[8] Tak Punya Pilihan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dipecat?"

Rinjani mengerjap. Matanya membulat beberapa detik, masih tidak menyangka dengan breaking news yang Sarah sampaikan penuh girang siang ini. Untung kue beras yang sudah memenuhi dinding-dinding mulut Rinjani, tidak muncrat keluar saking kagetnya mendengar berita barusan.

Di seberang meja restoran, Sarah berangguk-angguk sambil mengunyah nasi hangat miliknya. Gadis itu memesan bulgogi yang daging iris panggang berbumbunya, serta kimchi sebagai lauk tambahan, begitu membuat Rinjani meneguk ludah. Memesan makanan dengan menu daging seperti itu, tidak pernah bisa ia lakukan setelah kepergian ayahnya. Ia dan adik-adik hanya bisa merasakan makanan mahal itu ketika lebaran, saat mendapat jatah daging kurban dari warga yang menyumbang. Rinjani lebih suka makan nasi uduk atau nasi sayur di kantin Monolithe yang lebih murah daripada menu lainnya, atau kadang membawa bekal.

Makan di luar pun paling hanya sekali dalam sebulan ia lakukan, seperti sekarang, saat Sarah berhasil merayunya untuk tidak makan di kantin lantaran bosan. Itu pun, Rinjani cuma bisa memesan makanan termurah, seperti tteokbokki yang kini ia santap begitu lahap. Bagaimana pun Rinjani harus berhemat, baik untuk jajan atau pun belanja.

"Iya!" cetus Sarah meyakinkan.

Rinjani bergeming. Pantas saja pagi tadi Riko menghubunginya berkali-kali, bahkan mengiriminya isi pesan yang berisi makian—seolah itu menjadi puncak kemarahan Riko selama menjadi atasannya. Rinjani yang baru sempat melihat ponsel setelah menyelesaikan rapat wali murid di sekolahnya Nekara—itu sebabnya ia izin libur setengah hari tadi—mendadak cemas bukan main. Rasa gentar membuatnya tidak berani membalas. Lalu, pertanyaannya langsung terjawab begitu Sarah menemuinya di ruang divisi publik relasi, mengajak makan siang bersama sebelum Rinjani mulai bekerja di hari ini.

"Gue senang banget pas tau ternyata Pak Riko dipecat. Syukurin!" umpat Sarah gregetan. Berapi-api lagi, ia melanjutkan. "Biar tau rasa itu orang! Menurut gue udah bagus banget dia dipecat. Biar lain kali, kalau kerja di mana aja, dia enggak semena-mena lagi sama karyawan. Mau pegawai tetap, kontrak, magang, harusnya sebagai atasan dia memperlakukan mereka dengan baik, dong!" Sarah menggerutu, bersungut-sungut sambil memasukkan irisan daging dengan biji wijen ke mulutnya.

Setelah itu, Sarah gencar memindahkan posisi daging di wadah makannya ke piring Rinjani—sebuah tindakan berbagi yang kadang membuat hati Rinjani terenyuh haru.

"Cukup, Sar. Gue kenyang." Rinjani menahan punggung tangan Sarah yang sedang memegangi sumpit. Rinjani berbohong karena merasa tidak enak. Sarah dan Vita sering bertindak seperti barusan, membuatnya bersyukur ribuan kali bisa berteman dengan orang-orang baik seperti mereka.

"Kenyang apaan?!" sewot Sarah. "Habisi, enggak? Atau lo mau gue lapor ke anak kantor kalau lo pernah diantar Pak Arkan pulang ke rumah?"

Rinjani melotot. Sarah menyengir.

Helaan napas lolos dari bibir staf publik relasi yang kini melemparkan pisau dari tatapannya kepada Sarah. Penyesalan seketika menghinggapi Rinjani, mengapa juga tadi ia bercerita tentang segala yang terjadi di malam pertemuannya dengan Heru Sanjaya tiga hari lalu?—Tentu saja minus peristiwa yang menimpa bundanya Arkan.

Sarah tidak berhenti menggodainya sejak itu. Dia baru diam ketika makanan pesanannya datang. Tapi, kenapa ingatan gadis itu cepat sekali kembalinya?

"Tapi, ya," Sarah berujar lagi setelah menyeruput Banana Milk-nya. "menurut gue, tindakan Pak Arkan mecat Pak Riko itu udah benar. Lo tahu enggak, Jan? Pagi tadi, tuh, gue kaget banget lihat ekspresi Pak Arkan begitu keluar dari kantornya Pak Dipta habis bicara sama Pak Riko. Gahar banget wajahnya, otot-otot wajahnya udah ngalahin Lee Min Ho waktu marah gegara berebut tongkat sama pamannya di The King."

Rinjani memutar bola mata, malas mendengar Sarah yang terlalu hiperbola. Raga dan pikirannya lebih ia fokuskan untuk menghabisi tteokbokki.

"Tapi, gue nyesal biarin Pak Riko keluar gitu aja dari kantor tadi pagi, deh."

"Kenapa emangnya?"

"Belum sempat aja gue cakar-cakar mukanya!"

Rinjani tersedak kecil, ucapan Sarah membuat air mineral yang baru saja ia teguk hampir salah masuk saluran—bukan ke kerongkongan, tapi menuju tenggorokan.

"Gara-gara rencana licik dia lo hampir kena musibah! Gila banget tuh orang emang! Kalau gue tahu pagi ini dia dipecat, udah gue bawain dia oleh-oleh perpisahan!"

"Oleh-oleh apa?"

"Kulit duren buat nabok wajahnya!"

Kali ini, Rinjani tidak sanggup lagi menahan tawa. Ia tergelak memegangi perut. Kalau saja Vita tidak sedang bertugas menjumpai klien di Jakarta Timur, gadis itu pasti sudah tertawa bersama dengannya, bergeleng-geleng atas pemikiran abstrak Sarah.

"Tapi, Rin...,"

Rinjani memegang dada, tampangnya dramatis saat berucap, "Kenapa, ya, gue selalu ngerasa takut kalo lo ngomong 'tapi'?" Ia memberi tanda kutip dengan jari yang segera menciptakan cebikan di bibir Sarah.

"Bodo amat. Gue masih penasaran ini."

Rinjani melotot saat Sarah menggoyang-goyangkan kedua telapak tangannya yang gadis itu tarik tiba-tiba. "Gue enggak bakal fokus kerja, kalau lo enggak cerita juga."

"Cerita apa, sih?" Sumpah, sepanjang Rinjani mengenali Sarah, siapa pun jangan berusaha dekat-dekat gadis itu ketika Sarah sedang menggerak-gerak alisnya seperti sekarang.

"Cerita lebih lanjut dong soal Pak Arkan kemarin." pungkas Sarah.

"Cerita apa lagi, sih?" tanya Rinjani mulai tidak nyaman.

"Itu, kan, cuma tentang dia yang menjamin lo! Gue penasaran gimana rasanya diantar Pak Arkan pulang." desak Sarah. "Jantung lo sehat? Perlu diperiksa ke dokter enggak?" candanya sambil terkekeh.

"Bukan jantung, tapi otak gue yang perlu diperiksa ke dokter jiwa."

Kening Sarah berkerut. "Lo trauma gara-gara penggerebakan kemarin?" tanyanya cemas.

Rinjani tersenyum manis. "Trauma ketemu lo yang kayak ulat bulu! Lincah bener kalau udah bahas Pak Arkan!" cetusnya dan seketika langsung mendapat lemparan tisu dari Sarah yang memberengut.

***

Rinjani mendesah risau, menatap awan kelabu yang memayungi langit di atas gedung Monolithe pada pukul lima sore. Bayang-bayang gerimis tampaknya akan segera mengguyuri Jakarta. Kalau sudah begini, ia tidak bisa tepat waktu sampai di kantor polisi untuk wajib melapor. Sudah lima belas menit juga setelah jam kerjanya usai, layar ponsel gadis itu masih memunculkan proses menunggu dari pencarian ojek online yang dirinya pesan.

Menghela napas berkali-kali, sebagai penyaluran dari rasa lelah menyusun arsip bulanan divisi publik relasi, Rinjani tak berhenti menatap ponsel sambil merapal doa agar orderannya segera ada yang menjawab. Jika hujan benar-benar turun, ia harus mempertimbangkan untuk naik taksi online. Walau agak mahal, setidaknya ia tak mendapat penilaian buruk dari polisi karena terlambat sampai berjam-jam.

Untung uang pegangannya masih ada, Rinjani tidak perlu khawatir harus menyisihkannya untuk bayar hutang yang Slamet minta minggu lalu. Berkat bantuan majikan ibu Rinjani yang bersedia membayar lebih cepat jatah gaji ibunya selama dua bulan ke depan, Rinjani dan keluarganya bisa terbebas dari ancaman pengusiran.

Suara klakson memecah fokus netra Rinjani dari layar ponsel yang sebahagian kacanya sudah retak. Gadis yang hari ini mengenakan kemeja biru muda dengan rok plisket hitam itu, mengerjap kaget saat menangkap mobil hitam yang dilihatnya tiga hari lalu berhenti di depan undakan tangga teras kantor, dengan mesin masih menyala.

Rinjani tak bergerak sedikit pun, bahkan sampai kaca mobil diturunkan. Wajah oriental berlesung pipit milik Arkantara Prasadja, tertangkap oleh retinanya. Segala diksi kata kata gadis itu seakan hilang di benak kala Arkan tiba-tiba bertanya seraya menyunggingkan seulas senyum lebar.

"Kamu mau pulang, Rinjani?"

"I-iya, Pak." Rinjani menjawab kikuk. Sejak insiden kantor polisi tiga hari lalu, ia dan Arkantara belum pernah bertemu atau berpapasan lagi. Sarah bilang, direktur utama Monolithe Entertainment itu sedang melakukan kunjungan ke Amerika terkait proyek film dari Production House di sana yang berkolaborasi dengan beberapa aktor dari negara-negara asia, salah satunya Tangguh Ananta—aktor naungan Monolithe yang masuk dalam jajaran pemain film berkelas di Indonesia era ini.

"Sekalian dengan saya aja, yuk?"

Rinjani berkedip kaget. Ia berdeham untuk menetralisir gugup. Pasalnya, saat Arkan menawarkan ajakan itu, kalimatnya begitu jelas didengar oleh siapa pun yang melewati teras. Termasuk satpam yang berjaga di luar pintu putar, sampai dua orang staf yang baru saja menaiki tangga dan sempat menunduk hormat untuk menyapa Arkantara meneguk ludah saat pandangan kedua perempuan itu melirik padanya. Tentu saja, jika Rinjani jadi mereka, mungkin ia juga akan melakukan hal yang sama. Arkantara cenderung berinteraksi akrab dengan para direktur divisi agensi. Jadi, siapa yang tidak akan mengerutkan alis saat mendapati lelaki itu menawarkan tumpangan pada seorang staf?

Merasa ingin menyudahi percakapan agar dirinya tidak mengundang perhatian orang-orang sekitar lebih banyak lagi, Rinjani mengibaskan tangan kanannya yang tidak menggamit tas kerja. "Enggak usah, Pak. Terima kasih." tolaknya sopan.

"Rumah kita satu arah, lho." pungkas Arkan, tampak kukuh dengan penawarannya.

Senyum Rinjani mengembang lebih lebar, berbanding terbalik dengan hatinya yang menjerit sebal karena Arkan tidak kunjung pulang. "Terima kasih sekali lagi, Pak. Tapi, saya enggak langsung pulang ke rumah. Saya masih harus melapor ke kantor polisi."

"Oh, hari ini jadwalnya, ya?"

Rinjani mengangguk. Ia ingat Arkan pernah mengatakan akan tetap menemani Rinjani wajib melapor, meski dengan mengirim orang lain jika lelaki itu sedang berhalangan. Tapi, hari ini sedang hujan. Rinjani takut terlalu merepotkan.

"Kamu pergi naik apa?"

"Ojek." jawab Rinjani cepat. Diangkatnya ponsel yang berada di tangan kanan. "Barusan saya sudah pesan, Pak."

"Belum dapat, kan?" Ucapan Arkantara mengirim puluhan panah di kepala Rinjani. Gadis itu menggigit bibir, makin pusing. Kenapa Arkan seolah ngotot sekali, menyimpulkan bahwa Rinjani memang tidak ditakdirkan pulang menaiki ojek?

"Jarang ada ojek yang terima orderan sewa kalau hujan begini. Lagipula saya sudah janji akan mengantarkan kamu setiap wajib lapor, kan?"

Penuturan Arkan membuat Rinjani terdiam. Takut-takut, gadis itu menoleh ke belakang untuk melihat adakah yang memperhatikan mereka. Nyatanya, tidak ada staf divisi lain, satpam tadi kini juga sibuk memainkan ponsel. Tapi, masalahnya... di balik pintu kaca aluminium, Rinjani menangkap sosok Bu Tedjo, cleaning service yang sepengetahuan Vita dan Sarah adalah pencetus gosip terkenal di kalangan karyawan. Wanita paruh baya itu sedang asyik mengelap dinding dengan wiper dan cairan pembersih. Gelagat bersiulnya menandakan kemungkinan ia belum melihat Rinjani dan Arkan.

Ketika mata Bu Tedjo mengarah ke arah luar, secepat kilat Rinjani berbalik badan. Seperti malaikat yang datang untuk kedua kalinya saat Rinjani susah, Arkan kembali bersuara. "Kamu enggak perlu cemas. Saya atasan kamu, wajar kalau saya membantu karyawan sendiri. Apalagi saya punya kewajiban sebagai penjamin kamu, Rinjani."

Tidak punya pilihan, Rinjani akhirnya mengangguk. Melihat Arkan hendak membuka pintu mobil, satu tangan gadis itu terangkat cepat membentuk gerakan 'stop', lalu kakinya spontan berlari mengitari mobil Arkan. Tepat saat bokong Rinjani sudah menyentuh jok mobil Arkan yang empuk, gerimis perlahan merambati bumi. Menimbulkan suara berisik dari air-air langit yang mulai jatuh di kaca depan mobil.

Semilir angin berhembus dari celah kaca yang setengah terbuka, membelai pipi dan telinga kiri Rinjani. Dingin. Namun, entah mengapa rasa hangat seolah menjadi atmosfir di dalam mobil kala tatapannya dan Arkan saling bertemu.

Wiper : Penyeka/Pengelap kaca

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro