34 Rindu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah dua hari Ana izin tak masuk kerja dengan beralasan sakit. Kantung di kedua mata sudah menghitam seperti Panda.

"Na, ini Kakak belikan sarapan untuk kamu. Kakak taruh di atas meja ya," ucap Ani di luar pintu.

Hubungan kedua saudara kembar ini masih tak membaik. Ana lebih memilih untuk mengurung diri di kamar di saat Ani berada di rumah.

Ani tersenyum sedih. Ia pun bersiap-siap untuk berangkat kerja di salah satu toko milik saudara.

"Kakak berangkat kerja dulu ya.

Assalamualaikum."

Ani sudah meninggalkan rumah. Ia menatap jendela kamar Ana sekilas, lalu melangkahkan kaki mencari rezeki di pagi hari ini.

Di balik jendela kamar, Ana juga menatap sosok Ani yang perlahan menghilang. Ia menghapus jejak airmata paksa.

"Ka... gue belum bisa maafin lo," ucap Ana lirih.

Ana berjalan pelan menuju pintu kamar. Ia membuka pintu kamar dengan tak semangat. Dapat dilihat semangkok bubur ayam tersaji di atas meja.

"Selamat makan," ujar Ana mulai memakan bubur ayam tak terasa hambar.

Ana tak mengingat jelas terakhir ia makan. Ia lebih baik mengurung diri di kamar dalam kesendirian.

"Ki... aku rindu kamu. Walau kita baru kenal sebulan, aku sudah mulai nyaman sama kamu," ungkap Ana.

Tak terasa airmata kembali menetes. Ana hanya membiarkan saja. Ana makan dengan sangat pelan sambil merindukan sosok Pria yang sudah mencuri hatinya, tetapi seakan restu waktu tak berpihak padanya.

Pandangan Ana terasa buram dan menggelap. Ia mengucek mata, tetapi masih tetap tak jelas.

"Aww... kepala Ana kok pusing banget." Dan akhirnya Ana terjatuh di lantai tak sadarkan diri. Mangkuk bubur ayam ikut terjatuh berserakan di lantai.
.
.
.
.

Ricky sedang berada di dalam kelas mengikuti pelajaran jam pagi. Firasat buruk terus terniang-niang di otak membuat Ricky tidak fokus.

"Kenapa perasaan gue nggak enak?" pikir Ricky bertanya-tanya.

Pak Indro, dosen mata kuliah seni lukis terus menjelaskan materi di depan. Salah satu Bab tentang jenis-jenis seni lukis di dunia.

"Sampai sini ada yang bisa menjawab?"

Pak Indro menatap satu persatu mahasiswa/i di kelas. Pandangan ia terhenti pada Ricky.

"Ricky, tolong jelaskan kembali materi yang saya sampaikan!" perintah Pak Indro dengan suara garang.

Ricky tak bergeming. Ia masih mendalami isi pikiran yang terus mengganggu konsentrasinya.

"Ricky!" seru Pak Indro.

Hal itu sukses membuat Ricky tersadar. Ia menatap Pak Indro bertanya-tanya.

"Ada apa Pak?" tanya Ricky polos.

Kesabaran Pak Indro sedang di uji. "Keluar kamu dari kelas saya.... sekarang!"

"Hahahaha...," tawa lepas dari dalam kelas.

"Semuanya diam!" bentak Pak Indro dan itu sukses membuat penghuni kelas terdiam seribu bahasa.

"Cepat kamu keluar dari kelas saya dan nanti siang kamu menghadap ke ruangan saya!"

Perintah Pak Indro tak bisa terbantahkan. Ricky pun memberesekan peralatan mata kuliah dengan tidak semangat.

"Saya permisi, Pak," ucap Ricky pamit.

Ricky berjalan melewati Pak Indro dengan perasaan takut. Ia pun meninggalkan kelas.

Fenly, sebagai sahabat baik tak bisa membantu. Ia tidak bisa meninggalkan pelajaran penting ini juga.

"Lo kenapa lagi sih Rick?" Fenly sedih.

Di luar kelas, Ricky memandangi langit yang mulai menggelap. "Aku rindu kamu... Ana."

"Apa gue ke rumah Ana ya?" Ricky memastikan diri sejenak. Ia pun berjalan cepat menuju parkiran kampus. Semakin memikirkan Ana membuat perasaan Ricky semakin tidak tenang.
.
.
.
.

Mobil yang di bawa Ricky melintasi jalan raya ibukota dengan kecepatan sedang. Walau ia sedang tak tenang, keselamatan tetap menjadi prioritas utama.

"Ana... tunggu aku ya," ucap Ricky.

Ricky berusaha menghubungi ponsel Ana, tetapi tak membuahkan hasil. Sosok Ana seakan menghilang ditelan bumi.

"Sial! Pakai macet segala lagi!"

Ricky memukul stir mobil kesal. Ia harus segera menuju ke rumah Ana. Perasaan takut serta khawatir semakin terasa.

Jalan sudah mulai renggang kembali. Kali ini menaikkan laju kecepatan mobil.

"Ayo... gue rindu banget sama Ana," ujar Ricky.

Sekitar tigapuluh menit, mobil mewah Ricky sudah tiba di depan rumah milik Ana. Suasana di sekitar rumah Ana cukup terbilang sepi.

Ricky keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Ia mengetuk pintu, namun tak ada balasan ataupun sahutan dari dalam rumah.

"Assalamualaikum,

Ana buka pintunya. Ini aku Ricky. Ana tolong buka, aku rindu kamu...,"

Ricky melirik ke arah gagang pintu. Ia menghela napas pelan, lalu mencoba untuk membuka pintu rumah.

"Nggak di kunci," ujar Ricky heran.

Perlahan pintu rumah terbuka. Kedua netra Ricky melebar melihat sosok wanita yang ia rindukan terbaring di atas lantai dingin.

"Ana!" seru Ricky panik.

Ricky langsung masuk ke dalam rumah. Ia berusaha membangunkan Ana, tetapi sia-sia saja. Ana tetap tak bangun.

"Badan ya panas," ucap Ricky memegang kening Ana.

Tanpa berpikir lama, Ricky membawa tubuh Ana ke dalam gendongan. Ia sangat hati-hati selama melangkahkan kaki menuju mobil. Pintu mobil di buka perlahan, walau sedikit kesulitan.

"Ana, kamu harus bertahan ya. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit terdekat."

Ricky kembali ke rumah Ana. Ia mengunci pintu rumah, lalu menaruh kunci rumah di bawah pot.

Setelah selesai, Ricky menyalakan mesin mobil. Ia melirik sedih ke arah Ana, lalu mulai menjalankan mobil menuju rumah sakit.

"Ana... kenapa semua jadi begini?"

.....RZ.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro