20 ~ Menyimpan Rahasia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diamku tidak selalu karena tidak tahu.
Diamku juga bukan karena ingin menerima begitu saja.
Mau berusaha membela diri, tetapi yang memandangmu salah tetap menilai salah.
Mau benar seperti apa, hanya kesalahan yang terbaca di mata mereka.
Bersabarlah! Karena waktu sedang menyusun rencana.
Karena waktu yang akan membelamu dan mengatakan kebenaran.

~Nardo Shidqiandra~

🍃🍃🍃

Nardo menopang kepalanya yang mulai pening. Jam sudah merangkak mendekati tengah malam, tetapi permasalahan milik Bu Dara dan Pak Hadi belum juga terpecahkan. Lelaki itu mendesah, berapa operator senior dari sekolah swasta dan negeri sudah dihubungi.

Pak Yusuf membekalinya beberapa nomor operator kenalannya yang terkenal mumpuni mengatasi hal-hal rumit mengenai aplikasi. Menemukan cacat yang ada dalam aplikasi kemudian merombaknya supaya lebih mudah dioperasikan.

Nardo sudah ingin mengangkat bendera putih. Namun, pantauan dari mereka yang bermasalah membuatnya terus berusaha hingga batas akhir yang diberikan. Hampir setiap lima lima belas menit Bu Dara dan Pak Hadi bergantian mengubungi untuk bisa mengatasinya.

"Asalamualaikum," sapa Nardo saat menerima sebuah panggilan yang menyela pekerjaannya.

"Wa alaikum salam, sek belum tidur? Kalau memang nggak bisa biarkan saja apa adanya. Belum rezekinya."

"Nardo yang nggak enak, Mas."

"Kamu nggak enak sama mereka, tapi mereka enak-enak saja ngomongin dan ngefitnah kamu!" suara dari seberang telepon membuat Nardo mengulum senyumnya.

"Nardo akan terus coba sampai batas akhir."

"Mas ditelepon sama ibumu, kamu pas pulang sakit, 'kan? Jangan bikin Mas merasa bersalah dengan membawa kamu ke SMK Bina Bangsa."

"Ibu berlebihan, Mas, Nardo nggak apa-apa! Emang jatahnya harus beristirahat."

"Sudahlah, istirahat saja! Biarkan mereka merasakan buah yang mereka petik."

Nardo menghela napas. Lelaki itu segera menyudahi telepon dan kembali mengerjakan pekerjaannya. Apa daya, si penelepon ternyata belum juga ingin mengakhiri panggilannya.

"Sebentar lagi ...,"

"Mas ingatkan, mulai besok dan seterusnya pekerjaanmu akan lebih berat. Pak Yusuf sudah menyerahkan surat mutasinya. Mas harap kamu bisa mengatur waktu sampai nanti Mas bisa menemukan penggantinya."

"Siap, Mas, laksanakan!"

"Ojo siap-siap tok! Kalau ada apa-apa sama kamu, Mas Tjah yang kena marah sama ibumu!"

Nardo tertawa saat saudara sepupua dari pihak sang ibu terdengar kesal dengan sikapnya.

"Tetap jaga rahasia, Mas. Nardo takut nanti dikira mendapat hak istimewa, padahal seleksinya ketat di depan Dewan Komite Sekolah dan Ketua Paguyuban."

"Wani piro?" gelak tawa terdengar dari seberang. "Mas cuma cerita sama Pak Radit, soalnya Mas lihat kamu akur dengan dia."

"Cukup sampai di Pak Radit! Nardo mau lanjut dulu, Mas!"

"Hadeh! Oo ..., angel iki, wes angel, angel! Bocah dikandani nggak manut!"

"Asalamualaikum ...," putus Nardo sepihak.

Mau tidak mau, Pak Tjah menjawab salam tersebut dan mengakhiri perdebatan tengah malam bersama sang sepupu. Nardo kembali pada kegiatannya. Hanya tersisa setengah jam lagi untuk bisa menyelamatkan nasib kedua temannya.

🍃🍃🍃

Setelah berjuang, ternyata tidak membuahkan hasil hanya pasrah yang bisa dilakukan. Berharap ada kesempatan lain untuk bisa melanjutkan perjuangan itu. Namun, semua kembali pada garis takdir yang sudah tertulis jauh sebelum kita lahir.

Manusia memang bisa merencanakan semuanya. Bahkan dengan tamak ingin menguasai segalanya, tetapi kuasa tetap ada di tangan Tuhan. Mau meminta dengan berteriak, jika memang bukan milik kita tetap tidak akan jatuh ke pangkuan.

"Pak Yusuf, silakan memberikan salam perpisahan untuk teman-teman." Pak Tjah memberi ruang pada orang yang dimaksud.

Pak Yusuf membukanya dengan salam, kedua mata lelaki itu tampak berkaca-kaca. Suaranya beberapa kali tersendat sebab menahan sesak di dadanya. Sepuluh tahun mengabdi di SMK Bina Bangsa bukanlah waktu yang sebentar. Banyak kisah yang tertoreh bersama rekan kerjanya.

"Sebenarnya, saya berat untuk melepas SMK Bina Bangsa. Jatuh bangun saya sampai saya menikah, semua saya lalui bersama keluarga di sini. Semoga saya mendapat rekan kerja rasa keluarga seperti di sini," pungkasnya sembari menghela napas berat.

"Terima kasih atas baktinya selama ini, Pak Yusuf. Terimalah ini sebagai cinderamata dari kami." Pak Tjah menyerahkan kenang-kenangan berupa kumpulan foto selama Pak Yusuf berada di SMK Bina Bangsa.

"Terima kasih atas kenang-kenangannya. Saya mohon maaf, ini benar-benar hari terakhir saya di sini. Saya harus segera ke Bandara setelah ini, keluarga sudah menunggu di sana," ujar Pak Yusuf.

Lelaki itu lalu berjalan menghampiri dan menjabat tangan rekan kerjanya. Beberapa guru laki-laki memeluknya erat. Terakhir, Pak Yusuf benar-benar tidak bisa menahan sesaknya. Dia meneteskan air mata saat memeluk erat sang kepala sekolah.

Beberapa kali bibirnya mengucap terima kasih. Menjabat dan memeluk erat tubuh yang sudah dianggapnya seperti orang tuanya sendiri. Pak Yusuf berdiri dan menyapu pandangan pada seluruh dewan guru.

Bapak satu anak itu lalu membungkuk dan melambaikan tangan sebelum melangkah meninggalkan ruang guru. Suasana haru begitu menyelimuti ruang guru. Hingga sang kepala sekolah mengambil alih ruangn tersebut.

"Kita masih ada hal yang harus dibahas terkait update data kenaikan pangkat. Ada dua nama yang terancam tidak bisa menerima tunjangan untuk tiga bulan ke depan."

Wajah Bu Dara memucat. Wanita itu meremat tangannya, sesekali dia melirik Pak Hadi yang menampilkan wajah tenang. Bu Janetta dan dua teman lainnya tampak lebih lega saat mendengar nama mereka aman.

"Mohon maaf jika nantinya Bu Dara tidak bisa menerima tunjangan, mungkin belum rezekinya, Bu."

"Kenapa hanya punya saya dan Pak Hadi yang tidak bisa diselamatkan? Sementara yang lainnya bisa!" Bu Dara berujar dengan nada tinggi.

"Kita sudah berusaha, Bu, meminta batuan dari kabupaten supaya membatalkan apa yang sudah ibu perbaharui, tetap tidak ada hasil apa-apa. Kami juga meminta sudah meminta bantuan teman operator dari sekolah lain, hasilnya tetap sama."

"Coba saja waktu itu Pak Nardo langsung mengerjakannya. Saya tidak perlu turun tangan untuk update sendiri."

Nardo mendongak saat namanya disebut. "Mohon maaf, Bu, waktu itu saya mengerjar yang lebih mendesak dan deadline-nya lebih dekat."

"Tapi Pak Nardo nggak bilang sama saya. Itu hanya alasan saja 'kan?"

"Ibu bisa tanya sama Pak Pradipta. Beliau bilang deadline masih seminggu lagi, sedangkan input data untuk cut off BPOPP hanya tersisa dua hari saja. Bukannya Bu Dara bilang sudah update berkas dua hari setelah Pak Pradipta menyerahkan berkas sama saya?"

Bu Dara sudah bersiap untuk melontarkan kata-kata pedasnya, tetapi urung saat Pak Hadi mengacungkan tangan.

"Bu Dara tenang saja. Saya tidak akan menuntut ganti rugi pada Ibu. Meski saya tahu betul kesalahan penginputan itu adalah kelalaian Ibu sendiri."

"Tapi, Pak? Ini diskriminasi namanya. Punya Bu Janetta dan yang lainnya bisa, hanya milik kita saja yang tidak bisa diselamatkan."

"Bu, jangan mencari kesalahan orang lain kalau ternyata itu semua hasil pekerjaan Bu Dara sendiri," ujar Pak Tjah menengahi.

Bu Dara bungkam seketika. Dia menggigit bibirnya, raut wajah gelisah terpancar jelas. Rekan kerja yang berada di kanan dan kirinya berusaha menenangkannya.

"Bapak dan Ibu guru sekalian, saya mohon kebijaksanaannya. Jika sekiranya kelalaian itu ada pada kita jangan menyalahkan operator. Operator ini sekadar utusan yang membantu kita. Mungkin ada yang mau mendaftar untuk menggantikan Pak Yusuf dan menemani Pak Nardo di bagian Operator?"

Pak Tjah membuka kesempatan tersebut. Hampir seluruh dewan guru menggeleng sebab tahu seberapa berat pekerjaan itu. Pekerjaannya selesai semua orang menikmati hasilnya. Saat menemui kendala harus berusaha menemukan solusi sendiri.

🍃🍃🍃

Beberapa hari sepeninggal Pak Yusuf, suasana ruang guru cenderung kondusif. Bu Dara lebih cenderung anteng dan diam jika tidak ada yang mengajaknya berbicara. Padahal baik Nardo maupun Pak Hadi sudah bersikap biasa saja.

Ruang guru yang tenang tidak sebanding dengan kacaunya jadwal tidur Nardo. Beban kerja yang diterimanya ternyata sangat berat. Meski mendapat bantuan seorang anggota TU, Nardo masih harus mengajarinya terlebih dahulu.

Si anggota TU itu hanya diminta untuk duduk menemani dan mengamati bagaimana alur pekerjaan yang biasa Nardo kerjakan.

"Pak Nardo nggak puyeng sama yang beginian? Saya lihat sekali saja sudah kliyengan, Pak. Boleh ganti yang lain saja?" tanya Pak Dion, anggota TU yang ditunjuk untuk membantu Nardo

"Pelan-pelan nanti akan terbiasa, Pak. Awalnya memang begitu, tapi setelah paham nanti hafal di luar kepala."

"Nggak ada cara yang lebih mudah, Pak?"

"Kalaupun ada itu sudah saya lakukan dari dulu, Pak, dicoba saja dulu. Kalau ada kesulitan nanti saya bantu."

Pak Dion mengacungkan jempolnya tanda siap dengan pekerjaan barunya.

"Dek, masih nyimpan surat pernyataan dari ayahnya Jodi?"

Nardo dikagetkan dengan suara Radit yang tiba-tiba saja sudah berada di depan pintu ruang TU.

"Ma-masih, kenapa?"

"Ambil sekarang! Saya tunggu di parkiran. Nanti saya jelaskan sambil jalan!" perintah Pak Radit.

Nardo masih tertegun dengan sikap Radit yang terburu-buru. "Itu Pak Radit kenapa?"

"Nggak tahu juga, sepertinya penting, Pak. Pak Nardo pergi saja, saya yang bereskan ini."

Nardo bergegas mengambil berkas yang dimaksud saat mengingat isi surat pernyataan tesebut. Seketika itu juga perasaannya dilanda cemas.

🍃🍃🍃

Selama malam ....
Nardo kembali di jam normal, guys!
Menghitung mundur untuk sampai babak terakhir Nardo, ya ....

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY20
Bondowoso, 17 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro