RT_Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kenzi terbangun begitu mendengar suara azan subuh dari masjid rumah sakit. Ia lalu beranjak dan mendekat ke dinding. Dirinya sedang mencari debu halus untuk melakukan tayamum. Mengambil wudhu masih belum bisa dilakukannya dengan kondisi tangan masih nyeri dan tertancap jarum infus.

Kenzi kemudian kembali ke ranjang untuk melakukan salat Qobliyah Subuh terlebih dahulu. Sudah menjadi rutinitasnya sebelum mendirikan salat wajib dua rakaat tersebut. Dalam pemahamannya, Rasulullah SAW menyampaikan bahwa dua rakaat sebelum subuh itu lebih baik dari pada dunia dan seisinya.

Setelah selesai melakukan kewajibannya, Kenzi menatap Ashila yang masih terlelap di atas sofa. Ia menggelengkan kepala sembari senyum-senyum. Tingkah Ashila saat tidur memang luar biasa. Saat ini saja, satu kakinya sudah naik ke atas sandaran sofa. Sementara itu selimutnya hanya menutupi tubuh bagian atas. Kenzi pun turun dari ranjang, mendekat ke sofa.

"Shil, bangun," panggil Kenzi dengan nada penuh kelembutan. Jemarinya merapikan rambut Ashila yang menutupi kening.

"Mmmmhhh." Ashila bergerak sekejap, tentu masih dengan mata terpejam.

"Udah subuh, ayo salat dulu."

Ashila menggeliat. Namun, ia hanya mengubah posisi tidur. Kini, wajahnya menghadap tepat di depan Kenzi yang sedang berjongkok.

Kenzi terkesiap. Hatinya berdesir menatap wajah Ashila dengan sangat dekat.

"Shil, bangun." Kenzi menggoyangkan lengan Ashila.

"Duhh, ngantuk, nih."

"Salat dulu, Shil."

Ashila tidak merespon. Ia kembali terlelap. Mulutnya bahkan sedikit menganga.

Kenzi lalu menyibak selimut yang menutup tubuh gadis itu. Ia terkesiap mendapati piama sang istri tersingkap di bagian perut. Kenzi lalu menurunkan baju atasan tersebbut hingga menutupi bagian atas celana Ashila. Kenzi kemudian beranjak untuk mengambil remote AC.

"Dingin banget," ucap Ashila lirih sambil bersedekap. Dengan mata terpejam, ia mencari selimut.

Kenzi yang memegang selimut, terkikik melihat tingkah Ashila. Ia tadi menurunkan suhu pada AC. Gadis itu mulai membuka matanya.

"Balikin selimutnya," pinta Ashila dengan wajah cemberut.

"Nggak mau, salat dulu."

Ashila bangkit dari tidurnya. Ia sudah mengepalkan kedua tangannya. Tatapannya tajam ke arah Kenzi. Gadis itu mulai mendekat ke posisi pemuda di hadapannya.

"Tanganmu mau nyobain jurusku lagi?" Ashila menyeringai. Ia meniup kepalan tangannya.

"Salat dulu, Shil." Kenzi masih bersikap tenang.

Ashila menggelengkan kepala sambil terus mendekat ke arah Kenzi yang berjalan mundur. Pemuda itu was-was jika kejadian semalam terjadi lagi. Ia tidak mau jika harus kembali merasakan jurus Ashila.

Hanya tinggal satu langkah, Ashila bergegas menarik selimut yang dipegang Kenzi. Di luar dugaan, tangan pemuda dengan celana denim itu tetap pada posisinya. Akibatnya, tubuh Ashila terdorong ke depan hingga membentur dada suaminya. Gadis itu membeliak saat menyadari embusan napas Kenzi tepat di keningnya. Ia pun melepas genggaman pada selimut.

Kenzi dengan gerak cepat menghalau tubuh Ashila yang akan menjauh. Tangan kirinya segera menangkap punggung sang istri. Mereka pun semakin tak berjarak.

"Jangan macam-macam kamu! Lepasin! Dasar mesum!"

"Kenapa disuruh salat enggak mau?" tanya Kenzi tanpa senyuman. Ia memang begitu tegas dengan kewajiban satu itu. Tidak ada toleransi untuk meninggalkan salat.

"Aku lagi datang bulan! Puas!"

Kenzi melonggarkan pelukannya. Ia menghela napas lega mendengar alasan Ashila. Gadis itu segera menjauh darinya. "Kenapa nggak bilang dari awal?"

Ashila menoleh dengan lirikan mata yang tajam. "Aku malu mau bilang."

"Ngapain malu?"

Kenzi terkikik sembari kembali ke ranjangnya. Ia terus memperhatikan Ashila yang masih menekuk wajah. Subuh ini, ia merasakan energi positif menyelimuti hatinya.

"Aku mau balik ke kos. Kalau ada apa-apa hubungi aku," ujar Ashila sambil merapikan selimut. Ia sudah menghubungi Mona untuk minta jemput.

"Siap! Terima kasih sudah merawat suaminya," ucap Kenzi sambil tersenyum jail.

"Terpaksa!"

Ashila segera berlalu dari ruangan tanpa menoleh ke arah Kenzi. Pemuda itu tergelak menyaksikan ekspresi jengkel dari sang istri.

"Kita akan segera mengakhiri pernikahan tanpa cinta ini, Ashila Faranisa," cetus Kenzi dengan nada bicara penuh keyakinan.

***

Kenzi hanya membutuhkan perawatan di rumah sakit selama satu malam saja. Selepas maghrib nanti, ia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.

"Ini, Shil." Kenzi mengeluarkan kartu ATM dari dompetnya.

Ashila tiba di sana sekitar pukul empat siang setelah kerja part time. Dirinya sudah tidak ada jadwal kuliah. Tinggal mengurus skripsi saja.

"Nggak ada uang cash, ya?" Ashila menerima benda pipih berbentuk persegi itu.

"Nggak ada. Lagian pasti habis banyak. Ruang kayak hotel gini." Kenzi memperhatikan ruang yang ditempatinya. Sekalipun VIP, jika saat sakit tentu tidak akan terasa nyaman seperti saat sedang sehat.

Ashila terkikik seraya menutupi mulutnya. "Ya, udah ayo. Kayaknya mesin ATM ada di lantai satu."

"Sama aku?"

"Ya iyalah, mana bisa narik uang tanpa PIN."

"Kamu aja sendiri, Shil. Masa pasien bayar administrasi sendirian?"

"Terus PIN gimana?" Ashila ragu untuk meminta nomor PIN. Baginya hal itu sangat privasi sekali.

"090822." Kenzi menyebutkan nomor sandi untuk ATM miliknya.

"Oke."

Ashila pun segera berlalu dari ruangan. Langkah kecil gadis itu terasa ringan. Akhirnya, dirinya akan segera lepas menjadi baby sitter Kenzi di rumah sakit. Ashila turun menggunakan tangga, alih-alih memanfaatkan fasilitas lift yang disediakan oleh rumah sakit.

Letak mesin ATM berada di bagian depan dekat pintu utama. Ashila bergegas melakukan tugasnya. Jemarinya menekan angka seperti yang diinstruksikan Kenzi.

"Bentar, kayak nggak asing sama nomor-nomor ini."

Ashila lantas mengedikkan bahunya. Saat akan menyentuh instruksi penarikan, ia mengurungkannya. Seringai jail terlukis di bibir gadis bertubuh langsing itu.

"Berapa, sih, saldonya?"

Ashila mulai menekan info saldo. Matanya membeliak begitu angka-angka tertera di layar.

"Li-lima belas juta?!" pekik Ashila tidak percaya. Dua orang yang ada di ATM center sontak menolah ke arahnya. Ashila pun tersenyum canggung.

"Wah, besar banget uang sakunya. Lek Arif apa sekaya itu?" Ashila masih menggerutu melihat kenyataan yang tersaji di depan mata. Papanya saja hanya memberikan uang saku satu juta per bulan untuk makan dan keperluan sehari-hari.

Ashila segera menarik uang sejumlah tagihan rumah sakit. Beruntung hanya satu malam. Jika tidak, bisa saja dirinya memang membuat Kenzi bangkrut. Ia pun bergegas menuju loket pembayaran.

***

Kenzi menatap jam yang tergantung di dinding. Sudah lebih dari setengah jam, tetapi istrinya belum kambali juga.

"Mampir ke mana anak itu?" Kenzi menerka keberadaan Ashila. "Aku telepon aja, deh."

Baru akan membuka WhatsApp, ponselnya berdering. Bukan dari Ashila, tetapi dari teman kuliahnya dulu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Ken, kamu udah pindah ke Malang?"

"Udah, Rel. Maaf belum ngabari. Lagi di rumah sakit sekarang."

"Loh?! Kenapa, Ken?" Suara dari seberang terdengar panik. Aurel adalah sahabat Kenzi saat masih kuliah di Jogja. Gadis itu sekarang tinggal di Malang untuk melanjutkan studi.

"Baru jatuh dari motor. Tapi, nggak parah, kok. Malam ini udah pulang."

"Sampai opname mana mungkin nggak parah." Nada suara Aurel masih terdengar panik.

"Enggak. Cuma lengan aja yang kegores, Rel."

"Syukurlah, bikin cemas aja kamu, nih."

Kenzi terkekeh. "I am okay, kok."

"Kamu ngekos di mana? Nanti biar kujenguk."

"Di rumah sendiri. Kebetulan orang tuaku beli rumah."

"Baguslah. Kirimi alamatmu. Besok pagi kejenguk."

"Oke."

Mereka pun mengakhiri perbincangan. Tidak lama kemudian, Ashila muncul.

"Udah beres, nih. Aku pesenkan taksi online dulu."

Ashila mengeluarkan ponselnya. Ia sudah bersiap memesan mobil untuk mengantar Kenzi ke kontrakan.

"Nggak usah. Naik motor aja."

"Hah? Emang udah bisa?" tanya Ashila heran.

"Dibonceng kamu," ujar Kenzi seraya memperlihatkan deretan giginya.

"Ogah! Lagian aku nggak bawa motor. Aku minta dijemput Mona."

Raut muka Kenzi berubah. Bibirnya tampak manyun. Ashila menautkan kedua alis matanya. Baru kali ini ia melihat ekspresi Kenzi seperti itu.

"Nggak lucu, udah gede gak cocok wajah melas, sok imut gitu."

Kenzi masih bergeming. Ia lalu menundukkan kepalanya. Ashila terkesiap. Ia sontak merasa tidak enak dengan ucapan yang tadi keluar dari bibirnya.

"Maaf, Ken."

"Nggak apa-apa, Shil," ucap Kenzi seraya mendongakkan kepala. "Aku bingung aja. Di Malang aku masih baru. Ditambah kondisi tubuh sekarang kayak gini. Tinggal di rumah sendirian. Apa aku hubungi Ibu aja ya, biar datang ke Malang?"

Ashila tercengang dengan kalimat terakhir yang ia dengar. Ia seketika menggoyangkan kedua tangannya.

"Jangan! Please jangan hubungi orang tuamu."

"Kenapa?"

"Udah, pokoknya jangan."

Ashila bersikukuh untuk menghalangi Kenzi mengabari orang tuanya. Jika sampai mertuanya tau kondisi suaminya, bisa ia pastikan mereka akan memberitahu Pak Rohman. Ashila sudah pasti akan diperintah untuk tinggal satu rumah dengan Kenzi. Dan, itu adalah petaka buatnya.

"Nggak ada yang rawat aku, Shil. Tanganku yang sakit kanan. Susah buat aktivitas kalau yang kiri."

Ashia menghela napas pendek. "Aku bakal rawat kamu."

Mata Kenzi berbinar begitu mendengar ucapan Ashila. Ia kemudian tersenyum semringah. Rencananya berhasil untuk bisa mengajak sang istri menginap di rumah mereka.

"Terima kasih untuk semuanya, istriku."

Ashila sontak menoleh ke arah Kenzi. Matanya membulat sempurna. "Ashila! Bukan istri!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro