04 ~ Dari Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sedikit berbicara niscaya banyak hati yang terjaga dari luka.
Banyak-banyaklah mendengarkan
maka akan banyak hikmah yang didapat.
Berbicara, mendengarkan, lalu bertindak mengikuti kata hati.
Setidaknya itu akan membuatmu menjadi manusia perasa, bukan merasa ....

~L.K~

🍃🍃🍃

Pernahkah ada tanya bagaimana kehidupan guru yang pernah mengajar kita? Bagaimana hari-harinya sebelum berangkat ke sekolah? Atau bagaimana beliau mengurus keluarga?

Sesekali cobalah mencari tahu, setidaknya pekalah terhadap beliau yang sudah berbagi ilmu denganmu. Ingin berkilah bahwa dia tak memberi ilmu apa-apa? Sedikit banyak pasti ada ilmu yang tanpa sadar kita terima.

Bagi guru seburuk apapun anak didik tetaplah anak. Mereka juga tidak akan mengira siapa-siapa yang akan menjadi sebab dirinya mendapat surga. Begitu juga dengan anak didik, seburuk apapun guru selama mendidik, sebagai siswa tentunya tidak akan mengira ilmu mana yang bisa menjadi berkah dalam hidup.

Helaan napas yang berat, tatapan mata sendu dah raut wajah yang sedih membuat kelima siswa yang tertangkap basah merokok semakin tertunduk. Tak banyak kata yang diucapkan oleh Nardo. Lelaki itu hanya mampu melayangkan sorot kesedihan mendalam.

"Pak Radit bolehkah saya yang berbicara pada mereka?" tanya Nardo setelah Pak Ardi meninggalkan ruang konseling.

"Silakan, Pak. Saya siap membantu kalau menemui jalan buntu."

"Kalian boleh duduk," pinta Nardo pada kelima siswa.

"Siapa yang membawa rokok?" tanya Nardo pelan. "Bapak tidak akan marah, Pak Nardo hanya ingin tahu saja seberapa jauh kalian mengenal rokok."

Kelimanya saling menoleh dan saling senggol. Meski wajahnya tertunduk, ada gerak bibir yang menunjukkan kelimanya saling berkomunikasi. Hingga salah seorang siswa mengacungkan tangan.

"Sa-saya, Pak," ujar siswa dengan rabut bergelombang.

"Kalau bawa rokok sudah pasti bawa korek. Sekarang Pak Nardo tanya lagi, kalian tahu kebaikan apa yang ada pada rokok?"

Kelimanya kompak menggeleng. Nardo kembali menghela napasnya. Bibir merahnya berkali-kali berucap istigfar untuk mengendalikan emosinya.

"Kalian beli sebungkus rokok pakai uang siapa?"

"Uang saku dari ayah sama ibu," sahut siswa yang berada di sisi kanan Nardo.

"Kalau kalian belum bisa mencari uang, masih mengandalkan uang orang tua, jangan sok mampu menghambur uang hanya untuk rokok. Orang tua kalian kerja keras itu untuk biaya hidup dan pendidikan kalian." Nardo mengucapkan setiap kata dengan penuh penekanan.

"Tadi pagi pamitnya bagaimana? Pamit ke sekolah 'kan?" Lagi-lagi kelimanya kompak mengangguk.

"Pas pamit tadi ayah dan ibu masih ada, kalau misalnya kalian pulang dan ternyata ayah atau ibu kalian sudah tidak ada, bagaimana? Apa kalian bisa meminta maaf untuk kesalahan hari ini?"

Kelima siswa tadi semakin tertunduk, diam tanpa ada pembelaan yang terucap. Kata-kata Nardo bak mantra yang menghipnotis dan menyentuh sisi hati terdalam. Bahkan salah seorang dari mereka berpaling dan menghapus setetes bening yang lolos dari matanya.

🍃🍃🍃

Nardo menuliskan nama kelima siswa di buku catatan pelanggaran. Ternyata kegiatan Nardo tak luput dari pengawasan guru-guru lainnya.
"Belum juga masuk kelas, anak-anak sudah berulah lagi," ujar Bu Hasnah.

"Iya, Bu. Semoga ke depannya mereka bisa lebih baik," balas Nardo.

"Kalau ada siswa melanggar harusnya diberi sanksi, bukannya dibebaskan seperti itu! Penanganan macam apa yang membebaskan pelaku pelanggaran? Jangan jadi guru kalau sekiranya tidak bisa memberikan contoh yang baik. Kalau dibiarkan, anak-anak bisa jadi lebih brutal dan di luar kendali. Kalau sudah begitu siapa yang jelek namanya? Sudah pasti SMK Bina Bangsa," suara sumbang nan menusuk telinga itu meluncur dengan santai dari bibir Bu Dara.

"Saya bukan membebaskannya, saya mencoba untuk berbicara dengan mereka. Apa Ibu sadar dengan ucapan barusan? Karena ucapan itu adalah sebagian doa, jangan salahkan jika ada anak-anak yang bersikap lebih parah dari mereka."

Nardo berjalan mendekati meja Bu Dara. Lelaki jangkung itu sedikit menunduk dan berbicara dengan suara pelan. "Ibu jangan pernah meremehkan mereka yang suka membangkang, membuat onar, dan selalu masuk catatan hitam, siapa tahu hanya mereka yang mengingat Ibu, berdoa dengan hati tulus, dan menjadi sebab Ibu masuk surga. Setiap anak itu memiliki keistimewaan."

"Masih baru sudah belagu sok ngasih tahu. Saya ini lebih berpengalaman, saya jauh lebih paham bagaimana mengatasi anak-anak kurang ajar seperti mereka!"

Nardo bukannya ingin bersikap angkuh dan mengabaikan ucapan Bu Dara, hanya saja suasana yang memanas membuatnya tak ingin terlibat cekcok lebih lama lagi, apalagi dengan seorang perempuan.

Dia sadar di rumahnya ada dua makhluk yang serupa dengan Bu Dara. Keduanya adalah kesayangan Nardo. Meski lelaki itu ada di sudut yang benar, dia akan memilih diam, jika emosi dari makhluk yang disebut wanita mulai meninggi.

🍃🍃🍃

Keesokan harinya, Nardo memilih untuk bertukar pendapat dengan Radit perihal tindakannya untuk menghadapi siswa yang melakukan pelanggaran. Nardo meminta masukan hal apa saja yang harus dia lakukan untuk menghadapi siswa juga wali murid semisal ada permasalahan.

Keduanya terlibat dalam percakapan serius, tetapi santai. Pokok bahasan itu menyeret ingatan Nardo ke masa sebelum dia mengajar di SMK Bina Bangsa.

"Melihat anak-anak seperti kemarin, mustahil rasanya jika mereka melanggar peraturan hanya sekadar bersenang-senang atau ikut-ikutan," ujar Nardo pelan.

"Benar, Pak, makanya saya menyarankan pendekatan secara personal pada siswa dengan tingkat pelanggaran tinggi. Jika dihadapi dengan emosi, besar kemungkinan mereka akan berontak. Sistemnya itu seperti main layang-layang, jangan terlalu ditarik, tapi tidak terlalu diulur."

"Saya memiliki anak didik di pondok, namanya Muhammad Rashfaby, tapi saya memanggilnya Aby. Dia sempat dimasukkan panti rehabilitasi kejiwaan. Selalu memberontak dan melawan saat diberi pengertian. Ayahnya sangat keras dalam mendidik. Awalnya dia anak yang pandai, tapi lama-kelamaan dia menjadi pembangkang karena ingin diperhatikan."

"Bagaimana kondisinya sekarang? Apa sudah membaik?"

"Dia meninggal beberapa waktu yang lalu. Saya sangat dekat dengannya, sudah seperti adik sendiri. Dia juga menjadi salah satu alasan kenapa saya pindah dari pondok ke sini."

"Maaf, saya tidak bermaksud untuk mengungkit kesedihan Pak Nardo."

"Tidak apa-apa, Pak. Saya saja yang terlalu lemah. Saya tidak bisa melepas kepergiannya, di bibir saya bisa berucap ikhlas ..., ikhlas ..., ikhlas! Nyatanya, masih ada sesak di hati."

"Melepas memang tak semudah berucap, Pak. Ikhlas itu harusnya tak menyakiti. Ikhlas itu harusnya menenangkan. Saya juga begitu, bayangan adik saya yang pernah mengajar di sini selalu saja hadir."

"Adik Pak Radit yang butuh waktu seminggu orientasi? Jadi beliau juga sudah tiada?"

Radit mengangguk dan menghela napasnya.

"Jangan terlalu sering menghela napas, Pak. Katanya satu helaan napas mengurangi satu nikmat yang Allah berikan.

"Bi ...." Radit menegakkan tubuhnya dan menoleh pada sumber suara.

"Kenapa, Pak? Ah ..., saya sok memberi tahu padahal saya juga sering menghela napas. Apa saya salah bicara?"

Radit tersenyum lalu menggeleng. "Ucapan Pak Nardo sama persis seperti ucapan saya pada Birendra, adik saya, tapi ucapan saya dia jadikan senjata untuk menyerang balik."

"Namanya Pak Birendra, to .... Pak Radit sedang rindu sama beliau?" ujar Nardo.

"Saya mau bilang rindu, tapi takutnya malah dibilang nggak ikhlas. Padahal rindu dan ikhlas itu jauh berbeda, tapi orang-orang selalu saja mengaitkan keduanya."

"Aish! Kita berdua ternyata orang-orang yang merindu, jomlo pula!"

"Saya nggak jomlo, Pak, sudah ada calon!" kilah Radit.

"Saya juga nggak jomlo, Pak, calon saya sudah setia menunggu sampai sukses dan jadi modal buat nikah," balas Nardo tak mau kalah.

🍃🍃🍃

Selamat malam!
Selamat menikmati hari pertama di bulan Oktober.

Hayooo loh! Mas Nardo dan Bang Radit ternyata udah punya calon!
Adakah yang hatinya potek?

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY4
Bondowoso, 01 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro