RT_Dua Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ashila berlari menuju laboratorium. Saat sudah dekat, ia mendapati Kenzi keluar dengan wajah penuh senyuman.

"Aku balik dulu, Shil. Jangan capek-capek kerja."

Ashila melongo. Ia menatap bergantian ke arah ruangan dan Kenzi yang sudah berlalu. Kakinya terasa berat untuk mengejar Kenzi. Ia takut jika laki-laki itu sudah membongkar rahasia pernikahan mereka ke tempat kerjanya.

"Shil!" panggil Dinar, senior Ashila.

Ashila menarik napas panjang. Detak jantungnya bekerja lebih cepat. Ia pun melangkah masuk dengan malas.

"Kamu dapat paketan, tuh." Dinar menujuk kantong yang dibawa Kenzi.

"Ayo dibuka, Shil!"

"Lagi butuh asupan energi, nih!"

Suara-suara di kantor membuat suasana menjadi riuh. Ashila tersenyum sembari meraih bingkisan yang berisi camilan ringan tersebut. Ia lalu mengeluarkan isinya dan mempersilakan semua orang untuk menikmatinya. Ashila masih khawatir, jika Kenzi berbicara yang tidak-tidak. Ia ingin bertanya, tetapi bingung memulai.

"Shil, tetanggamu baik bener, ya. Sering-sering aja kirimin kita makanan," ujar Dinar yang disambut persetujuan dari teman-temannya.

"Te-tetangga?"

"Iya, dia tadi bilang kalau tetanggamu di rumah."

"Oh, gitu." Ashila tersenyum canggung. Ia lalu menghela napas penuh kelegaan. Tenryata Kenzi mau mengikuti permainan yang dibuatnya. Namun, Ashila masih kesal menapati kemunculan pemuda itu di kampus.

***

Sejak pertemuan di kampus, hampir satu minggu lamanya, Kenzi dan Ashila tidak lagi berjumpa bahkan berkomunikasi. Tidak ada pesan maupun telepon yang masuk di ponsel keduanya. Ashila mulai merasa bersalah. Ia mengakui jika sikapnya kemarin itu terlalu berlebihan pada Kenzi, padahal niatan pemuda itu baik, ingin membawakan camilan. Namun, sekali lagi keegoisan pada dirinya lebih besar. Ashila hanya tidak ingin teman-temannya mengetahui status pernikahannya dengan tetangganya tersebut.

Ashila yang sedang bersantai di kamar, dikejutkan oleh dering ponsel.

"Asalamualakum."

"Waalaikumsalam." Suara Bu Rohman terdengar parau. "Mbak, cepat siap-siap. Habis ini dijemput kenzi."

"Loh, Mama nangis?"

"Nanti dijelasin Kenzi. Jangan lupa pakai jaket tebal. Asalamualaikum."

"Wa ... alaikumsalam."

Ashila menatap ponsel. Ia mulai khawatir dengan kondisi sang ibu. Ia kembali menghubungi Bu Rohman, tetapi panggilannya tidak tersambung.

"Ada apa ini? Kenapa perasaanku nggak enak?" Ashila memegang dadanya. Ia tengah menyandarkan punggung di dinding.

Pintu kamar terbuka. Mona yang baru tiba dari kampus muncul. "Dicari suami di depan."

Ashila langsung bergerak. Ia berjalan cepat menuju teras.

"Tumben nggak ngomel-ngomel denger kata suami," gumam Mona sembari menatap punggung Ashila.

"Ken, Mama kenapa?" Ashila sudah berdiri di depan Kenzi.

"Mama baik-baik aja. Ayo siap-siap, Shil."

"Terus kenapa kita harus pulang?"

"Nanti aku kasih tau di jalan."

"Aku jadi mikir macam-macam, nih." Suara Ashila terdengar ingin menangis. "Kasih tau sekarang.

"Iya, kalau udah jalan."

Ashila menatap lekat Kenzi. Ia lalu berbalik arah. Gadis dengan kaus dan celana pendek itu segera menuju kamar untuk berganti baju. Setelah itu, Ashila mematikan lampu kamar dan mengunci pintu.

"Mon, aku pulang dulu, ya."

"Loh, kenapa, Shil?"

Ashila mengangkat bahu. "Doakan semua baik-baik aja."

"Pasti. Kabari kalau udah sampai di rumah."

Ashila manggut-manggut. Ia segera menghampiri Kenzi. Tidak lama kemudian, pasangan muda itu sudah duduk di atas motor. Kendaraan roda dua itu pun mulai melaju keluar dari gang kos Ashila.

"Ken! Ada apa sebenarnya?" Ashila menagih janji Kenzi.

"Mbah Kung meninggal."

Ashila membeliak kaget. Ia mungkin salah denger.

"Mbah Kung kenapa?"

Kenzi menarik napas berat. Ia tahu jika istrinya itu jelas mendengar ucapannya tadi. Motor melaju hanya dengan kecepatan sedang.

"Mbah Kung baru saja meninggal dunia, Shil. Kamu yang kuat, ya."

Ashila sontak menutup mulut. Tangannya mulai gemetar. Berita tersebut sungguh membuat tubuhnya lemas. Air mata pun mulai luruh membasahi pipi.

"Shil, kamu nggak papa, kan?" Kenzi mencoba fokus memperhatikan jalanan. Namun, ia juga khawatir dengan kondisi perempuan yang sedang diboncengnya.

Tidak ada jawaban. Kenzi kembali mengulangi ucapannya. "Apa kita berhenti dulu?"

"Nggak, cepat pulang ke rumah aja. Aku mau lihat Mbah Kung."

Kenzi manggut-manggut. Ia juga sedang berduka. Akan tetapi, mendengar suara Ashila yang terisak membuatnya bertambah sedih. Istrinya pasti kehilangan sosok kakek yang sangat dicintai itu.

"Ken," panggil Ashila.

"Kenapa, Shil?"

"Aku ... aku boleh pinjam punggung bentar, nggak?"

Kenzi menganggukkan kepala dengan cepat. Tidak lama kemudian, ia merasakan punggungnya disentuh. Darah dalam tubuhnya terasa mengalir dengan cepat. Hatinya bergetar. Kenzi kembali tersentak saat kedua tangan Ashila mengelilingi pinggangnya. Senyum penuh arti terbit dari bibir pemuda berjaket tebal tersebut.

Posisi Ashila tidak berubah meskipun menempuh dua jam perjalanan. Pikirannya tengah mengulang memori antara dirinya dan Mbah Kung. Begitu memasuki jalan kampung, sudah terlihat kerumunan orang di depan rumah, tidak lupa bendera putih dan hitam.

Ashila langsung berlari masuk ke rumah begitu motor berhenti. Ia memeluk Mbah Uti dengan erat. Gadis itu tergugu mendapati sang kakek sudah berada di dalam keranda. Semua sudah siap, tinggal disolatkan lalu diantar ke pemakaman.

Kenzi bertindak sebagai imam salat jenazah. Ia juga ikut mengantar Mbah Kung ke peristirahatan terakhirnya yang terletak tidak jauh dari rumah.

Sementara itu, di rumah suasana duka begitu terasa menyelimuti. Mbah Uti terlihat tegar, begitu juga dengan Pak Rohman dan saudara-saudaranya, kecuali Tante Elma. Putri bungsu Mbah Kung itu masih menangis pilu di kamarnya. Ashila hanya duduk di ruang depan, menemani Mbah Uti dan ibunya menerima pelayat.

***

Selepas maghrib, di rumah Mbah Kung diadakan pembacaan doa. Banyak saudara yang datang membantu begitu juga dengan masyarakat yang ikut bergabung mengirim doa.

"Shil, udah makan?" Bu Arif menghampiri Ashila yang sedang termenung di kursi dekat meja makan.

Ashila hanya tersenyum. Tidak mengangguk ataupun menggelengkan kepala. Bagaimana ingat makan dalam kondisi seperti ini? Nafsu makan saja rasanya sedang menguap.

"Ayo makan dulu. Ibu ambilkan, ya?"

"Nggak, nggak usah, Bu. Aku nggak lapar."

"Harus makan, Shil. Tadi perjalanan jauh. Nanti bisa sakit."

"Masih belum lapar, Bu." Ashila tidak berbohong. Ia memang tidak ingin makan. Perutnya tiba-tiba saja terasa tidak nyaman. Ia ingin beristirahat saja.

"Makan di rumah Ibu saja, ya. Ada cumi hitam kesukaan Shila." Bu Arif terus memaksa menantunya.

"Kenapa, Bu?" tiba-tiba Kenzi muncul. Ia sedari tadi mengkhawatirkan istrinya. "Udah makan, Shil?"

"Belum. Ajak makan di rumah aja, Nak." Bu Arif menyuruh putranya membawa Ashila.

Ashila beranjak dari duduknya. Kesedihan masih belum hilang dari wajahnya. Ia lalu berjalan mengekor Kenzi. Sebenarnya, Ashila ingin pulang ke rumah orang tuanya. Namun, mereka sedang sibuk menemui pelayat yang masih datang silih berganti. Ashila pasrah disuruh pulang ke rumah mertua.

"Kamarmu di mana?" tanya Ashila begitu sampai di rumah.

"Di depan. Nggak makan dulu?"

Ashila menggeleng pelan. Ia berjalan pelan menuju kamar. Mulutnya pun berulang kali berserdawa.

"Kamu masuk angin, Shil?"

Ashila mengerjap kaget. "Kok, kamu tahu?"

"Dari tadi kayanya serdawa terus. Aku buatin teh hangat dulu." Kenzi kemudian berlalu menuju dapur.

Ashila segera merebahkan tubuhnya. Perutnya diisi hanya saat sarapan tadi. Itu pun cuma mi instan. Kini, sensasi kembung itu bertambah menjadi mual. Ashila mulai gelisah dengan kondisi tubuhnya.

Kenzi muncul dengan segelas teh panas di atas nampan. "Minum dulu, Shil."

Ashila bangkit dari tidurnya. Kondisi perutnay benar-benar tidak nyaman. Rasanya dirinya ingin muntah. Namun, ia berusaha untuk menahannya.

Kenzi terkejut dengan ekspersi ingin muntah Ashila. "Mau muntah? Dikasih teh dulu coba."

Ashila meneguk minuman manis tersebut. "Punya obat buat masuk angin nggak?"

"Bentar, aku mintakan Ibu dulu."

Kenzi bergegas keluar kamar. Ia khawatir dengan kondisi Ashila. Laki-laki yang mengenakan sarung dan baju koko itu menghampiri Bu Arif di rumah seberang.

"Bu, punya obat masuk angin, nggak?" bisik Kenzi dekat telinga ibunya yang sedang menyiapkan makanan.

"Siapa masuk angin?"

"Ashila, kayak mual gitu perutnya."

"Mual?" Bu Arif menautkan kedua alis. Beliau lalu tersenyum bahagia mendengar menantunya mual-mual. Pernikahan Kenzi dan Ashila sudah berumur hampir satu bulan.

Kenzi menautkan kedua alis mata. "Kok, Ibu malah seneng menantunya sakit?"

Bu Arif hanya menjawab dengan kekehan kecil. Ia lalu meminta Kenzi kembali ke kamar. Beliau akan menyusul setelah mengambilkan obat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro