannya tidak terbukti. "Sakit apa emangnya?"

"Sakit yang nggak bisa disembuhin pakai obat. Agak parah gitu. Hampir nggak tertolong."

Ashila tercengang mendengar penjelasan Kenzi. "Sakit apa?"

Kenzi mendekat ke telinga Ashila. Ia lalu berbisik. "Sakit kangen istri."

Mata Ashila membulat mendengar pengakuan Kenzi. Ia langsung tersipu. Tangannya reflek mendorong bahu suaminya.

"Dasar gombal."

"Nggak percaya? Nih, belah dadaku." Tangan Kenzi dengan cepat membuka kancing baju. Ia lalau memperlihatkan tubuh bagian atas.

"Aaaaa! Jangan mesum, Ken." Ashila menutup matanya dengan kedua tangan.

Kenzi tertawa bahagia. Ia kembali mengancing bajunya, kemudian duduk di sebelah Ashila. Mereka sama-sama terdiam. Suasana mendadak menjadi canggung seperti dua orang yang baru berkenalan.

"Gimana skripsinya?" Kenzi kembali membuka obrolan. "Sampai bab berapa?"

"Udah selesai. Tinggal nunggu ujian lusa."

"Serius udah mau ujian?" Kenzi tidak menduga proses skripsi Ashila bisa secepat itu.

"Iya bener. Tinggal nunggu ujian."

"Alhamdulillah. Cepat banget prosesnya."

"Iya, dapat dosen pembimbing yang baik banget."

Kenzi manggut-manggut. Tangannya menopang di atas lulut kaki kiri yang ditekuk. "Berarti wisudnya satu bulan setelah ujian, ya?"

"Kayaknya gitu. Aku belum tahu tanggal pastinya."

"Wah ... aku bakal jadi pendamping wisuda."

Ashila menoleh cepat. "Masa, sih? Aku nggak ngajak, loh."

Kenzi memasang wajah manyun. Ashila sontak terbahak melihat wajah merajuk suaminya. Kenzi terus merengek agar diizinkan menemani wisuda.

"Aku lapor ke Papa kalau nggak diajak."

"Idih, bisanya main ancam," cetus Ashila masih tertawa.

Rumah pun menjadi riuh. Mereka saling melempar candaan dan ejekan. Malam ini, rumah yang biasanya sunyi itu terasa hidup. Sepasang insan yang sedang jatuh cinta itu sampai tidak menyadari jika di luar jalanan basah karena air hujan turun dengan instensitas sedang.

"Jam berapa, nih?" Ashila melihat layar ponsel. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. "Aku balik dulu. Oh iya, ponsel kenapa?"

"Jatuh di kolam depan jurusan. Kesenggol orang jalan. Tadi sore baru aku ambil dari servis. Belum dinyalain lagi."

"Kasihan," ucap Ashila dengan mimik prihatin. "Cepat nyalain. Orang rumah bingung ponselmu nggak bisa dihubungi."

Kenzi mengacungkan ibu jarinya. "Nggak nginep sini saja?"

Ashila yang sudah berdiri, terdiam. Dalam hatinya ingin sekali menghabiskan waktu bersama suaminya. Namun, lagi-lagi gengsi membuatnya menepis suara hati.

"Nggak! Entar kamu macem-macem."

"Yah, kok tahu, Shil."

Kenzi tertawa. Ia senang istrinya kembali galak. Ia tadi sempat cemas melihat sikap Ashila yang lebih banyak diam, bahkan menangis. Kenzi khawatir jika keinginan Ashila masih tetap sama, bercerai.

Ashila menarik satu sudut bibir ke atas. Ia lalu membuka tirai jendela. "Loh, hujan, ya?"

"Masa? Kok nggak kedengeran." Kenzi ikut mengecek. Benar saja, gerimis cukup lebat membasahi halaman depan. "Mau nekat pulang?"

Ashila manggut-manggut. Ia bisa memesan taksi online. Sekarang, zaman serba dipermudah. "Aku harus nyicil belajarnya, Ken."

"Oh, iya ya. Nanti kabari di mana tempat ujiannya."

"Mau jadi tim hore?"

"Pasti. Tim hore terdepan."

Ashila terkikik. "Jangan lupa hadiahnya."

"Don't worry. Nanti hadiahnya bakal nggak terlupakan."

"Oh, ya? Apa? Mobil? Motor? I-phone 13?" Ashila menyebutkan sederet barang mewah.

"Heeemm, matre amat ini cewek."

"Yee! Matre ke suami sendiri emangnya dilarang?" baru menyelesaikan ucapannya, Ashila tersadar. Ia segera memukul pelan bibirnya sembari berdecak lirih.

"Apa, Shil?" Kenzi pura-pura tidak mendengar. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya, lalu mendekatkan telinga ke bibir Ashila. "Ulangi lagi coba."

Ashila menggelengkan kepalanya cepat. Bersamaan dengan itu, mobil berwarna abu-abu berhenti di depan rumah.

"Aku pulang dulu, ya."

Kenzi pun melepas Ashila kembali ke indekos. Ia sebenarnya tidak rela. Banyak hal yang ingin dibahasnya bersama sang istri. Namun, ia sangat bersyukur, kedatangan Ashila yang tak terduga ke rumah, sudah membawa perubahan baik bagi hubungan mereka.

***

Hari ini adalah saat yang sangat dinantikan Ashila. Pukul sepuluh pagi akan dilaksanakan sidang skripsi yang menentukan dirinya layak menyandang gelar sarjana Psikologi atau tidak. Ia sudah memelajari kembali skripsi yang dikerjakannya dengan sepenuh hati. Dirinya pun sudah minta doa restu ke orang tua dan mertua lewat telepon.

Ashila sudah selesai bersiap. Baju atasan putih dan bawahan hitam lengkap dengan jas alamamater. Ia siap berjuang menjawab semua pertanyaan dosen penguji.

"Udah mau berangkat?" tanya Mona yang juga akan menemani Ashila.

"Bentar lagi. Kamu duah siap belum?"

"Bentar, aku belum pakai eyeliner." Mona kembali ke kamar.

"Buruan." Ashila mematikan lampu kamar. Saat akan mengunci pintu, ponselnya bordering. Rupanya panggilan dari Kenzi.

"Iya, Ken."

"Shil, jam sepuluh aku ada jadwal ngajar gantikan dosen yang mendadak izin. Gimana, nih?"

"Nggak papa, kamu ngajar saja. Nanti kalau udah selesai aku kabari hasilnya." Ashila menyembunyikan kekecewaannya. Ia memang menantikan kehadiran Kenzi.

"Maaf ya, Shil. Gagal jadi tim hore."

"Nggak papa. Doanya aja, Ken."

"Pasti. Kalau gitu nanti makan malam bareng. Oke?"

"Oke." Percakapan pun diakhiri. Ashila memasukkan ponsel ke ransel kecil miliknya. Ia lalu mengunci pintu kamar.

"Kenapa manyun?" tanya Mona saat Ashila berbalik.

"Kenzi nggak bisa datang."

"Jangan sedih. Nanti di rumah bisa ketemu sepuasnya." 

Mona menepuk pundak Ashila. Mereka lalu berangkat menuju kampus.

"Eh, Shil. Hampir lupa aku. Dapat pesan dari Bu kos. Minggu depan waktunya bayar lagi."

"Oh, iya. Waduh gimana, ya?"

"Apanya?"

"Lanjut bayar lagi apa pindah ke rumah?"

"Masih nanya?"

Ashila memperlihatakan deretan gigi putihnya. Ia salah bertanya. Mona malah sudah mengusirnya dari kos agar bisa segera seatap bersama Kenzi. Namun, ia bingung bagaimana mengatakannya kepada suaminya itu. Lagi-lagi gengsi didahulukan.

Mereka sudah tiba di kampus. Jadwal sidang Ashila tinggal sepuluh menit lagi. Gadis itu mendadak merasakan kegugupan yang luar biasa. Tangannya menjadi dingin.

"Bismillah, Shil," ucap Mona saat Ashila memasuki ruangan.

Di ruang kelas yang cukup luas tersebut, sudah ada empat dosen penguji yang siap memberikan pertanyaan. Tidak lama kemudian, sidang pun dimulai. Berbekal pengerjaan skripsi yang murni hasil pikirannya, Ashila dengan mudah mampu menjawab semua pertanyaan penguji. Ia pun dinyatakan lulus dengan nilai A.

Kebahagiaan tak terkira yang dirasakannya kini. Ia pun menangis haru. Perjuangan kuliah selama tiga setengah tahun terbayar dengan nilai yang memuaskan.

"Selamat Ashila Faranisa, S.Psi."

Mona dan beberapa teman Ashila, menyambut gadis yang matanya sembab tersebut dengan selempang kelulusan. Mereka pun memberi selamat dan pelukan.

"Tetangga beneran nggak datang, Shil?" tanya Mona.

"Nggak tau," jawab Ashila ketus. Ia masih merasa kecewa dengan ketidakhadiran suaminya itu. "Lapar banget, makan, yuk, Guys."

***

Kenzi sudah berada di depan kos untuk menjemput Ashila. Ia ingin merayakan kelulusan sang istri dengan mengajaknya makan malam. Namun, sedari siang tadi, panggilan dan pesan yang dikirimnya tidak ada yang berbalas. Kenzi sadar jika Ashila tengah merajuk. Ia pun meminta tolong kepada teman kos Ashila yang tengah berada di teras untuk memanggil istrinya tersebut.

Tidak lama kemudian, Ashila muncul. Ia sebenarnya sudah siap sedari menjelang maghrib tadi. Dengan langkah malas, gadis yang malam ini mengenakan rok plisket berwarna cokelat tua itu mendekat ke tempat Kenzi duduk.

"Sarjana psikologinya kok cemberut gini?" Kenzi berusaha mencairkan suasana.

"Enggak, kok," kilah Ashila dengan kedua tangan dimasukkan ke saku hoodie.

"Iya enggak cemberut, cuma agak manyun."

Ashila mencebik manja. Melihat Kenzi di hadapannya kini, seolah mengikis perasaan kecewa tadi. Laki-laki itu sekarang menjelma menjadi sosok yang memesona di matanya.

"Mana hadiahnya?"

"Nggak seru kalau ngasihnya di kos."

"Terus di mana?"

"Rumah," ucap Kenzi seraya mengedipkan sebelah mata dengan genit. Ia langsung melangkah menuju motor.

"Ish genit banget." Ashila memukul punggung Kenzi dengan tas selempang yang dipegangnya. Kedua bibirnya menyunggingkan senyum malu-malu.

Kenzi tertawa. Ia lalu duduk di atas motor sembari memakai helm. "Kira-kira tahu hadiahnya apa?"

Ashila menggelengkan kepala dengan cepat. "Buket uang merah segede gini," tebaknya seraya merentangkan kedua tangan.

"Bener-bener matre." Kenzi memencet hidung Ashila dengan gemas.

"Sakit!" Ashila mengusap hidungnya yang memerah. Ia lalu duduk di belakang Kenzi.

"Mau makan di mana?" tanya Kenzi sebelum menyalakan mesin motor.

"Terserah."

Kenzi menoleh ke belakang. "Oh, nama warungnya terserah?"

"Bukan! Maksudnya terserah mau makan apa, aku ngikut."

Kenzi terkekeh. "Soto yang dulu, gimana?"

"Lagi nggak mau makan soto."

"Terus apa?"

"Terserah."

Kenzi mengembuskan napas cepat. Kata terserah keluar kembali. "KFC apa MCD?"

"Jangan di sana, nggak ada sambel ulegnya."

Kepala Kenzi mulai berdenyut. Ternyata benar, makna terserah yang diucapkan perempuan itu benar-benar ambigu.

"Makan mi instan di rumah saja kalau gitu," ujar Kenzi pasrah.

"Pelit amat. Katanya mau traktir," keluh Ashila dengan bibir manyun.

"Kamu mau makan apa, Shil?" tanya Kenzi berusaha menahan emosi.

"Ter—"

"Jangan terserah." Kenzi memotong ucapan Ashila.

Ashila terkekeh menyadari sikapnya. "Lalapan bebek goreng yang arah ke rumah itu saja."

"Nah, gitu. Jelas instruksinya."

Mereka pun segera menuju kedai bebek. Jaraknya berada di pertengahan antara kos dan rumah Kenzi.

Kira-kira hadiah dari Kenzi apa, ya?


Ada yang bisa nebak, nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro