18 ~ Melepas Rindu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku rindu pulang! Rindu pulang pada sebuah pangkuan.
Aku rindu pulang! Pulang pada sebuah rengkuhan.
Aku rindu pulang! Pulang pada sebuah belaian.
Dan aku rindu pulang!
Pulang padamu, pada kalian yang memberiku senyuman ....

~L.K~

🍃🍃🍃

Jam masih menunjuk pukul setengah empat pagi. Tubuhnya terasa tidak enak karena tidur dalam posisi yang sama selama dua jam. Nardo mengakhiri pekerjaannya tepat pukul setengah dua dini hari.

Si tuan rumah sudah lelap dengan dengkuran halus mengisi ruang tengah. Nardo bingung, ingin beranjak ke kamar tamu yang ditunjukkan Radit, tetapi si tuan rumah masih bergelung di sofa. Mau tidak mau Nardo menemani Radit dan tidur di ruang tengah.

Nardo celingukan melihat situasi, siapa tahu penghuni rumah lainnya sudah bangun. Langkahnya mantap menuju ke kamar mandi dan berlanjut ke musala yang disediakan bersebelahan dengan ruang tengah.

Laki-laki berpunggung tegak dengan baju koko putih sudah duduk diatas sajadah. Nardo mengendap mengambil dan menghampar sajadah di sebelah laki-laki paruh baya itu. Ayah Radit tersenyum sekilas dan memandang Nardo dengan tatapan lembutnya.

"Sudah terbiasa bangun malam?" Nardo hanya mengangguk dan melanjutkan kegiatan salat malamnya.

"Radit akan bangun pas salat Subuh, kalau nggak bangun siap-siap di hajar sama bundanya. Sudah lama mengajar di SMK Bina Bangsa, Le?"

Nardo merasa seperti di rumah sendiri kala sapaan itu terdengar halus di telinganya. Sapaan yang bisanya hanya digunakan oleh orang-orang terdekatnya, ayah, ibu, paman juga bibinya.

"Masih baru, Pak ..., Eh, Om ...." Nardo merasa canggung dengan keadaan ini.

Keduanya terlibat percakapan ringan hingga azan Subuh berkumandang. Radit dan sang Bunda hampir bersamaan memasuki musala untuk salat berjamah.

"Dek? Tak pikir masih di kamar tamu?" tanya Radit keheranan saat melihat Nardo sudah duduk di sebelah ayahnya.

"Ruang tamu apaan? Lah wong dia tidur di lantai, Dit, kamu yang keenakan tidur di sofa sampai ngorok." Sang ayah menjelaskan.

Radit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia merasa tidak enak sebab membuat Nardo tidur di lantai. Beberapa kali padangan Radit tertuju pada Nardo yang hanya terdiam sambil berkali-kali mengucap "nggak apa-apa" untuk menenangkan Radit.

Keluarga Radit menerima kehadiran tamu-tamu hari itu dengan hangat. Zio segera bergabung selepas salat Subuh sebab dia ketinggalan salat berjamaah bersama keluarga Radit. Akhir pekan memang sangat dinanti oleh semua keluarga.

Sama halnya dengan keluarga Radit. Suguhan yang disediakan bunda Radit membuat Zio urung untuk buru-buru pulang. Mereka masih menikmati sarapan bersama. Setelah selesai, Nardo berpamitan dan langsung pulang, bukan ke kamar indekos melainkan ke rumahnya.

"Hati-hati di jalan, Le, ndak usah ngebut-ngebut. Kamu juga, Zi, salam sama Papa Yudis dan Mama Ajeng. Kabari kalau sudah sampai," ujar bunda Radit kepada dua tamunya.

Tetes-tetes air hujan sisa semalam masih membasahi halaman. Udara sejuk dan aroma tanah yang khas masih tersisa untuk menenangkan hati. Keduanya berjalan beriringan keluar dari halaman rumah Radit hingga di ujung pertigaan, Zio dan Nardo berpisah mengambil jalan masing-masing.

🍃🍃🍃

Motor Nardo memasuki pelataran rumahnya yang juga basah oleh hujan. Lelaki itu bergegas memasuki rumah dan menemukan si bungsu sedang bermain dengan Oka, si tengah.

"Mas Nardo!" teriak Adis saat melihat kakaknya berdiri di ambang pintu.

Gadis kecil itu menghambur dan memeluk kaki kiri sang kakak. Nardo meringis saat Adis tanpa sengaja menekan erat luka di lututnya.

"Mas Nardo kenapa?" tanya Adis sambil mendongak dan mempererat pelukan di kaki sang kakak.

Nardo mengangkat Adis dan memeluk sang adik posesif. Lelaki itu enggan membuat adik kecilnya merasa bersalah karena sudah menyakitinya.

"Mas nggak apa-apa. Mas kangen sama Adis."

"Ini kenapa?" tunjuk Adis pada luka di lengan Nardo. "Mas habis jatuh? Kok lukanya besar?"

"Cuma luka gores, besok juga kering. Adis mau permen cokelat?" Nardo mencoba mengalihkan perhatian Adis.

"Adis aja yang dikasih? Buat aku mana, Mas?" protes Oka.

"Tenang saja, punyamu juga ada. Bawa Adis main dulu, ya? Mas masih mau bersih-bersih."

Keluarga yang dia rindukan sudah dekat dengannya. Ternyata terpisah selama beberapa hari terasa begitu lama. Sederaha saja, lelaki itu rindu pada riuh tawa kedua adiknya, rindu pada perdebatan sepele ayah dan ibunya, rindu pada ruang tengah yang menjadi pusat berkumpulnya keluarganya.

Dari situ Nardo berkesimpulan, hal-hal sederhana adalah hal yang paling dirindu saat diri sudah tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Seperti dirinya yang mulai terjebak pekerjaan dan mulai fokus hingga waktunya terasa kurang.

Semua dia lakukan semata-mata hanya untuk agamanya, keluarganya, dan mengabdi pada negara. Lelaki itu mengejar apa yang namanya taman surga seperti ajaran Pak Kyai. Juga mengejar rida dari kedua orang tuanya untuk mendapat rida Allah.

Dalam hidup Nardo tidak ada yang tidak saling terkait. Semua sudah pada tempatnya. Ada sebab pasti ada akibat. Ada suka pasti ada duka. Ada penerimaan pasti ada penolakan. Nardo memantapkan hati dan menjalani semua dengan dukungan kelaurga.

🍃🍃🍃

Selepas salat Asar, sang ibu dikejutkan dengan jeritan tangis Adis yang berasal dari kamar Adis. Dia melihat putra sulungnya meletakkan segumpalng tisu berwarna merah sambil berusaha menenangkan sang adik.

Adis terlanjur panik saat melihat kakaknya berdarah-darah. Ingatan bocah kecil itu kembali pada mimpinya beberapa waktu lalu.

"Mas nggak kenapa-kenapa. Adis diem dulu, ya."

"Adis sama Mas Oka dulu, ya, Nduk? Biar Mas Nardo ibu obati dan istirahat. Mau masnya sembuh, 'kan?" Sang ibu menengangkan si bungsu.

Dengan wajah berlinang air mata Adis mengangguk, menatap sekilas pada kakak pertamanya lalu berlari keluar kamar menemui si tengah. Sementara itu, ibunya fokus pada mimisan kakaknya yang belum juga berhenti.

"Kamu ngapain aja, Le? Nggak ada waktu istirahatkah?" tanya sang ibu sembari menundukkan kepala Nardo dan memijat pangkal hidungnya.

"Istirahat, Bu. Cuma semalam cuaca terlalu dingin."

"Meski dingin kalau nggak ada pemicunya nggak akan begini. Semalam tidur jam berapa?"

"Setengah dua, Nardo ada deadline pekerjaan yang mepet banget. Maafin Nardo, Bu."

"Pulang wes luka-luka, mimisan pula. Kerjaannya sudah selesai, 'kan? Kalau gitu sepanjang akhir pekan ini wajib istirahat!" Nardo tidak berani mengelak lagi pada titah yang diberikan sang ibu.

Begitu aliran darah dari hidung Nardo berhenti, ibunya meminta dia untuk beristirahat dan akan dibangunkan saat salat Magrib. Nardo yang tampak kelelahan langsung terlelap tanpa peduli pada bajunya yang masih dipenuhi bercak darah.

Nardo terbangun tepat saat azan Magrib berkumandang. Kulitnya terasa panas saat tersentuh tangan, tetapi hawa dingin menusuk begitu kuatnya hingga membuat dia bergidik. Langkahnya tertatih menuju kamar mandi.

"Wes bangun, Le?" Ayahnya mendekat dan menempelkan tangan di kening Nardo. "Demam, salat jamaah di sini saja sama Ayah."

Nardo mengangguk dan berusaha untuk tetap menjalankan kewajibannya. Begitu selesai, Nardo kembali ke kamarnya, adanya pesan yang masuk membuatnya menunda keinginan untuk beristirahat.

Sebuat pesan dari grup untuk segera mengirimkan rekap susulan untuk kenaikan pangkat para PNS tertera. Deadline yang dia lihat cukup membuat Nardo berdecak kesal dan menghelas napas. Jam Cinderella, 23.59 WIB begitu yang terpampang di layar ponselnya.

Nardo ingat akan pesan sang ibu untuk beristirahat, jadi dia meminta bantuan pada Pak Roni dan juga Pak Yusuf. Malangnya, kedua rekan kerjanya itu sama-sama tidak bisa. Padahal Nardo sudah mengatakan bahwa dirinya sedang tidak sehat.

Beberapa kali menimbang, Nardo memutuskan untuk bangun dan mengambil laptopnya. Beruntung data tambahan itu sudah Nardo kantongi. Meski hanya sedikit mengedit, kegiatan itu cukup membuatnya berkeringat.

Peraturan operator hanya ada dua, pertama operator nggak boleh sakit. Kedua, kalau sakit kembali ke peraturan pertama. Ya Allah ..., jangan biarkan Ibu masuk kamar, mampus ini kalau ketemu sama Ibu, batin Nardo sembari melanjutkan pekerjaannya dengan sedikit cemas.

🍃🍃🍃

Selama malam ....
Mohon maaf, double upnya terlambat.
Maafkan untuk yang sudah menunggu, yaa!

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY18
Bondowoso, 15 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro